Di sebuah rumah besar nan megah, seorang pria menatap pantulan dirinya di cermin. Tatapannya dingin dan ekspresinya datar. Dia mengenakan jam tangannya sebagai sentuhan yang terakhir kemudian berjalan menuju pintu dan keluar setelah membukanya perlahan.
Berjalan dengan pelan, wajahnya tetap datar seolah minim ekspresi. Tidak ada yang dia lakukan selain berjalan dengan santai, menuruni anak tangga lalu menuju ke sebuah ruangan, di mana keluarganya sudah menunggu. Dia membuka pintu lalu masuk, menyapa para penghuni yang sudah menunggu kedatangannya.
“Selamat pagi, Harri,” sapa seorang waita tua tetapi masih terlihat segar bugar dengan rambut yang memutih sebagian itu disanggul elegan.
Harri Steven, nama pria itu. Dia hanya mengangguk sekilas tanpa memberikan senyuman, sungguh dia seolah tak punya urat senyum. Ekspresinya selalu datar dan dingin, semua orang di ruangan itu sudah tahu dan terbiasa karena tahu apa yang menyebabkan pria itu enggan untuk tersenyum.
“Baik, kita akan mulai sekarang karena sudah hadir,” ucap seorang wanita tua itu memulainya, memimpin rapat keluarga pagi itu.
Jam menunjukkan pukul delapan pagi, mereka berkumpul setelah sarapan. Terdapat beberapa orang di sana selain wanita tua itu, ada juga dua orang wanita lainnya yang merupakan kakak dan ibu pria itu, panggil saja Steven, tapi bukan Stefan William, ya, heh, beda jauh! dan empat orang pria lainnya yang merupakan ayah, kakak ayahnya, pengacara, dan sekretaris wanita tua itu.
“Kita akan membahas wasiat peninggalan Kakekmu, Harri,” lanjutnya sambil menatap Steven.
“Silakan, Oma bisa mulai sekarang, Steven akan mendengarkannya,” tutur Stevie, kakak Steven yang duduk di sampingnya.
“Baiklah kalau begitu. Pertama, maafkan Oma karena harus melakukan ini, tetapi bila terus di tunda, Oma khawatir tidak akan sempat. Berhubung kamu sudah dewasa pasti akan mengerti suatu saat nanti,” tutur oma, wanita tua itu yang merupakan nenek dari Steven.
Dia sama sekali tidak menjawab, hanya diam saja menyimak apa yang hendak disampaikan orang-orang di ruangan itu, rencana oma yang entah apa, yang pasti bukankah sesuatu yang sepele.
“Mari kita mulai,” ujarnya pada seorang pria sebaya dengan oma yang duduk di samping kanannya.
“Baik,” sahutnya kemudian sigap mengeluarkan sebuah dokumen dari tasnya lalu meletakannya di meja. Ruangan itu tidak tegang karena hanya akan membahas sesuatu yang berhubungan dengan Steven saja. “Ini adala h surat wasiat yang di tinggalkan Ketua,” katanya membuka map bersampul biru tua. “Apakah harus saya bacakan atau membacanya bergilir?” tanyanya meminta pendapat.
“Silakan bacakan,” sahut oma. Pria itu mengangguk.
“Baik. Sebelumnya, jauh-jauh hari kita sudah membahas masalah warisan yang telah di tetapkan Ketua untuk semua anggota keluarga dan mendapatkan sesuai yang tertulis di surat wasiat ini,” ungkap pria itu. Semua orang hanya diam, mendengarkan setiap penuturannya. Memang sebelumnya, jauh sekali dari hari ini mereka sudah membahas masalah warisan yang di tinggalkan kakek, seseorang yang seperti raja.
Steven sendiri hanya diam saja seolah tahu apa yang hendak disampaikan isi surat wasiat itu.
“Di sini tertulis bahwa Ketua telah memilih Harri Steven untuk memegang kendali seluruh perusahaan setelah sang ayah, Hendri Mahendra, dan ini sudah di setujui sebelumnya,” kata pria itu yang merupakan seorang pengacara. Dia lalu mengambil satu lembar kertas. “Selain telah menjadi yang terpilih dan telah di tetapkan untuknya seorang pendamping,” lanjutnya.
Hening. Tak ada yang menyahut, bahkan Steven hanya menampilkan ekspresi datar meski sesungguhnya apa yang disampaikan itu menyentaknya. Apa maksudnya dengan pendamping?
“Wasiat ini seharusnya di sampaikan saat kau berusia delapan belas tahun, Steven. Tapi karena Oma-mu meminta untuk menundanya sebab kau masih terlalu muda saat itu. Maka, saya akan menyampaikan satu wasiat Ketua yang harus kau lakukan,” ungkap pengacara sambil memberikan sebuah kertas pada Steven. “Itu menjadi salah satu syarat yang harus kau laksanakan sebagai seorang yang terpilih.”
Steven terdiam membaca rentetan huruf yang di susun menjadi sebuah kalimat oleh sang kakek tersayangnya. Di kertas itu terdapat sebuah pesan bahwa saat usianya delapan belas tahun, Steven harus menemui seorang gadis pilihannya dan melakukan pertunangan sebagai syarat untuknya menjadi yang terpilih.
Terpilih menjadi seorang penguasa dari segala bidang. Sebuah kerajaan bisnis yang bergerak di bidang apa pun, makanan, medis, perhotelan, perbankan, kontruksi, mall dam sebagainya. Artinya, Steven yang mengedalikan seluruh bidang itu setelah masa jabatan sang ayah usai.
Isi surat itu mengungkapkan telah ditetapkan seorang pendamping untuk Steven atas pilihan sang kakek. Seorang gadis yang latarnya tidak diketahui, dalam surat itu hanya mengatakan tentang nama keluarganya saja, tidak dengan si gadis yang di maksudkan, bahkan, tidak pula fotonya. Steven hanya bungkam, menatap kertas itu nanar.
“Bagaimana jika aku menolaknya?” tanya Steven dengan nada dingin yang menusuk membuat semua orang di ruangan itu terdiam.
Oma menatap cucu lelakinya itu dalam dari seberang meja, tersirat sebuah tatapan yang bisa Steven artikan, tetapi dia bisa melihat gurat lelah di wajah yang mulai keriput itu.
“Kamu bisa menolaknya, dan melepas silsilah keluarga kita. Artinya, tercoreng dari daftar keluarga,” kata Stevie. Steven menatap sang kakak. “Ini tertulis di sana, bukan, Steven. Ini atas permintaan Opa untuk membalas budi keluarga itu karena telah menolong Opa,” jelas gadis berambut hitam legam dengan busana layaknya seorang putri, elegan dan anggun.
Steven terdiam, kembali meneruskan membaca setiap bait aksara yang ditulis sang kakek untuknya. Memang tertulis di sana, saat usianya menginjak delapan belas tahun, dia seharusnya sudah dipertemukan dengan gadis itu. Namun, seperti yang disampaikan sang nenek, bahwa dia terlalu muda saat itu, maka dari itu, kini mereka menyampaikannya karena dia sudah mulai dewasa.
“Kami sudah menentukan rencana untuk pertemuanmu dengannya. Dibanding dengan surat wasiat tentang warisan, Ketua lebih banyak membahas tentang ini. Ketua sangat ingin menjadikan keluarga itu bagian dari keluarganya, maka dari itu, memilihmu sebagai pengikatnya,” terang pengacara tegas. Steven hanya diam tak mengatakan apa pun.
“Diammu kami putuskan kamu setuju, Harri,” ungkap nenek karena Steven tak kunjung mengatakan apa pun sebagai penolakan. Namun, nyatakan, dia terlalu syok untuk mencerna setiap baris kata yang tertulis di sana, pendamping, dijodohkan, kekasih, dan lainnya memenuhi pikiran Steven karena itulah dia hanya diam.
Keputusan sudah dibuat oleh nenek tanpa persetujuan mutlak darinya, bahkan kedua orang tua dan kakaknya pun hanya diam saja, menyangka Steven memang setuju atas wasiat kakek.
Surat itu mesti mendapat tandatangan dari yang hadir sebagai saksi, dimulai dari nenek, putra tertuanya, ayah, dan putri nenek, lalu dilanjutkan oleh ibu Steven, dan terakhir Stevie kemudian pengacara dan sekretaris neneknya.
“Aku punya kekasih, Oma!” seru Steven, terlambat, surat itu sudah ditandaangan semua orang yang hadir sebagai saksi atas persetujuan Steven untuk bertunangan dengan gadis pilihan kakeknya. “Aku tidak bisa melakukan ini di saat punya kekasih, dan aku tidak berencana untuk meninggalkannya.” Steven menegaskan tak peduli dengan tatapan semua orang dan wasiat itu yang sudah mendapat tandatangan.
Nenek hanya diam, menatapnya lamat, pun dengan yang lain. Stevie menarik napasnya pajang, tidak ada yang bisa membantah ketentuan sang nenek, apalagi kakek.
“Kau punya kekasih ataupun tidak, wasiat Opa akan tetap berjalan sebab, Opa sudah menentukannya jauh hari sebelum kau punya kekasih, bahkan, saat kau baru usia tujuh tahun,” kata Stevie.
Tujuh tahun? itu sudah lama sekali, tapi kenapa dia sama sekali tidak punya ingatan tentang keluarga yang di maksudkan.
“Semua orang sudah setujui suratnya, Harri, artinya, kau tidak bisa menolak kentuan yang berlaku. Mau tak mau, kau harus bisa melepaskan kekasihmu. Namun, bila kau tetap tidak ingin, maka, lepaskan saja semuanya,” terang Stevie. Steven menatap sang kakak.
“Baik,” katanya dingin. “Aku sama sekali tidak tertarik dengan harta yang ada,” tuturnya. Pandangan Steven menatap satu persatu yang hadir, tampak raut yang terkejut, kecuali di wajah nenek dan kakaknya seolah mereka sudah tahu kalau dia akan bereaksi seperti itu. “Dan aku tidak setuju dengan perjodohan konyol ini!” setaknya lalu bangkit dari duduknya, melempar kertas yang sejak tadi dia pegang, melenggang begitu saja dari ruangan itu.
“Harri!” Nenek memanggil tapi tak digubrisnya. Steven terus berjalan keluar dari sana, bahkan membuat pintu berdebam keras, menjadi pelampiasan kemarahannya.
“Biarkan dia, Bu, Steven akan butuh waktu. Suatu saat nanti, dia akan mengerti,” ucap Adam, putra sulung nenek yang mewarisi rumah sakit terbesar di negri ini.
Nen ek menghela napas, pandangannya memburam, wanita tegas itu menjadi lemah. Paman Adam sigap mendekati sang ibu dan memeriksa keadaannya.
“Ibu harus tenang. Jangan khawatirkan Steven, dia pasti akan mengerti. Kita semua tahu kalau dia teramat menyangaki kakeknya, jadi tidak akan membiarkannya kecewa. Dia hanya butuh waktu, jadi Ibu istirahat saja, kami juga akan membantu,” tuturnya yang di iyakan Stevie.
“Ya. aku juga akan melakukan apa pun, jadi Oma hanya perlu istirahat saja.”
“Oma hanya khawatir bila Steven tidak bisa menerima ini.”
“Dia pasti akan menerimanya. Ibu tenang saja, kita serahkan padanya. Ibu sudah menyampaikan maksud Ayah yang seharusnya sudah disampaikan sejak dulu, jadi, ini cukup, biarkan kami mengurus sisanya. Ibu perlu istirahat,” ibunya Steven ikut bertutur menenangkan sang mertua yang sudah seperti ibu sendiri.
Nenek memejamkan matanya. Paman Adam, Stevie, dan Wati –Ibu Steven- mendekat untuk menenangkannya.
“Terima kasih,” ucap nenek.
***
Terima kasih sudah baca, semoga suka.
Yuk tinggalkan jejaknya.
Suara riuh itu menggema di lapangan parkir kala sebuah mobil hitam berhenti dengan anggun. Dari kejauhan suara teriakan histeris para gadis nyaris memekakkan telinga, hanya satu orang yang terbengong-bengong melihat kehebihan itu.“Ada apaan, sih, berisik sekali?” tanyanya pada temannya, sepertinya tidak hanya dia yang tidak peduli pada histeria yang terjadi itu.Gadis dengan atribut yang rame itu tampak menoleh lalu mengedikkan bahunya, mengatakan kalau tidak tahu juga. Mereka adalah mahasiswi baru yang hendak melakukan ospek. Topi yang terbuat dari bola berbahan plastic dibelah dua lalu diikat dengan rapia. Tas dari karung goni dengan tali rapia berwarna pink untuk mahasiswi dan biru untuk pria. Mereka mengenakan baju hitam putih dengan dandan yang menggambarkan hewan, ada tikus, kucing, dan lainnya tergambar di wajah mereka. Sepasang sepatu yang berbeda, pun dengan kaos kaki yang berbeda pula.Histeria pad
“Maaf, Kak, kami harus pergi, udah disuruh kumpul,” ujar Maria berusaha untuk tidak berurusan dengan Lisa. Tangan Maria dan Helva saling menggenggam.“Nggak semua itu. Lo kira gue mau? Jangan mimpi ya,” timpal Lisa garang yang membuat kedua gadis itu tak bisa membantah, hanya berharap dalam hati ada seseorang yang datang menyelamatkan.Namun, sepertinya itu hanya harapan kosong karena berikutnya salah satu teman Lisa mengambil paksa buku mereka lalu memberikannya pada gadis itu. Helva ingin protes rapi dibungkam salah satu dari mereka, pun dengan Maria.“Punya lo aman,” katanya setelah melihat buku Maria yang isi tanda tangannya berbeda dari Helva. Seringai Lisa muncul kala akhirnya dia mendapati satu tanda tangan yang dia cari. “Tapi lo … sayang,” ujarnya dengan dramatis lalu membubuhkan tanda tangan dengan tanda kematian di sana.Clalisa Mia, a
“Gue bakal ingat nama dan wajah lo sebagai gantinya,” ujar Steven sambil memberikan buku pada Helva.Helva menatap buku di tangan Steven dengan raut wajah terkejut. Bagaimana bisa pria itu memegangnya kini padahal dia sama sekali tak lagi mengeluarkan bukunya, tetapi, apa yang telah dilakukan Steven.“Lo, pergilah, itu udah cukup,” kata Steven sambil berbalik membelakangi Helva yang terpaku pada bukunya, terdapat tanda tangan di atas tanda tangan Lisa, si dewi kematian.Harri Steven, Ekonomi.Hanya itu, tanpa embel-embel panggilannya sebagai pangeran, simple sekali.Desty dan Maria bergegas menghampiri Helva yang masih menatap nama Steven yang tertulis rapi di bukunya. Dia tidak tahu apa artinya.“Saya juga, ya,” suara bass seseorang terdengar, kemudian buku Helva sudah diambil alih, dia mengangkat wajahnya. “Helva, n
Steven membaringkan tubuhnya di kasur, pandangannya tertuju pada langit-langit kamar. Dia tak menggubris ketukan di pintu, hanya nggan meneruskan percakapan yang menurutnya tak penting, hanya akan membuatnya bimbang. Dia tidak terima, jelaslah, menurutnya, sistem perjodohan itu terlalu kuno.Namun, sebuah bayangan seraut wajah membuatnya terdiam. Dia mendudukkan tubuhnya, heran dengan pikirannya, mengapa tiba-tiba ingat dengan wajah gadis itu.“Helva Anriani,” gumamnya dengan kedua alis yang tertaut. “Sejak kapan aku bisa mengingat nama seseorang dalam sekali pertemuan, bahkan ingat namanya dengan lengkap,” katanya tak mengerti. “Astaga, sudahlah.”Dia bangkit dari kasurnya, jemarinya perlahan membuka satu persatu kancing kemeja, memamerkan perut kotak-kotak yang tercetak jelas. Sepertinya dia rajin olahraga. Steven melangkah ke kamar mandi, berguyur di bawah air shower yang mengalir deras sambil memejamkan matanya.Bay
Helva baru saja keluar dari kamarnya untuk makan malam. Sang ibu sedang sibuk di bawah, melayani pengunjung yang hedak makan di rumah makan sederhananya. Setidaknya mereka bisa bertahan hidup dengan itu. Biasanya Helva juga suka membantu, tapi hari ini ibu meminta untuk istirahat saja karena ada yang ingin disampaikan. Dia adalah gadis rajin dan sederhana. Usai makan dia mencuci bekasnya sendiri, membereskan apa pun sebagai pengusir bosan meski kenyataannya rumah itu selalu dalam keadaan rapi dan bersih. Senyuman hadir begitu menatap sebuah bingkai yang tergantung di dinding. “Ayah, aku rindu,” ucapnya pelan. Foto itu telah lama tergantung, saat Helva masih terbilang anak-anak, bahkan adiknya masih kecil saat itu. Ada kakek dan nenek juga di bingkai yang tergantung, saat bahagia yang dia rasakan. Perlahan, air matanya turun lewat sudut pelupuk, menetes ke tangannya. Siapa yang tidak merindukan keluarga yang lengkap? Usia sepulu
Bukannya merespon dengan senang atas perkataan ibunya kalau dia bisa saja menolak. Apa yang membuat Helva diam adalah raut wajah sang ibu yang terlihat begitu mendung seolah menyimpan kesedihan yang mendalam. Helva kemudian berpikir, apakah ada sesuatu yang tak disampaikan ibunya selain perjodohan? Jujur, dia sama sekali belum siap terikat dengan siapa pun, dan ibunya pasti tahu itu. Dia hanya ingin fokus pada study dan mimpinya tanpa harus terikat dengan siapa pun. “Maafkan aku, Ma. Aku, sungguh tidak bisa menerima ini,” ungkap Helva akhirnya. Dia tak bisa mengambil keputusan hanya karena ada sebuah cerita rahasia di balik perjodohan itu. Heni menatapnya, menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum kemudian keedua tangannya meraih tangan Helva, menggenggam dan mengusapnya lembut, menyalurkan kasih sayangnya pada anak sulung. “Tidak apa-apa, Mama mengerti, Helva. Itu pilihanmu, jadi jangan merasa terbebani. Mama hanya menyampaikan apa yan
Bukannya merespon dengan senang atas perkataan ibunya kalau dia bisa saja menolak. Apa yang membuat Helva diam adalah raut wajah sang ibu yang terlihat begitu mendung seolah menyimpan kesedihan yang mendalam. Helva kemudian berpikir, apakah ada sesuatu yang tak disampaikan ibunya selain perjodohan? Jujur, dia sama sekali belum siap terikat dengan siapa pun, dan ibunya pasti tahu itu. Dia hanya ingin fokus pada study dan mimpinya tanpa harus terikat dengan siapa pun. “Maafkan aku, Ma. Aku, sungguh tidak bisa menerima ini,” ungkap Helva akhirnya. Dia tak bisa mengambil keputusan hanya karena ada sebuah cerita rahasia di balik perjodohan itu. Heni menatapnya, menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum kemudian keedua tangannya meraih tangan Helva, menggenggam dan mengusapnya lembut, menyalurkan kasih sayangnya pada anak sulung. “Tidak apa-apa, Mama mengerti, Helva. Itu pilihanmu, jadi jangan merasa terbebani. Mama hanya menyampaikan apa yan
Helva baru saja keluar dari kamarnya untuk makan malam. Sang ibu sedang sibuk di bawah, melayani pengunjung yang hedak makan di rumah makan sederhananya. Setidaknya mereka bisa bertahan hidup dengan itu. Biasanya Helva juga suka membantu, tapi hari ini ibu meminta untuk istirahat saja karena ada yang ingin disampaikan. Dia adalah gadis rajin dan sederhana. Usai makan dia mencuci bekasnya sendiri, membereskan apa pun sebagai pengusir bosan meski kenyataannya rumah itu selalu dalam keadaan rapi dan bersih. Senyuman hadir begitu menatap sebuah bingkai yang tergantung di dinding. “Ayah, aku rindu,” ucapnya pelan. Foto itu telah lama tergantung, saat Helva masih terbilang anak-anak, bahkan adiknya masih kecil saat itu. Ada kakek dan nenek juga di bingkai yang tergantung, saat bahagia yang dia rasakan. Perlahan, air matanya turun lewat sudut pelupuk, menetes ke tangannya. Siapa yang tidak merindukan keluarga yang lengkap? Usia sepulu
Steven membaringkan tubuhnya di kasur, pandangannya tertuju pada langit-langit kamar. Dia tak menggubris ketukan di pintu, hanya nggan meneruskan percakapan yang menurutnya tak penting, hanya akan membuatnya bimbang. Dia tidak terima, jelaslah, menurutnya, sistem perjodohan itu terlalu kuno.Namun, sebuah bayangan seraut wajah membuatnya terdiam. Dia mendudukkan tubuhnya, heran dengan pikirannya, mengapa tiba-tiba ingat dengan wajah gadis itu.“Helva Anriani,” gumamnya dengan kedua alis yang tertaut. “Sejak kapan aku bisa mengingat nama seseorang dalam sekali pertemuan, bahkan ingat namanya dengan lengkap,” katanya tak mengerti. “Astaga, sudahlah.”Dia bangkit dari kasurnya, jemarinya perlahan membuka satu persatu kancing kemeja, memamerkan perut kotak-kotak yang tercetak jelas. Sepertinya dia rajin olahraga. Steven melangkah ke kamar mandi, berguyur di bawah air shower yang mengalir deras sambil memejamkan matanya.Bay
“Gue bakal ingat nama dan wajah lo sebagai gantinya,” ujar Steven sambil memberikan buku pada Helva.Helva menatap buku di tangan Steven dengan raut wajah terkejut. Bagaimana bisa pria itu memegangnya kini padahal dia sama sekali tak lagi mengeluarkan bukunya, tetapi, apa yang telah dilakukan Steven.“Lo, pergilah, itu udah cukup,” kata Steven sambil berbalik membelakangi Helva yang terpaku pada bukunya, terdapat tanda tangan di atas tanda tangan Lisa, si dewi kematian.Harri Steven, Ekonomi.Hanya itu, tanpa embel-embel panggilannya sebagai pangeran, simple sekali.Desty dan Maria bergegas menghampiri Helva yang masih menatap nama Steven yang tertulis rapi di bukunya. Dia tidak tahu apa artinya.“Saya juga, ya,” suara bass seseorang terdengar, kemudian buku Helva sudah diambil alih, dia mengangkat wajahnya. “Helva, n
“Maaf, Kak, kami harus pergi, udah disuruh kumpul,” ujar Maria berusaha untuk tidak berurusan dengan Lisa. Tangan Maria dan Helva saling menggenggam.“Nggak semua itu. Lo kira gue mau? Jangan mimpi ya,” timpal Lisa garang yang membuat kedua gadis itu tak bisa membantah, hanya berharap dalam hati ada seseorang yang datang menyelamatkan.Namun, sepertinya itu hanya harapan kosong karena berikutnya salah satu teman Lisa mengambil paksa buku mereka lalu memberikannya pada gadis itu. Helva ingin protes rapi dibungkam salah satu dari mereka, pun dengan Maria.“Punya lo aman,” katanya setelah melihat buku Maria yang isi tanda tangannya berbeda dari Helva. Seringai Lisa muncul kala akhirnya dia mendapati satu tanda tangan yang dia cari. “Tapi lo … sayang,” ujarnya dengan dramatis lalu membubuhkan tanda tangan dengan tanda kematian di sana.Clalisa Mia, a
Suara riuh itu menggema di lapangan parkir kala sebuah mobil hitam berhenti dengan anggun. Dari kejauhan suara teriakan histeris para gadis nyaris memekakkan telinga, hanya satu orang yang terbengong-bengong melihat kehebihan itu.“Ada apaan, sih, berisik sekali?” tanyanya pada temannya, sepertinya tidak hanya dia yang tidak peduli pada histeria yang terjadi itu.Gadis dengan atribut yang rame itu tampak menoleh lalu mengedikkan bahunya, mengatakan kalau tidak tahu juga. Mereka adalah mahasiswi baru yang hendak melakukan ospek. Topi yang terbuat dari bola berbahan plastic dibelah dua lalu diikat dengan rapia. Tas dari karung goni dengan tali rapia berwarna pink untuk mahasiswi dan biru untuk pria. Mereka mengenakan baju hitam putih dengan dandan yang menggambarkan hewan, ada tikus, kucing, dan lainnya tergambar di wajah mereka. Sepasang sepatu yang berbeda, pun dengan kaos kaki yang berbeda pula.Histeria pad
Di sebuah rumah besar nan megah, seorang pria menatap pantulan dirinya di cermin. Tatapannya dingin dan ekspresinya datar. Dia mengenakan jam tangannya sebagai sentuhan yang terakhir kemudian berjalan menuju pintu dan keluar setelah membukanya perlahan.Berjalan dengan pelan, wajahnya tetap datar seolah minim ekspresi. Tidak ada yang dia lakukan selain berjalan dengan santai, menuruni anak tangga lalu menuju ke sebuah ruangan, di mana keluarganya sudah menunggu. Dia membuka pintu lalu masuk, menyapa para penghuni yang sudah menunggu kedatangannya.“Selamat pagi, Harri,” sapa seorang waita tua tetapi masih terlihat segar bugar dengan rambut yang memutih sebagian itu disanggul elegan.Harri Steven, nama pria itu. Dia hanya mengangguk sekilas tanpa memberikan senyuman, sungguh dia seolah tak punya urat senyum. Ekspresinya selalu datar dan dingin, semua orang di ruangan itu sudah tahu dan terbiasa karena ta