Home / Romansa / Dear Helva / 2. Tiga Pangeran

Share

2. Tiga Pangeran

Author: Syarah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Suara riuh itu menggema di lapangan parkir kala sebuah mobil hitam berhenti dengan anggun. Dari kejauhan suara teriakan histeris para gadis nyaris memekakkan telinga, hanya satu orang yang terbengong-bengong melihat kehebihan itu.

“Ada apaan, sih, berisik sekali?” tanyanya pada temannya, sepertinya tidak hanya dia yang tidak peduli pada histeria yang terjadi itu.

Gadis dengan atribut yang rame itu tampak menoleh lalu mengedikkan bahunya, mengatakan kalau tidak tahu juga. Mereka adalah mahasiswi baru yang hendak melakukan ospek. Topi yang terbuat dari bola berbahan plastic dibelah dua lalu diikat dengan rapia. Tas dari karung goni dengan tali rapia berwarna pink untuk mahasiswi dan biru untuk pria. Mereka mengenakan baju hitam putih dengan dandan yang menggambarkan hewan, ada tikus, kucing, dan lainnya tergambar di wajah mereka. Sepasang sepatu yang berbeda, pun dengan kaos kaki yang berbeda pula.

Histeria pada gadis semakin menjadi kala sang pengemudi keluar dari mobil sport itu. Tiga mobil dengan merk yang berbeda tapi berharga di atas mantastis, mungkin hanya kalangan sultan yang mampu memilikinya. Seorang pria keluar dari mobil berwarna merah, gayanya yang wah, semakin membuat para gadis menggila. Lihatlah stylis yang beranded dari ujung kaki hingga ujung rambut, semua ada ada harganya. Dia berjalan layaknya model dengan senyuman dan efek slowmotion.

“Namanya Martin,” ucap seorang teman gadis itu yang mau tak mau harus ikut memperhatikan karena Clara memaksanya, bahkan mengapit lengannya erat.

Lalu seorang pria dari mobil berwarna putih ikut kelur menyusul, histeria para gadis masih berlangsung. Pria ini tampak berbeda, tampilan yang sederhana tapi begitu memesona mampu memukau setiap yang melihatnya. Dia kemudian bergabung dengan temannya si pemilik mobil merah itu.  

“Itu Jody, cowok tercool yang pernah gue kenal. Wih, dia tampan sekali,” ceracau Clara yang ditanggapi malas oleh gadis itu.

Kemudian seorang pria juga ikut keluar dari mobil hitam mengkilatnya. Begitu turun dan mengenakan kacamata hitamnya. Gayanya tak jauh dari kedua temannya yang telah lebih dulu turun dan berjaan layaknya pangeran.

“Dia adalah Harri Steven, pamgeran di sini. Dia adalah pewaris seluruh kerajaan bisnis keluarganya. Dia memang punya gaya sendiri, tapi itulah pesonanya. Dia paling kaya di antra banyak orang di sini,” tukas Clara. Gadis itu hanya mengangguk saja masih malas untuk menanggapi.

Ketiga pria itu berjalan dengan tetap diiringi orkes histeria para mahasiswa lama maupun baru.

“Kamu sepertinya tahu banyak soal ini, hm?” komentarnya pada Clara.

“Tentu saja,” dia mengibaskan rambutnya dengan tangan. “Gue udah search sebelum memutuskan ke sini. Jurusan Ekonomi itu paling banyak diincar, yah, selain buat belajar, alasannya tentu saja tiga pangeran itu. Namun, pihak kampus menyeleski para calon mahasiswa baru yang masuk ke jurusan ini,” jelas Clara masih tetap mengapit lengan gadis itu.

Dia hanya ber-oh ria sambil menganggukkan kepalanya dan terdiam saat Clara menghentikan langkahnya, berdiri di hadapan gadis itu, memindai tampilannya dari atas hingga bawah seolah menilai setiap atribut yang melekat di tubuh gadis itu.

“Gue udah kenal baik Maria,” kata Clara sambil menunjuk gadis yang berdiri di sampingnya. Dia mengangguk. “Tapi gue baru kenal lo sejak ikut ospek aja. Lo dari keluarga mana, sih?” tanyanya. Mata gadis itu mengerjap, tiba-tiba saja jadi grogi.

Maria, gadis berambut sebahu yang tampak tenang itu sepertinya tahu apa maksud Clara.

“Udah, Ra, jangan menilainya, kita udah berjanji jadi teman sejak saling kenal,” tegurnya.

“Iya, gue tahu, sih. Tapi gue penasaran karena dia tampak asing.”

“Namanya juga orang baru, pasti asing. Udah, jangan bikin dia gak nyaman.”

“Oke, oke,” sahut Clara sambil mendesah kesal pada Maria. Gadis itu berusaha tersenyum dan menyampaikan terima kasihnya lewat tatapan. “Helvariani, lo gadis sederhana yang pernah gue kenal,” kata Clara masih tetap memperhatikan gadis itu yang namanya adalah Helva.

Helva tersenyum kecil.

“Lo juga banyak rahasia, jadi lo pengecualian buat gue jadiin teman,” tambahnya. Helva mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada Clara karena mau berteman dengannya.

Helva bukannya tidak tahu kalau kampus itu banyak dari kalangan elit, sama halnya dengan Maria dan Clara, tapi dia memutuskan untuk tetap diam hingga waktunya tiba untuk mereka tahu seperti apakah keluarganya. Sekarang ini, dia hanya ingin fokus pada pendidikannya demi membantu keluarganya. Sebenarnya, Helva tidak ingin masuk ke kampus ini dan telah memilih kampus lain, tetapi pengumuman mengatakan dia di terima di sini, bukan di kampus pilihannya.

Dia menarik napas dalam, berusaha untuk tetap bertahan dengan apa pun yag terjadi. Dia tidak bermaksud untuk merahasiakan latar belakangnya, yang penting bisa kuliah, itu cukup.

***

Para peserta OSPEK tengah duduk di lapangan, berkumpul bersama dengan para panitia yang berada di depan mereka. Seorang pria dengan rambut yang agak panjang maju ke depan untuk menyampaikan sesuatu. Dia adalah Handi, sang ketua panitia yang juga merupakan anggota BEM. Dari yang Helva dengar, dia adalah Ketua BEM.

“Oke. Ini adalah hari terakhir kita menjalani OSPEK. Jadi, kami akan menugaskan kalian untuk mendapat minimal lima tanda tangan senior, siapa pun itu. Peserta yang mendapatkan tanda tangan terbanyak akan mendapatkan hadiah!” katanya yang disambut oleh para peserta dengan seruan riuh.

“Kalian sepertinya lebih bersemangat. Oke, kita akan beri waktu dua puluh menit untuk dapat tanda tangan. Siapa yang dapat terbanyak akan mendapat hadiah, ingat itu!” katanya lagi sambil menggunakan TOA.

Ada sekitar lima puluh peserta di jurusan ekonomi, makanya dia berkoar-koar dengan suara keras.

“Setelah hitungan ketiga, kalian bubar, oke?”

“Oke!” seru para peserta atusias. Handi tertawa lalu berhitung hingga tingga.

“Oh iya, sebagai tambahan, kalian juga boleh minta tanda tangan panitia, dan dari jurrusan manapun. Tapi ingat, hanya mahasiwa, bukan dosen atau sejeisnya, dan lagi para senior, ya, bukan yang baru saja masuk,” jelas Handi lagi yang diiyakan para peserta.

“Oke, kita mulai. Satu … dua … tiga!” teriak Handi membuat para peserta spontan membubarkan diri, bahkan ada yang tertabrak pula.

Helva berusaha untuk bangun saat seseorang entah dengan sengaja atau tidak menabraknya sehingga dia terduduk kembali. Tapi meski begitu, dia tidak memaki siapa yang sudah membuatnya begitu. Bangun lagi dengan sabar, menepuk pundakanya.

“Eh, lo, kok, masih di sini?” tegur seorang mahasiswi. “Ayo buruan lari! Waktunya nggak banyak!” tegasnya.

Mau tak mau Helva harus berlari secepat mungkin, setidaknya menjauh dari kumpulan para panitia itu. Dia tahu siapa yang barusan menegurnya, sosok yang memiliki kekuasaan.

Pandangannya mengedar, di beberapa area terdapat beberapa peserta yang sedang meminta para senior untuk tanda tangan. Para senior tampak dikerubungi, hampir semuanya. Helva menghela napas lalu membungkuk untuk mengusap lututnya yang terasa perih, rupanya dia terluka, ada sedikit darah di lututnya.

“Kenapa kamu nggak hati-hati,” ujar sebuah suara. Helva mengangkat wajahnya. “Sini, kuobati,” lanjutnya kemudian berjongkok.

Helva meringis saat sebuah kapas yang telah dibasahi oleh air pembersih luka menyentuh lututnya yang berdarah.

“Tahan sebentar. Nah, selesai,” katanya sambil mendongakkan wajah untuk melihat Helva yang berdiri.

Seulas senyuman yang tersunging di wajah itu membuatnya tak segarang yang orang katakan. Pria  itu tampak selalu menawan bagaimanapun, selalu punya cara sendiri mengejutkan, pantas saja terpilih jadi pemimpin eksekusi mahasiswa.

“Kok, bengog?” pria itu mengibaskan tangannya di depan wajah Helva yang terdiam. “Lukanya akan baik-baik saja, kok, jangan khawatir akan infeksi,” jelasnya. Saat itulah Helva tersadar.

“Terima kasih, kak,” ucap Helva.

“Lain kali hati-hati. Sini bukumu, biar kutandatangan,” katanya sambil menadahkan tangan pada Helvi yang masih terdiam.

Pria itu tersenyum lalu mengambil buku catatan di tangan Helva tanpa permisi, bahkan membubuhkan tanda tangan tanpa seizin gadis itu.

Handi, fakultas kedokteran, ketua panitian dan ketua BEM.

Begitulah tulisan dibawah tanda tangan yang tampak sederhana itu. Handi tersenyum pada Helva lalu memberikan buku itu padanya.

“Terima kasih, Kak,” ucap Helva sambil menunduk.

“Ya.” Handi menjawab.

“Astaga, lo ngapain di sini, sih, Di?” suara seorang gadis terdengar disusul kemunculannya dengan beberapa orang.

Seorang gadis yang tampak modis dengan jas almamater membungkus tubuh indahnya. Rambut panjang yang digerai dengan ujung yang ikal, polesan make up yang terlihat begitu khas, eye shadow hitam yang menghiasi matanya itu tampak menakutkan membuat sosoknya ditakuti.

“Eh, lo, ngapain di sini?” tanyanya sinis pada Helva.

Gadis itu hanya diam.

“Udah, sana pergi kalo nggak mau gue tanda tangan!” gertaknya membuat Helva terkesiap.

“Lo ngapain, sih, jangan nakutin,” tegur Handi.

“Eh, lo belain dia, ya? ngapain, sih, lo, Di?” tanyanya.

Handi tak menggubrisnya dan menyuruh Helva untuk pergi saja, setelah gadis itu pergi, Handi kini pergi meninggalkan gadis itu bersama dua temannya. Kepergian Handi membuatnya kesal, merasa di acuhkan. Dia lalu menatap kepergian Helva dengan sorot yang menakutkan seolah bersiap untuk membuat pembalasan.

***

Dua puluh menit berlalu bertepatan dengan waktu istirahat. Para panitia memutuskan untuk memeriksa hasilnya setelah istirahat saja dengan alasan kalau mereka lapar, padahal, kerjaan mereka juga tak begitu berat dan sibuk. Ckck.

“Lo dapat berapa, Hel?” tanya Clara.

“Nggak tahu. Coba kulihat,” jawab Helva sambil mengeluarkan bukunya dari tas karung goni. “Aku pas dapat lima,” aku Helva setelah menghitung jumlah tanda tangan yang dia dapatkan.

“Cob ague lihat. Kok, dikit amat, sih, Hel?”

“Yah, kan, minimal lima.”

“Yelah, lo gak ngusahain banget sih buat dapat banyak dan dapat hadiah.”

“Aku nggak tertarik.”

“Makanya, cari yang bener, dong, gue aja dapat sepuluh. Dapat tanda tangan nggak susah amat, kok,” terang Clara.

Helva hanya mengedikan bahunya. Dia hanya mencari senior yang tidak banyak di kerubuti para mahasiswa baru yang sedang OSPEK itu. Siapa yang menyangka bila Handi justru yang pertama memberikan tanda tangannya.

“Kok ada Kak Handi? Lo minta?” tuding Clara. Helva dengan cepat menggeleng. “Terus ini apa?”

“Aku nggak tahu karena dia sendiri yang tanda tangan tanpa aku mintai, bahkan tanpa izin juga,” jelas Helva. “Kenapa memangnya? Dia kan senior juga?”

“Nggak apa-apa, sih, tapi buat dapat tanda tangan dia itu nggak mudah, Hel. Gue harus akui, lo beruntung. Itu pujian,” kata Clara. Helva hanya menganggukkan kepalanya.

Perharian Clara tertuju pada sosok mahasiswi yang tadi bertemu Helva yang matanya tampak hitam itu, dia tampak menjauh dari kantin.

“Eh, lo jangan sampai dapat tanda tangan dia, ya,” bisik Clara sambil menunjuk gadis itu bersama dua temannya yang tampak centik dan bosy.

“Kenapa memangnya?”

“Lo mau mati?” Clara berkata tegas. “Dengar ya, dia itu punya panggilan dewi kematian, di mana dia suka sekali mengganggu para juniornya hanya untuk di permainkan. Sekali lo bikin dia kesel, jangan harap bisa berteman dengan yang lain, sebab, dia selalu ngancam siapa pun yang berteman dengan si korban, temannya itu bakal kena getahnya,” terang Clara.

Helva mengerjapkan matanya, ngeri sekali mendengar ceritanya. Apakah segitunya gadis itu?

“Memangnya dia siapa sampai berani lakuin itu? Bukankah kita di sini tujuannya sama, mengenyam pendidikan tingkat tinggi untuk bekal masa depan nanti?” tanya Helva polos.

“Lo naïf amat, sih, Hel. Asal lo tahu aja, ibunya adalah anggota dewan di kampus kita, ayahnya juga dewan parelemen selain seorang pengusaha, sekali lo ganggu dia, jangan harap bisa kembali lagi ke kampus.”

“Sadis amat, sih.”

“Bukan sadis lagi, Hel. Dia suka sekali ngutilin Kak Handi, ketua panitia sekaligus ketua BEM, kabarnya Kak Handi yang gak suka sama dia karena tingkahnya yang angkuh dan sombong serta suka mengganggu para mahasiswa.”

Helva hanya diam menyimak penjelasan Clara. Maria sendiri tampak santai saja seolah sudah tahu. Mungkin, hanya Helva sendiri yang tak tahu banyak tentang kampusnya. Dia hanya ingin menuntut ilmu, itu saja tak peduli dengan masa yang indah itu. Dalam pikirannya hanya ada ibunya dan bagaimana cara untuk membuatnya bahagia serta menjadi kakak yang baik untuk adiknya.

“Oh iya, lo harus tahu namanya selain dewi kematian, Clalisa Mia, atau Lisa, dia berdarah campuran. Sekalipun lo jangan pernah manggil namanya kalau lo mau selamat dunia akhirat.”

Baik Helva dan Maria hanya menanggapinya dengan malas. Yah, penampilan gadis itu cukup menjadi ciri khas sebagai dewi kematian. Helva dapat tanda tangan dari Handi saja sudah cukup, empat lainnya dari fakultas yang berbeda. Dua dari fakultas Farmasi, satu dari Handi, fakultas kedokteran, dua dari fakutas Seni, sudah, itu saja, pun berbeda dari kebanyak peserta lain yang menargetkan incaran.

“Bentar lagi masuk, aku ke toilet dulu, ya, Ra,” ujar Maria begitu makanan mereka habis dan Clara tak lagi bicara tentang para senior.

“Aku ikut juga, Ria, mau ke toilet,” kata Helva.

“Lah, gue gimana dong?” Clara memberengut.

“Ikut aja kalo mau,” ajak Helva.

“Ogah. Udih, sono aja ke toilet bareng. Buruan, ntar keburu masuk, kena hukuman baru tahu!”

“Iya, iya, tunggu aja di lapangan,” balas Maria. Clara mengangguk lalu mereka berpisah, jalannya berlawanan.

Maria dan Helva baru saja keluar dari toilet dan berjalan menuju lapangan di mana para peserta sedang berkumpul. Namun, begitu berbelok di lorong menuju lapang, mereka malah dicegat dua mahasiswa senior, dari belakang keduanya muncul Lisa dengan wajah datarnya menatap tajam Helva.

“Maaf, kak, permisi,” ucap Helva tidak ingin berurusan dengan Lisa.

Lisa tertawa. “ Lo pikir semudah itu, heh? Sialan banget jadi cewek,” gertaknya. Helva tak gentar, dia merasa tak punya salah apa pun pada Lisa kenapa dia mengganggunya.

Tapi, sepertinya memang tak semudah itu untuk melewati Lisa tanpa sesuatu yang terjadi. Dia baru akan puas bila sudah melancarkan aksinya untuk menunjukkan bagaimana menjadi seorang dewi kematian. Seringai mengerikan hadir di wajah cantik Lisa membuat Helva dan Maria bergeming, menyadari apa yang akan dilakukan gadis dengan julukan mengerikan itu.

***

Terima kasih sudah baca, semoga suka.

Related chapters

  • Dear Helva   3. Tanda Tangan Dewi Kematian.

    “Maaf, Kak, kami harus pergi, udah disuruh kumpul,” ujar Maria berusaha untuk tidak berurusan dengan Lisa. Tangan Maria dan Helva saling menggenggam.“Nggak semua itu. Lo kira gue mau? Jangan mimpi ya,” timpal Lisa garang yang membuat kedua gadis itu tak bisa membantah, hanya berharap dalam hati ada seseorang yang datang menyelamatkan.Namun, sepertinya itu hanya harapan kosong karena berikutnya salah satu teman Lisa mengambil paksa buku mereka lalu memberikannya pada gadis itu. Helva ingin protes rapi dibungkam salah satu dari mereka, pun dengan Maria.“Punya lo aman,” katanya setelah melihat buku Maria yang isi tanda tangannya berbeda dari Helva. Seringai Lisa muncul kala akhirnya dia mendapati satu tanda tangan yang dia cari. “Tapi lo … sayang,” ujarnya dengan dramatis lalu membubuhkan tanda tangan dengan tanda kematian di sana.Clalisa Mia, a

  • Dear Helva   4. Sang Penyelamat.

    “Gue bakal ingat nama dan wajah lo sebagai gantinya,” ujar Steven sambil memberikan buku pada Helva.Helva menatap buku di tangan Steven dengan raut wajah terkejut. Bagaimana bisa pria itu memegangnya kini padahal dia sama sekali tak lagi mengeluarkan bukunya, tetapi, apa yang telah dilakukan Steven.“Lo, pergilah, itu udah cukup,” kata Steven sambil berbalik membelakangi Helva yang terpaku pada bukunya, terdapat tanda tangan di atas tanda tangan Lisa, si dewi kematian.Harri Steven, Ekonomi.Hanya itu, tanpa embel-embel panggilannya sebagai pangeran, simple sekali.Desty dan Maria bergegas menghampiri Helva yang masih menatap nama Steven yang tertulis rapi di bukunya. Dia tidak tahu apa artinya.“Saya juga, ya,” suara bass seseorang terdengar, kemudian buku Helva sudah diambil alih, dia mengangkat wajahnya. “Helva, n

  • Dear Helva   5. Di Balik Surat Wasiat

    Steven membaringkan tubuhnya di kasur, pandangannya tertuju pada langit-langit kamar. Dia tak menggubris ketukan di pintu, hanya nggan meneruskan percakapan yang menurutnya tak penting, hanya akan membuatnya bimbang. Dia tidak terima, jelaslah, menurutnya, sistem perjodohan itu terlalu kuno.Namun, sebuah bayangan seraut wajah membuatnya terdiam. Dia mendudukkan tubuhnya, heran dengan pikirannya, mengapa tiba-tiba ingat dengan wajah gadis itu.“Helva Anriani,” gumamnya dengan kedua alis yang tertaut. “Sejak kapan aku bisa mengingat nama seseorang dalam sekali pertemuan, bahkan ingat namanya dengan lengkap,” katanya tak mengerti. “Astaga, sudahlah.”Dia bangkit dari kasurnya, jemarinya perlahan membuka satu persatu kancing kemeja, memamerkan perut kotak-kotak yang tercetak jelas. Sepertinya dia rajin olahraga. Steven melangkah ke kamar mandi, berguyur di bawah air shower yang mengalir deras sambil memejamkan matanya.Bay

  • Dear Helva   6.Perjodohan

    Helva baru saja keluar dari kamarnya untuk makan malam. Sang ibu sedang sibuk di bawah, melayani pengunjung yang hedak makan di rumah makan sederhananya. Setidaknya mereka bisa bertahan hidup dengan itu. Biasanya Helva juga suka membantu, tapi hari ini ibu meminta untuk istirahat saja karena ada yang ingin disampaikan. Dia adalah gadis rajin dan sederhana. Usai makan dia mencuci bekasnya sendiri, membereskan apa pun sebagai pengusir bosan meski kenyataannya rumah itu selalu dalam keadaan rapi dan bersih. Senyuman hadir begitu menatap sebuah bingkai yang tergantung di dinding. “Ayah, aku rindu,” ucapnya pelan. Foto itu telah lama tergantung, saat Helva masih terbilang anak-anak, bahkan adiknya masih kecil saat itu. Ada kakek dan nenek juga di bingkai yang tergantung, saat bahagia yang dia rasakan. Perlahan, air matanya turun lewat sudut pelupuk, menetes ke tangannya. Siapa yang tidak merindukan keluarga yang lengkap? Usia sepulu

  • Dear Helva   7. Kesempatan

    Bukannya merespon dengan senang atas perkataan ibunya kalau dia bisa saja menolak. Apa yang membuat Helva diam adalah raut wajah sang ibu yang terlihat begitu mendung seolah menyimpan kesedihan yang mendalam. Helva kemudian berpikir, apakah ada sesuatu yang tak disampaikan ibunya selain perjodohan? Jujur, dia sama sekali belum siap terikat dengan siapa pun, dan ibunya pasti tahu itu. Dia hanya ingin fokus pada study dan mimpinya tanpa harus terikat dengan siapa pun. “Maafkan aku, Ma. Aku, sungguh tidak bisa menerima ini,” ungkap Helva akhirnya. Dia tak bisa mengambil keputusan hanya karena ada sebuah cerita rahasia di balik perjodohan itu. Heni menatapnya, menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum kemudian keedua tangannya meraih tangan Helva, menggenggam dan mengusapnya lembut, menyalurkan kasih sayangnya pada anak sulung. “Tidak apa-apa, Mama mengerti, Helva. Itu pilihanmu, jadi jangan merasa terbebani. Mama hanya menyampaikan apa yan

  • Dear Helva   1. Rencana Oma

    Di sebuah rumah besar nan megah, seorang pria menatap pantulan dirinya di cermin. Tatapannya dingin dan ekspresinya datar. Dia mengenakan jam tangannya sebagai sentuhan yang terakhir kemudian berjalan menuju pintu dan keluar setelah membukanya perlahan.Berjalan dengan pelan, wajahnya tetap datar seolah minim ekspresi. Tidak ada yang dia lakukan selain berjalan dengan santai, menuruni anak tangga lalu menuju ke sebuah ruangan, di mana keluarganya sudah menunggu. Dia membuka pintu lalu masuk, menyapa para penghuni yang sudah menunggu kedatangannya.“Selamat pagi, Harri,” sapa seorang waita tua tetapi masih terlihat segar bugar dengan rambut yang memutih sebagian itu disanggul elegan.Harri Steven, nama pria itu. Dia hanya mengangguk sekilas tanpa memberikan senyuman, sungguh dia seolah tak punya urat senyum. Ekspresinya selalu datar dan dingin, semua orang di ruangan itu sudah tahu dan terbiasa karena ta

Latest chapter

  • Dear Helva   7. Kesempatan

    Bukannya merespon dengan senang atas perkataan ibunya kalau dia bisa saja menolak. Apa yang membuat Helva diam adalah raut wajah sang ibu yang terlihat begitu mendung seolah menyimpan kesedihan yang mendalam. Helva kemudian berpikir, apakah ada sesuatu yang tak disampaikan ibunya selain perjodohan? Jujur, dia sama sekali belum siap terikat dengan siapa pun, dan ibunya pasti tahu itu. Dia hanya ingin fokus pada study dan mimpinya tanpa harus terikat dengan siapa pun. “Maafkan aku, Ma. Aku, sungguh tidak bisa menerima ini,” ungkap Helva akhirnya. Dia tak bisa mengambil keputusan hanya karena ada sebuah cerita rahasia di balik perjodohan itu. Heni menatapnya, menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum kemudian keedua tangannya meraih tangan Helva, menggenggam dan mengusapnya lembut, menyalurkan kasih sayangnya pada anak sulung. “Tidak apa-apa, Mama mengerti, Helva. Itu pilihanmu, jadi jangan merasa terbebani. Mama hanya menyampaikan apa yan

  • Dear Helva   6.Perjodohan

    Helva baru saja keluar dari kamarnya untuk makan malam. Sang ibu sedang sibuk di bawah, melayani pengunjung yang hedak makan di rumah makan sederhananya. Setidaknya mereka bisa bertahan hidup dengan itu. Biasanya Helva juga suka membantu, tapi hari ini ibu meminta untuk istirahat saja karena ada yang ingin disampaikan. Dia adalah gadis rajin dan sederhana. Usai makan dia mencuci bekasnya sendiri, membereskan apa pun sebagai pengusir bosan meski kenyataannya rumah itu selalu dalam keadaan rapi dan bersih. Senyuman hadir begitu menatap sebuah bingkai yang tergantung di dinding. “Ayah, aku rindu,” ucapnya pelan. Foto itu telah lama tergantung, saat Helva masih terbilang anak-anak, bahkan adiknya masih kecil saat itu. Ada kakek dan nenek juga di bingkai yang tergantung, saat bahagia yang dia rasakan. Perlahan, air matanya turun lewat sudut pelupuk, menetes ke tangannya. Siapa yang tidak merindukan keluarga yang lengkap? Usia sepulu

  • Dear Helva   5. Di Balik Surat Wasiat

    Steven membaringkan tubuhnya di kasur, pandangannya tertuju pada langit-langit kamar. Dia tak menggubris ketukan di pintu, hanya nggan meneruskan percakapan yang menurutnya tak penting, hanya akan membuatnya bimbang. Dia tidak terima, jelaslah, menurutnya, sistem perjodohan itu terlalu kuno.Namun, sebuah bayangan seraut wajah membuatnya terdiam. Dia mendudukkan tubuhnya, heran dengan pikirannya, mengapa tiba-tiba ingat dengan wajah gadis itu.“Helva Anriani,” gumamnya dengan kedua alis yang tertaut. “Sejak kapan aku bisa mengingat nama seseorang dalam sekali pertemuan, bahkan ingat namanya dengan lengkap,” katanya tak mengerti. “Astaga, sudahlah.”Dia bangkit dari kasurnya, jemarinya perlahan membuka satu persatu kancing kemeja, memamerkan perut kotak-kotak yang tercetak jelas. Sepertinya dia rajin olahraga. Steven melangkah ke kamar mandi, berguyur di bawah air shower yang mengalir deras sambil memejamkan matanya.Bay

  • Dear Helva   4. Sang Penyelamat.

    “Gue bakal ingat nama dan wajah lo sebagai gantinya,” ujar Steven sambil memberikan buku pada Helva.Helva menatap buku di tangan Steven dengan raut wajah terkejut. Bagaimana bisa pria itu memegangnya kini padahal dia sama sekali tak lagi mengeluarkan bukunya, tetapi, apa yang telah dilakukan Steven.“Lo, pergilah, itu udah cukup,” kata Steven sambil berbalik membelakangi Helva yang terpaku pada bukunya, terdapat tanda tangan di atas tanda tangan Lisa, si dewi kematian.Harri Steven, Ekonomi.Hanya itu, tanpa embel-embel panggilannya sebagai pangeran, simple sekali.Desty dan Maria bergegas menghampiri Helva yang masih menatap nama Steven yang tertulis rapi di bukunya. Dia tidak tahu apa artinya.“Saya juga, ya,” suara bass seseorang terdengar, kemudian buku Helva sudah diambil alih, dia mengangkat wajahnya. “Helva, n

  • Dear Helva   3. Tanda Tangan Dewi Kematian.

    “Maaf, Kak, kami harus pergi, udah disuruh kumpul,” ujar Maria berusaha untuk tidak berurusan dengan Lisa. Tangan Maria dan Helva saling menggenggam.“Nggak semua itu. Lo kira gue mau? Jangan mimpi ya,” timpal Lisa garang yang membuat kedua gadis itu tak bisa membantah, hanya berharap dalam hati ada seseorang yang datang menyelamatkan.Namun, sepertinya itu hanya harapan kosong karena berikutnya salah satu teman Lisa mengambil paksa buku mereka lalu memberikannya pada gadis itu. Helva ingin protes rapi dibungkam salah satu dari mereka, pun dengan Maria.“Punya lo aman,” katanya setelah melihat buku Maria yang isi tanda tangannya berbeda dari Helva. Seringai Lisa muncul kala akhirnya dia mendapati satu tanda tangan yang dia cari. “Tapi lo … sayang,” ujarnya dengan dramatis lalu membubuhkan tanda tangan dengan tanda kematian di sana.Clalisa Mia, a

  • Dear Helva   2. Tiga Pangeran

    Suara riuh itu menggema di lapangan parkir kala sebuah mobil hitam berhenti dengan anggun. Dari kejauhan suara teriakan histeris para gadis nyaris memekakkan telinga, hanya satu orang yang terbengong-bengong melihat kehebihan itu.“Ada apaan, sih, berisik sekali?” tanyanya pada temannya, sepertinya tidak hanya dia yang tidak peduli pada histeria yang terjadi itu.Gadis dengan atribut yang rame itu tampak menoleh lalu mengedikkan bahunya, mengatakan kalau tidak tahu juga. Mereka adalah mahasiswi baru yang hendak melakukan ospek. Topi yang terbuat dari bola berbahan plastic dibelah dua lalu diikat dengan rapia. Tas dari karung goni dengan tali rapia berwarna pink untuk mahasiswi dan biru untuk pria. Mereka mengenakan baju hitam putih dengan dandan yang menggambarkan hewan, ada tikus, kucing, dan lainnya tergambar di wajah mereka. Sepasang sepatu yang berbeda, pun dengan kaos kaki yang berbeda pula.Histeria pad

  • Dear Helva   1. Rencana Oma

    Di sebuah rumah besar nan megah, seorang pria menatap pantulan dirinya di cermin. Tatapannya dingin dan ekspresinya datar. Dia mengenakan jam tangannya sebagai sentuhan yang terakhir kemudian berjalan menuju pintu dan keluar setelah membukanya perlahan.Berjalan dengan pelan, wajahnya tetap datar seolah minim ekspresi. Tidak ada yang dia lakukan selain berjalan dengan santai, menuruni anak tangga lalu menuju ke sebuah ruangan, di mana keluarganya sudah menunggu. Dia membuka pintu lalu masuk, menyapa para penghuni yang sudah menunggu kedatangannya.“Selamat pagi, Harri,” sapa seorang waita tua tetapi masih terlihat segar bugar dengan rambut yang memutih sebagian itu disanggul elegan.Harri Steven, nama pria itu. Dia hanya mengangguk sekilas tanpa memberikan senyuman, sungguh dia seolah tak punya urat senyum. Ekspresinya selalu datar dan dingin, semua orang di ruangan itu sudah tahu dan terbiasa karena ta

DMCA.com Protection Status