Sinar matahari menelisik melalui celah di jendela kamar Akira. Matanya mengerjap dan menguap sambil meregangkan otot. Sinar matahari pagi itu terasa hangat ke sekujur tubuhnya. Meraih ponsel, satu pesan masuk di grup redaksi.
"Ah ... pasti disuruh lanjutkan kemarin" gumam gadis itu tersenyum bangga.
Adrenalinnya berpacu kuat saat berada di lokasi insiden. Ia bergidik ngeri saat mengingat peristiwa tempo hari. Darah berceceran di lantai toko yang dirampok. Rupanya itu darah pemilik toko yang berusaha mempertahankan hartanya dari para perampok.
Dengan tangan kosong, korban menghalau 5 orang pria dewasa yang memaksa masuk untuk mengambil semua emas dan uang yang ada di brangkas. Bahkan tak segan menebaskan dan menusuk dengan senjata tajamnya hingga sang pemilik toko meregang nyawa.
"Hiih ... Naudzubillah!"
Bergegas ia mandi dan mempersiapkan perlengkapannya. Mengenakan kaos hijau army selutut, dan jilbab hitam terjulur menutup dada. Jaket favorit tak lupa selalu dibawanya, serta tas yang sengaja diselempangkan. Bergegas Ira melangkah keluar kamar, sembari menyapa penghuni kos yang ditemui.
"Assalamualaikum ibu,"
"Ira berangkat dulu yah," ucapnya kepada Romlah ibu pemilik kos.
"Walaikumsalam hati-hati yah nak," jawabnya sembari tersenyum.
"Kriukks ...," suara perut yang mulai protes minta diisi, membuatnya harus singgah dulu di warung depan kos.
Nasib anak kos untuk urusan perut selalu di warung. Terkadang rasa rindu kampung halaman kerap muncul di saat - saat seperti ini. Maklum, kangen masakan ibu yang sudah lama tak dicicipinya."Nasi kuning dan teh hangatnya satu, Cil!" teriaknya pada ibu pemilik warung.
"Ashiap, Mbak Ira!" jawabnya dengan ekspresi lucu.
"Katanya ada perampokan toko emas ya, kemaren, Mbak Ira?" tanya wanita itu saat mengantarkan pesanan Akira.
"Iya, Bu, tahu dari mana?" sahutnya.
"Itu ... Mas-mas di pangkalan ojek lagi heboh baca koran hari ini!"
"Oo .... "
Gadis itu hanya menanggapi dengan anggukan. Dirinya yang sedang asik menikmati sarapan, tak ingin membahas masalah berita. Setelah menandaskan segelas teh manis hangat, ia segera membayar dan berlalu.
Gadis itu berangkat menuju kantor menggunakan sepeda motor kesayangannya. Sengaja ia paku kendaraannya dengan santai. Karena, waktu yang masih menunjukan pukul 6.30 pagi.
Krakk!
Tiba-tiba terdengar suara aneh dari motornya. Merasa ada yang tidak beres, Ira pun berusaha menepikan kendaraan.
"Nah loh, kenapa rem motorku"
"Waduh gawat ini. Remnya blong," ucapnya panik.
Beruntung, kondisi jalan sedang sepi. Sehingga dengan mudah ia menghentikan kendaraan di pinggir trotoar. Sambil mengarahkan pandangannya ke kiri dan kanan, Ira terus mendorong kendaraannya menuju arah kantor. Tak berselang lama, terlihat sebuah bengkel.
"Ahh, untung saja ada bengkel yang buka cepat," ucapnya.Ia segera mendorong sepeda motornya ke arah bengkel.
"Wah ... ini sih, baut remnya lepas, Mbak. Makanya nggak bisa di rem," ucap montir bengkel itu.
"Hah, kok bisa? Padahal kemaren baru saja saya bawa servis ke bengkel. Saya pakai seharian juga tak ada masalah. Ya sudah, tolong cek saja, Mas. Bannya juga tambah angin, yah!" ujarnya.
Menatap jam, sudah pukul 7.50. Rasanya tidak mungkin bila menunggu hingga motornya selesai diperbaiki. Tak ingin terlambat, Ira pun menitipkan kendaraannya dan berjanji mengambilnya saat pulang kerja. Ia bergegas menuju kantor, meski harus berjalan kaki.
"Kalau telat bisa potong gaji lagi, nih. Ah jalan saja, sambil olah raga pagi," gumamnya sembari memberi semangat dirinya.
Hanya beberapa langkah, dari jauh terlihat Meta yang juga hendak pergi ke kantor.
"Hai cewek, mau kemana pagi-pagi? Ayo sini, aku bonceng!" sapa Meta sambil terkikik.
"Iya nih, pagi-pagi ada saja ujiannya. Terpaksa si merah harus masuk bengkel lagi," katanya.
"Lho, padahal kemarin kan baru masuk bengkel, Ra?" tanya Meta heran.
"Iya. Semalam juga aku pakai aman-aman saja. Tapi pagi tadi, remnya langsung blong. Aneh, 'kan?" ucapnya lagi.
Sembari berbincang, keduanya langsung memacu kendaraan menuju kantor. Tiba di kantor, mereka disambut petugas keamanan.
"Selamat pagi, Mbak-mbak cantik!"
"Assalamualaikum, Pak Mail!" ucap keduanya.
"Waalaikumsalam."
"Beritanya ngeri, Mbak Ira. Saya sudah baca, sadis banget perampoknya," kata lelaki paruh baya itu.
"Iya, Pak Mail," jawabnya sopan sambil berlalu.
Memasuki ruangan nampak beberapa karyawan yang sedang santai sambil membaca koran, menyapa keduanya dengan ramah.
Saat tiba di ruang redaksi, Ramdan sang direktur, tengah duduk dengan beberapa koran terbitan media berbeda. Sejumlah koran itu diletakan di atas meja berukuran 4×2 meter dengan beberapa kursi di setiap titik."Berita kamu trending, Ra, dimuat di semua harian lokal."
"Wah ... serius, Pak?" tanya Akira dan Meta bersamaan.
"Iya, bahkan dimuat di televisi nasional," jawabnya datar.
Dalam hati dirinya sangat senang dengan pencapaian itu. Jika tak punya malu, rasanya ingin berteriak dan berjingkrak saat mendengar kabar itu. Apalagi, jarang- jarang beritanya bisa ramai dan diterbitkan banyak media.
"Jadi, tugas kamu sekarang adalah mendatangi kembali keluarga korban dan cari keterangan apa saja yang bisa dibuat berita!"
"Siap, Pak. Tapi ...," jawabnya ragu.
"Tapi kenapa?"
"Anu pak ...," ucapnya sembari menunduk.
"Motornya di bengkel, Bos. Remnya blong," ucap Meta memotong percakapan.
"Benar itu, Ra ?" tanya Ramdan lagi.
"Iya, Pak. Saya juga heran kenapa bisa begitu, yah? Padahal, sehari sebelumnya saya sudah bawa ke bengkel. Saat dicek semua bagus. Eh tadi pagi malah blong," kata Ira.
"Tadi malam, saya juga diserempet orang, Pak. Untungnya nggak sampai jatuh. Saya teriakin orangnya langsung kabur," tambahnya.
"Apa kamu sempat melihat orangnya, Ra?"
"Nggak, Pak. Dia pake helm sama jaket. Saya hanya sempat melihat motornya yang nggak pakai plat nomor," beber Ira.
Mendengar penjelasan Ira, sejenak Ramdan termenung sembari berpikir. Apakah yang menimpa anak buahnya itu, ada kaitannya dengan kasus perampokan atau tidak? Jika benar, maka ia harus menjaga Ira agar tidak menjadi sasaran kaki tangan perampok yang masih dalam Daftar Pencarian Orang polisi.
"Hmm ... kalau begitu kamu liputan sama saya aja!" kata Ramdan sambil berlalu.
"Haa?" ucap kedua gadis itu terkejut.
Keduanya kemudian kembali ke meja masing-masing. Disela-sela mempersiapkan peralatan liputan, mereka masih tidak percaya jika sang pimpinan tiba-tiba mau ikut menemani liputan. Padahal sejak menjabat sebagai direktur utama, Ramdan sangat jarang berbicara dengan bawahannya. Itu sebabnya, banyak karyawan yang mengganggap jika sikap Ramdan tak ramah.
"Aneh yah, kok pak ganteng mau temani kamu liputan, Ra. Jangan-jangan ada udang di balik batu nih, cie-cie ...," ledek Meta.
"Aiss, Mbak ini. Jangan begitu, mungkin saja beliau memang penasaran sama kasus ini. Apalagi kasusnya 'kan sadis, Mbak. Terus komplotan perampok yang lain masih ada yang berkeliaran," katanya.
"Ya wes, lah. Yang penting kamu ada yang temenin liputan. Siapa tahu, dari liputan ini bisa berlanjut ... hahaha!" ucap Meta menyeracau sambil berlalu meninggalkan Ira yang kini menunggu Ramdan di ruang depan kantor.
To be continued ...
By : Ana'na Bennu
Akira menatap jam di pergelangan tangan menunjukan pukul delapan. Namun, Ramdan tak kunjung keluar dari ruang kerjanya. Padahal rencananya, pria tampan itu akan menemani Akira melanjutkan liputan terkait kasus perampokan toko emas. "Waduh, kalau begini ... bisa siang selesai liputannya. Mana sih, bos besar ini? Bisa mati berdiri saya, karena menunggu," gumamnya sambil melanjutkan melihat gawainya. Sedang asik jari-jemari lentik Akira memainkan gawai, tak sadar jika pria yang dinanti sudah berdiri di belakang kursinya. "Hmm ...." "Ayo berangkat!" ajak Ramdan yang kemudian pergi keluar menuju arah parkir kendaraannya.
"Heh bangun, Ra, udah sampai!" perintah Ramdan sambil memukulkan botol kemasan air mineral miliknya ke arah gadis yang hobi tidur itu. "Hah!" Wanita itu bangun, matanya sedikit memerah, sembari mengucek mata dengan kasar—ia pandangi sekitar dan melihat bosnya sudah berjalan menuju sebuah warung makan yang ada di pinggir jalan. Ia pun turun dari mobil dan mengekor di belakang pria itu. Setelah memesan makanan, mereka menanti pesanan datang di sebuah kursi yang menghadap ke jendela. "Pak, saya ke sana sebentar ya!" ujar Akira, sambil menunjuk sebuah masjid besar yang letaknya tak jauh dari warung tersebut. Memasuki halaman parkir masjid,
Usai membekuk dua pelaku penyerangan terhadap Ramdan dan Akira, polisi terus melakukan penyelidikan. Hasilnya sesuai dugaan, kedua pelaku penyerangan ternyata pelaku perampokan yang melarikan diri. Bahkan, polisi kini menemukan bukti baru, bahwa salah satu dari mereka merupakan orang terdekat korban. "Ra, coba kamu hubungi polisi! Saya dapat info dari pak Ramdan, kalau pelaku penyerangan tadi siang ternyata juga bagian dari pelaku perampokan," kata Edi yang merupakan Redaktur Pelaksana (Redpel) Surat Kabar Harian Local Post. "Siap, Mas," ucap Akira yang tengah sibuk menulis berita. Akira menghentikan sejenak aktivitas menulisnya. Ia kemudian mengambil ponsel untuk menghubungi Agus Suseno. Tiga kali ia menghubungi nomor tersebut, tetapi tak kunj
Tiba di kamar kos. Akira yang merasa perutnya begitu penuh langsung bersiap untuk tidur. Setelah membersihkan diri dengan cepat dan menunaikan kewajiban salat isya yang tertinggal cukup larut. Ia pun beranjak ke pembaringannya. Tiba-tiba dering telepon yang terdengar kencang, membuatnya terpaksa harus bangkit saat ia baru saja merebahkan tubuh di atas kasur. "Assalamualaikum, Iraaaa!" teriak ibunya di ujung telepon, sehingga reflek ia menjauhkan gawai dari telinganya. "Waalaikumsalam, Mama ... jangan kenceng-kenceng suaranya, Mak. Nanti kedengaran ibu kos loh, di sini nggak boleh bertamu kalau udah malam?" jawabnya sambil terkekeh. Rasa rindunya sedikit terobati mendengar suara ibu. Orang yang selalu bersikap sama padanya. Sejak kecil hingga dewasa seperti saat ini. Suara cempreng dan cerewet ibunya selalu m
"Astagfirullah! aduh, aku nggak tahajud lagi. Huhh ... dasar mata ini mengantuk terus sih bawaannya!" umpat Akira saat sayup terdengar suara azan subuh dari surau. Gadis itupun menyeret langkahnya menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudhu. Tubuh yang begitu lelah setelah aktifitas liputan, menghalangi Akira untuk bangun di sepertiga malam. Padahal sebelum tidur, ia berniat untuk mengadukan setiap masalah yang dihadapinya kepada Sang Pencipta. Begitu banyak yang ia inginkan, sehingga terkadang perasaan ragu menyelimuti hatinya. Apakah pantas mendapatkan semua yang ia pinta, bila kewajiban kepada Tuhan-Nya saja sering terlambat ia kerjakan. Setelah salat subuh Akira lalu meraih mushaf alquran dengan sampul hitam miliknya yang ada di atas nakas. Ia membaca dengan suara lirih. Hati yang semula gersang perlahan merasakan
Siang itu, suasana kantor surat kabar harian Local Post, tampak lengang. Sebagian besar karyawan banyak yang berada di lapangan untuk melaksanakan tugasnya masing-masing. Hanya ada beberapa karyawan di bagian administrasi yang bertugas di kantor. Kedatangan Ramdan dan Akira pun tak banyak mendapat perhatian. "Selamat siang, Pak Ram. Eh ada Ira juga yah," sapa Gita, gadis cantik berpostur tinggi dengan rambut lurus sebahu. Ia salah satu karyawan administrasi marketing. "Lho tugas liputan sudah selesai, Ra. Kok tumben ngantornya cepat?" tanya gadis yang mengenakan jeans ketat dan kaos putih lengan pendek yang membentuk setiap lekukan tubuh itu. Sangat cantik, aroma tubuhnya yang wangi terbang hingga jarak lima meter dimana Akira berdiri. "Iya, Git. Tadi motorku kehabisan bensin. kebetu
Derttt ... Derttt ... Derttt ... Suara ponsel yang bergetar membangunkan Akira yang tengah terlelap. "Duhh siapa sih malam-malam masih nelpon? nggak tahu orang sedang istirahat!" gerutunya kesal sambil meraih handphone yang ia letakkan asal di sisi bantal. "Eh Pak Agus, iya Waalaikumsalam. Ada apa, Pak?" tanyanya pada orang di ujung telpon. "Ha! penemuan mayat! dimana lokasinya, Pak? oh iya saya tahu tempat itu. Baik, saya segera ke sana. Terimakasih infonya, Pak," ucap gadis itu tergesa. &
Sebelum melanjutkan perkembangan kasus penemuan mayat mutilasi, Akira terlebih dahulu mampir ke rumah kosnya, ia lupa memasukan kabel carger gawainya ke dalam tas ranselnya sebelum berangkat ke kantor pagi tadi. Saat tiba di depan kos, ia melihat Romlah sang ibu kos tengah membawa sebuah kotak berukuran sedang. "Paket buat siapa, Bu? tanya Akira saat baru saja kembali dari kantor. "Tadi ada yang mengantarkan ini. Katanya titipan untuk Mbak Akira. Nih ada namanya," ucap Romlah ibu kos sambil menunjukan selembar kartu bertuliskan nama Akira. "Tapi tak ada nama pengirimnya ya, Bu?" "Iya ya, atau mungkin saja kejutan dari kampung, Mbak," jawab wanita paruh baya itu. "Hmm ,,, ya sudah makasih ya, Bu," ucapnya terse
Part57. Ketika Ulat Bulu Datang Pagi itu Mufidah berencana untuk menemani putranya di rumah. Setelah beberapa hari sebelumnya ia selalu pergi meninggalkan demi restorannya yang sedang berkembang pesat. Meskipun ada Yanti orang kepercayannya yang bisa menghandel, tetap saja ia harus memantau secara langsung agar tidak terjadi kecurangan dalam pengelolaan keuangan di setiap cabang resto miliknya. "Sayang, bagaimana kakinya? apa masih sering terasa sakit?" tanyanya pada Ramdan yang sedang berjalan mengelilingi kolam renang yang ada di sayap kanan rumah mereka. "Baik," jawabnya cuek. Lelaki itu bahkan tak menoleh saat Mufidah berjalan menghampirinya. "Obat nya sudah diminum, Nak?" katanya sambil berdiri tak jauh dari putranya yang kini duduk di tepi kolam. Lelaki itu membiarkan kakinya tenggelam dal
Part56. SepiPoV Ramdan "Bi ...! tolong ambilkan ponsel saya di kamar!" teriakku pada Bi Ijum. Wanita itu segera berjalan tergesa menuju kamarku. Tak lama kemudian datang dengan ponsel di tangannya. "Ini, Den," ucapnya sopan. "Ada lagi yang perlu Bibi bantu?" tanyanya sebelum berlalu. "Tidak ada. Trima kasih, Bi," sahutku. "Oh ya, Mama biasa pulang jam berapa dari restonya?" tanyaku. "Biasanya sore kalau normal, Den. Tapi kalau sedang sibuk Nyonya bisa sampai malam," jelasnya. "Kalau butuh apa-apa, panggil Bibi saja, Den," katanya tersenyum. Wanita paruh baya itupun berlalu dari hadapan
Part 55. Berpisah "Saya pamit pulang ya, Pak." Lelaki itu tak menyahut, padahal posisi kami tidak jauh, hanya berjarak 1 meter pasti dia bisa mendengar ucapanku. Tapi kenapa tak merespon, apa dia melamun? "Pak ! saya pamit mau pulang," kataku lagi mengeraskan suara. Ia menoleh dan menatapku intens dari atas hingga ke bawah, seperti sedang menilai penampilanku. "Kenapa pulang? Apa kamu lelah membantuku?" ucapnya pelan namun cukup membuatku tersindir. Ah lagi-lagi aku merasa serba salah. Aku pulang ini karena ingin menemui mamak dan keluarga, tapi meninggalkan lelaki yang telah mengalami kecelakaan karena berniat menjemputku ini rasanya sangat membuatku putus asa. "Tidak, Pak. Saya akan kembal
Part54. Amnesia "Nggak usah sok baik, aku bisa jalan sendiri, Kok!" ketus Ramdan saat aku mencoba membantu bangkit dari posisinya yang kini terduduk di rumput taman. "Astaga orang ini, nggak bersyukur banget ada yang mau bantu! Coba kalau bukan bos ku sudah kutinggalkan dari tadi orang ini!" omelku kesal. "Apa kamu bilang?" sentaknya. "Eh ng--nggak ada bilang apa-apa kok, ayo jalan lagi! atau bapak mau istirahat dulu sambil makan? sahutku asal. "Tidak usah! saya jalan lagi saja!" ucapnya sambil berusaha bangkit dari duduknya dengan tangan bertopang pada tiang lampu taman. Jatuh bangun lelaki ini belajar berjalan, hingga terlihat bulir keringat menetes di dahinya. Wajah tampannya yang terlihat sedikit tirus
Part53. Sadar Setelah menerima telpon dari mamak. Aku masuk ke ruangan Ramdan, kulihat kondisinya masih sama. Tidak ada perubahan. Padahal kata dokter Yusuf, ia akan sadar setelah 1 jam pasca operasi. Ini sudah hampir 2 jam belum tampak perubahannya. Ada apa ini? Aku mulai panik, begitu juga dengan Tante Mufidah dan om Fatih. "Kok belum sadar ya, Om?" Om Fatih hanya menggeleng tak mengerti. Sementara Tante Mufidah terus menggenggam tangan putranya. Sambil mengucapkan kalimat-kalimat memotivasi untuk bangun. "Coba kita hubungi dokter Yusuf," ucapnya sembari meraih ponsel dari sakunya. Aku memilih duduk di sisi lain ranjang pasien meraih mushaf yang kuletakkan di atas nakas, lalu membacanya dengan lirih. Kubaca terus hingga membuatku tenang. Tak lama ti
Part52. SenduPov Akrom "Rom, sedang sibuk tidak? aku mau bicara sesuatu." Pesan dari Akira kuterima. Gadis yang sedang coba untuk kucintai. Iya, saat ini aku sedang belajar untuk mencintainya. Tinggal hitungan hari dan kami akan segera menikah. Tetapi saat mendengar penuturannya ditelpon. Aku sungguh merasa menjadi lelaki yang tak dihargai. Hari itu Akira menelpon untuk memintaku membatalkan pernikahan kami. Ada- ada saja permintaan gadis itu. Aku jelas merasa heran mendengarnya, apalagi saat ia menjelaskan alasannya sungguh membuatku sakit hati. "Sebenarnya ... aku mencintai orang lain, Rom. Maaf, aku sepertinya tidak bisa melanjutkan perjodohan ini. Bisakah kamu menyampaikan kepada orangtuamu bahwa aku menolak untuk menikah denganmu?" tutur gadis itu.
Part 51. Dilema Pasca operasi pengangkatan cairan dalam otak Ramdan. Ada dua orang perawat mendorong ranjang pasien menuju ke ruang perawatan. Sementara itu kedua orang tua Ramdan bersama Akira berdiri bersisian di dekat pintu mengamati sosok yang masih belum sadar. Wajah mereka terlihat penuh harap bercampur cemas. Masing-masing berdoa dalam hati agar lelaki yang mereka cintai itu segera membuka mata dan berbicara seperti biasa. Menurut keterangan dokter Yusuf yang menangani Ramdan. Ia akan segera pulih dalam waktu 60 menit pasca operasinya. Ketiganya duduk mengelilingi ranjang pasien, menunggu waktu 1 jam yang terasa begitu lama. Akira yang merasa lapar karena belum mengisi perut sejak pagi, mau tidak mau terpaksa harus keluar untuk mencari makan. "Bu ... Ira mau keluar dulu yah. Mau mencari makanan, ib
Part 50. Keluar Negeri Sudah sepekan lebih Ramdan terbaring koma di rumah sakit. Bahkan beberapa kali kondisinya menurun, sehingga dokter yang menanganinya terpaksa memasangkan alat bantu pernafasan dan pemicu detak jantung. Sementara, Akira yang terus berada disisi Ramdan tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya doa yang selalu ia panjatkan berharap calon suaminya itu cepat sadar dan pulih kembali. "Bos .. ayo bangun! Kamu sudah janji tidak akan meninggalkan aku kan?" ucap Akira sambil mengusap air matanya. Pagi itu, saat tengah menjaga Ramdan, tiba-tiba dokter datang membawa kabar baik. Bahwa untuk mempercepat pemulihan, pasien perlu dibawa berobat keluar negeri. "Bagaimana kondisinya. Apa sudah sadar?" tanya dokter. "Belum dokter. Tidak
Bab 49. Koma Setelah dirawat selama seminggu belum juga ada tanda-tanda Ramdan akan sadar. Hampir setiap hari ada saja orang yang datang menyambangi kami. Berita mengenai musibah itu menyebar dengan cepat. Mereka datang secara bergantian, terkadang relasi kantor Ramdan, termasuk beberapa pejabat tinggi daerah yang mengenal Ramdan secara pribadi. Juga para karyawan kantor. Sebagian menyempatkan datang saat malam hari. Demikian juga Pak Agus sahabat Ramdan. Sementara itu, Om Fatih secara otomatis mengambil alih perusahaan. Ia turun langsung menggantikan pekerjaan putranya. Syukurlah kondisi perusahaan berjalan dengan baik. Tak ada kendala berarti, Andre dan Arya bekerja dengan baik bersama tim lainnya. Berdasarkan diagnosa dokter, Ramdan mengalami koma yang terjadi karena kerusakan sal