"Tek tok" terdengar suara pesan masuk di gawai Qifah Akira. Gadis cantik asal Sulawesi Selatan tak terlalu memperhatikannya, karena masih berusaha menahan kantuknya di sepertiga malam. Ia paksa kaki beranjak menuju kamar mandi. Usai menuntaskan hajat, gadis berkulit putih itu mengambil wudhu untuk menunaikan salat tahajjud.
Kondisi kos putri yang terlihat sepi, karena para penghuninya masih terlelap tak menghalanginya 'curhat' kepada Sang Pencipta. Kebiasaan ini, kata ibunya mesti tetap dipertahankan di manapun ia berada.
Mata bulat Akira tak sanggup lagi menahan kantuk. Setelah menunaikan empat rakaat tahajjud dan witir satu rakaat, ia tak kuasa menahan bobot tubuhnya dan langsung tertidur di atas sajadah.
"Dar, der, dor, suara senapan Sugali anggap petasan. Tiada rasa ketakutan punya ilmu kebal senapan .... "
Dering telepon terdengar nyaring memekakan telinga. Suara musisi Iwan Fals yang menjadi nada dering gadis lulusan Sastra Inggris itu, tak mampu membangunkannya. Cukup lama panggilan telepon masuk, hingga akhirnya ia terbangun.
Dengan mata yang masih sayu, perlahan Ira—sapaan akrab wanita perantauan itu memandang ke arah jam dinding di sudut ruangan. Tak terasa waktu ternyata sudah pukul 5 subuh. Sayup-sayup terdengar suara azan dari surau yang tak jauh dari kos-kosannya. Bergegas ia, kembali ke kamar mandi mengambil wudhu untuk menunaikan kewajibannya, kepada Rabb-nya.
Setelah menunaikan salat, Ira teringat panggilan telepon masuk di gawainya. Belasan panggilan tak terjawab dan satu pesan masuk. Ternyata itu kak Sari, saudara kandungnya yang tinggal bersama Ibu di kampung.
("Dek ... mama minta kamu berhenti bekerja. Karena mama mau kamu menikah dengan Akrom anak Om Wibi, kawan lama almarhum Bapak!") isi pesan singkat dari kakak Sari.
Akira menghela napas. Seketika udara segar di sekitar membuatnya sesak, saat membaca pesan Kak Sari. Ah, rupanya keinginan Ibu agar dirinya segera menikah tidak main-main. Sambil menarik napas panjang, gadis itu menekan nomor ponsel sang kakak. Nada dering sholawat terdengar merdu mengiringi detak jantungnya.
"Assalamualaikum, Nak," kata Ibu.
"Waalaikum salam, Mak," jawabnya.
"Bagaimana, kabarmu sehat saja 'kan? Oh ya, sudah mi berhenti ko kerja, Nak?" tanya ibu dengan logat bugis yang kental.
"Maaf lah, Mak. Tidak bisa ka, langsung berhenti kerja. Pa perlu kupikirkan dulu soal perjodohan ini. Tidak kukenal ji orangnya, Mak," ucapnya memelas.
Berharap ibu mau mengurungkan niatnya.
"Haiss ... jadi kapan ko menikah, Nak? Jangan terlalu lama kau pikir. Nanti habis jodohmu bagaimana?" tanya Ibunya konyol.
"Ya Allah, Mak! Masih banyak laki-laki di dunia ini. Tak mungkin akan habis," ucapnya geli menahan tawa.
"Ada ada saja mama ini," sambungnya.
"He, Ira mama ini sudah tua. Mau sekali ka melihat kau menikah dan beri mama cucu. Kalau kau kerja terus, kapan menikahnya!" omel ibunya di pagi buta.
"Ya sudah, mama kasih kau waktu 5 bulan. Kalau tidak bisa datangkan calonmu, nanti biar sama Akrom saja ko menikah!" tegas wanita paruh baya itu.
Perasaan khawatir sang ibu sebenarnya cukup beralasan. Mengingat, ia kerap sedih melihat putri bungsunya tinggal di perantauan sendiri. Apalagi diusia renta, membuat dirinya takut tak sempat lagi menimang cucu dari anak kesayangannya itu.
*******
Siang itu, udara di kota Bontang begitu gerah. Segerah kondisi tubuh Akira yang tengah sibuk mempersiapkan bahan berita terbitan esok. Media cetak Local Post tempatnya bekerja, memang menerbitkan berita setiap hari. Hal ini menuntut jurnalis bekerja keras dan cukup sulit mendapatkan libur.
Setelah menyelesaikan tugas liputan, gadis berparas ayu itu segera kembali ke kantor. Sambil mengendarai sepeda motor Jupiter MX kesayangan, ia memasuki areal parkir gedung biru berlantai empat.
Mata bulat, pipi yang sedikit gembil, hidung mancung dan bibir tipis, membuat paras wajah Ira kerap mendapat pujian. Dengan sedikit polesan make up, perlahan Ira memasuki teras depan kantor. Ismail petugas keamanan yang berjaga langsung menyambutnya dengan senyum khas.
"Selamat siang, Mbak Akira ada berita apa, nih?" tanyanya sopan.
"Dengar-dengar ada perampokan ya tadi malam?" terka Ismail.
"Iya, Pak. Berita lengkapnya saya ketik dahulu ya, Pak Mail," balas Ira ramah sambil berlalu.
"Ok, Mbak . Saya tunggu besok yo," lanjut pria bertubuh tegap itu.
Buru-buru ia memasuki kantor. Kesejukan suhu pendingin ruangan langsung menyentuh kulitnys. Wajah putih Akira yang sempat kemerahan mulai kembali seperti semula.
Hari yang melelahkan tak menyurutkan semangat gadis berhijab itu untuk segera mengetik berita. Lagi-lagi berita kriminal yang ia tulis. Bertemu keluarga korban, seringkali membuatnya iba bila harus mewawancarai mereka yang tengah berduka.
"Ra ... dipanggil Pak Ramdan!" teriak seorang wanita yang berperawakan tambun.
"Eh, Mbak Meta. Tumben pak bos memanggil ada apa, ya, Mbak?" tanyanya heran.
"Nggak tahu, tuh. Makanya cepetan ke sana kalau lambat bisa kena SP, loh!" lanjut Meta.
"Huh, padahal baru saja mulai mengetik. Eh, ada saja gangguan!" keluhnya.
Meski sedikit kesal, Akira tetap pergi ke ruangan sang direktur utama. Berukuran 5×5 meter dan berdinding kaca transparan. Dari luar, ia dapat melihat sebuah komputer masih menyala. Sementara di sisinya beberapa lembar file berserakan di meja. Sambil mengusap wajah dan menarik napas panjang, Ira kemudian masuk.
"Bapak mencari saya?" tanya Ira.
"Kamu yang meliput berita perampokan toko emas semalam?" kata pria bertubuh tegap di hadapannya.
"Iya, Pak. Saya yang liput ada apa?" tanyanya.
"Informasi terbaru yang saya terima, dua orang pelaku berhasil melarikan diri. Kini polisi masih melakukan pencarian. Sebaiknya kamu berhati-hati ya, Akira!" pesannya.
Akira terkejut dengan ucapan lelaki di hadapannya. Bukan karena peringatan yang disampaikan, tetapi dari sikapnya yang tak biasa. Apalagi, sosok di depannya adalah pria yang dikenal sombong. Selain itu, sosoknya yang tak pernah tersenyum membuat Akira dan rekan-rekannya menjaga jarak dengan Sang Bos.
"Saat ini, mungkin pelaku masih bersembunyi dan mengamati orang-orang yang berusaha mengungkap kasus ini, termasuk wartawan!" tambah pria berkaca mata itu.
"Apa ini sangat berbahaya, Pak?" tanya Akira.
"Tergantung kondisi. Ini hanya peringatan agar para wartawan tetap waspada," jawabnya.
"Siap, Pak. Terima kasih banyak!" ucapnya hormat.
Gadis itu merasa dihargai dengan perhatian pak Ramdan. Lelaki tampan dengan hidung mancung, dan warna kulit sawo matang itu memang jarang tersenyum. Sehingga terkesan kurang ramah bagi yang baru bertemu dengannya. Namun, karena kecerdasan dan sikap tegasnya membuat semua karyawan hormat dan segan padanya.
Melangkah keluar ruangan, Ira kembali ke ruang redaksi. Didapatinya Meta, rekan sekaligus sahabatnya tengah duduk sambil menikmati pisang goreng.
"Ada masalah apa, Ra?" tanyanya dengan mulut penuh.
"Biasa, Mbak Met, soal berita. Diminta waspada oleh si Bos, soalnya dua orang pelakunya masih buron," jawabnya.
"Ish ... kamu nggak takut, Ra menulis berita kriminal terus?" lanjut Meta.
"Ya, kadang was-was juga sih, Mbak. Tapi namanya tugas, ya, mesti dijalani . Urusan keamanan kita serahkan ke Allah saja, Mbak. Bukankah Dia Maha Menjaga?" ucapnya santai.
"He—eh betul juga sih, Ra."
"Tapi kalau aku, lebih nyaman bila menulis berita kontrak, Ra, aman dan berbayar," ucapnya terkekeh.
"Oya, gimana soal perjodohannya, katanya mau cerita?"
"Eh iya, Mbak, aku sampai lupa. Mama mau aku segera menikah, umurku 'kan sudah 27. Katanya anak gadis nggak baik kelamaan sendiri, takut fitnah!" jelasnya.
"Terus ... apa kamu sudah punya calonnya?"
"Belum ada, Mbak. Mana bisa dapat jodoh, kitanya sibuk kerja gini kok, kapan ketemunya?" jawabnya sambil tertawa.
"Jadi bagaimana?"
"Aku diberi waktu, Mbak. Jika dalam 5 bulan ke depan belum juga bisa mendatangkan calon ke hadapan mama, maka lamaran anak dari kawan bapakku diterima!"
"Ya sudah. Kalau begitu, nikah, gih!"
"Masalahnya, Mbak, aku tuh belum kenal orangnya. Lagipula masih asik wara-wiri liputan seperti ini rasanya sayang banget kalau harus berhenti," terangnya.
"Sekarang ini, aku mau mengumpulkan duit sebanyak- banyaknya dulu, Mbak, lalu berangkatkan mama naik haji," tambahnya.
"Loh, kalau untuk itu kenapa nggak minta duit sama suami aja, toh calonmu pasti orang kaya, 'kan?" tanya Meta.
"Yei ... beda, Mbak. Itu 'kan harta milik suami. Walaupun kaya, tetap saja lebih puas jika yang kuberikan itu hasil jerih payahku sendiri!"
"Oalah ... yoweslah, terserah kau saja. Semoga cepat bertemu jodoh seperti aku ini, loh. Gendut-gendut gini jodohku sudah ketemu!" ucapnya terkekeh.
"Astaga, Mbak! Kita belum selesai ngetik nih, ayo buruan bentar lagi deadline!" ucapnya tergesa sambil mulai menulis.
Hening, kedua gadis itu serius menulis berita. Nantinya berita dikirim ke server untuk proses editing dan desain halaman oleh tim lay out.
Tanpa disadari, beberapa pria sedang bercakap-cakap di bilik berdinding kaca yang berhadapan dengan ruang redaksi. Sesekali mereka mengamati kedua jurnalis wanita yang tengah tenggelam dalam kesibukan masing-masing.
"Alhamdulillah ... selesai juga akhirnya," ucap Akira sambil menghela napas lega. Akhirnya 4 berita berhasil ia tulis sebelum deadline berakhir.
"Mbak, Met. Laper!"
"Ayok dah, kita cari makan dulu sebelum pulang!" ajak Meta.
"Lets go!" sahutnya.
Keduanya beranjak keluar ruangan sambil meregangkan otot. Sementara beberapa karyawan lain tengah sibuk di depan komputer, untuk menata halaman koran terbitan besok.
"Kami pulang duluan, ya!" teriak Akira ke arah rekan-rekannya.
"Iya, Ra!"
Perut kedua gadis itu terasa sesak, usai menyantap nasi goreng yang mangkal di depan kantor. Mereka kemudian pulang mengendarai sepeda motor masing-masing ke arah berbeda.
Sudah pukul 9 malam. Akira membawa motornya dengan cukup laju. Berharap segera sampai kos. Sesekali netranya mengerjap menahan kantuk. Tiba di simpang tiga lampu merah, diedarkan pandangan ke sekitarnya, sepasang muda- mudi nampak memeluk erat pasangan yang memboncengnya.
"Huh ... tak tahu malu, padahal di sekitarnya banyak orang," umpatnya dalam hati.
Sementara, di sisi kanannya seorang pria dengan motor ninja nampak berbicara melalui ponsel.
Saat lampu hijau menyala, segera ia pacu motornya tak sabar untuk mandi dan merebahkan diri di kasur empuk. Asik menghayal, gadis itu tidak menyadari kehadiran pengendara lain yang sengaja menyerempet motornya.
"Astagfirullah!"
"Woiii, hati-hati dong kalau jalan!" teriaknya keras pada seorang pria yang mengendarai sepeda motor ninja.
Nyaris saja ia menabrak median jalan, jika tidak gesit mengendalikan motor. Sementara, pengendara tadi terus melaju. Kondisi jalan raya masih tampak ramai dengan hilir-mudik kendaraan, membuatnya sulit melihat secara jelas ciri-ciri pengendara yang menyerempetnya.
"Ah, ada-ada saja. Siapa orang itu ya, dan mengapa ia menyerempet motorku?" gumamnya.
Gadis itu kembali memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Dalam hati kecilnya ia terus menerka-nerka kejadian barusan. Apa ada hubungan dengan liputan yang dilakukannya siang tadi terkait perampokan toko emas atau tidak?
Setibanya di kos, kawasan tempat tinggalnya itu masih terlihat ramai. Beberapa rumah makan dan pedagang kaki lima yang mangkal di sepanjang jalan masih buka hingga larut. Beberapa meter dari tempat itu juga terdapat pos polisi dan sebuah sekolah dasar negeri.
"Alhamdulillah sampai."
Akira buru-buru masuk mengunci pintu dan memastikan jendela terkunci rapat. Ia merasa was-was dengan kejadian tadi. Setelah membersihkan diri dan menunaikan salat isya, gadis itu langsung menghempaskan tubuh ke atas kasur. Kasur dengan kain penutup bercorak bunga itu terlihat bagai tumpukan awan.
"Bismika allahumma ahyaa wabismika amuut," ucapnya sesaat sebelum terlelap.
Pemandangan yang dramatis. Seorang gadis cantik tidur diantara tas ransel dan kamera kesayangannya yang ia letakkan di ujung ranjang. Nasib jurnalis wanita, kamarnya nampak tak pernah rapi bak kapal pecah. Kertas-kertas yang berserakan di atas nakas belum sempat ia rapikan.
Sementara itu, seorang pria berjaket kulit nampak menikmati wedang jahe di sebuah warung tenda. Sesekali netranya mengamati kos putri yang ada di seberang jalan. Nampak sepeda motor berjejer rapi di areal parkir. Ia mengenali salah satu kendaraan itu yang tak lain milik Akira.
to be continued ...
by Ana'na Bennu
Sinar matahari menelisik melalui celah di jendela kamar Akira. Matanya mengerjap dan menguap sambil meregangkan otot. Sinar matahari pagi itu terasa hangat ke sekujur tubuhnya. Meraih ponsel, satu pesan masuk di grup redaksi. "Ah ... pasti disuruh lanjutkan kemarin" gumam gadis itu tersenyum bangga. Adrenalinnya berpacu kuat saat berada di lokasi insiden.Ia bergidik ngeri saat mengingat peristiwa tempo hari. Darah berceceran di lantai toko yang dirampok. Rupanya itu darah pemilik toko yang berusaha mempertahankan hartanya dari para perampok. Dengan tangan kosong, korban menghalau 5 orang pria dewasa yang memaksa masuk untuk mengambil semua emas dan uang yang ada di brangkas. Bahkan tak
Akira menatap jam di pergelangan tangan menunjukan pukul delapan. Namun, Ramdan tak kunjung keluar dari ruang kerjanya. Padahal rencananya, pria tampan itu akan menemani Akira melanjutkan liputan terkait kasus perampokan toko emas. "Waduh, kalau begini ... bisa siang selesai liputannya. Mana sih, bos besar ini? Bisa mati berdiri saya, karena menunggu," gumamnya sambil melanjutkan melihat gawainya. Sedang asik jari-jemari lentik Akira memainkan gawai, tak sadar jika pria yang dinanti sudah berdiri di belakang kursinya. "Hmm ...." "Ayo berangkat!" ajak Ramdan yang kemudian pergi keluar menuju arah parkir kendaraannya.
"Heh bangun, Ra, udah sampai!" perintah Ramdan sambil memukulkan botol kemasan air mineral miliknya ke arah gadis yang hobi tidur itu. "Hah!" Wanita itu bangun, matanya sedikit memerah, sembari mengucek mata dengan kasar—ia pandangi sekitar dan melihat bosnya sudah berjalan menuju sebuah warung makan yang ada di pinggir jalan. Ia pun turun dari mobil dan mengekor di belakang pria itu. Setelah memesan makanan, mereka menanti pesanan datang di sebuah kursi yang menghadap ke jendela. "Pak, saya ke sana sebentar ya!" ujar Akira, sambil menunjuk sebuah masjid besar yang letaknya tak jauh dari warung tersebut. Memasuki halaman parkir masjid,
Usai membekuk dua pelaku penyerangan terhadap Ramdan dan Akira, polisi terus melakukan penyelidikan. Hasilnya sesuai dugaan, kedua pelaku penyerangan ternyata pelaku perampokan yang melarikan diri. Bahkan, polisi kini menemukan bukti baru, bahwa salah satu dari mereka merupakan orang terdekat korban. "Ra, coba kamu hubungi polisi! Saya dapat info dari pak Ramdan, kalau pelaku penyerangan tadi siang ternyata juga bagian dari pelaku perampokan," kata Edi yang merupakan Redaktur Pelaksana (Redpel) Surat Kabar Harian Local Post. "Siap, Mas," ucap Akira yang tengah sibuk menulis berita. Akira menghentikan sejenak aktivitas menulisnya. Ia kemudian mengambil ponsel untuk menghubungi Agus Suseno. Tiga kali ia menghubungi nomor tersebut, tetapi tak kunj
Tiba di kamar kos. Akira yang merasa perutnya begitu penuh langsung bersiap untuk tidur. Setelah membersihkan diri dengan cepat dan menunaikan kewajiban salat isya yang tertinggal cukup larut. Ia pun beranjak ke pembaringannya. Tiba-tiba dering telepon yang terdengar kencang, membuatnya terpaksa harus bangkit saat ia baru saja merebahkan tubuh di atas kasur. "Assalamualaikum, Iraaaa!" teriak ibunya di ujung telepon, sehingga reflek ia menjauhkan gawai dari telinganya. "Waalaikumsalam, Mama ... jangan kenceng-kenceng suaranya, Mak. Nanti kedengaran ibu kos loh, di sini nggak boleh bertamu kalau udah malam?" jawabnya sambil terkekeh. Rasa rindunya sedikit terobati mendengar suara ibu. Orang yang selalu bersikap sama padanya. Sejak kecil hingga dewasa seperti saat ini. Suara cempreng dan cerewet ibunya selalu m
"Astagfirullah! aduh, aku nggak tahajud lagi. Huhh ... dasar mata ini mengantuk terus sih bawaannya!" umpat Akira saat sayup terdengar suara azan subuh dari surau. Gadis itupun menyeret langkahnya menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudhu. Tubuh yang begitu lelah setelah aktifitas liputan, menghalangi Akira untuk bangun di sepertiga malam. Padahal sebelum tidur, ia berniat untuk mengadukan setiap masalah yang dihadapinya kepada Sang Pencipta. Begitu banyak yang ia inginkan, sehingga terkadang perasaan ragu menyelimuti hatinya. Apakah pantas mendapatkan semua yang ia pinta, bila kewajiban kepada Tuhan-Nya saja sering terlambat ia kerjakan. Setelah salat subuh Akira lalu meraih mushaf alquran dengan sampul hitam miliknya yang ada di atas nakas. Ia membaca dengan suara lirih. Hati yang semula gersang perlahan merasakan
Siang itu, suasana kantor surat kabar harian Local Post, tampak lengang. Sebagian besar karyawan banyak yang berada di lapangan untuk melaksanakan tugasnya masing-masing. Hanya ada beberapa karyawan di bagian administrasi yang bertugas di kantor. Kedatangan Ramdan dan Akira pun tak banyak mendapat perhatian. "Selamat siang, Pak Ram. Eh ada Ira juga yah," sapa Gita, gadis cantik berpostur tinggi dengan rambut lurus sebahu. Ia salah satu karyawan administrasi marketing. "Lho tugas liputan sudah selesai, Ra. Kok tumben ngantornya cepat?" tanya gadis yang mengenakan jeans ketat dan kaos putih lengan pendek yang membentuk setiap lekukan tubuh itu. Sangat cantik, aroma tubuhnya yang wangi terbang hingga jarak lima meter dimana Akira berdiri. "Iya, Git. Tadi motorku kehabisan bensin. kebetu
Derttt ... Derttt ... Derttt ... Suara ponsel yang bergetar membangunkan Akira yang tengah terlelap. "Duhh siapa sih malam-malam masih nelpon? nggak tahu orang sedang istirahat!" gerutunya kesal sambil meraih handphone yang ia letakkan asal di sisi bantal. "Eh Pak Agus, iya Waalaikumsalam. Ada apa, Pak?" tanyanya pada orang di ujung telpon. "Ha! penemuan mayat! dimana lokasinya, Pak? oh iya saya tahu tempat itu. Baik, saya segera ke sana. Terimakasih infonya, Pak," ucap gadis itu tergesa. &
Part57. Ketika Ulat Bulu Datang Pagi itu Mufidah berencana untuk menemani putranya di rumah. Setelah beberapa hari sebelumnya ia selalu pergi meninggalkan demi restorannya yang sedang berkembang pesat. Meskipun ada Yanti orang kepercayannya yang bisa menghandel, tetap saja ia harus memantau secara langsung agar tidak terjadi kecurangan dalam pengelolaan keuangan di setiap cabang resto miliknya. "Sayang, bagaimana kakinya? apa masih sering terasa sakit?" tanyanya pada Ramdan yang sedang berjalan mengelilingi kolam renang yang ada di sayap kanan rumah mereka. "Baik," jawabnya cuek. Lelaki itu bahkan tak menoleh saat Mufidah berjalan menghampirinya. "Obat nya sudah diminum, Nak?" katanya sambil berdiri tak jauh dari putranya yang kini duduk di tepi kolam. Lelaki itu membiarkan kakinya tenggelam dal
Part56. SepiPoV Ramdan "Bi ...! tolong ambilkan ponsel saya di kamar!" teriakku pada Bi Ijum. Wanita itu segera berjalan tergesa menuju kamarku. Tak lama kemudian datang dengan ponsel di tangannya. "Ini, Den," ucapnya sopan. "Ada lagi yang perlu Bibi bantu?" tanyanya sebelum berlalu. "Tidak ada. Trima kasih, Bi," sahutku. "Oh ya, Mama biasa pulang jam berapa dari restonya?" tanyaku. "Biasanya sore kalau normal, Den. Tapi kalau sedang sibuk Nyonya bisa sampai malam," jelasnya. "Kalau butuh apa-apa, panggil Bibi saja, Den," katanya tersenyum. Wanita paruh baya itupun berlalu dari hadapan
Part 55. Berpisah "Saya pamit pulang ya, Pak." Lelaki itu tak menyahut, padahal posisi kami tidak jauh, hanya berjarak 1 meter pasti dia bisa mendengar ucapanku. Tapi kenapa tak merespon, apa dia melamun? "Pak ! saya pamit mau pulang," kataku lagi mengeraskan suara. Ia menoleh dan menatapku intens dari atas hingga ke bawah, seperti sedang menilai penampilanku. "Kenapa pulang? Apa kamu lelah membantuku?" ucapnya pelan namun cukup membuatku tersindir. Ah lagi-lagi aku merasa serba salah. Aku pulang ini karena ingin menemui mamak dan keluarga, tapi meninggalkan lelaki yang telah mengalami kecelakaan karena berniat menjemputku ini rasanya sangat membuatku putus asa. "Tidak, Pak. Saya akan kembal
Part54. Amnesia "Nggak usah sok baik, aku bisa jalan sendiri, Kok!" ketus Ramdan saat aku mencoba membantu bangkit dari posisinya yang kini terduduk di rumput taman. "Astaga orang ini, nggak bersyukur banget ada yang mau bantu! Coba kalau bukan bos ku sudah kutinggalkan dari tadi orang ini!" omelku kesal. "Apa kamu bilang?" sentaknya. "Eh ng--nggak ada bilang apa-apa kok, ayo jalan lagi! atau bapak mau istirahat dulu sambil makan? sahutku asal. "Tidak usah! saya jalan lagi saja!" ucapnya sambil berusaha bangkit dari duduknya dengan tangan bertopang pada tiang lampu taman. Jatuh bangun lelaki ini belajar berjalan, hingga terlihat bulir keringat menetes di dahinya. Wajah tampannya yang terlihat sedikit tirus
Part53. Sadar Setelah menerima telpon dari mamak. Aku masuk ke ruangan Ramdan, kulihat kondisinya masih sama. Tidak ada perubahan. Padahal kata dokter Yusuf, ia akan sadar setelah 1 jam pasca operasi. Ini sudah hampir 2 jam belum tampak perubahannya. Ada apa ini? Aku mulai panik, begitu juga dengan Tante Mufidah dan om Fatih. "Kok belum sadar ya, Om?" Om Fatih hanya menggeleng tak mengerti. Sementara Tante Mufidah terus menggenggam tangan putranya. Sambil mengucapkan kalimat-kalimat memotivasi untuk bangun. "Coba kita hubungi dokter Yusuf," ucapnya sembari meraih ponsel dari sakunya. Aku memilih duduk di sisi lain ranjang pasien meraih mushaf yang kuletakkan di atas nakas, lalu membacanya dengan lirih. Kubaca terus hingga membuatku tenang. Tak lama ti
Part52. SenduPov Akrom "Rom, sedang sibuk tidak? aku mau bicara sesuatu." Pesan dari Akira kuterima. Gadis yang sedang coba untuk kucintai. Iya, saat ini aku sedang belajar untuk mencintainya. Tinggal hitungan hari dan kami akan segera menikah. Tetapi saat mendengar penuturannya ditelpon. Aku sungguh merasa menjadi lelaki yang tak dihargai. Hari itu Akira menelpon untuk memintaku membatalkan pernikahan kami. Ada- ada saja permintaan gadis itu. Aku jelas merasa heran mendengarnya, apalagi saat ia menjelaskan alasannya sungguh membuatku sakit hati. "Sebenarnya ... aku mencintai orang lain, Rom. Maaf, aku sepertinya tidak bisa melanjutkan perjodohan ini. Bisakah kamu menyampaikan kepada orangtuamu bahwa aku menolak untuk menikah denganmu?" tutur gadis itu.
Part 51. Dilema Pasca operasi pengangkatan cairan dalam otak Ramdan. Ada dua orang perawat mendorong ranjang pasien menuju ke ruang perawatan. Sementara itu kedua orang tua Ramdan bersama Akira berdiri bersisian di dekat pintu mengamati sosok yang masih belum sadar. Wajah mereka terlihat penuh harap bercampur cemas. Masing-masing berdoa dalam hati agar lelaki yang mereka cintai itu segera membuka mata dan berbicara seperti biasa. Menurut keterangan dokter Yusuf yang menangani Ramdan. Ia akan segera pulih dalam waktu 60 menit pasca operasinya. Ketiganya duduk mengelilingi ranjang pasien, menunggu waktu 1 jam yang terasa begitu lama. Akira yang merasa lapar karena belum mengisi perut sejak pagi, mau tidak mau terpaksa harus keluar untuk mencari makan. "Bu ... Ira mau keluar dulu yah. Mau mencari makanan, ib
Part 50. Keluar Negeri Sudah sepekan lebih Ramdan terbaring koma di rumah sakit. Bahkan beberapa kali kondisinya menurun, sehingga dokter yang menanganinya terpaksa memasangkan alat bantu pernafasan dan pemicu detak jantung. Sementara, Akira yang terus berada disisi Ramdan tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya doa yang selalu ia panjatkan berharap calon suaminya itu cepat sadar dan pulih kembali. "Bos .. ayo bangun! Kamu sudah janji tidak akan meninggalkan aku kan?" ucap Akira sambil mengusap air matanya. Pagi itu, saat tengah menjaga Ramdan, tiba-tiba dokter datang membawa kabar baik. Bahwa untuk mempercepat pemulihan, pasien perlu dibawa berobat keluar negeri. "Bagaimana kondisinya. Apa sudah sadar?" tanya dokter. "Belum dokter. Tidak
Bab 49. Koma Setelah dirawat selama seminggu belum juga ada tanda-tanda Ramdan akan sadar. Hampir setiap hari ada saja orang yang datang menyambangi kami. Berita mengenai musibah itu menyebar dengan cepat. Mereka datang secara bergantian, terkadang relasi kantor Ramdan, termasuk beberapa pejabat tinggi daerah yang mengenal Ramdan secara pribadi. Juga para karyawan kantor. Sebagian menyempatkan datang saat malam hari. Demikian juga Pak Agus sahabat Ramdan. Sementara itu, Om Fatih secara otomatis mengambil alih perusahaan. Ia turun langsung menggantikan pekerjaan putranya. Syukurlah kondisi perusahaan berjalan dengan baik. Tak ada kendala berarti, Andre dan Arya bekerja dengan baik bersama tim lainnya. Berdasarkan diagnosa dokter, Ramdan mengalami koma yang terjadi karena kerusakan sal