"Heh bangun, Ra, udah sampai!" perintah Ramdan sambil memukulkan botol kemasan air mineral miliknya ke arah gadis yang hobi tidur itu.
"Hah!"
Wanita itu bangun, matanya sedikit memerah, sembari mengucek mata dengan kasar—ia pandangi sekitar dan melihat bosnya sudah berjalan menuju sebuah warung makan yang ada di pinggir jalan.
Ia pun turun dari mobil dan mengekor di belakang pria itu. Setelah memesan makanan, mereka menanti pesanan datang di sebuah kursi yang menghadap ke jendela.
"Pak, saya ke sana sebentar ya!" ujar Akira, sambil menunjuk sebuah masjid besar yang letaknya tak jauh dari warung tersebut.
Memasuki halaman parkir masjid, gadis itu mengedarkan pandangan mencari-cari kran untuk berwudhu. Duduk di tangga melepas sepatu dan kaos kakinya, gadis itu pun buru-buru mengambil air wudhu dan segera melaksanakan kewajiban dzuhur-nya kepada Sang Kholik.
Sesibuk apa pun dalam pekerjaannya, untuk yang satu itu tak pernah ia lalaikan. Dengan mengerjakan salat, wanita itu dapat melupakan sejenak semua permasalahannya. Setelah bedzikir, ia pun berdoa berharap segera menemukan pasangan hidup seperti keinginan ibunya. Ia juga menyelipkan doa agar selalu dijaga dan dijauhkan dari segala kejahatan makhluk-Nya.
Mengingat pekerjaannya yang cukup beresiko dan akhir-akhir ini kerap merasa dibuntuti orang asing, tetapi tidak tahu siapa, karena setiap kepergok akan menghilang dengan cepat.
Selepas salat ia meluruskan kaki sejenak sambil melipat abaya mukena yang selalu ia bawa di dalam tas ranselnya. Akira kemudian beranjak dari tempat duduknya untuk kembali ke warung. Dari kejauhan terlihat Ramdan tengah sibuk melahap santapan siangnya.
"Widih ... ganteng-ganteng lahap banget makannya! nggak ada jaim-jaimnya!" cibir gadis itu pelan.
"Bapak nggak salat dulu?" tanya Akira.
"Iya, nanti setelah sampai di kantor saja. Nih perut belum bisa diajak kompromi," ucap Ramdan.
"Oh begitu. Baiklah, Pak," ujar Akira.
Saat keduanya tengah sibuk menyantap makanan, tanpa disadari ada dua pasang mata yang terus mengawasi dari pojok warung. Sesekali keduanya saling melemparkan kode isyarat.
Disisi lain, tak terasa Akira dan Ramdan telah selesai menghabiskan santap siang mereka. Kini keduanya berniat kembali ke kantor untuk menyelesaikan berita.
"Kali ini biar saya yang traktir yah, Ra. Biar kamu tahu bagaimana rasanya uang bos," kata Ramdan sambil tertawa.
"Ah bapak, gini-gini saya juga punya uang kok. Biar saya bayar sendiri saja," ucap Akira.
"Simpan saja buat kamu. Hari ini biar saya yang bayar," sahut Ramdan sembari merogoh dompet yang tersimpan di saku sebelah kanan.
Dompet kulit berwarna coklat itu terlihat tebal.
"Berapa semuanya, Bu?" tanyanya.
"Semuanya 85 ribu, Mas. Sudah sama minumnya," jawab pemilik warung.
Ramdan kemudian langsung mengeluarkan uang pecahan seratus ribu.
"Nih, Bu. Kembaliannya buat ibu saja," ujar Ramdan.
Setelah membayar, keduanya kemudian berjalan menuju kendaraan. Sementara dua pria yang sedari tadi mengawasi mereka juga langsung beranjak dari tempat duduknya. Setelah membayar, mereka langsung naik kendaraan Toyota Avanza abu-abu metalik yang terparkir tak jauh dari kendaraan Ramdan.
Kondisi jalan menuju kantor cukup sepi. Hanya beberapa kendaraan yang lewat mungkin karena saat itu jam istirahat. Sesekali memandangi deretan hutan karet yang sebelumnya mereka lalui. Di tengah perjalanan, Ramdan merasa aneh dengan kehadiran mobil berwarna abu-abu yang terus berada di belakang. Beberapa kali ia memberikan tanda isyarat untuk mendahului, tetapi tak ditanggapi.
"Ra ... Ra, bangun! teriak Ramdan keras.
"Yaa, Pak, kenapa?" tanya Akira.
"Sepertinya kita sedang dibuntuti. Sejak dari toko emas, mobil warna abu-abu itu ada di belakang terus. Tapi saat kita sampai di kantor polisi mereka menghilang. Nah, kalau tidak salah, sewaktu makan tadi mobil itu ada juga sampai sekarang," jelas Ramdan.
Saat keduanya tengah berbincang, tiba-tiba mobil abu-abu tersebut langsung menyalip dari sisi kanan. Mobil itu kemudian menyerempet bagian depan mobil yang dikendarai Ramdan.
"Astagfirullah awas, Pak!" teriak Akira panik.
Mobil yang berhenti secara mengejut membuat Akira terdorong hingga kepalanya membentur jok mobil di depannya. Untung saja Ramdan menginjak rem dengan kuat. kalau masih maju sedikit saja, bisa terjun ke jurang terjal di sisi kiri mereka.
Seketika itu juga, 2 orang laki-laki memegang senjata tajam berhamburan keluar saat melihat Ramdan membuka pintu mobil."Kita di dalam saja, Pak. Bahaya!" ucap Akira panik.
"Tenang saja. Kamu tunggu di dalam dan langsung hubungi Seno, biar saya yang hadapi mereka!" sahut Ramdan.
Perlahan, Ramdan menutup pintu mobil. Melihat buruannya keluar dari kendaraan, kedua laki-laki yang mengenakan penutup wajah itu langsung menyerang Ramdan menggunakan sebilah belati yang mengkilat tajam.
Pria yang sudah bersiap menghadapi serangan itu langsung menghindar. Berbekal beladiri taekwondo, membuat sosok dengan tinggi 172 centi meter itu cukup mudah menghadapi lawannya. Meskipun mereka memegang senjata tajam. Layaknya serial televisi, pertarungan tak seimbang itu terlihat cukup sengit.
Akira yang sedari tadi menunggu dan melihat dari balik kaca kendaraan, hanya terus berdoa dan berkali-kali menelan saliva melihat aksi berbahaya itu. Napasnya tersengal debaran jantung pun kian hebat karena takut. Akhirnya, Ramdan berhasil melumpuhkan kedua pria yang menyerangnya.
Setelah melihat kode dari Ramdan, Akira kemudian keluar dari mobil. Dilihatnya, kedua orang tersebut sudah tergeletak pingsan di atas tanah.
"Bapak tidak apa-apa?" tanya Akira.
"Iya aman," sahutnya.
"Ya Allah, tangan bapak berdarah. Sini saya lihat," ucap Akira.
"Ah, nggak apa-apa. Hanya luka sedikit," kilahnya.
"Kamu sudah menghubungi Seno, 'kan?" tanya Ramdan.
"Iya, Pak, sudah. Mungkin lima menit lagi sampai," ujar gadis berjilbab itu sembari melihat luka di tangan Ramdan yang terkena sabetan belati saat berduel tadi.
Luka tersebut terlihat cukup lebar dan terus mengeluarkan darah.
Dengan sigap, Akira kemudian mengeluarkan jilbab cadangan yang dibawanya dari dalam tas. Jilbab itu kemudian dililitkannya di tangan Ramdan untuk menghentikan pendarahan.Beberapa saat kemudian, Agus Suseno datang bersama bawahannya. Kedua pelaku yang masih terkapar, langsung diborgol dan kemudian dimasukan ke dalam mobil patroli.
"Kamu nggak apa-apa, Dan?" tanya Agus.
"Iya luka sedikit saja. Untung ada gadis cantik yang menemani jadi sakitnya tidak terasa," ucap Ramdan sembari melemparkan senyum ke arah Akira yang sedari tadi terlihat khawatir.
Mendengar ucapan Ramdan, Akira mulai sedikit tersenyum.
"Ah, Bapak ini meledek terus," ujar Akira tertunduk malu.
"Cie ... cie ... asik dua sejoli ini. Kalau besok mau menikah jangan lupa undang saya, ya," potong Seno yang sedari tadi memperhatikan tingkah Ramdan dan Akira.
"Ya sudah, kalian ke puskesmas terdekat dulu. Mereka berdua biar kami yang tangani. Saya curiga, kedua pelaku ini ada kaitannya dengan kasus perampokan," lanjutnya.
Karena kondisi tangan Ramdan masih luka, membuatnya tak bisa memegang stir kemudi.
"Ra, kamu bisa bawa mobil 'kan?" tanyanya.
"Bisa, Pak" jawab Akira.
"Ya sudah, kamu yang bawa mobil ya?" sahutnya.
Keduanya langsung menuju puskesmas terdekat. Sesampainya di Puskesmas, luka Ramdan langsung mendapat penanganan. Setelah dibersihkan, dokter langsung memberikan jahitan untuk menutup luka. Ada delapan jahitan yang diberikan dokter.
"Dari sini, nanti kita ke kantor dulu ya," kata Ramdan usai mendapat perawatan.
"Lho bapak nggak langsung pulang saja?" sahut Akira.
"Kan mau antar kamu dulu. Nah, dari sana baru saya panggil sopir antar ke rumah," ujarnya.
"Tapi bapak nggak apa-apa 'kan?" tanya Akira lagi dengan raut cemas.
"Iya nggak apa-apa, Ra," jawabnya.
**********To be continued ...
By : Ana'na Bennu
Usai membekuk dua pelaku penyerangan terhadap Ramdan dan Akira, polisi terus melakukan penyelidikan. Hasilnya sesuai dugaan, kedua pelaku penyerangan ternyata pelaku perampokan yang melarikan diri. Bahkan, polisi kini menemukan bukti baru, bahwa salah satu dari mereka merupakan orang terdekat korban. "Ra, coba kamu hubungi polisi! Saya dapat info dari pak Ramdan, kalau pelaku penyerangan tadi siang ternyata juga bagian dari pelaku perampokan," kata Edi yang merupakan Redaktur Pelaksana (Redpel) Surat Kabar Harian Local Post. "Siap, Mas," ucap Akira yang tengah sibuk menulis berita. Akira menghentikan sejenak aktivitas menulisnya. Ia kemudian mengambil ponsel untuk menghubungi Agus Suseno. Tiga kali ia menghubungi nomor tersebut, tetapi tak kunj
Tiba di kamar kos. Akira yang merasa perutnya begitu penuh langsung bersiap untuk tidur. Setelah membersihkan diri dengan cepat dan menunaikan kewajiban salat isya yang tertinggal cukup larut. Ia pun beranjak ke pembaringannya. Tiba-tiba dering telepon yang terdengar kencang, membuatnya terpaksa harus bangkit saat ia baru saja merebahkan tubuh di atas kasur. "Assalamualaikum, Iraaaa!" teriak ibunya di ujung telepon, sehingga reflek ia menjauhkan gawai dari telinganya. "Waalaikumsalam, Mama ... jangan kenceng-kenceng suaranya, Mak. Nanti kedengaran ibu kos loh, di sini nggak boleh bertamu kalau udah malam?" jawabnya sambil terkekeh. Rasa rindunya sedikit terobati mendengar suara ibu. Orang yang selalu bersikap sama padanya. Sejak kecil hingga dewasa seperti saat ini. Suara cempreng dan cerewet ibunya selalu m
"Astagfirullah! aduh, aku nggak tahajud lagi. Huhh ... dasar mata ini mengantuk terus sih bawaannya!" umpat Akira saat sayup terdengar suara azan subuh dari surau. Gadis itupun menyeret langkahnya menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudhu. Tubuh yang begitu lelah setelah aktifitas liputan, menghalangi Akira untuk bangun di sepertiga malam. Padahal sebelum tidur, ia berniat untuk mengadukan setiap masalah yang dihadapinya kepada Sang Pencipta. Begitu banyak yang ia inginkan, sehingga terkadang perasaan ragu menyelimuti hatinya. Apakah pantas mendapatkan semua yang ia pinta, bila kewajiban kepada Tuhan-Nya saja sering terlambat ia kerjakan. Setelah salat subuh Akira lalu meraih mushaf alquran dengan sampul hitam miliknya yang ada di atas nakas. Ia membaca dengan suara lirih. Hati yang semula gersang perlahan merasakan
Siang itu, suasana kantor surat kabar harian Local Post, tampak lengang. Sebagian besar karyawan banyak yang berada di lapangan untuk melaksanakan tugasnya masing-masing. Hanya ada beberapa karyawan di bagian administrasi yang bertugas di kantor. Kedatangan Ramdan dan Akira pun tak banyak mendapat perhatian. "Selamat siang, Pak Ram. Eh ada Ira juga yah," sapa Gita, gadis cantik berpostur tinggi dengan rambut lurus sebahu. Ia salah satu karyawan administrasi marketing. "Lho tugas liputan sudah selesai, Ra. Kok tumben ngantornya cepat?" tanya gadis yang mengenakan jeans ketat dan kaos putih lengan pendek yang membentuk setiap lekukan tubuh itu. Sangat cantik, aroma tubuhnya yang wangi terbang hingga jarak lima meter dimana Akira berdiri. "Iya, Git. Tadi motorku kehabisan bensin. kebetu
Derttt ... Derttt ... Derttt ... Suara ponsel yang bergetar membangunkan Akira yang tengah terlelap. "Duhh siapa sih malam-malam masih nelpon? nggak tahu orang sedang istirahat!" gerutunya kesal sambil meraih handphone yang ia letakkan asal di sisi bantal. "Eh Pak Agus, iya Waalaikumsalam. Ada apa, Pak?" tanyanya pada orang di ujung telpon. "Ha! penemuan mayat! dimana lokasinya, Pak? oh iya saya tahu tempat itu. Baik, saya segera ke sana. Terimakasih infonya, Pak," ucap gadis itu tergesa. &
Sebelum melanjutkan perkembangan kasus penemuan mayat mutilasi, Akira terlebih dahulu mampir ke rumah kosnya, ia lupa memasukan kabel carger gawainya ke dalam tas ranselnya sebelum berangkat ke kantor pagi tadi. Saat tiba di depan kos, ia melihat Romlah sang ibu kos tengah membawa sebuah kotak berukuran sedang. "Paket buat siapa, Bu? tanya Akira saat baru saja kembali dari kantor. "Tadi ada yang mengantarkan ini. Katanya titipan untuk Mbak Akira. Nih ada namanya," ucap Romlah ibu kos sambil menunjukan selembar kartu bertuliskan nama Akira. "Tapi tak ada nama pengirimnya ya, Bu?" "Iya ya, atau mungkin saja kejutan dari kampung, Mbak," jawab wanita paruh baya itu. "Hmm ,,, ya sudah makasih ya, Bu," ucapnya terse
"Kamu nggak apa-apa nak Akira?" tanya Romlah yang merasa khawatir akan keselamatan Akira. "Iya, Bu saya nggak apa-apa," jawabnya singkat. "Oh gitu ya udah, nanti kalau ada perlu apa aja panggil ibu yah," ucap Romlah. Bagi wanita paruh baya itu, Akira bukan hanya sebagai penyewa kos-kosan miliknya saja, tapi sudah dianggapnya seperti anaknya sendiri. Maklum saja, sejak pindah dari Sulawesi 6 tahun lalu, gadis berjilbab itu langsung memilih tempatnya sebagai tempat berteduh. Sehingga ia tahu benar bagaimana keseharian Akira. "Baik saudari Akira, keterangannya sudah cukup. Silahkan istirahat. Nanti perkembangan selanjutnya akan kami kabari," ucap salah seorang petugas penyidik kepolisian. "Baik, Pak
Gadis itu merapikan hijabnya yang sedikit berantakan akibat tidurnya yang cukup pulas selama perjalanan. Lalu perlahan beranjak keluar dari mobil. Mengamati satu-persatu rekan sejawatnya yang telihat bersemangat. "Selamat pagi menjelang siang, Putri tidur," sapa Ramdan yang berada tak jauh dari mobil. "He-eh, semangat pagi menjelang siang, Bos," ucapnya bersemangat. "Pantainya indah ya, Ra," ucap Ramdan sambil menjajari langkah Akira yang berjalan ke arah Meta dan karyawan lain yang tengah sibuk menghamparkan terpal di bawah sebuah pohon besar. "Iya, bos. Senangnya bisa ke pantai," jawabnya sembari merentangkan kedua tangannya lebar. "Saya ke sana dulu ya, Bos," ucapnya
Part57. Ketika Ulat Bulu Datang Pagi itu Mufidah berencana untuk menemani putranya di rumah. Setelah beberapa hari sebelumnya ia selalu pergi meninggalkan demi restorannya yang sedang berkembang pesat. Meskipun ada Yanti orang kepercayannya yang bisa menghandel, tetap saja ia harus memantau secara langsung agar tidak terjadi kecurangan dalam pengelolaan keuangan di setiap cabang resto miliknya. "Sayang, bagaimana kakinya? apa masih sering terasa sakit?" tanyanya pada Ramdan yang sedang berjalan mengelilingi kolam renang yang ada di sayap kanan rumah mereka. "Baik," jawabnya cuek. Lelaki itu bahkan tak menoleh saat Mufidah berjalan menghampirinya. "Obat nya sudah diminum, Nak?" katanya sambil berdiri tak jauh dari putranya yang kini duduk di tepi kolam. Lelaki itu membiarkan kakinya tenggelam dal
Part56. SepiPoV Ramdan "Bi ...! tolong ambilkan ponsel saya di kamar!" teriakku pada Bi Ijum. Wanita itu segera berjalan tergesa menuju kamarku. Tak lama kemudian datang dengan ponsel di tangannya. "Ini, Den," ucapnya sopan. "Ada lagi yang perlu Bibi bantu?" tanyanya sebelum berlalu. "Tidak ada. Trima kasih, Bi," sahutku. "Oh ya, Mama biasa pulang jam berapa dari restonya?" tanyaku. "Biasanya sore kalau normal, Den. Tapi kalau sedang sibuk Nyonya bisa sampai malam," jelasnya. "Kalau butuh apa-apa, panggil Bibi saja, Den," katanya tersenyum. Wanita paruh baya itupun berlalu dari hadapan
Part 55. Berpisah "Saya pamit pulang ya, Pak." Lelaki itu tak menyahut, padahal posisi kami tidak jauh, hanya berjarak 1 meter pasti dia bisa mendengar ucapanku. Tapi kenapa tak merespon, apa dia melamun? "Pak ! saya pamit mau pulang," kataku lagi mengeraskan suara. Ia menoleh dan menatapku intens dari atas hingga ke bawah, seperti sedang menilai penampilanku. "Kenapa pulang? Apa kamu lelah membantuku?" ucapnya pelan namun cukup membuatku tersindir. Ah lagi-lagi aku merasa serba salah. Aku pulang ini karena ingin menemui mamak dan keluarga, tapi meninggalkan lelaki yang telah mengalami kecelakaan karena berniat menjemputku ini rasanya sangat membuatku putus asa. "Tidak, Pak. Saya akan kembal
Part54. Amnesia "Nggak usah sok baik, aku bisa jalan sendiri, Kok!" ketus Ramdan saat aku mencoba membantu bangkit dari posisinya yang kini terduduk di rumput taman. "Astaga orang ini, nggak bersyukur banget ada yang mau bantu! Coba kalau bukan bos ku sudah kutinggalkan dari tadi orang ini!" omelku kesal. "Apa kamu bilang?" sentaknya. "Eh ng--nggak ada bilang apa-apa kok, ayo jalan lagi! atau bapak mau istirahat dulu sambil makan? sahutku asal. "Tidak usah! saya jalan lagi saja!" ucapnya sambil berusaha bangkit dari duduknya dengan tangan bertopang pada tiang lampu taman. Jatuh bangun lelaki ini belajar berjalan, hingga terlihat bulir keringat menetes di dahinya. Wajah tampannya yang terlihat sedikit tirus
Part53. Sadar Setelah menerima telpon dari mamak. Aku masuk ke ruangan Ramdan, kulihat kondisinya masih sama. Tidak ada perubahan. Padahal kata dokter Yusuf, ia akan sadar setelah 1 jam pasca operasi. Ini sudah hampir 2 jam belum tampak perubahannya. Ada apa ini? Aku mulai panik, begitu juga dengan Tante Mufidah dan om Fatih. "Kok belum sadar ya, Om?" Om Fatih hanya menggeleng tak mengerti. Sementara Tante Mufidah terus menggenggam tangan putranya. Sambil mengucapkan kalimat-kalimat memotivasi untuk bangun. "Coba kita hubungi dokter Yusuf," ucapnya sembari meraih ponsel dari sakunya. Aku memilih duduk di sisi lain ranjang pasien meraih mushaf yang kuletakkan di atas nakas, lalu membacanya dengan lirih. Kubaca terus hingga membuatku tenang. Tak lama ti
Part52. SenduPov Akrom "Rom, sedang sibuk tidak? aku mau bicara sesuatu." Pesan dari Akira kuterima. Gadis yang sedang coba untuk kucintai. Iya, saat ini aku sedang belajar untuk mencintainya. Tinggal hitungan hari dan kami akan segera menikah. Tetapi saat mendengar penuturannya ditelpon. Aku sungguh merasa menjadi lelaki yang tak dihargai. Hari itu Akira menelpon untuk memintaku membatalkan pernikahan kami. Ada- ada saja permintaan gadis itu. Aku jelas merasa heran mendengarnya, apalagi saat ia menjelaskan alasannya sungguh membuatku sakit hati. "Sebenarnya ... aku mencintai orang lain, Rom. Maaf, aku sepertinya tidak bisa melanjutkan perjodohan ini. Bisakah kamu menyampaikan kepada orangtuamu bahwa aku menolak untuk menikah denganmu?" tutur gadis itu.
Part 51. Dilema Pasca operasi pengangkatan cairan dalam otak Ramdan. Ada dua orang perawat mendorong ranjang pasien menuju ke ruang perawatan. Sementara itu kedua orang tua Ramdan bersama Akira berdiri bersisian di dekat pintu mengamati sosok yang masih belum sadar. Wajah mereka terlihat penuh harap bercampur cemas. Masing-masing berdoa dalam hati agar lelaki yang mereka cintai itu segera membuka mata dan berbicara seperti biasa. Menurut keterangan dokter Yusuf yang menangani Ramdan. Ia akan segera pulih dalam waktu 60 menit pasca operasinya. Ketiganya duduk mengelilingi ranjang pasien, menunggu waktu 1 jam yang terasa begitu lama. Akira yang merasa lapar karena belum mengisi perut sejak pagi, mau tidak mau terpaksa harus keluar untuk mencari makan. "Bu ... Ira mau keluar dulu yah. Mau mencari makanan, ib
Part 50. Keluar Negeri Sudah sepekan lebih Ramdan terbaring koma di rumah sakit. Bahkan beberapa kali kondisinya menurun, sehingga dokter yang menanganinya terpaksa memasangkan alat bantu pernafasan dan pemicu detak jantung. Sementara, Akira yang terus berada disisi Ramdan tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya doa yang selalu ia panjatkan berharap calon suaminya itu cepat sadar dan pulih kembali. "Bos .. ayo bangun! Kamu sudah janji tidak akan meninggalkan aku kan?" ucap Akira sambil mengusap air matanya. Pagi itu, saat tengah menjaga Ramdan, tiba-tiba dokter datang membawa kabar baik. Bahwa untuk mempercepat pemulihan, pasien perlu dibawa berobat keluar negeri. "Bagaimana kondisinya. Apa sudah sadar?" tanya dokter. "Belum dokter. Tidak
Bab 49. Koma Setelah dirawat selama seminggu belum juga ada tanda-tanda Ramdan akan sadar. Hampir setiap hari ada saja orang yang datang menyambangi kami. Berita mengenai musibah itu menyebar dengan cepat. Mereka datang secara bergantian, terkadang relasi kantor Ramdan, termasuk beberapa pejabat tinggi daerah yang mengenal Ramdan secara pribadi. Juga para karyawan kantor. Sebagian menyempatkan datang saat malam hari. Demikian juga Pak Agus sahabat Ramdan. Sementara itu, Om Fatih secara otomatis mengambil alih perusahaan. Ia turun langsung menggantikan pekerjaan putranya. Syukurlah kondisi perusahaan berjalan dengan baik. Tak ada kendala berarti, Andre dan Arya bekerja dengan baik bersama tim lainnya. Berdasarkan diagnosa dokter, Ramdan mengalami koma yang terjadi karena kerusakan sal