Derttt ... Derttt ... Derttt ...
Suara ponsel yang bergetar membangunkan Akira yang tengah terlelap.
"Duhh siapa sih malam-malam masih nelpon? nggak tahu orang sedang istirahat!" gerutunya kesal sambil meraih handphone yang ia letakkan asal di sisi bantal.
"Eh Pak Agus, iya Waalaikumsalam. Ada apa, Pak?" tanyanya pada orang di ujung telpon.
"Ha! penemuan mayat! dimana lokasinya, Pak? oh iya saya tahu tempat itu. Baik, saya segera ke sana. Terimakasih infonya, Pak," ucap gadis itu tergesa.
Akira keluar dari kamar kosnya dengan perlahan. Tak ingin membuat keributan dan memancing tanya dari pemilik kos ataupun penghuni lainnya. Angin malam yang berhembus dari luar seolah-olah menyambut kehadiran gadis itu. Cuaca saat ini sangat dingin lantaran hujan yang turun beberapa saat lalu cukup deras membasahi bumi. Namun begitu, hawa dingin yang rasanya menusuk tajam ke dalam pori-pori kulit hingga menembus tulang, tak dihiraukan gadis itu. Dengan memakai hijab lebar dan membungkus tubuhnya dengan jaket tebal, Akira lalu bergegas menaiki sepeda motornya yang basah karena tetesan hujan. Dengan mengendarai sepeda motornya sedikit kencang Akira membelah malam menuju lokasi penemuan mayat seorang warga di desa Santangi Ulu. Tiba di lokasi, tampak beberapa warga berkerumun. Terlihat sejumlah aparat tengah memasang garis polisi di pinggir sungai yang menjadi lokasi tepat ditemukannya mayat korban. Sementara itu tiga anggota kepolisian mengangkat kantong jenazah berwarna orange menuju mobil ambulan. "Siapa korban itu, Pak?" tanya Akira pada seorang polisi tak berseragam. "Kami belum dapat pastikan identitasnya, Mba. Karena kondisi tubuhnya terpotong-potong. Sampai saat ini baru bagian badan, tangan kiri, dan kaki kanan yang ditemukan. Sedangkan yang lain masih dicari," jawab polisi yang tak asing wajahnya itu. "Innalillahi ...," ucap gadis itu lirih.Seketika wajah Akira menjadi pucat menyaksikan kondisi bagian tubuh mayat yang begitu mengenaskan. Terlihat jelas, ketiga potongan tubuh korban yang belum diketahui identitasnya itu sengaja dipotong dengan sadis oleh pelakunya. Gadis itu sontak bergidik ngeri dan menutup mulutnya saat sepintas melihat seorang polisi memasukan potongan jari yang terbungkus plastik bening ke dalam kantung jenazah. Tak hanya itu, terdapat beberapa luka sayatan hampir menutup di setiap kulit korban. "Ya Allah serem banget," gumamnya bergidik. "Jika melihat kondisinya seperti ini ada dua kemungkinan. Pertama, pelaku sangat benci dan dendam kepada korban, dan kedua pelaku ingin menghilangkan jejak," tutur polisi itu. Saat Akira tengah sibuk mengamati bagian potongan jasad korban, tiba-tiba Agus Suseno datang menghampiri wanita berjilbab itu.
"Sudah lama, Mba Akira?" sapa Agus.
"Eh, Pak Agus. Baru saja datang. Kondisinya mengenaskan sekali yah pak," ucap Akira. "Iya. Tampaknya sebelum tewas korban dianiaya dengan senjata tajam terlebih dahulu," tutur pria berambut cepak itu seraya menunjuk banyaknya luka sayatan di beberapa bagian jasad korban. "Kemudian setelah puas menganiaya, dengan sadisnya tubuh korban dipotong pelaku menjadi beberapa bagian terpisah. Termasuk bagian kepala juga. Sampai saat ini baru tiga bagian yang kami peroleh. Yakni tangan kanan, tubuh, dan kaki kiri," lanjutnya. "Oh begitu yah pak. Lalu selanjutnya bagaimana, Pak?" tanya Akira lagi. "Untuk sementara bagian potongan yang sudah ketemu akan kami bawa dulu ke rumah sakit untuk dioutopsi. Sedangkan bagian yang lain masih kami cari," jawabnya. "Hmmm ... beberapa hari ini kan warga sekitar lagi ramai dengan aksi demo menentang perusahaan. Apa penemuan mayat ini ada kaitannya dengan aksi itu?" tanya Akira lagi. "Kami masih minim petunjuk, Mba. Jadi belum bisa menyimpulkan apa-apa. Mungkin kalau identitas korban bisa diketahui, baru bisa kami simpulkan apa motif pelaku," tambah Agus. "Oh baik, Pak. Kami tunggu informasi selanjutnya." Ucapnya hormat.Gadis itu pun meminta ijin kepada polisi sebelum mengambil gambar dari beberapa sudut untuk mendukung kelengkapan beritanya. Sesekali diedarkan pandangannya mencari rekan dari media lain. Rupanya mereka sedang menginterview beberapa warga.
Akira lantas mendekati sekelompok warga yang tengah berkumpul. "Bapak yang menemukan jasad korbannya?" tanya Akira pada pria berbaju merah dengan sarung yang menutupi sebagian tubuhnya. Pria berumur sekitar 50 tahunan itu masih terlihat pucat atas kejadian yang baru saja dialaminya. "Iya, Mbak. Saya dan dua kawan saya ini yang menemukan" jawab Muliadi sambil menunjuk ketiga pria yang ada di sisinya. Satu pria berbadan kurus, tinggi, berkulit kecoklatan dan berambut kriting bernama Anto. Sedangkan satunya lagi berbadan sedikit gemuk, dan berambut plontos bernama Joko.Muliadi menceritakan, sebelum kejadian mereka sedang mencari lokasi untuk memancing. Maklum lokasi penemuan mayat tersebut memang dikenal sebagai lokasi favorit warga untuk memancing. Karena sungainya agak dalam dan banyak terdapat beberapa jenis ikan air tawar. "Nah waktu kami mau turun ke sungai, tiba-tiba saya merasa menginjak sesuatu. Awalnya saya kira batang pohon mati, karena tertutup daun. Eh pas dibuka ternyata tangan orang," jelas Muliadi. "Betul, Mba saya sampai nggak percaya kalau itu tangan orang," timpal Joko dan Anto membenarkan perkataan rekannya. Akira mengedarkan netranya ke sekitar lokasi kejadian. Sungai panjang yang membentang di belakang rumah warga itu terlihat berwarna kecoklatan pekat. Sehingga bisa dipastikan tak layak untuk dikonsumsi manusia. Wajar saja warga melakukan protes besar-besaran terhadap perusahaan jika benar rusaknya sungai mereka akibat limbah pabrik perusahaan. Cukup lama Akira menghabiskan waktunya berbincang bersama warga. Setelah memastikan semua data beritanya aman, gadis itu beranjak meninggalkan lokasi. Wajahnya terlihat putih bersih karena udara dingin. Bibirnya merona dengan kelopak mata yang sedikit gelap. Ia kemudian menjalankan kendaraannya pulang ke kos. Sambil mengingat peristiwa pembunuhan yang baru saja terjadi.
"Sungguh mengerikan," gumamnya.
"Hanya dalam jangka waktu sehari pasca unjuk rasa, tiba-tiba ditemukan ada mayat tanpa identitas tewas mengenaskan. Apa sebenarnya yang terjadi?" pikirnya. "Apa ini ada kaitannya dengan aksi demo kemarin ya? Ah lebih baik aku bicarakan dengan Pak Ramdan" ucapnya termangu. Sesaat setelah gadis itu tiba di kos, suara adzan subuh berkumandang dari surau. Ia pun segera membersihkan diri dan mengambil wudhu, lalu melaksanakan kewajiban salat subuhnya.@@@
Pagi harinya gadis itu telah siap, berusaha menahan kantuk sambil meregangkan setiap pergelangan juga otot yang sempat kaku sejak semalam. Aroma sabun dan sampo yang ia pakai terhirup hingga membuat jiwanya tenang dan kembali bersemangat.
Hari ini sebenarnya jadwal libur Akira. Biasanya ia akan tidur seharian di kamar. Apalagi jatah tidurnya semalam berkurang, karena harus melaksanakan liputan malam. Namun keinginan untuk tidur terpaksa ditunda. Karena ia harus segera ke kantor menyelesaikan berita kasus penemuan jasad mutilasi yang menghebohkan warga Desa Santangi Ulu. "Ayo Akira ... kerja, kerja, kerja kamu harus semangat. Ingat, masih banyak mimpi yang harus kamu raih," gumamnya memberi semangat pada dirinya.Tiga puluh menit berselang, Akira tiba di depan kantor tempatnya bekerja. Perlahan ia memasukan sepeda motor kesayangannya ke halaman parkir. Kakinya pun kemudian melangkah menaiki anak tangga kantor. Di depan pintu masuk, gadis berjilbab ungu itu disambut tatapan kebingungan oleh Ismail.
"Lho mba Akira bukannya hari ini libur. Kok masuk kerja?" tanya Ismail keheranan. Karena pria berkumis tebal itu tahu betul jika sudah jadwal libur, Akira tak pernah masuk kantor.
"Iya nih, Pak Mail. Lagi ada berita penting, terrpaksa liburnya di pending dulu, deh," ucapnya sambil berlalu dengan senyum memasuki pintu kantor.Hanya butuh tiga puluh menit bagi Akira untuk menuntaskan penulisan berita. Segera ia kirim berita tersebut ke server redaksi untuk selanjutnya diperiksa sebelum terbit cetak.
"Wah beritanya bagus Ra, besok akan kita buat full halaman. Khusus membahas kasus penemuan mayat mutilasi ini" ucap Ramdan yang tiba-tiba masuk ke ruangan redaksi dan duduk di hadapan Akira dengan antusias.
"Tapi, Pak hari ini kan jadwal saya libur?" katanya keberatan. "Eits ... nggak boleh libur dulu. Berita ini akan viral, jadi harus running terus, Ra. Hari ini juga kamu lanjutkan kembali liputannya ke polisi bagaimana perkembangan kasusnya!" tegas pria tampan itu. "Ada kemungkinan polisi kembali menemukan beberapa potongan bagian tubuh lainnya," tambahnya. "Baiklah, Pak. Tapi setelah selesai saya minta liburnya dirapel ya, Pak" jawab Akira mengalah. "Oke bisa diatur yang penting urus dulu berita ini sampai tuntas," ucap Ramdan tersenyum.To Be Continued ...
by Ananabennu
*** Ana'na Bennu***
Sebelum melanjutkan perkembangan kasus penemuan mayat mutilasi, Akira terlebih dahulu mampir ke rumah kosnya, ia lupa memasukan kabel carger gawainya ke dalam tas ranselnya sebelum berangkat ke kantor pagi tadi. Saat tiba di depan kos, ia melihat Romlah sang ibu kos tengah membawa sebuah kotak berukuran sedang. "Paket buat siapa, Bu? tanya Akira saat baru saja kembali dari kantor. "Tadi ada yang mengantarkan ini. Katanya titipan untuk Mbak Akira. Nih ada namanya," ucap Romlah ibu kos sambil menunjukan selembar kartu bertuliskan nama Akira. "Tapi tak ada nama pengirimnya ya, Bu?" "Iya ya, atau mungkin saja kejutan dari kampung, Mbak," jawab wanita paruh baya itu. "Hmm ,,, ya sudah makasih ya, Bu," ucapnya terse
"Kamu nggak apa-apa nak Akira?" tanya Romlah yang merasa khawatir akan keselamatan Akira. "Iya, Bu saya nggak apa-apa," jawabnya singkat. "Oh gitu ya udah, nanti kalau ada perlu apa aja panggil ibu yah," ucap Romlah. Bagi wanita paruh baya itu, Akira bukan hanya sebagai penyewa kos-kosan miliknya saja, tapi sudah dianggapnya seperti anaknya sendiri. Maklum saja, sejak pindah dari Sulawesi 6 tahun lalu, gadis berjilbab itu langsung memilih tempatnya sebagai tempat berteduh. Sehingga ia tahu benar bagaimana keseharian Akira. "Baik saudari Akira, keterangannya sudah cukup. Silahkan istirahat. Nanti perkembangan selanjutnya akan kami kabari," ucap salah seorang petugas penyidik kepolisian. "Baik, Pak
Gadis itu merapikan hijabnya yang sedikit berantakan akibat tidurnya yang cukup pulas selama perjalanan. Lalu perlahan beranjak keluar dari mobil. Mengamati satu-persatu rekan sejawatnya yang telihat bersemangat. "Selamat pagi menjelang siang, Putri tidur," sapa Ramdan yang berada tak jauh dari mobil. "He-eh, semangat pagi menjelang siang, Bos," ucapnya bersemangat. "Pantainya indah ya, Ra," ucap Ramdan sambil menjajari langkah Akira yang berjalan ke arah Meta dan karyawan lain yang tengah sibuk menghamparkan terpal di bawah sebuah pohon besar. "Iya, bos. Senangnya bisa ke pantai," jawabnya sembari merentangkan kedua tangannya lebar. "Saya ke sana dulu ya, Bos," ucapnya
Bulir-bulir kecil jatuh dari kelopak mata Akira saat meninggalkan ruangan Edy. Gadis itu tak menyangka jika pria yang dikenalnya baik itu ternyata bisa bersikap kasar. Air matanya pun masih mengalir, sampai akhirnya Meta datang menghampiri. "Widih, pagi-pagi sudah sedih. Ada apa puteri cantik?" sapa Meta yang langsung duduk sambil memeluk sahabatnya itu. Akira tak menjawab, ia hanya diam sambil mengusap air mata yang keluar. "Coba katakan siapa orang yang berani menyakiti sahabat aku ini?" tanya Meta. Akira pun menceritakan masalah yang dialaminya kepada Meta. "Wah nggak bisa dibiarkan, Mas Edy ini. Biar saya bicara sama dia!" ucap Meta sambil berdiri ingin mendatangi ruangan Edy.
Flash Back "Jangan pernah kembali ke sini lagi! aku sudah muak melihat wajahmu! cepat pergi dan jangan membawa seperserpun harta milikku. Dasar wanita gila!" teriak Baskoro dengan geram. "Baiklah, aku akan pergi dari sini tapi tolong biarkan aku membawa putraku. Aku mohon ,,," ucap wanita cantik di hadapannya memelas. "Jangan mimpi kamu, sudah kukatakan tidak ada yang boleh kau bawa selain dirimu dan pakaian yang melekat di tubuhmu saat ini, termasuk Edy putraku!" cepat pergi sebelum dia terbangun!" usir pria itu tak sabar. "Tapi Edy juga anakku, Mas," bantah Samara tak terima. "Iya, kamu memang melahirkannya tapi bukan kamu yang merawat dan membesarkannya kan? jadi dia tetap bersamaku sampa
Sudah 3 bulan berlalu sejak ibu memberi tenggat waktu bagi Akira untuk menemukan calon suaminya. Namun hingga kini belum ada tanda-tanda akan kehadiran sosok yang dinantikan itu. "Aduh jadi siapa yang akan aku bawa menghadap mama di kampung ya?" ucapnya berpikir keras. Sungguh masalah yang rumit, padahal sudah ada Edy yang berkali-kali memintanya menjadi kekasih namun ia tolak. Begitu juga dengan Akrom yang jelas-jelas kata ibunya pria paling sempurna untuk menjadi pendamping hidup. Lalu apa lagi yang ia cari. Mengapa belum juga ada titik terang? Entahlah Akira sendiri belum bisa bepikir jernih untuk masalah itu. "Aduhh ... pusing kepalaku, Mak!" teriaknya sambil menutup mulut dengan bantal.  
"Baiklah. Besok pagi segera urus administrasi perijinan langsung di kantor," ucap Ramdan. "Terima kasih banyak, Pak. Kalau begitu saya pamit pulang ya, mau packing," ujarnya girang. Sementara Ramdan yang belum beranjak dari duduknya nampak termangu. Melihat antusiasnya gadis itu pergi meninggalkan dirinya. Ia mendengar percakapan Akira dengan sang kakak. Gadis itu begitu peduli kepada keluarganya khususnya sang ibu. Itulah sebabnya tanpa berpikir panjang ia langsung memberinya ijin cuti. Namun jauh di lubuk hati, ada perasaan tak rela bila gadis itu pergi. Sepertinya Ia akan merasa kehilangan sosok ceria yang kini mulai akrab dengan dirinya. "Semoga ibunya cepat sembuh agar Akira bisa kembali ke kantor lagi," harapny
"Mama ... Ira sudah datang, Mak ,,,!" teriak Akira sambil berlari memeluk ibunya yang masih terbaring di ranjang pasien. "Aduh jangan kencang-kencang peluknya, Ra. Mama kan masih sakit," tegur Sari yang melihat ibunya meringis saat Akira dengan sekonyong-konyong memeluk ibunya. "Eh maaf, Ma. Ira lupa hehe," ucapnya cengengesan. Ia begitu sedih melihat ibunya yang terbaring lemah. Tak terlihat sosok yang selalu menceramahinya dengan cerewet. Akan tetapi ia tak ingin menunjukan kesedihannya di depan ibu. Ia justru harus tetap ceria agar ibunya pun semangat untuk sembuh. "Mama cepat sembuh yah. Ayok kita pulang ke rumah. Ira jauh-jauh ke sini kan nggak mau lama-lama di rumah sakit. Maunya di rumah saja sama
Part57. Ketika Ulat Bulu Datang Pagi itu Mufidah berencana untuk menemani putranya di rumah. Setelah beberapa hari sebelumnya ia selalu pergi meninggalkan demi restorannya yang sedang berkembang pesat. Meskipun ada Yanti orang kepercayannya yang bisa menghandel, tetap saja ia harus memantau secara langsung agar tidak terjadi kecurangan dalam pengelolaan keuangan di setiap cabang resto miliknya. "Sayang, bagaimana kakinya? apa masih sering terasa sakit?" tanyanya pada Ramdan yang sedang berjalan mengelilingi kolam renang yang ada di sayap kanan rumah mereka. "Baik," jawabnya cuek. Lelaki itu bahkan tak menoleh saat Mufidah berjalan menghampirinya. "Obat nya sudah diminum, Nak?" katanya sambil berdiri tak jauh dari putranya yang kini duduk di tepi kolam. Lelaki itu membiarkan kakinya tenggelam dal
Part56. SepiPoV Ramdan "Bi ...! tolong ambilkan ponsel saya di kamar!" teriakku pada Bi Ijum. Wanita itu segera berjalan tergesa menuju kamarku. Tak lama kemudian datang dengan ponsel di tangannya. "Ini, Den," ucapnya sopan. "Ada lagi yang perlu Bibi bantu?" tanyanya sebelum berlalu. "Tidak ada. Trima kasih, Bi," sahutku. "Oh ya, Mama biasa pulang jam berapa dari restonya?" tanyaku. "Biasanya sore kalau normal, Den. Tapi kalau sedang sibuk Nyonya bisa sampai malam," jelasnya. "Kalau butuh apa-apa, panggil Bibi saja, Den," katanya tersenyum. Wanita paruh baya itupun berlalu dari hadapan
Part 55. Berpisah "Saya pamit pulang ya, Pak." Lelaki itu tak menyahut, padahal posisi kami tidak jauh, hanya berjarak 1 meter pasti dia bisa mendengar ucapanku. Tapi kenapa tak merespon, apa dia melamun? "Pak ! saya pamit mau pulang," kataku lagi mengeraskan suara. Ia menoleh dan menatapku intens dari atas hingga ke bawah, seperti sedang menilai penampilanku. "Kenapa pulang? Apa kamu lelah membantuku?" ucapnya pelan namun cukup membuatku tersindir. Ah lagi-lagi aku merasa serba salah. Aku pulang ini karena ingin menemui mamak dan keluarga, tapi meninggalkan lelaki yang telah mengalami kecelakaan karena berniat menjemputku ini rasanya sangat membuatku putus asa. "Tidak, Pak. Saya akan kembal
Part54. Amnesia "Nggak usah sok baik, aku bisa jalan sendiri, Kok!" ketus Ramdan saat aku mencoba membantu bangkit dari posisinya yang kini terduduk di rumput taman. "Astaga orang ini, nggak bersyukur banget ada yang mau bantu! Coba kalau bukan bos ku sudah kutinggalkan dari tadi orang ini!" omelku kesal. "Apa kamu bilang?" sentaknya. "Eh ng--nggak ada bilang apa-apa kok, ayo jalan lagi! atau bapak mau istirahat dulu sambil makan? sahutku asal. "Tidak usah! saya jalan lagi saja!" ucapnya sambil berusaha bangkit dari duduknya dengan tangan bertopang pada tiang lampu taman. Jatuh bangun lelaki ini belajar berjalan, hingga terlihat bulir keringat menetes di dahinya. Wajah tampannya yang terlihat sedikit tirus
Part53. Sadar Setelah menerima telpon dari mamak. Aku masuk ke ruangan Ramdan, kulihat kondisinya masih sama. Tidak ada perubahan. Padahal kata dokter Yusuf, ia akan sadar setelah 1 jam pasca operasi. Ini sudah hampir 2 jam belum tampak perubahannya. Ada apa ini? Aku mulai panik, begitu juga dengan Tante Mufidah dan om Fatih. "Kok belum sadar ya, Om?" Om Fatih hanya menggeleng tak mengerti. Sementara Tante Mufidah terus menggenggam tangan putranya. Sambil mengucapkan kalimat-kalimat memotivasi untuk bangun. "Coba kita hubungi dokter Yusuf," ucapnya sembari meraih ponsel dari sakunya. Aku memilih duduk di sisi lain ranjang pasien meraih mushaf yang kuletakkan di atas nakas, lalu membacanya dengan lirih. Kubaca terus hingga membuatku tenang. Tak lama ti
Part52. SenduPov Akrom "Rom, sedang sibuk tidak? aku mau bicara sesuatu." Pesan dari Akira kuterima. Gadis yang sedang coba untuk kucintai. Iya, saat ini aku sedang belajar untuk mencintainya. Tinggal hitungan hari dan kami akan segera menikah. Tetapi saat mendengar penuturannya ditelpon. Aku sungguh merasa menjadi lelaki yang tak dihargai. Hari itu Akira menelpon untuk memintaku membatalkan pernikahan kami. Ada- ada saja permintaan gadis itu. Aku jelas merasa heran mendengarnya, apalagi saat ia menjelaskan alasannya sungguh membuatku sakit hati. "Sebenarnya ... aku mencintai orang lain, Rom. Maaf, aku sepertinya tidak bisa melanjutkan perjodohan ini. Bisakah kamu menyampaikan kepada orangtuamu bahwa aku menolak untuk menikah denganmu?" tutur gadis itu.
Part 51. Dilema Pasca operasi pengangkatan cairan dalam otak Ramdan. Ada dua orang perawat mendorong ranjang pasien menuju ke ruang perawatan. Sementara itu kedua orang tua Ramdan bersama Akira berdiri bersisian di dekat pintu mengamati sosok yang masih belum sadar. Wajah mereka terlihat penuh harap bercampur cemas. Masing-masing berdoa dalam hati agar lelaki yang mereka cintai itu segera membuka mata dan berbicara seperti biasa. Menurut keterangan dokter Yusuf yang menangani Ramdan. Ia akan segera pulih dalam waktu 60 menit pasca operasinya. Ketiganya duduk mengelilingi ranjang pasien, menunggu waktu 1 jam yang terasa begitu lama. Akira yang merasa lapar karena belum mengisi perut sejak pagi, mau tidak mau terpaksa harus keluar untuk mencari makan. "Bu ... Ira mau keluar dulu yah. Mau mencari makanan, ib
Part 50. Keluar Negeri Sudah sepekan lebih Ramdan terbaring koma di rumah sakit. Bahkan beberapa kali kondisinya menurun, sehingga dokter yang menanganinya terpaksa memasangkan alat bantu pernafasan dan pemicu detak jantung. Sementara, Akira yang terus berada disisi Ramdan tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya doa yang selalu ia panjatkan berharap calon suaminya itu cepat sadar dan pulih kembali. "Bos .. ayo bangun! Kamu sudah janji tidak akan meninggalkan aku kan?" ucap Akira sambil mengusap air matanya. Pagi itu, saat tengah menjaga Ramdan, tiba-tiba dokter datang membawa kabar baik. Bahwa untuk mempercepat pemulihan, pasien perlu dibawa berobat keluar negeri. "Bagaimana kondisinya. Apa sudah sadar?" tanya dokter. "Belum dokter. Tidak
Bab 49. Koma Setelah dirawat selama seminggu belum juga ada tanda-tanda Ramdan akan sadar. Hampir setiap hari ada saja orang yang datang menyambangi kami. Berita mengenai musibah itu menyebar dengan cepat. Mereka datang secara bergantian, terkadang relasi kantor Ramdan, termasuk beberapa pejabat tinggi daerah yang mengenal Ramdan secara pribadi. Juga para karyawan kantor. Sebagian menyempatkan datang saat malam hari. Demikian juga Pak Agus sahabat Ramdan. Sementara itu, Om Fatih secara otomatis mengambil alih perusahaan. Ia turun langsung menggantikan pekerjaan putranya. Syukurlah kondisi perusahaan berjalan dengan baik. Tak ada kendala berarti, Andre dan Arya bekerja dengan baik bersama tim lainnya. Berdasarkan diagnosa dokter, Ramdan mengalami koma yang terjadi karena kerusakan sal