Siang itu, suasana kantor surat kabar harian Local Post, tampak lengang. Sebagian besar karyawan banyak yang berada di lapangan untuk melaksanakan tugasnya masing-masing. Hanya ada beberapa karyawan di bagian administrasi yang bertugas di kantor. Kedatangan Ramdan dan Akira pun tak banyak mendapat perhatian.
"Selamat siang, Pak Ram. Eh ada Ira juga yah," sapa Gita, gadis cantik berpostur tinggi dengan rambut lurus sebahu. Ia salah satu karyawan administrasi marketing. "Lho tugas liputan sudah selesai, Ra. Kok tumben ngantornya cepat?" tanya gadis yang mengenakan jeans ketat dan kaos putih lengan pendek yang membentuk setiap lekukan tubuh itu. Sangat cantik, aroma tubuhnya yang wangi terbang hingga jarak lima meter dimana Akira berdiri. "Iya, Git. Tadi motorku kehabisan bensin. kebetulan Pak, Ram lewat jadi sekalian diajakin ikut ke kantor," sahut Akira sembari melenggang menuju meja kerjanya. "Katanya ada yang harus ditanda tangani. Mana berkasnya, Gita?" tanya Ramdan. "Iya, Pak. Sudah saya letakkan di meja bapak," sahutnya lembut sembari tersenyum menawan. "Ok kalau gitu," ujar Ramdan lalu beranjak ke ruangannya. "Ish, cuek banget sih pak bos ini! padahal udah dilembut lembutin gini kok," gerutu Gita kesal melihat Ramadan yang langsung pergi. Sementara Akira kini tengah sibuk mempersiapkan bahan berita aksi demo yang diliputnya tadi. Namun konsentrasinya pecah karena tiba-tiba teringat permintaan Edi semalam. Ia masih ragu dengan jawaban apa yang harus disampaikannya ke Edy nanti. "Selesaikan berita dulu baru pikirkan yang lain. Ayo fokus Akira!" ucapnya pada diri sendiri. Gadis itu pun mulai menulis dengan konsentrasi. Berkat data yang lengkap, hanya berselang 30 menit ia akhirnya mampu menyelesaikan beberapa berita dengan cepat. Tak lama terdengar suara adzan dzuhur dari notifikasi di ponselnya, membuat gadis itu menarik napas lega. Karena waktu salat baginya adalah saat tepat untuk mengistirahatkan badan dan menyegarkan otaknya sejenak. Berjalan menuju areal belakang kantor, yang terdapat wc dan dapur khusus karyawan. Setelah berwudhu, la lalu melangkah menuju musholla kecil di pojok ruangan. Sejak awal bergabung di perusahaan ini, ruangan itulah yang menjadi tempat favorit Akira ditengah kesibukan pekerjaannya. Ia pun melaksanakan salat dzuhur dengan khusyu'. Tak lupa memohon petunjuk dari yang kuasa untuk menentukan jawaban apa yang harus diberikan kepada Edi yang ingin menjadi kekasih menuju halalnya. "Mbak Met udah datang belum ya, rasanya lapar banget ini," gumamnya saat merasakan perut yang mulai gaduh di dalam sana. Beranjak keluar dari musholla, gadis itu berniat mencari makan di warung depan kantor. Seketika dari arah pintu muncul Edi yang datang dengan membawa sebuah plastik putih transparan. "Ini." "Apa, Mas ?" tanyanya saat melihat Edi meletakan plastik itu di meja. "Tadi pesan di Grim food." "Makan gih, pasti lapar kan? katanya seraya tersenyum. "Mas sudah makan?" "Saya udah tadi," jawabnya seraya duduk di kursi yang menghadap Akira. "Terima kasih ya, Mas," ucapnya seraya membuka box makan yang kini menguarkan aroma sedap. "Saya makan ya, Mas. Bismillah," tambahnya sambil mulai menikmati makanannya dengan santai. Menyadari pria bermata sipit di hadapan terus menerus menatapnya tajam. Cukup membuat ia risih dan tiba-tiba teringat soal ucapan Edi semalam. "Astagfirullah!" ucapnya. "Kenapa, Ra? tanya Edy kaget. "He he. Nggak apa-apa kok, Mas," jawabnya merasa kikuk. "Gimana, Ra, sudah ada jawabannya belum?" tanya Edi yang kini menyodorkan botol minuman kemasan pada gadis di hadapannya. "Hmm gimana ya, Mas. Sa ... " ucap Akira yang tersentak kaget melihat kedatangan dua sahabatnya yang muncul tiba-tiba. "Cieeeee!" teriak Bimo dan Meta berbarengan. "Asiknya makan berdua nggak bagi-bagi," ucap Bimo dan Meta. Keduanya langsung duduk di sisi Akira, yang kini tengah membereskan plastik bekas makannya. Mengambil tisu dan melap mulut yang sedikit berminyak. "Apaan, sih. Siapa yang makan berdua, yang makan tuh saya. Ini rejeki buat anak manis kaya saya, karena liputan udah, berita juga sudah beres. Sekarang perut kenyang, saatnya pulang tidur," jawab Akira terkekeh dan beranjak dari kursi. "Jadi langsung pulang, Ra? tanya Meta yang mulai mengetik beritanya. "Iya, Mba Met," jawab Akira menepuk bahu sahabatnya sejenak sambil berlalu. "Bagus, Bim. Fotonya keren-keren nih," ungkap Edy yang tengah mengecek foto-foto hasil jepretan Bimo. "Kirim ke server sekalian teks fotonya yah," ucap Edi yang kini beranjak meninggalkan ruangan. Pria itu bergegas keluar ingin mengejar Akira. Kesal dengan kemunculan kedua sahabat gadis itu yang membuatnya batal mendengar jawaban soal permintaannya semalam. Mengedarkan netranya ke halaman parkir kantor. Tak ditemukan keberadaan gadis itu. "Cari siapa, Mas? tanya Ismail, petugas keamanan yang sedang berjaga. "Akira sudah pulang ya, Pak?" " Sudah, Mas. Baru saja lewat tadi sama bos Ram," tutur pria paruh baya itu. "Ha sama pak, Ram? naik mobil bos gitu?" tanyanya memastikan. "Iya, Mas. Mbak Akira nggak bawa motor. Mungkin masih rusak motornya. Biasanya kan selalu bawa motor kalau ke kantor," ungkapnya. Wajah Edi memerah menahan rasa kesal sekaligus cemburu. Merasa kalau gadis pujaan hatinya pergi meninggalkan dirinya dan kini sedang bersama pria lain. "Huh sialan Ramdan itu! mentang-mentang bos, bisa-bisanya mengajak Akira pulang. Seharusnya aku yang mengantar pulang!" umpatnya kesal lantas kembali masuk kantor dengan membanting pintu dengan keras.@@@
Ramdan menjalankan kendaraannya dengan santai, menyusuri jalan kota yang tak terlalu padat. Sesekali tangannya menggerakkan cermin kecil yang berada di atas dashboard. Gadis itu duduk diam tampaknya masih kesal lantaran sepeda motornya lupa diantar ke kantor. Sehingga dengan terpaksa naik ke mobilnya. "Maaf ya, Ra. Saya betul-betul lupa minta pak Eko ngambil motor kamu," ucapnya. Hening tak ada jawaban. "Ra ... kamu tidur atau melamun?" tanyanya lagi. "Harusnya tadi saya langsung isi bensin saja, Pak. Jadi nggak perlu menumpang mobil terus," jawab gadis itu pelan. "Oya besok jadwal kamu libur kan, Ra? tanya Ramdan mengalihkan topik pembicaraan. "Iya, Pak." "Saya ajak ke suatu tempat mau nggak, Ra?" tanyanya. "Nggak mau, Pak. Waktu libur saya pakai istirahat di kos saja," jawabnya sambil menatap gawai di tangan. "Ya sudah kalau begitu kapan-kapan jalan bareng Meta dan Bimo, mau nggak?" tanyanya lagi. "Boleh, Pak. Kapan itu? tanya Akira antusias. "Atur waktu libur kalian yang pas, jadi bisa barengan. Sekalian sama anak layout dan marketing yang sedang libur." Tukasnya sambil tersenyum. Ia kini mulai mengenal watak gadis di belakangnya. Sosok yang berbeda dengan gadis manapun yang ia kenal. Ada prinsip yang coba dipertahankan dan itu tak mudah untuk digoyahkan. Tak lama ia pun menepikan kendaraannya saat tiba di warung tempat menitipkan sepeda motor Akira saat kehabisan bensin. "Makasih tumpangannya, Pak!" ucap gadis itu saat turun dari mobil. "Iya sama-sama, jangan lupa diisi bensinnya," jawabnya sambil berlalu. "He he. Siap, Pak." Akira pun segera membeli 2 liter bensin dan mengisi tangki motornya. Merasa konyol karena terburu-buru dan tidak mengecek isi tangki sebelum berangkat liputan pagi tadi. Gadis itu pun memacu kendaraannya di jalan beraspal yang lengang sehingga mempercepat ia sampai ke kos. Akira buru-buru masuk ke kamar indekosnya. Namun baru 10 detik ia menginjakkan kakinya di lantai keramik itu, tiba-tiba suara Iwan Fals yang menjadi nada dering ponselnya mengejutkan. Dengan malas ia meraih gawai yang sedari tadi berada di tas punggung birunya. "Iya, Mas ada apa ? tanyanya saat tahu Edi yang menelpon. "Sudah sampai kos, Ra? tanya Edy. "Sudah. Ini baru sampai." "Ra, tadi kamu mau sampaikan jawaban pas di kantor kan? "Iya." "Kamu mau jadi kekasih mas kan, Ra? tanyanya berharap."Maaf, Mas Edi. Saya nggak bisa," jawab Akira pelan.
"Kenapa, Ra?
"Karena saya sama sekali nggak ada perasaan apa-apa sama Mas,"
"Tapi saya ada, Ra."
Gadis itu diam mematung, merasa hatinya tak berdebar sedikitpun walaupun pria tampan di seberang sana mungkin tengah menatapnya dengan tatapan tajam.
"Kenapa, Ra? bukankah selama ini kamu juga menyukai saya?"
"Iya benar. Saya menyukai, Mas sebagai sahabat dan atasan yang sangat baik bagi saya. Hanya saja tak pernah terbersit untuk menjadi kekasih, Mas."
"Kasih saya kesempatan, Ra. Please ...,"
"Kesempatan apa, Mas? Saya sadar kalau Mas sudah banyak membantu saya. Tapi saya nggak bisa memaksakan perasaan ini. Banyak wanita di luar sana yang lebih pantas untuk Mas Edi dan itu bukan saya. Saya lebih nyaman bila kita bersahabat saja ya, tolong pahami itu, Mas." Tukasnya sembari memutus sambungan telepon.
lelaki itu mematung diam membiarkan rasa perih bagai teriris sembilu menyayat hatinya. Baru kali ini ia ditolak. Merasa kalah dengan ambisinya ingin memiliki gadis itu. Tapi ia tak boleh menyerah, selama ini dengan mudah gadis-gadis takluk di hadapannya. Hanya dengan modal harta dan wajah tampannya. Para gadis itu tergila-gila padanya. Kali inipun tak boleh gagal ia sungguh menyukai gadis sederhana itu.
" Aku nggak akan menyerah, Akira. Kamu harus kudapatkan, harus menjadi milikku seutuhnya ...," gumamnya dengan mata berkilat.
To Be Continued ...
*** Ana'na Bennu***
Derttt ... Derttt ... Derttt ... Suara ponsel yang bergetar membangunkan Akira yang tengah terlelap. "Duhh siapa sih malam-malam masih nelpon? nggak tahu orang sedang istirahat!" gerutunya kesal sambil meraih handphone yang ia letakkan asal di sisi bantal. "Eh Pak Agus, iya Waalaikumsalam. Ada apa, Pak?" tanyanya pada orang di ujung telpon. "Ha! penemuan mayat! dimana lokasinya, Pak? oh iya saya tahu tempat itu. Baik, saya segera ke sana. Terimakasih infonya, Pak," ucap gadis itu tergesa. &
Sebelum melanjutkan perkembangan kasus penemuan mayat mutilasi, Akira terlebih dahulu mampir ke rumah kosnya, ia lupa memasukan kabel carger gawainya ke dalam tas ranselnya sebelum berangkat ke kantor pagi tadi. Saat tiba di depan kos, ia melihat Romlah sang ibu kos tengah membawa sebuah kotak berukuran sedang. "Paket buat siapa, Bu? tanya Akira saat baru saja kembali dari kantor. "Tadi ada yang mengantarkan ini. Katanya titipan untuk Mbak Akira. Nih ada namanya," ucap Romlah ibu kos sambil menunjukan selembar kartu bertuliskan nama Akira. "Tapi tak ada nama pengirimnya ya, Bu?" "Iya ya, atau mungkin saja kejutan dari kampung, Mbak," jawab wanita paruh baya itu. "Hmm ,,, ya sudah makasih ya, Bu," ucapnya terse
"Kamu nggak apa-apa nak Akira?" tanya Romlah yang merasa khawatir akan keselamatan Akira. "Iya, Bu saya nggak apa-apa," jawabnya singkat. "Oh gitu ya udah, nanti kalau ada perlu apa aja panggil ibu yah," ucap Romlah. Bagi wanita paruh baya itu, Akira bukan hanya sebagai penyewa kos-kosan miliknya saja, tapi sudah dianggapnya seperti anaknya sendiri. Maklum saja, sejak pindah dari Sulawesi 6 tahun lalu, gadis berjilbab itu langsung memilih tempatnya sebagai tempat berteduh. Sehingga ia tahu benar bagaimana keseharian Akira. "Baik saudari Akira, keterangannya sudah cukup. Silahkan istirahat. Nanti perkembangan selanjutnya akan kami kabari," ucap salah seorang petugas penyidik kepolisian. "Baik, Pak
Gadis itu merapikan hijabnya yang sedikit berantakan akibat tidurnya yang cukup pulas selama perjalanan. Lalu perlahan beranjak keluar dari mobil. Mengamati satu-persatu rekan sejawatnya yang telihat bersemangat. "Selamat pagi menjelang siang, Putri tidur," sapa Ramdan yang berada tak jauh dari mobil. "He-eh, semangat pagi menjelang siang, Bos," ucapnya bersemangat. "Pantainya indah ya, Ra," ucap Ramdan sambil menjajari langkah Akira yang berjalan ke arah Meta dan karyawan lain yang tengah sibuk menghamparkan terpal di bawah sebuah pohon besar. "Iya, bos. Senangnya bisa ke pantai," jawabnya sembari merentangkan kedua tangannya lebar. "Saya ke sana dulu ya, Bos," ucapnya
Bulir-bulir kecil jatuh dari kelopak mata Akira saat meninggalkan ruangan Edy. Gadis itu tak menyangka jika pria yang dikenalnya baik itu ternyata bisa bersikap kasar. Air matanya pun masih mengalir, sampai akhirnya Meta datang menghampiri. "Widih, pagi-pagi sudah sedih. Ada apa puteri cantik?" sapa Meta yang langsung duduk sambil memeluk sahabatnya itu. Akira tak menjawab, ia hanya diam sambil mengusap air mata yang keluar. "Coba katakan siapa orang yang berani menyakiti sahabat aku ini?" tanya Meta. Akira pun menceritakan masalah yang dialaminya kepada Meta. "Wah nggak bisa dibiarkan, Mas Edy ini. Biar saya bicara sama dia!" ucap Meta sambil berdiri ingin mendatangi ruangan Edy.
Flash Back "Jangan pernah kembali ke sini lagi! aku sudah muak melihat wajahmu! cepat pergi dan jangan membawa seperserpun harta milikku. Dasar wanita gila!" teriak Baskoro dengan geram. "Baiklah, aku akan pergi dari sini tapi tolong biarkan aku membawa putraku. Aku mohon ,,," ucap wanita cantik di hadapannya memelas. "Jangan mimpi kamu, sudah kukatakan tidak ada yang boleh kau bawa selain dirimu dan pakaian yang melekat di tubuhmu saat ini, termasuk Edy putraku!" cepat pergi sebelum dia terbangun!" usir pria itu tak sabar. "Tapi Edy juga anakku, Mas," bantah Samara tak terima. "Iya, kamu memang melahirkannya tapi bukan kamu yang merawat dan membesarkannya kan? jadi dia tetap bersamaku sampa
Sudah 3 bulan berlalu sejak ibu memberi tenggat waktu bagi Akira untuk menemukan calon suaminya. Namun hingga kini belum ada tanda-tanda akan kehadiran sosok yang dinantikan itu. "Aduh jadi siapa yang akan aku bawa menghadap mama di kampung ya?" ucapnya berpikir keras. Sungguh masalah yang rumit, padahal sudah ada Edy yang berkali-kali memintanya menjadi kekasih namun ia tolak. Begitu juga dengan Akrom yang jelas-jelas kata ibunya pria paling sempurna untuk menjadi pendamping hidup. Lalu apa lagi yang ia cari. Mengapa belum juga ada titik terang? Entahlah Akira sendiri belum bisa bepikir jernih untuk masalah itu. "Aduhh ... pusing kepalaku, Mak!" teriaknya sambil menutup mulut dengan bantal.  
"Baiklah. Besok pagi segera urus administrasi perijinan langsung di kantor," ucap Ramdan. "Terima kasih banyak, Pak. Kalau begitu saya pamit pulang ya, mau packing," ujarnya girang. Sementara Ramdan yang belum beranjak dari duduknya nampak termangu. Melihat antusiasnya gadis itu pergi meninggalkan dirinya. Ia mendengar percakapan Akira dengan sang kakak. Gadis itu begitu peduli kepada keluarganya khususnya sang ibu. Itulah sebabnya tanpa berpikir panjang ia langsung memberinya ijin cuti. Namun jauh di lubuk hati, ada perasaan tak rela bila gadis itu pergi. Sepertinya Ia akan merasa kehilangan sosok ceria yang kini mulai akrab dengan dirinya. "Semoga ibunya cepat sembuh agar Akira bisa kembali ke kantor lagi," harapny
Part57. Ketika Ulat Bulu Datang Pagi itu Mufidah berencana untuk menemani putranya di rumah. Setelah beberapa hari sebelumnya ia selalu pergi meninggalkan demi restorannya yang sedang berkembang pesat. Meskipun ada Yanti orang kepercayannya yang bisa menghandel, tetap saja ia harus memantau secara langsung agar tidak terjadi kecurangan dalam pengelolaan keuangan di setiap cabang resto miliknya. "Sayang, bagaimana kakinya? apa masih sering terasa sakit?" tanyanya pada Ramdan yang sedang berjalan mengelilingi kolam renang yang ada di sayap kanan rumah mereka. "Baik," jawabnya cuek. Lelaki itu bahkan tak menoleh saat Mufidah berjalan menghampirinya. "Obat nya sudah diminum, Nak?" katanya sambil berdiri tak jauh dari putranya yang kini duduk di tepi kolam. Lelaki itu membiarkan kakinya tenggelam dal
Part56. SepiPoV Ramdan "Bi ...! tolong ambilkan ponsel saya di kamar!" teriakku pada Bi Ijum. Wanita itu segera berjalan tergesa menuju kamarku. Tak lama kemudian datang dengan ponsel di tangannya. "Ini, Den," ucapnya sopan. "Ada lagi yang perlu Bibi bantu?" tanyanya sebelum berlalu. "Tidak ada. Trima kasih, Bi," sahutku. "Oh ya, Mama biasa pulang jam berapa dari restonya?" tanyaku. "Biasanya sore kalau normal, Den. Tapi kalau sedang sibuk Nyonya bisa sampai malam," jelasnya. "Kalau butuh apa-apa, panggil Bibi saja, Den," katanya tersenyum. Wanita paruh baya itupun berlalu dari hadapan
Part 55. Berpisah "Saya pamit pulang ya, Pak." Lelaki itu tak menyahut, padahal posisi kami tidak jauh, hanya berjarak 1 meter pasti dia bisa mendengar ucapanku. Tapi kenapa tak merespon, apa dia melamun? "Pak ! saya pamit mau pulang," kataku lagi mengeraskan suara. Ia menoleh dan menatapku intens dari atas hingga ke bawah, seperti sedang menilai penampilanku. "Kenapa pulang? Apa kamu lelah membantuku?" ucapnya pelan namun cukup membuatku tersindir. Ah lagi-lagi aku merasa serba salah. Aku pulang ini karena ingin menemui mamak dan keluarga, tapi meninggalkan lelaki yang telah mengalami kecelakaan karena berniat menjemputku ini rasanya sangat membuatku putus asa. "Tidak, Pak. Saya akan kembal
Part54. Amnesia "Nggak usah sok baik, aku bisa jalan sendiri, Kok!" ketus Ramdan saat aku mencoba membantu bangkit dari posisinya yang kini terduduk di rumput taman. "Astaga orang ini, nggak bersyukur banget ada yang mau bantu! Coba kalau bukan bos ku sudah kutinggalkan dari tadi orang ini!" omelku kesal. "Apa kamu bilang?" sentaknya. "Eh ng--nggak ada bilang apa-apa kok, ayo jalan lagi! atau bapak mau istirahat dulu sambil makan? sahutku asal. "Tidak usah! saya jalan lagi saja!" ucapnya sambil berusaha bangkit dari duduknya dengan tangan bertopang pada tiang lampu taman. Jatuh bangun lelaki ini belajar berjalan, hingga terlihat bulir keringat menetes di dahinya. Wajah tampannya yang terlihat sedikit tirus
Part53. Sadar Setelah menerima telpon dari mamak. Aku masuk ke ruangan Ramdan, kulihat kondisinya masih sama. Tidak ada perubahan. Padahal kata dokter Yusuf, ia akan sadar setelah 1 jam pasca operasi. Ini sudah hampir 2 jam belum tampak perubahannya. Ada apa ini? Aku mulai panik, begitu juga dengan Tante Mufidah dan om Fatih. "Kok belum sadar ya, Om?" Om Fatih hanya menggeleng tak mengerti. Sementara Tante Mufidah terus menggenggam tangan putranya. Sambil mengucapkan kalimat-kalimat memotivasi untuk bangun. "Coba kita hubungi dokter Yusuf," ucapnya sembari meraih ponsel dari sakunya. Aku memilih duduk di sisi lain ranjang pasien meraih mushaf yang kuletakkan di atas nakas, lalu membacanya dengan lirih. Kubaca terus hingga membuatku tenang. Tak lama ti
Part52. SenduPov Akrom "Rom, sedang sibuk tidak? aku mau bicara sesuatu." Pesan dari Akira kuterima. Gadis yang sedang coba untuk kucintai. Iya, saat ini aku sedang belajar untuk mencintainya. Tinggal hitungan hari dan kami akan segera menikah. Tetapi saat mendengar penuturannya ditelpon. Aku sungguh merasa menjadi lelaki yang tak dihargai. Hari itu Akira menelpon untuk memintaku membatalkan pernikahan kami. Ada- ada saja permintaan gadis itu. Aku jelas merasa heran mendengarnya, apalagi saat ia menjelaskan alasannya sungguh membuatku sakit hati. "Sebenarnya ... aku mencintai orang lain, Rom. Maaf, aku sepertinya tidak bisa melanjutkan perjodohan ini. Bisakah kamu menyampaikan kepada orangtuamu bahwa aku menolak untuk menikah denganmu?" tutur gadis itu.
Part 51. Dilema Pasca operasi pengangkatan cairan dalam otak Ramdan. Ada dua orang perawat mendorong ranjang pasien menuju ke ruang perawatan. Sementara itu kedua orang tua Ramdan bersama Akira berdiri bersisian di dekat pintu mengamati sosok yang masih belum sadar. Wajah mereka terlihat penuh harap bercampur cemas. Masing-masing berdoa dalam hati agar lelaki yang mereka cintai itu segera membuka mata dan berbicara seperti biasa. Menurut keterangan dokter Yusuf yang menangani Ramdan. Ia akan segera pulih dalam waktu 60 menit pasca operasinya. Ketiganya duduk mengelilingi ranjang pasien, menunggu waktu 1 jam yang terasa begitu lama. Akira yang merasa lapar karena belum mengisi perut sejak pagi, mau tidak mau terpaksa harus keluar untuk mencari makan. "Bu ... Ira mau keluar dulu yah. Mau mencari makanan, ib
Part 50. Keluar Negeri Sudah sepekan lebih Ramdan terbaring koma di rumah sakit. Bahkan beberapa kali kondisinya menurun, sehingga dokter yang menanganinya terpaksa memasangkan alat bantu pernafasan dan pemicu detak jantung. Sementara, Akira yang terus berada disisi Ramdan tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya doa yang selalu ia panjatkan berharap calon suaminya itu cepat sadar dan pulih kembali. "Bos .. ayo bangun! Kamu sudah janji tidak akan meninggalkan aku kan?" ucap Akira sambil mengusap air matanya. Pagi itu, saat tengah menjaga Ramdan, tiba-tiba dokter datang membawa kabar baik. Bahwa untuk mempercepat pemulihan, pasien perlu dibawa berobat keluar negeri. "Bagaimana kondisinya. Apa sudah sadar?" tanya dokter. "Belum dokter. Tidak
Bab 49. Koma Setelah dirawat selama seminggu belum juga ada tanda-tanda Ramdan akan sadar. Hampir setiap hari ada saja orang yang datang menyambangi kami. Berita mengenai musibah itu menyebar dengan cepat. Mereka datang secara bergantian, terkadang relasi kantor Ramdan, termasuk beberapa pejabat tinggi daerah yang mengenal Ramdan secara pribadi. Juga para karyawan kantor. Sebagian menyempatkan datang saat malam hari. Demikian juga Pak Agus sahabat Ramdan. Sementara itu, Om Fatih secara otomatis mengambil alih perusahaan. Ia turun langsung menggantikan pekerjaan putranya. Syukurlah kondisi perusahaan berjalan dengan baik. Tak ada kendala berarti, Andre dan Arya bekerja dengan baik bersama tim lainnya. Berdasarkan diagnosa dokter, Ramdan mengalami koma yang terjadi karena kerusakan sal