Victorian City, 2 Maret 2021
Bella terbangun dengan detak jantung seperti orang baru saja melakukan lari maraton. Wajahnya yang sudah pucat semakin pucat karena ketakutan. Tangannya gemetar meraih sebuah botol berisi beberapa pil penenang yang sudah tinggal sedikit.
Lagi-lagi mimpi itu yang membuatnya terbangun. Sudah sebelas tahun lamanya sejak kejadian itu, namun ia masih terus memimpikannya setiap malam. Aroma anyir darahnya bahkan masih melekat di hidungnya hingga saat ini.
Gadis berkulit putih pucat itu menepuk-nepuk kedua pundaknya berusaha menenangkan diri. Saat ini masih pukul tiga pagi dan suasana sangat dingin. Tubuhnya bergetar bukan karena kedinginan, tapi sebuah ketakutan luar biasa yang membuatnya menggigil.
“Sampai kapan mereka akan terus mengikutiku?” Bella menundukkan kepalanya.
Air matanya mengalir bercampur dengan keringat yang bercucuran. Selama sebelas tahun gadis itu hidup dalam ketakutan. Kejadian mengerikan itu kembali terbayang setiap kali matanya terpejam.
“Aaahhh!” Bella menyapu obat-obatan yang ada di nakas dengan kedua tangannya.
Botol kaca itu pecah dan mengeluarkan beberapa butir pil penenang. Sampai saat ini ia hanya bisa mengandalkan obat penenang. Meski akhir-akhir ini butiran-butiran obat itu sudah tidak lagi mempan mengatasi masalahnya. Sebanyak apa pun Bella menambah dosisnya, semuanya tetap sama.
Gadis berusia dua puluh lima tahun itu mengacak rambutnya frustrasi. Menjambaknya seolah dengan begitu semua ketakutannya akan menghilang. Beberapa helai rambut berwarna putih terlepas dari akarnya. Pedihnya bahkan sampai tidak lagi terasa.
Dua jam berlalu Bella habiskan untuk menenangkan diri. Pukul lima pagi ia beranjak dari kasur. Dinginnya lantai kamar merambat melalui telapak kaki mulusnya. Gadis itu berjalan menuju kamar mandi, kakinya bergetar setiap kali ia melangkah.
Usai membersihkan diri, Bella duduk di depan sebuah cermin besar. Di hadapannya sudah tertata rapi alat make up yang sering ia gunakan. Seluruh tubuhnya sama sekali tidak ada warna lain selain warna putih. Rambutnya, alisnya, bulu matanya, semuanya berwarna putih pucat. Akan sangat mengerikan jika tidak ditutupi dengan riasan.
“Lihat betapa menyedihkannya dirimu,” gumam gadis itu sambil menatap pantulan wajahnya di cermin rias.
Bella mengidap kelainan albinisme yang membuatnya tampak sangat mengerikan. Ia tidak ingin menyembunyikannya, namun dunia terlalu kejam sehingga memaksanya untuk diam dan berpura-pura.
Dunia ini krisis toleransi untuk orang-orang sepertinya. Membuat dirinya seperti butiran kerikil di antara biji gandum. Orang-orang seperti Bella harus berjuang keras supaya bisa dihargai.
“Pengecut!”
Bella lelah berpura-pura menjadi gadis sempurna. Tapi ia juga terlalu pengecut untuk menghadapi pandangan orang. Rasa iri kerap kali menghampirinya ketika melihat mereka yang sama sekali tidak merasa minder dengan kekurangannya. Dengan mereka yang bisa menutupi kekurangannya dengan prestasi.
Sementara dirinya? Sampai kapan ia akan menggunakan topeng seperti ini. Sampai kapan ia menyiksa diri dengan terus berpura-pura?
Bella memasang rambut palsu berwarna hitam di kepalanya. Orang-orang melihatnya sebagai gadis yang sangat anggun ketika sedang memainkan biolanya. Orang-orang mengaguminya ketika sedang bermain drama. Namun, bagaimana reaksi mereka jika mengetahu kenyataan tentang dirinya?
“Ping! Ping! Ping! ....” Suara notifikasi memberondong ponselnya.
Bibir manisnya berdecak sebal, siapa orang yang mengirim pesan sebanyak itu. Suara notifikasi itu tidak berhenti sampai akhirnya dia mengubah setelan notifikasinya menjadi diam. Sebagian besar berasal dari media sosialnya, ada begitu banyak yang mendadak mengomentari postingannya. Ia juga ditandai di beberapa postigan.
“Astaga! Omong kosong macam apa ini?!” tanyanya kesal saat membuka sebuah artikel yang mendadak trending.
Mata birunya membelalak menelusuri rentetan kalimat yang ada dalam artikel tersebut. Sontak sosial media dengan cepat dipenuhi dengan postingan tentang kasusnya itu. Tagar tentang dirinya melonjak menduduki peringkat teratas.
Sebuah panggilan masuk dari manajernya. Sudah bisa ditebak ini pasti ada hubungannya dengan kasus barusan. Cepat-cepat jarinya menggeser tombol hijau yang ada di layar ponsel.
“Aku yakin kau sudah paham maksudku menelepon, sekarang cepat bersiap dan datang menemui pak David.” Suara cempreng Karina keluar melalui speaker ponsel.
“Aku mengirim Rangga untuk menjemputmu, kondisi saat ini tidak mungkin kau menyetir sendiri.”
Karina benar, Bella sendiri juga takut terjadi hal-hal buruk jika ia menyetir sendiri. Tanpa menjawab apa-apa, gadis itu lantas menyambar tas selempangnya dan bergegas keluar. Masker dan kacamata hitam terpasang rapi di wajahnya, sehingga tidak memungkinkan orang untuk mengenalinya.
Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan rumahnya. Itu pasti mobil Rangga, tanpa pikir panjang Bella langsung masuk. Mobil melaju dengan kecepatan sedikit lebih cepat dari biasanya. Jalanan yang masih lengang memudahkan mereka untuk sampai di perusahaan dengan waktu singkat.
Selama di dalam mobil, yang ia lakukan hanya diam. Bella tidak ingin tambah marah dengan membuka komentar-komentar buruk di media sosialnya. Sepuluh menit mereka sampai di sebuah bangunan tiga puluh lantai yang berasa di pusat kota.
Gadis itu berdiri di depan salah satu ruangan yang biasa digunakan untuk rapat dengan kepala agensi. Dilepasnya masker yang menutupi wajahnya lalu mengetuk pintu. Tangan pucat itu bergerak membuka daun pintu.
Di sana sudah ada tiga orang yang menunggunya. Mereka adalah David selaku kepala agensi, Karina dan satu orang lagi yang tidak Bella kenal. Suasananya sangat dingin dan menegangkan. Semua mata tertuju padanya, terutama mata David yang menatapnya penuh amarah.
“Maaf saya terlambat,” ucapnya.
Pria bertubuh gempal dengan topi baret berwarna hitam itu beranjak dari duduknya. Bella masih berada di posisinya, berdiri tegak tanpa menundukkan kepala. Pria itu berjalan mendekat, gadis itu masih tidak bergerak.
“Plak!!” Satu tamparan kasar menyapa pipi mulusnya. David selaku kepala agensi sangat tidak suka jika ada aktrisnya yang tersangkut kasus seperti ini. Apalagi itu Bella yang merupakan aset perusahaannya. Bella memiliki banyak penggemar dan kasus ini pasti akan mempengaruhi popularitasnya.
“Sekarang apa yang akan kamu lakukan?!”
“Aku yakin itu hanya rumor buatan para antifan saja! Itu semua tidak benar!” tegas Bella berusaha membela diri karena memang ia tidak pernah melakukan perundungan.
“Apa kau tidak pernah belajar dengan aktris-aktris seniormu?! Mereka pandai menutup diri! Kau ini publik figur!”
“Aku benci industri ini ....” Bella berkata lirih sambil melirik tajam pria di depannya itu.
Tangan David lantas bergerak cepat menarik rambut gadis di hadapannya yang dibiarkan terurai. Namun saat pria itu menarik rambutnya, ia terkejut ketika rambut itu terlepas dengan sangat mudah. Mata bulatnya melebar begitu juga dengan dua orang yang ada di ruangan itu. Pria yang tadi sangat tidak tertarik dengan pertengkaran ini, kini turut menatapnya aneh.
Bella tersenyum miring, akhirnya penyamarannya terbongkar juga. Lucu sekali melihat reaksi orang-orang ini. Tangannya bergerak melepas karet yang mengikat rambut aslinya yang berwarna putih pucat. Saat ini Juga ia ingin meninju pria di hadapannya ini seperti saat memukul selingkuhan ayahnya dulu.
“Apa-apaan ini?!”
David membanting rambut palsu berwarna hitam itu ke lantai ruangan. Ia tidak pernah menyangka selama ini Bella menggunakan rambut palsu.
“Lihat ... aku bahkan jauh lebih pandai menutup diri.” Bella tersenyum miring.
“Jadi ....”
“Ya ... Arrabella mengidap kelainan albino. Apa perlu kuhapus riasanku juga?” tanyanya sambil mengangkat sebuah tisu basah.
“Berani-beraninya kau!” Sebuah tamparan keras kembali mendarat di wajah mulusnya.
“Kau sendiri yang menyuruhku menutup diri! Dan sekarang kau marah karena aku menutupi semua ini?”
Sejujurnya Bella sudah lelah bekerja di industri ini. Ia dituntut sempurna, ada masalah kecil saja membuatnya seolah menjadi seorang kriminal. Hidupnya benar-benar terkekang. Ia populer, semua orang mengenalnya dan mengaguminya, tapi ia tetap merasa kesepian.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak awal?” Lemak wajahnya bergetar setiap kali ia bicara.
“Karena aku tahu kau pasti akan menyuruhku melakukan hal yang sama dengan yang kulakukan sekarang!” tegas Bella.
Benar sekali, agensi ini sangat besar tapi juga sangat minim toleransi. Mereka pasti akan memintanya melakukan hal yang sama dengan apa yang ia lakukan selama ini. Bella menatap tajam mata David, pria itu tidak akan mengeluarkannya karena masalah ini. Sebab bagaimanapun juga Bella merupakan aset perusahaan ini.
“Maaf jika drama ini masih berlanjut, saya punya banyak urusan.”
Seorang pria yang sejak tadi hanya menonton pertunjukan, kini ikut bersuara. Ia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi sambil menatap Bella santai. Gadis itu memutar bola matanya malas, ini pasti pengacara yang disewa oleh agensinya untuk mengurus kasus ini.
“Benar ... lebih baik kita segera selesaikan maslah ini. Kita lupakan sebentar masalah rambut itu,” tambah seorang wanita di sampingnya.
Karina tampak tidak tega melihat Bella terus diperlakukan kasar seperti ini. David menghela nafas berat, pria itu sudah sangat frustrasi dengan aktrisnya yang satu ini. Tangan kekar itu bergerak melepas topi baretnya. David merasa kepalanya mendidih saat ini.
“Selesaikan semua ini dengan cepat,” perintahnya sambil menatap Bella tajam.
“Kau, ikut aku.”
Pria itu keluar dari ruangan diikuti dengan Karina yang mengekor di belakangnya. Karina menepuk pundak Bella pelan sambil berlalu. Tangan pucatnya menarik salah satu kursi lalu duduk di hadapan pengacaranya. Jemarinya sibuk merapikan rambutnya yang berantakan. Tapi ujur bahkan dengan rambut seperti itu tidak membuatnya terlihat buruk.
“Sekarang kau bisa mengunggahnya ke media sosial, ‘Arrabella Mengidap Kelainan Mengerikan,’ sepertinya akan menjadi berita yang heboh,” ucap Bella pada pria yang sejak tadi menyaksikan pertarungannya dengan David.
Pria itu meliriknya sekilas lalu kembali menatap lembaran kertas di atas meja. Siapa pun pasti akan bereaksi yang sama dengan orang yang barusan pergi jika tahu Bella yang sesungguhnya.
“Apa kau merasa dirimu sepopuler itu?” tanyanya tanpa beralih dari lembaran kertas yang entah berisi tentang apa.
“Eentahlah, semua orang merasa mengenalku, tapi tidak tahu apa-apa tentangku.” Bella memandangi pantulan wajahnya di meja kaca yang ada di hadapannya.
Allen mengerti maksud kalimat itu, hampir semua selebriti seperti itu. Mereka menunjukkan pada dunia sisi positifnya saja. Tidak peduli seberapa rapuh mereka, tetap harus terlihat sempurna. Tak heran jika banyak aktris yang memilih mengakhiri hidupnya.
“Mengapa kau mengambil kasus ini?”
Bella ingat bahwa di hadapannya ini adalah seorang pengacara terkenal yang tidak pernah mau mengambil kasus seputar selebriti. Sangat mengejutkan melihatnya menangani kasus ini.
“Siapa bilang aku mengambilnya?” Pria itu mengangkat wajahnya, kedua pasang mata itu beradu. “Aku hanya menggantikan Hendry untuk saat ini saja, dia sedang ada urusan.”
Bella mengangguk pelan, ia tahu siapa yang dimaksud. Dia adalah pengacara yang sering dipanggil untuk menangani kasus aktris. Sangat berbanding terbalik dengan pria yang ada di hadapannya ini. Dan masalahnya adalah, ia sangat tidak suka dengan Hendry.
“Apa kau sama sekali tidak tertarik menangani kasus ini?” Bella mengangkat sebelah alisnya.
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Apa kau selalu berbicara sebanyak ini?” Pria itu kembali mengangkat wajahnya dari lembaran kertas yang ada di hadapannya.
“Oh ya, bukankah kasusku ini mudah, cukup mengunggah surat pernyataan menentang dan semuanya selesai. Kenapa harus pakai pengacara? Merepotkan.”
“Tidak semudah itu, kau butuh bukti untuk menyangkal tuduhan itu. Kau pikir mereka akan percaya jika tanpa bukti? Paling tidak pernyataan yang membenarkan bahwa kau tidak bersalah dari pihak yang tahu benar tentang dirimu. Astaga ....” Allen menghela nafas berat.
“Aku hanya akan mewawancaraimu sedikit saja, selebihnya akan diurus pak Hendry,” ucap Allen lalu menyiapkan selembar kertas dan pena bersiap mencatat setiap pernyataan Bella.
“Apa ada pihak keluargamu yang bisa membantu?”
Bella dikejutkan dengan pertanyaan pertama yang ditanyakan Allen. Raut wajahnya yang tadi cukup santai kini berubah menegang. Pandangan matanya tajam dan dingin. Ia benci jika ada yang menanyakan tentang keluarganya.
“Apa itu perlu?” tanyanya sinis.
“Tentu saja.”
“Tidak ada. Mereka semua sudah pergi,” tegas Bella.
“Lalu, bagaimana dengan teman SMA? Mereka bisa membantumu menyangkal tuduhanmu.”
“Aku tidak punya teman.”
“Bagaimana bisa --” ucapan Allen terputus. “Oke, aku lihat kau bersekolah di SMA yang cukup jauh dari kota ini. Pasti ada guru yang bisa kita mintai keterangan.”
Bella mengangguk meski ia tidak yakin dengan itu. Semua guru SMA nya tidak terlalu memperhatikan muridnya. Ia tidak yakin akan mendapat jawaban dari mereka. Apalagi ia sudah lulus cukup lama.
Lima belas menit berlalu akhirnya mereka selesai melakukan wawancara. Bella beranjak dari duduknya lalu berjalan hendak keluar dari ruangan itu.
“Tunggu!”
Suara itu menghentikan langkahnya. Bella berbalik menatap orang yang memanggilnya. Pria itu bangkit dari kursinya lalu meraih rambut palsu yang tergeletak di lantai. Allen menepuk-nepuknya untuk menghilangkan debu yang menempel. Pria itu mendekat dan memasangkan wig ke kepala gadis itu.
“Lanjutkan penyamaranmu,” ucap Allen lalu tersenyum miring.
“Kau mengejekku?” Bella melepas rambut palsunya kembali.
“Kompres dengan air dingin agar tidak bengkak.” Allen menunjuk pipi Bella yang masih memerah.
Spontan ia memegang pipinya yang masih terasa ngilu. Matanya menyipit ketika jemarinya menempel di kulit. Sepertinya David menggunakan tenaga dalam saat menampar Bella. Bisa-bisanya ia main tangan dengan seorang gadis. Tidak bisa dibayangkan seperti apa istrinya di rumah.
“Oh ya, jangan bertahan jika terlalu sulit, semua orang punya hak untuk menentukan jalan hidup masing-masing.”
Pria itu berlalu keluar meninggalkannya sendiri. Beruntung ruangan itu tidak dilengkapi dengan CCTV, sehingga tidak banyak orang yang melihatnya. Bella memasang rambut palsunya kembali serapi mungkin agar tidak mengundang kecurigaan.
Sebuah notifikasi masuk mengalihkan fokusnya. Kali ini bukan dari sosial media, karena ia sudah mematikan pemberitahuan dari semua akun media sosialnya.
Bella mematung melihat pesan yang masuk. Sebuah pesan dari nomor tidak dikenal, mengirimkan gambar boneka yang sudah dipotong-potong dan diberi noda merah darah. Tangannya bergetar melihat pesan itu, hampir saja ponselnya terlempar dari tangannya.
Dark White chapter 03Sunyi memenuhi ruangan berukuran tiga kali empat yang cukup rapi untuk ukuran kamar laki-laki. Yang terdengar hanya suara papan tombol laptop yang diketik dengan tempo cepat. Hari sudah hampir larut, namun seorang pria masih sibuk dengan tumpukan berkas di dekatnya. Matanya yang sudah minus, memerah karena terlalu lama menatap layar laptop.“Kau habiskan minumanku?” tanya pria bertubuh tinggi dan rambut keriting yang kini berdiri di depan pintu kamar.“Anggap saja itu upahku,” jawab Allen tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.“Kau tidak boleh minum itu.”Allen mengabaikannya, tangannya bergerak membuka sebuah map tipis yang berisi hasil wawancaranya dengan Bella. Ingatan tentang bagaimana David memperlakukan gadis itu membuatnya ngeri. Diamatinya terus kertas berwarna putih itu penuh tanya. Ada banyak pertanyaan yang dilewati begitu saja oleh gadis pengidap kelainan unik itu. Ala
Bella dibangunkan dengan suara nyaring yang berasal dari ponselnya. Itu bukan notifikasi pesan atau panggilan melainkan suara alarm. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Bella bangun ketika alarm berbunyi.Ini pertama kalinya Bella bisa tertidur lelap tanpa mimpi buruk. Gadis itu mengerjap-ngerjapkan matanya. Diperhatikannya pakaian yang ia kenakan. Ia tidak memakai baju tidur seperti biasanya, pakaiannya masih sama persis dengan yang ia pakai tadi malam.“Iuhh!” Kepalanya spontan bergerak mundur ketika mencium bau bir dari lengan bajunya. Matanya kini tertuju pada kupluk rajut yang tergeletak di lantai kamar.“Astaga! Apa yang baru saja terjadi?” Matanya membulat sempurna.Bella mengacak rambutnya frustrasi. Bayang-bayang wajah bingung Allen masih tergambar jelas di ingatannya. Biasanya gadis itu tidak akan ingat dengan apa yang dia lakukan saat mabuk, tapi sialnya kali ini ia mengingat semuanya.“
Hari sudah beranjak gelap saat mereka dalam perjalanan kembali ke Victorian City. Bella menyandarkan punggungnya di kursi mobil. Pandangannya menerawang keluar jendela, mengamati matahari yang mulai tenggelam. Suasana hatinya semakin tidak baik setelah kejadian di sekolah tadi.Di sampingnya, Allen masih sibuk dengan laptopnya. Entah apa yang sedang dia kerjakan Bella tidak peduli. Ia masih sangat kesal karena tadi Arin bisa lepas dengan sangat mudah.Suara notifikasi berbunyi dari ponsel gadis itu. Bella mengalihkan pandangannya menuju benda persegi empat itu. Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal.Matanya membulat seolah bola matanya akan keluar dari kelopaknya. Tangan pucat itu terasa sangat dingin dan jantungnya berdetak tiga kali lebih cepat. Ia tidak berteriak, namun perubahan reaksinya berhasil ditangkap oleh mata Allen.“Ada apa?” tanya pria itu khawatir saat melihat perubahan tingkah Bella.Gadis itu hanya menggeleng kaku
Dua minggu berlalu setelah kunjungan di Monterio, Bella dinyatakan bersih dan tidak pernah melakukan perundungan. Sebelumnya para penggemar masih sangat mencurigainya hingga akhirnya sebuah unggahan menggemparkan media sosial. Seseorang yang tidak diketahui siapa mengunggah foto surat tulisan tangan yang berisi tentang pembelaan terhadap Bella.Pria bertubuh tinggi dan kulit putih itu sibuk dengan ponselnya. Ia membuka sosial media Bella untuk memastikan tidak banyak lagi yang menghujatnya. Kasus itu sudah selesai dan ia harap gadis itu bisa hidup dengan lebih tenang meski itu tidak mungkin. Ada banyak hal yang disembunyikan gadis itu, hal itu membuatnya tidak yakin dia bisa hidup dengan tenang.“Kulihat kasusnya sudah selesai,” ucap seseorang dengan rambut keriting yang tidak lain adalah Hendry.Pria itu duduk di samping Allen sambil melirik isi ponselnya. Tangan kanannya memegangi sekaleng minuman bersoda. Entah sudah berapa kaleng minuman yang dia
Pukul 14.00 Bella masih berada di depan cermin kamarnya. Hatinya terasa was-was, ia seperti belum siap kembali tampil di depan penggemar. Skandalnya baru saja selesai beberapa hari lalu, bukankah ini terlalu cepat untuk kembali ke depan umum?“Jangan kecewakan mereka hanya karena beberapa orang tidak menyukaimu.” Kata-kata Allen terus berputar di ingatannya saat ini.Gadis itu merapikan poni tipis dari rambut palsunya. Ia tidak pernah mau menggunakan penata rambut perusahaan untuk menata rambutnya. Demi keamanan rahasianya, ia memilih menata rambutnya sendiri dan hasilnya tidak pernah buruk.“Ping!” suara notifikasi ponsel mengalihkan perhatiannya.Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Jantungnya berdegup kencang seketika. Ini nomor yang sama dengan yang mengiriminya foto boneka berdarah beberapa waktu lalu. Rasa-rasanya ia sudah memblokir nomor itu, tapi kenapa ia masih bisa menerima pesan darinya?“Sudah
Tiga puluh menit yang lalu, Karina pergi dari rumah Bella. Hari sudah beranjak malam dan gadis itu sendirian di rumah. Ia tidak membuka media sosialnya, tidak ingin membaca ocehan para pengguna internet yang selalu merasa paling benar. Itu hanya akan menambah beban pikirannya.Gadis itu mengganti bajunya dengan sweater tebal dan celana olah raga. Rambutnya tertutup kupluk berwarna hitam. Ia juga menggunakan masker hitam dan kacamata bulat yang sering ia gunakan saat pergi. Ia berdiri di depan cermin kamarnya, memandangi dirinya yang dibalut pakaian serba hitam.Mamanya dulu pernah berkata, fisik lelah bisa membantu meringankan beban otaknya. Gadis itu memasang earphone di telinganya, sebuah lagu dengan volume tinggi dan tempo cepat memenuhi pendengarannya.“Mereka tidak akan menyadariku bukan?” tanyanya pada diri sendiri.Gadis itu keluar dari rumahnya dan mulai berlari. Ia tidak memiliki tujuan yang pasti, ia hanya mengikuti ke mana kakinya a
Dark White Chapter 09Suara hujan deras mengguyur di luar sana. Sementara dalam sebuah ruangan berukuaran 7×8 meter, seorang pria masih sibuk mengganti kain kompres. Masih tergambar dengan jelas bagaimana Bella bercerita sambil menangis tadi. Gadis itu sedang terluka, bukan fisiknya tapi batin dan mentalnya.Saat ini semua orang seolah menodongkan senjata ke arahnya. Artikel dan unggahan di media sosial penuh dengan berita tentang kejadian tadi sore. Mereka yang sebelumnya tidak peduli, kini bersikap seolah mereka menjadi pihak yang paling dirugikan. Tidak sedikit pula berita yang sengaja dilebih-lebihkan untuk membuat nama gadis itu semakin buruk.Allen meletakkan baskom kecil berisi air dingin di nakas. Matanya terhenti pada obat-obatan yang berjajar rapi di atas lemari kecil itu. Ia melirik Bella sebentar lalu memutuskan untuk memeriksa obat apakah itu.“Ini gila ...” gumamnya sambil mengamati dua obat yang hanya tinggal beberapa buti
Suasana hening menyelimuti ruangan yang didominasi warna putih. Aroma obat dan desinfektan tercium pekat membuat hidung terasa sakit. Berulang kali Allen membuka ponselnya kalau-kalau Bella bangun dan mengabarinya. Tadi dia pergi saat gadis itu masih tertidur dan hanya meninggalkan pesan singkat.“Tn. Allen …” panggil seoang gadis dengan seragam putih dan topi perawat dari ruangan dokter.Pria itu beranjak berdiri, menghembuskan nafas berat dan melangkah malas memasuki ruangan kecil itu. Tepat saat ia memasuki ruangan, seorang pria dengan rambut yang hampir sempurna beruban melemparkan senyum kepadanya. Kaca mata tebal bertengger di atas hidungnya yang mancung.“Bagaimana kabarmu?” tanyanya basa-basi.Kulitnya yang eksotis sangat berbanding terbalik dengan warna rambutnya yang sempurna putih. Kerutan menggelantung di wajahnya menampakkan sudah berapa lama ia berhadapan dengan dunia ini.“Apakah masih perlu kujaw
Matahari sudah mulai tenggelam di ufuk barat dan menciptakan nuansa senja yang hangat dan menenangkan. Ketiga orang dewasa itu berjalan santai di belakang seorang gadis kecil yang tampak sangat kegirangan di depan sana. Bella tersenyum melihat gadis itu tampak sangat Bahagia. Sudah terlalu banyak penderitaan di pundak gadis itu, ini saatnya dia berbahagia. Ia tidak tahu apakah ini akan menjadi pertama dan terakhir kalinya Lucy dapat bermain di tempat ini. “Aku ingin menaikinya!” Tangan mungilnya menunjuk sebuah komidi putar dengan kuda-kuda lucu yang bergerak berputar-putar. “Sungguh? Ayo kita naik!” Bella langsung menyambar tubuh kecil Lucy dan menggendongnya menuju komidi putar yang dimaksud. Ledakan tawa khas gadis kecil itu seketika pecah saat Bella menggendongnya. Sejak tadi mulutnya belum sempat tertutup karena sibuk tertawa dan ternganga melihat megahnya setiap permainan yang ada di taman bermain. Semua ini adalah mainan yang selama ini hanya bisa ia lihat lewat layer televi
Hari ini merupakan hari terakhir perekaman drama yang Bella dan Mark bintangi. Semua pemeran dan juga staf melakukan foto bersama. Drama ini akan segera di rilis bulan depan. Bella tidak tahu akan seheboh apa nanti saat drama ini rilis karena bahkan saat ini pun sudah ada ratusan artikel dan kehebohan yang bahkan melebihi beberapa drama yang saat ini sedang tayang. “Kamu sudah bekerja keras ... sangat keras.” Karina memberikan sebuah buket bunga sebagai ucapan selamat.Gadis itu tersenyum menerimanya. Akhirnya ia bisa terbebas dari masalah shooting dan partner kerja yang sangat tidak kompeten seperti Mark. Rasanya ada satu beban berat terangkat dari pundaknya saat ini. Terlebih lagi beberapa waktu lalu Anggun memberi kabar kalau keadaan Lucy semakin hari semakin membaik. Dr. John menjelaskan kalau dia terus mempertahankan progresnya seperti ini kemungkinan untuk bertahan hidup lebih lama akan semakin besar. Dr. John tidak bisa menjamin gadis kecil itu akan sembuh sepenuhnya. Yang b
Matahari sudah mulai tergelincir ke arah barat meski belum sepenuhnya menunjukkan waktu sore tetapi tidak juga bisa disebut sebagai siang. Berulang kali Bella memastikan kalau tali pengikat di pinggangnya terpasang dengan benar. Ini adalah adegan Bella terjatuh dari atas gedung. “Kalian tidak menggunakan CG?” tanyanya saat melihat lokasi shooting yang benar-benar berada di atas gedung. Angin berembus cukup kencang sedikit menyamarkan teriknya panas matahari yang menerpa. Kulitnya yang putih sedikit memerah karena terlalu panas. “Takut?” tanya Mark yang entah sejak kapan sudah berada di sampingnya. “Berhenti memancing keributan,” timpal Bella pelan. Ia masih merasa sedikit gugup karena ini pertama kalinya ia melakukan adegan seperti ini. “Tali ini kuat bukan?” Gadis itu berulang kali mengecek tali yang melilit pinggangnya. Apakah ini kuat? Bagaimana jika putus saat ia melakukan shooting? Sebenci apa pun ia pada hidupnya yang kusut ini, ia masih belum ingin mati. Setidaknya kini i
Malam semakin larut dan Bella masih berkutat dengan peralatan gambarnya. Kali ini ia sedikit merasa kesulitan fokus pada gambarnya. Ada begitu banyak hal yang ia pikirkan. Hari ini terasa sangat panjang dan melelahkan. Sejak tadi tidak henti-hentinya ia mengirim pesan kepada Anggun untuk menanyakan keadaan Lucy. Sudah seminggu sejak kejadian Lucy kritis, namun ia masih belum bisa tenang. Terlebih lagi anak itu semakin hari semakin terlihat memprihatinkan. Anggun bahkan sudah mengatakan kalau ia sudah siap dengan semua kemungkinan buruk yang akan terjadi. Tapi tidak dengannya. Ia tetap tidak bisa tenang.“Aishhh!” Tangannya mencoret-coret asal buku sketsanya yang kini penuh dengan coretan tidak jelas. Ia tidak bisa fokus pada apa yang ingin ia gambar. Pikirannya terlalu penuh dan ia merasa sangat lelah.Bella menyandarkan punggungnya kasar di sandaran kursi. Rambut pucatnya yang diikat kucir kuda bergerak-gerak terkena angin malam. Malam ini ia masih berada di hotel karena rumahnya m
Bella duduk di balkon hotel. Rumahnya masih dalam proses renovasi sehingga dia menginap untuk sementara di hotel. Sebelumnya Karina sudah menyarankan untuk tinggal di dorm atau di rumahnya, tetapi Bella menolak. Ia butuh kesnedirian, oleh karena itu ia memilih untuk tinggal di hotel saja. Gadis itu menatap layar ponselnya yang menampilkan sebuah artikel berita tentang dirinya. Ia menutup kasus itu dan tidak ingin memperpanjangnya. Sebagian orang menganggapnya terlalu baik pada para haters, tapi sebagian justru mencurigainya. Ribuan komentar pedas kembali menyerang media sosialnya. --“Mungkin dia sengaja membuat keributan untuk mengalihkan isu kencannya dengan Mark.” --“Aku tidak tahu kenapa aktris penuh skandal sepertinya masih terus dipertahankan oleh perusahaannya.” --“Aktingnya bahkan tidak sebagus itu. Dia tidak pantas mendapat banyak cinta.”--“Apakah dia masih memiliki penggemar? Sungguh aku kasihan pada mereka karena berulang kali dikecewakan.” --“Aku curiga skandal bullyi
Di luar sana para penggemar dan media semakin ramai berkumpu. Hari sudah menunjukkan pukul delapan malam dan di atas sana mendung menggantung tebal, namun mereka semua seolah tidak peduli. Menjadi seorang reporter, menyiarkan berita pertama kali lebih penting daripada kesehatan dirinya.Bella dan Allen duduk di sofa panjang yang ada di ruang tamu. Gadis itu sudah sedikit lebih tenang. Ia sudah berhenti menangis tetapi jiwanya masih sangat terguncang. Jemarinya masih sedingin es, dan wajahnya terlihat semakin pucat.Allen memperhatikan lengan Bella dan mendapati luka yang cukup dalam dan darahnya sudah membeku. Begitu pula dengan kuku tangannya tang terdapat sisa-sisa darah. Sepertinya gadis ini tanpa sadar mencakar dan melukai lengannya sendiri hingga berdarah.Allen mengambil kotak obat yang ada di tasnya. Ia membersihkan luka Bella perlahan dengan alkohol. Gadis itu sama sekali tidak menjerit atau merintih kesakitan. Ia masih diam, pandangan matanya sembab dan kosong.“Semua akan ba
Hari-hari berlalu dengan lebih baik dari sebelumnya. Bella kembali mendapatkan perhatian baik dari publik. Lagu barunya berhasil meraih berbagai macam penghargaan hanya dalam tiga minggu masa promosi. Para penggemarnya juga menyukai penampilan barunya. Mereka ahkan mengatakan kalau penampilannya kini jauh lebih baik dari sebelumnya. Ia tampak lebih nyaman menjadi dirinya sendiri. --“Jangan lupa untuk lebih sering melakukan siaran langsung! Aku mencintaimu!” --“Aku masih tidak percaya kau kembali. Sangat cantik!” --“Selamat atas kemenangannya di music show!” --“Suaramu sangat bagus! Begitu pula permainan biolamu.” Kali ini Bella kembali tidak hanya dengan lagu berupa melodi biola saja, tetapi ia juga bernyanyi di sela-sela permainannya. Awalnya ia tidak ingin merilis lagu ini, akan tetapi karena desakan agensinya, ia memutuskan untuk merilisnya meski dengan setengah hati. Bella menutup ponselnya setelah melihat beberapa komentar di postingan terbarunya. Beberapa waktu lalu ia meng
Bella berjalan cepat melewati lorong yang akan mengantarkannya menuju ruang rapat. Gadis itu menenteng sebuah map transparan yang berisi surat kontrak. Di belakangnya Karina tampak sedikit kewalahan mengikutinya. Ia bahkan tidak menyapa beberapa staf yang berpapasan dengannya. Raut wajahnya benar-benar menunjukkan suasana hatinya. Meskipun biasanya wajahnya memang tidak pernah diliputi senyuman, tetapi kali ini benar-benar berbeda. Ia sedang marah. Langkah kakinya terhenti ketika ia sampai di depan sebuah pintu kaca ruang rapat. Sayup-sayup ia bisa mendengar gelak tawa dari orang-orang di dalam. Ruangan ini didesain kedap suara, akan tetapi bahkan tidak bisa membendung suara tawa mereka. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. “Cobalah untuk sedikit tenang,” ucap Karina di sampingnya. Tidak menjawab pertanyaan dari manajernya, gadis itu justru membuka pintu ruang rapat dengan kasar. Orang-orang yang ada di ruangan itu lantas berhenti tertawa dan beral
Bella berada dalam perjalanannya menuju rumah sakit. Kali ini Karina tidak mencegahnya karena Lucy merupakan kunci utama agar Bella mau menandatangani kontrak itu. “Pikirkan dengan baik keputusanmu, jangan jadikan orang lain menderita karena keegoisanmu.” Karina berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Gadis berwajah pucat itu hanya diam menatap ke luar jendela mobil. Tangan kanannya beralih membuka ponselnya. Ia mengecek kolom komentar media sosialnya. Persis seperti yang ia duga sebelumnya. Unggahan terakhirnya penuh dengan hujatan para pengguna internet. -“Kudengar dia akan membintangi drama bersama Mark! Bukankah itu gila?” -“Dia bahkan belum membersihkan namanya sendiri. Sepertinya dia ingin menggunakan Mark untuk menarik perhatian publik. Mark ku yang malang.” -“Dia sama sekali tidak cocok untuk Mark!” -“Apakah ada yang ingin membuat petisi penolakan? Aku akan dengan senang hati menandatanganinya.”