Hari sudah beranjak gelap saat mereka dalam perjalanan kembali ke Victorian City. Bella menyandarkan punggungnya di kursi mobil. Pandangannya menerawang keluar jendela, mengamati matahari yang mulai tenggelam. Suasana hatinya semakin tidak baik setelah kejadian di sekolah tadi.
Di sampingnya, Allen masih sibuk dengan laptopnya. Entah apa yang sedang dia kerjakan Bella tidak peduli. Ia masih sangat kesal karena tadi Arin bisa lepas dengan sangat mudah.
Suara notifikasi berbunyi dari ponsel gadis itu. Bella mengalihkan pandangannya menuju benda persegi empat itu. Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal.
Matanya membulat seolah bola matanya akan keluar dari kelopaknya. Tangan pucat itu terasa sangat dingin dan jantungnya berdetak tiga kali lebih cepat. Ia tidak berteriak, namun perubahan reaksinya berhasil ditangkap oleh mata Allen.
“Ada apa?” tanya pria itu khawatir saat melihat perubahan tingkah Bella.
Gadis itu hanya menggeleng kaku. Allen berusaha memeriksa ponselnya, namun gadis itu tidak mengizinkan. Tampak jelas dari wajahnya kalau dia sedang ketakutan.
“Berikan padaku,” tegasnya.
Terjadilah aksi tarik menarik antara kedua orang itu. Allen bukan tipe orang yang ingin tahu privasi orang lain. Namun melihat Bella ketakutan seperti ini, ia tidak bisa diam saja.
“Duarr!!” suara ledakan besar mengejutkan mereka. Tiba-tiba saja mobil yang mereka tunggangi oleng dalam kecepatan tinggi. Allen refleks meraih kepala Bella dan berusaha untuk menjaganya supaya tidak terbentur. Dipeluknya kepala gadis itu untuk menghindari benturan.
Suasana di dalam mobil berubah seperti dimasukkan ke dalam mesin kocok. Mobil bergerak tidak terkendali. Bella memejamkan matanya sambil mencengkeram lengan Allen yang memeluknya. Ketakutannya akan pesan misterius itu berubah menjadi takut akan mati.
Di bangku depan Karina berteriak ketakutan. Sementara sopir berusaha menahan agar tidak sampai terjadi kecelakaan. Barang-baran di dalam mobil berlompatan tidak tentu arah. Kotak tisu yang seharusnya berada di dasboard kini melompat hingga ke bangku belakang.
“Akhh!” rintih Allen ketika kepalanya membentur jendela mobil.
“Ciiiittt!” Ban mobil bergesekan dengan aspal menghasilkan suara yang sangat mengiris pendengaran.
Mobil berhasil dihentikan tepat sebelum tikungan tajam. Beruntung saat itu kondisi jalanan sedang lengang. Bella masih dalam posisinya, bersembunyi dibalik lengan Allen. Tangan pucatnya semakin memucat dan bergetar hebat.
Matanya terpejam erat, jemarinya mencengkeram lengan pria yang sedang memeluknya itu erat. Wajahnya basah karena keringat dan air mata yang entah sejak kapan keluar.
“Tidak apa-apa, semuanya baik-baik saja.” Allen menepuk-nepuk kepala Bella lembut berusaha menenangkan gadis itu.
Gadis itu tidak menjawab dan malah semakin erat genggaman tangannya. Jantungnya seperti akan melompat dari rangkanya. Nafasnya memburu seperti baru saja berlari maraton.
“Hei tidak apa-apa ....” Pria itu terus menepuk-nepuk kepala Bella lembut.
Kantung udara di bangku depan juga sudah mengembang sempurna. Seorang pria di bangku kemudi menghembuskan nafasnya yang masih tidak beraturan. Sedikit saja mereka terlambat, mobil akan langsung tercebur ke dalam parit berukuran sedang di tepi jalanan.
“Kau ... baik-baik ... saja?” ucap gadis itu terbata-bata.
“Darah!” teriaknya kemudian diikuti dengan air matanya yang kembali mengalir deras.
Allen menyentuh dahinya yang tadi terbentur. Ia bisa merasakan darahnya mengalir dari luka kecil di dahinya.
“Tidak apa-apa,” ucapnya.
“Bagaimana bisa tidak apa-apa, kau berdarah.”
Tangannya yang masih gemetar berusaha mencari sesuatu untuk mengobati. Namun yang ia lakukan justru malah bingung dan tidak tahu harus apa. Cepat-cepat Allen meraih kedua tangan pucat itu. Bisa ia rasakan betapa dinginnya jemari Bella.
“Aku – aku kira kita akan ....”
“Ssstt! Semuanya selamat.” Ditatapnya kedua bola mata biru itu dalam.
Di depan sana Karina masih berusaha mengatur nafasnya. Mereka seperti baru saja selamat dari maut. Pak sopir terlebih dahulu keluar untuk memeriksa keadaan.
“Semua baik-baik saja?” tanya Karina masih dengan wajah pucat dan tangan gemetar.
“Ban mobil kita bocor, kita ganti dulu,” ucap seorang pria dengan topi baret miring.
Bella keluar dari mobil dengan langkah gemetar. Ia bahkan sudah seperti tidak bisa berjalan dengan benar. Gadis itu duduk di kursi panjang sebuah halte. Di sampingnya Karina juga masih berusaha menenangkan diri.
“Aku pikir kita umurku hanya sampai sini saja.” Karina meletakkan tangannya di dadanya.
Bella tersenyum kecil melihat tingkah wanita itu. Sementara kedua pria itu sibuk mengganti ban mobil. Beruntung mereka membawa ban cadangan. Matahari sudah tumbang di ufuk barat dan penerangan sangat minim di wilayah ini.
“Sudah selesai?” tanya Karina saat melihat dua pria itu menutup bagasi mobil.
“Sudah,” ucap pak sopir sambil berjalan mendekat.
“Krrrkk!” Spontan Bella memegangi perutnya yang berbunyi. Mereka belum makan apa-apa sejak berangkat tadi. Bella juga jarang sarapan pagi, jadi wajarlah kalau dia merasa lapar.
“Bagaimana kalu makan dulu?” tanya Allen.
“Kalian saja, perutku terasa mual. Belikan aku makanan ringan!”
Karina berjalan sempoyongan memasuki mobil diikuti dengan sopir yang sejak tadi mengantar mereka. Bella dan Allen memutuskan untuk masuk ke sebuah minimarket kecil yang berada tidak jauh dari tempat mobil mereka terparkir.
“Tunggu sebentar,” ucapnya menghentikan Allen.
Gadis itu mengaduk-aduk tas selempangnya seperti mencari sesuatu. Ia mengeluarkan selembar plester dan kapas halus yang selalu ia bawa ke mana pun dia pergi. Tangan pucatnya yang masih gemetar menarik lengan Allen untuk mengajaknya duduk di sebuah kursi yang ada di depan minimarket.
Bella meneteskan obat luka ke selembar kapas dan mulai membersihkan luka di kepala peria itu. Sejenak ia lupa kejadian di sekolah tadi, pikirannya masih dipenuhi dengan insiden yang hampir merenggut nyawa mereka.
“Aduh!” rintihnya saat gadis itu menekan lukanya terlalu kasar.
“Berhenti merengek,” ketus Bella dan justru semakin kasar mengobati lukanya.
“Kau sangat tidak cocok menjadi perawat.”
Pria itu menyentuh plester yang menempel di dahinya. Sementara gadis itu sama sekali tidak menggubris dan memilih membereskan isi tasnya.
Bella mendekati sebuah almari pendingin yang berisi minuman bersoda. Tangannya meraih sekaleng minuman soda, namun langsung dicegah oleh Allen. Pria itu merebut minuman yang sudah ada di tangan Bella dan mengembalikannya ke lemari pendingin.
“Hei! Ada masalah apa?” Sontak gadis itu merasa kesal.
“Ini.” Pria itu menyodorkan susu kotak rasa strawberry yang sangat dibenci oleh Bella.
“Tidak enak.” Gadis itu kembali berusaha membuka lemari pendingin untuk mengambil minuman soda. Tapi lagi-lagi ditahan oleh Allen.
“Sudah ini saja.” Allen meraih tangan Bella dan menyerahkan susu kotaknya, memaksa gadis itu untuk meminumnya.
Bella berjalan malas menuju sebuah kursi dan meja kecil yang disediakan oleh minimarket. Ia menyantap sepotong roti yang lagi-lagi dipilihkan oleh Allen. Entah kenapa pria itu sangat mengekangnya kali ini.
“Kau ini kenapa?” tanyanya kesal dengan sikap pria itu.
“Kesehatan itu mahal harganya,” ucapnya sambil kembali memainkan ponsel.
“Wah ... kau bahkan lebih cocok menjadi seorang dokter daripada pengacara.” Gadis itu menggeleng tidak percaya.
“Aku berikan ini pada mereka dulu,” ucapnya lalu melenggang pergi tanpa membawa ponselnya.
Ia menenteng plastik keresek berisi makanan untuk Karina dan sopirnya. Bella hanya diam mengabaikan. Mulutnya masih penuh dengan roti cokelatnya. Ini menjadi roti ketiga yang ia makan.
Suara getaran ponsel menghentikan aktivitasnya. Itu bukan berasal dari ponselnya, melainkan ponsel Allen. Ia tidak berani mengangkatnya dan memilih untuk membiarkan.
“Astaga orang itu, kenapa ponselnya tidak dibawa saja,” ketusnya sambil menyambar ponsel Allen.
Ia ingin mengabaikannya, namun ponsel itu terus bergetar membuat gadis itu geram. Di layar ponsel tampak nama si penelepon.
“Dokter Jhoni?” dahinya berkerut melihat namanya.
“Berikan,” ucap Allen sambil merebut ponselnya dari tangan Bella.
Wajahnya terlihat sedikit serius ketika melihat Bella memegangi ponselnya. Pria itu mulai menjauh untuk berbicara dengan si penelepon. Sesekali ia melirik ke arah Bella cemas. Sementara gadis yang dilirik masih sibuk dengan makanannya.
“Dokter Jhoni? Sepertinya tidak asing,” gumam gadis itu.
Pria itu kembali duduk di hadapan Bella. Gadis itu memperhatikan ada yang berbeda dari mata pria itu. Sedikit berubah warna, namun ia berusaha menghentikan rasa ingin tahunya. Mungkin saja karena hari sudah gelap dan efek lampu minimarket yang berwarna kuning.
“Kenapa?” tanya pria itu saat menyadari Bella memperhatikannya.
Gadis itu hanya menggeleng dan mengalihkan perhatiannya pada jalanan yang sepi. Matanya tertuju pada sebuah bangunan yang cukup jauh dari tempatnya saat ini. Seketika ia mengingat bangunan apa itu dan apa yang ada di dalamnya.
Matanya tidak berkedip memperhatikan bangunan tua itu. Karena kepanikannya tadi sampai-sampai ia tidak menyadari dirinya sedang berada di wilayah mana.
“Itu rumah sakit jiwa ... bangunannya memang sudah tua,” ucap Allen menjelaskan saat menyadari Bella terus memperhatikan bangunan tua itu.
“Aku tahu,” gumamnya hampir tidak terdengar. “Sudah lama sekali,” lanjutnya dengan suara semakin tidak jelas.
Itu adalah rumah sakit jiwa tempat mamanya berada. Sudah lima tahun sejak terakhir kali dia datang. Batinnya teriris setiap kali melihat bangunan itu. Ia merasa sangat bersalah pada mamanya yang ia tinggalkan di sana sementara dirinya hidup di kota.
Sebelumnya Bella sangat sering mengunjungi Elena, namun setelah kejadian wanita itu mengamuk membuatnya ketakutan untuk menengoknya lagi. Bella merasa saat itu Elena sudah benar-benar bukan Elena yang ia kenal.
“Apa mereka semua diperlakukan dengan baik?” tanyanya sambil terus menerawang rumah sakit jiwa itu.
“Tentu, memangnya kenapa?” Lagi-lagi ia merasa ada yang aneh pada gadis itu.
“Kau pernah merasa bersalah hingga terlalu malu untuk bertemu seseorang?” tanyanya pada pria yang kini sedang menatapnya dalam.
“Pernah,” jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari mata Bella.
“Apa yang kau lakukan?”
“Menemuinya.”
Bella tersenyum tipis lalu kembali menatap bangunan tua itu. Ia sama sekali tidak punya keberanian untuk menunjukkan wajahnya di hadapan wanita yang telah melahirkannya itu. Batinnya mengatakan kalau ia sangat ingin menjenguk Elena, tapi wajahnya terlalu malu untuk menampakkan diri.
“Kadang ketakutan tidak kunjung hilang karena kita sendiri yang memupuknya. Kita terlalu dikuasai oleh pikiran buruk yang kita ciptakan sendiri.”
Tatapannya tulus mengarah pada gadis di hadapannya itu.
“Kau benar ....” Bella menghembuskan nafas berat.
“Hatimu mengatakan kau merindukannya, kau ingin menemuinya, tapi pikiranmu mencegahnya. Hanya karena sugesti buruk yang kau ciptakan sendiri. Datang dan temui dia, karena bisa jadi dia juga merindukanmu.”
Bella tertawa kecil. “Aku bertanya-tanya berapa banyak pekerjaanmu sebenarnya. Bagaimana bisa kau cocok di segala bidang?”
“Aku memang pandai dan juga tampan.” Pria itu mengangkat sebelah alisnya menyebalkan.
Bibir Bella yang tadi sempat tersenyum tipis langsung kembali menciut melihat betapa percaya dirinya pria di hadapannya itu. Ia merasa menyesal telah memberikan pujian pada pengacara menyebalkan itu.
“Kau tidak bisa menyangkalnya karena itu kenyataan.” Pria itu tersenyum miring.
Bella memutar bola matanya malas. Ia tidak pernah membicarakan hal yang menyinggung tentang masa lalunya sebelumnya. Meski itu hanya sekedar pertanyaan iseng seperti yang ia tanyakan pada Allen tadi. Tidak tahu dapat dorongan dari mana ia berbicara seperti itu pada pria di hadapannya itu.
“Ngomong-ngomong, gadis tadi temanmu?” tanyanya.
Melihat reaksi Bella seperti tadi membuat Allen berasumsi bahwa mereka tidak memiliki hubungan yang baik.
“Astaga aku hampir melupakannya. Kenapa? Apa kau menyukainya? Sampai-sampai membela dia daripada klienmu sendiri?”
Gadis itu menghempaskan punggungnya di sandaran kursi. Tangannya terlipat dan tatapannya tajam menatap Allen. Suasana hatinya kembali memburuk karenanya.
“Aku justru melindungimu. Kau bisa dituntut atas tindak ancaman, asal kau tahu saja.”
“Apa dia pantas disebut sebagai teman?” Bella tertawa kecil. “Menurutmu seperti apa yang bisa disebut sebagai teman?”
“Entahlah ... orang bilang teman adalah mereka yang selalu ada bersamamu.”
“Maka apa dia bisa disebut teman? Dia selalu ada bersamaku, dia selalu mengulik apa pun tentangku. Seperti menaburi garam di atas luka yang masih merah.” Gadis itu seperti sedang melihat cuplikan masa sekolahnya.
“Sangat mengherankan ketika kini aku dituduh sebagai pelaku padahal aku adalah korban. Sementara kalian selalu memutuskan hukuman berdasarkan bukti sedangkan aku tidak memiliki bukti apa pun. Kejadian itu sudah sangat lama, tapi mereka mengungkitnya kembali dan menjadikan aku penjahatnya.”
“Kita pasti menang di kasus ini,” ucap pria itu berusaha menenangkan Bella.
“Begitukah?”
Bella memutar bola matanya malas dan memilih berdiri dan bersiap pergi. Mereka sudah terlalu lama berada di sini, ia takut Karina menunggu terlalu lama. Tempat ini sangat sepi, pasti akan sangat berbahaya.
“Kau pasti bisa.” Allen menepuk kepala gadis itu pelan lalu tersenyum simpul.
“Jangan rusak rambutku,” ketusnya sambil menyingkirkan tangan pria itu dari kepalanya.
“Ini bukan rambutmu,” ucap pria itu tanpa rasa bersalah.
Gadis itu mengabaikannya dan memilih berjalan cepat mendekati Karina yang masih menyantap roti isinya. Lima menit kemudian mereka berangkat untuk kembali ke Victorian City.
“Apa benar sudah aman?” tanyanya memastikan.
Jantungnya kembali berdegup lebih kencang. Mencium aroma mobil membuatnya kembali terbayang kejadian tadi sore.
“Tenang, bannya sudah diganti, tidak akan terjadi apa-apa.” Karina menoleh ke bangku belakang dan tersenyum manis padanya.
Hari ini terasa sangat panjang dengan rentetan kejadian menyebalkan terjadi secara beruntun. Bella memutuskan tidur di perjalanan pulangnya, ia tidak pernah selelah ini sebelumnya.
Dua minggu berlalu setelah kunjungan di Monterio, Bella dinyatakan bersih dan tidak pernah melakukan perundungan. Sebelumnya para penggemar masih sangat mencurigainya hingga akhirnya sebuah unggahan menggemparkan media sosial. Seseorang yang tidak diketahui siapa mengunggah foto surat tulisan tangan yang berisi tentang pembelaan terhadap Bella.Pria bertubuh tinggi dan kulit putih itu sibuk dengan ponselnya. Ia membuka sosial media Bella untuk memastikan tidak banyak lagi yang menghujatnya. Kasus itu sudah selesai dan ia harap gadis itu bisa hidup dengan lebih tenang meski itu tidak mungkin. Ada banyak hal yang disembunyikan gadis itu, hal itu membuatnya tidak yakin dia bisa hidup dengan tenang.“Kulihat kasusnya sudah selesai,” ucap seseorang dengan rambut keriting yang tidak lain adalah Hendry.Pria itu duduk di samping Allen sambil melirik isi ponselnya. Tangan kanannya memegangi sekaleng minuman bersoda. Entah sudah berapa kaleng minuman yang dia
Pukul 14.00 Bella masih berada di depan cermin kamarnya. Hatinya terasa was-was, ia seperti belum siap kembali tampil di depan penggemar. Skandalnya baru saja selesai beberapa hari lalu, bukankah ini terlalu cepat untuk kembali ke depan umum?“Jangan kecewakan mereka hanya karena beberapa orang tidak menyukaimu.” Kata-kata Allen terus berputar di ingatannya saat ini.Gadis itu merapikan poni tipis dari rambut palsunya. Ia tidak pernah mau menggunakan penata rambut perusahaan untuk menata rambutnya. Demi keamanan rahasianya, ia memilih menata rambutnya sendiri dan hasilnya tidak pernah buruk.“Ping!” suara notifikasi ponsel mengalihkan perhatiannya.Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Jantungnya berdegup kencang seketika. Ini nomor yang sama dengan yang mengiriminya foto boneka berdarah beberapa waktu lalu. Rasa-rasanya ia sudah memblokir nomor itu, tapi kenapa ia masih bisa menerima pesan darinya?“Sudah
Tiga puluh menit yang lalu, Karina pergi dari rumah Bella. Hari sudah beranjak malam dan gadis itu sendirian di rumah. Ia tidak membuka media sosialnya, tidak ingin membaca ocehan para pengguna internet yang selalu merasa paling benar. Itu hanya akan menambah beban pikirannya.Gadis itu mengganti bajunya dengan sweater tebal dan celana olah raga. Rambutnya tertutup kupluk berwarna hitam. Ia juga menggunakan masker hitam dan kacamata bulat yang sering ia gunakan saat pergi. Ia berdiri di depan cermin kamarnya, memandangi dirinya yang dibalut pakaian serba hitam.Mamanya dulu pernah berkata, fisik lelah bisa membantu meringankan beban otaknya. Gadis itu memasang earphone di telinganya, sebuah lagu dengan volume tinggi dan tempo cepat memenuhi pendengarannya.“Mereka tidak akan menyadariku bukan?” tanyanya pada diri sendiri.Gadis itu keluar dari rumahnya dan mulai berlari. Ia tidak memiliki tujuan yang pasti, ia hanya mengikuti ke mana kakinya a
Dark White Chapter 09Suara hujan deras mengguyur di luar sana. Sementara dalam sebuah ruangan berukuaran 7×8 meter, seorang pria masih sibuk mengganti kain kompres. Masih tergambar dengan jelas bagaimana Bella bercerita sambil menangis tadi. Gadis itu sedang terluka, bukan fisiknya tapi batin dan mentalnya.Saat ini semua orang seolah menodongkan senjata ke arahnya. Artikel dan unggahan di media sosial penuh dengan berita tentang kejadian tadi sore. Mereka yang sebelumnya tidak peduli, kini bersikap seolah mereka menjadi pihak yang paling dirugikan. Tidak sedikit pula berita yang sengaja dilebih-lebihkan untuk membuat nama gadis itu semakin buruk.Allen meletakkan baskom kecil berisi air dingin di nakas. Matanya terhenti pada obat-obatan yang berjajar rapi di atas lemari kecil itu. Ia melirik Bella sebentar lalu memutuskan untuk memeriksa obat apakah itu.“Ini gila ...” gumamnya sambil mengamati dua obat yang hanya tinggal beberapa buti
Suasana hening menyelimuti ruangan yang didominasi warna putih. Aroma obat dan desinfektan tercium pekat membuat hidung terasa sakit. Berulang kali Allen membuka ponselnya kalau-kalau Bella bangun dan mengabarinya. Tadi dia pergi saat gadis itu masih tertidur dan hanya meninggalkan pesan singkat.“Tn. Allen …” panggil seoang gadis dengan seragam putih dan topi perawat dari ruangan dokter.Pria itu beranjak berdiri, menghembuskan nafas berat dan melangkah malas memasuki ruangan kecil itu. Tepat saat ia memasuki ruangan, seorang pria dengan rambut yang hampir sempurna beruban melemparkan senyum kepadanya. Kaca mata tebal bertengger di atas hidungnya yang mancung.“Bagaimana kabarmu?” tanyanya basa-basi.Kulitnya yang eksotis sangat berbanding terbalik dengan warna rambutnya yang sempurna putih. Kerutan menggelantung di wajahnya menampakkan sudah berapa lama ia berhadapan dengan dunia ini.“Apakah masih perlu kujaw
Sinar matahari menyelusup memasuki jendela kamar. Bella mengerjapkan matanya berusaha mengumpulkan kesadarannya. Setelah sekian lama akhirnya gadis itu bisa tertidur sedikit lebih nyenyak. Matanya menyisir seisi ruangan namun tidak menemukan seseorang yang ia cari. “Sudah bangun?” Seorang wanita dengan pakaian kusut dan rambut di cepol seadanya datang dengan membawa segelas susu dan roti. “Sejak kapan kau ada di sini?” tanyanya sambil berusaha mengumpulkan kesadaran. “Pukul tiga tadi aku datang,” ucapnya lalu duduk di ujung ranjang Bella. “What!?” Bella yang sedang berusaha melemaskan ototnya langsung menghentikan aktivitasnya. “Aku yakin kau tidak tidur.” Gadis itu memperhatikan lingkaran hitam dan wajah sayu Karina. “Kau bisa resign menjadi manajerku,” ucapnya lirih. Ia tahu Karina selalu terlibat masalah karena dirinya. Sebagian besar manajer pasti akan sangat frustrasi mengurusnya. Tapi Karina, entah karena dia yang terlalu
Pukul sepuluh malam, Bella masih terjaga. Pikirannya tebang entah ke mana. Matanya menerawang bintang yang tertutup awan hitam di atas sana. Belasan kaleng minuman soda berserakan di sekitarnya. Gadis itu hampir mabuk karena terlalu banyak minum soda.“Ma, apa yang sedang terjadi sekarang? Bagaimana aku harus menghadapinya? Kehidupan gila ini semakin membuatku gila,” gumamnya. Mata birunya berkaca-kaca.Jika boleh jujur, Bella sangat merindukan mamanya. Ingin sekali ia datang menemui dan memeluknya seerat mungkin. Namun entah mengapa ia merasa ada tembok tinggi yang menghalangi setiap niatnya. Ada perasaan bersalah sekaligus takut memenuhi hatinya setiap kali ia ingin bertemu.“Ma ... kau tahu hidupku sekarang? Sangat menyenangkan ... begitu menyenangkan sampai aku lupa bagaimana caraku tertawa. Aku harap kau tidak bisa menonton TV di sana. Aku tidak ingin kau melihat wanita gila ini di layar TV.”Mamanya saat ini berada di sebuah
Udara pedesaan menyeruak menusuk hidung seolah membawa Bella ke sekian tahun yang lalu. Tempat ini pernah menjadi tempat paling menyeramkan bagi gadis itu, begitu pula dengan sekarang. Entah kekuatan dari mana yang membawanya kemari sendiri, tanpa ada teman baik itu manajernya ataupun Allen.Gadis itu menginjak pedal gas mobilnya melewati jalanan sepi. Jalanan di mana ia hampir saja mengalami kecelakaan. Sekarang ia datang sendiri dengan hati yang semakin ragu. Pakaiannya serba tertutup ditambah masker hitamnya semakin membuatnya tampak misterius.Bella menghentikan mobilnya di halaman parkir sebuah rumah sakit jiwa. Sepi, sunyi, seperti tempat tanpa penghuni. Ia merasakan dingin merambat melalui jemari tangannya. Degup jantungnya semakin cepat. Ia mencoba menenangkan diri dengan mengatur nafasnya.Gadis itu berjalan memasuki rumah sakit jiwa tua yang dindingnya sudah dipenuhi lumut itu. Beberapa orang perawat terlihat berkeliaran di dalamnya.“Ada
Matahari sudah mulai tenggelam di ufuk barat dan menciptakan nuansa senja yang hangat dan menenangkan. Ketiga orang dewasa itu berjalan santai di belakang seorang gadis kecil yang tampak sangat kegirangan di depan sana. Bella tersenyum melihat gadis itu tampak sangat Bahagia. Sudah terlalu banyak penderitaan di pundak gadis itu, ini saatnya dia berbahagia. Ia tidak tahu apakah ini akan menjadi pertama dan terakhir kalinya Lucy dapat bermain di tempat ini. “Aku ingin menaikinya!” Tangan mungilnya menunjuk sebuah komidi putar dengan kuda-kuda lucu yang bergerak berputar-putar. “Sungguh? Ayo kita naik!” Bella langsung menyambar tubuh kecil Lucy dan menggendongnya menuju komidi putar yang dimaksud. Ledakan tawa khas gadis kecil itu seketika pecah saat Bella menggendongnya. Sejak tadi mulutnya belum sempat tertutup karena sibuk tertawa dan ternganga melihat megahnya setiap permainan yang ada di taman bermain. Semua ini adalah mainan yang selama ini hanya bisa ia lihat lewat layer televi
Hari ini merupakan hari terakhir perekaman drama yang Bella dan Mark bintangi. Semua pemeran dan juga staf melakukan foto bersama. Drama ini akan segera di rilis bulan depan. Bella tidak tahu akan seheboh apa nanti saat drama ini rilis karena bahkan saat ini pun sudah ada ratusan artikel dan kehebohan yang bahkan melebihi beberapa drama yang saat ini sedang tayang. “Kamu sudah bekerja keras ... sangat keras.” Karina memberikan sebuah buket bunga sebagai ucapan selamat.Gadis itu tersenyum menerimanya. Akhirnya ia bisa terbebas dari masalah shooting dan partner kerja yang sangat tidak kompeten seperti Mark. Rasanya ada satu beban berat terangkat dari pundaknya saat ini. Terlebih lagi beberapa waktu lalu Anggun memberi kabar kalau keadaan Lucy semakin hari semakin membaik. Dr. John menjelaskan kalau dia terus mempertahankan progresnya seperti ini kemungkinan untuk bertahan hidup lebih lama akan semakin besar. Dr. John tidak bisa menjamin gadis kecil itu akan sembuh sepenuhnya. Yang b
Matahari sudah mulai tergelincir ke arah barat meski belum sepenuhnya menunjukkan waktu sore tetapi tidak juga bisa disebut sebagai siang. Berulang kali Bella memastikan kalau tali pengikat di pinggangnya terpasang dengan benar. Ini adalah adegan Bella terjatuh dari atas gedung. “Kalian tidak menggunakan CG?” tanyanya saat melihat lokasi shooting yang benar-benar berada di atas gedung. Angin berembus cukup kencang sedikit menyamarkan teriknya panas matahari yang menerpa. Kulitnya yang putih sedikit memerah karena terlalu panas. “Takut?” tanya Mark yang entah sejak kapan sudah berada di sampingnya. “Berhenti memancing keributan,” timpal Bella pelan. Ia masih merasa sedikit gugup karena ini pertama kalinya ia melakukan adegan seperti ini. “Tali ini kuat bukan?” Gadis itu berulang kali mengecek tali yang melilit pinggangnya. Apakah ini kuat? Bagaimana jika putus saat ia melakukan shooting? Sebenci apa pun ia pada hidupnya yang kusut ini, ia masih belum ingin mati. Setidaknya kini i
Malam semakin larut dan Bella masih berkutat dengan peralatan gambarnya. Kali ini ia sedikit merasa kesulitan fokus pada gambarnya. Ada begitu banyak hal yang ia pikirkan. Hari ini terasa sangat panjang dan melelahkan. Sejak tadi tidak henti-hentinya ia mengirim pesan kepada Anggun untuk menanyakan keadaan Lucy. Sudah seminggu sejak kejadian Lucy kritis, namun ia masih belum bisa tenang. Terlebih lagi anak itu semakin hari semakin terlihat memprihatinkan. Anggun bahkan sudah mengatakan kalau ia sudah siap dengan semua kemungkinan buruk yang akan terjadi. Tapi tidak dengannya. Ia tetap tidak bisa tenang.“Aishhh!” Tangannya mencoret-coret asal buku sketsanya yang kini penuh dengan coretan tidak jelas. Ia tidak bisa fokus pada apa yang ingin ia gambar. Pikirannya terlalu penuh dan ia merasa sangat lelah.Bella menyandarkan punggungnya kasar di sandaran kursi. Rambut pucatnya yang diikat kucir kuda bergerak-gerak terkena angin malam. Malam ini ia masih berada di hotel karena rumahnya m
Bella duduk di balkon hotel. Rumahnya masih dalam proses renovasi sehingga dia menginap untuk sementara di hotel. Sebelumnya Karina sudah menyarankan untuk tinggal di dorm atau di rumahnya, tetapi Bella menolak. Ia butuh kesnedirian, oleh karena itu ia memilih untuk tinggal di hotel saja. Gadis itu menatap layar ponselnya yang menampilkan sebuah artikel berita tentang dirinya. Ia menutup kasus itu dan tidak ingin memperpanjangnya. Sebagian orang menganggapnya terlalu baik pada para haters, tapi sebagian justru mencurigainya. Ribuan komentar pedas kembali menyerang media sosialnya. --“Mungkin dia sengaja membuat keributan untuk mengalihkan isu kencannya dengan Mark.” --“Aku tidak tahu kenapa aktris penuh skandal sepertinya masih terus dipertahankan oleh perusahaannya.” --“Aktingnya bahkan tidak sebagus itu. Dia tidak pantas mendapat banyak cinta.”--“Apakah dia masih memiliki penggemar? Sungguh aku kasihan pada mereka karena berulang kali dikecewakan.” --“Aku curiga skandal bullyi
Di luar sana para penggemar dan media semakin ramai berkumpu. Hari sudah menunjukkan pukul delapan malam dan di atas sana mendung menggantung tebal, namun mereka semua seolah tidak peduli. Menjadi seorang reporter, menyiarkan berita pertama kali lebih penting daripada kesehatan dirinya.Bella dan Allen duduk di sofa panjang yang ada di ruang tamu. Gadis itu sudah sedikit lebih tenang. Ia sudah berhenti menangis tetapi jiwanya masih sangat terguncang. Jemarinya masih sedingin es, dan wajahnya terlihat semakin pucat.Allen memperhatikan lengan Bella dan mendapati luka yang cukup dalam dan darahnya sudah membeku. Begitu pula dengan kuku tangannya tang terdapat sisa-sisa darah. Sepertinya gadis ini tanpa sadar mencakar dan melukai lengannya sendiri hingga berdarah.Allen mengambil kotak obat yang ada di tasnya. Ia membersihkan luka Bella perlahan dengan alkohol. Gadis itu sama sekali tidak menjerit atau merintih kesakitan. Ia masih diam, pandangan matanya sembab dan kosong.“Semua akan ba
Hari-hari berlalu dengan lebih baik dari sebelumnya. Bella kembali mendapatkan perhatian baik dari publik. Lagu barunya berhasil meraih berbagai macam penghargaan hanya dalam tiga minggu masa promosi. Para penggemarnya juga menyukai penampilan barunya. Mereka ahkan mengatakan kalau penampilannya kini jauh lebih baik dari sebelumnya. Ia tampak lebih nyaman menjadi dirinya sendiri. --“Jangan lupa untuk lebih sering melakukan siaran langsung! Aku mencintaimu!” --“Aku masih tidak percaya kau kembali. Sangat cantik!” --“Selamat atas kemenangannya di music show!” --“Suaramu sangat bagus! Begitu pula permainan biolamu.” Kali ini Bella kembali tidak hanya dengan lagu berupa melodi biola saja, tetapi ia juga bernyanyi di sela-sela permainannya. Awalnya ia tidak ingin merilis lagu ini, akan tetapi karena desakan agensinya, ia memutuskan untuk merilisnya meski dengan setengah hati. Bella menutup ponselnya setelah melihat beberapa komentar di postingan terbarunya. Beberapa waktu lalu ia meng
Bella berjalan cepat melewati lorong yang akan mengantarkannya menuju ruang rapat. Gadis itu menenteng sebuah map transparan yang berisi surat kontrak. Di belakangnya Karina tampak sedikit kewalahan mengikutinya. Ia bahkan tidak menyapa beberapa staf yang berpapasan dengannya. Raut wajahnya benar-benar menunjukkan suasana hatinya. Meskipun biasanya wajahnya memang tidak pernah diliputi senyuman, tetapi kali ini benar-benar berbeda. Ia sedang marah. Langkah kakinya terhenti ketika ia sampai di depan sebuah pintu kaca ruang rapat. Sayup-sayup ia bisa mendengar gelak tawa dari orang-orang di dalam. Ruangan ini didesain kedap suara, akan tetapi bahkan tidak bisa membendung suara tawa mereka. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. “Cobalah untuk sedikit tenang,” ucap Karina di sampingnya. Tidak menjawab pertanyaan dari manajernya, gadis itu justru membuka pintu ruang rapat dengan kasar. Orang-orang yang ada di ruangan itu lantas berhenti tertawa dan beral
Bella berada dalam perjalanannya menuju rumah sakit. Kali ini Karina tidak mencegahnya karena Lucy merupakan kunci utama agar Bella mau menandatangani kontrak itu. “Pikirkan dengan baik keputusanmu, jangan jadikan orang lain menderita karena keegoisanmu.” Karina berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Gadis berwajah pucat itu hanya diam menatap ke luar jendela mobil. Tangan kanannya beralih membuka ponselnya. Ia mengecek kolom komentar media sosialnya. Persis seperti yang ia duga sebelumnya. Unggahan terakhirnya penuh dengan hujatan para pengguna internet. -“Kudengar dia akan membintangi drama bersama Mark! Bukankah itu gila?” -“Dia bahkan belum membersihkan namanya sendiri. Sepertinya dia ingin menggunakan Mark untuk menarik perhatian publik. Mark ku yang malang.” -“Dia sama sekali tidak cocok untuk Mark!” -“Apakah ada yang ingin membuat petisi penolakan? Aku akan dengan senang hati menandatanganinya.”