Bella dibangunkan dengan suara nyaring yang berasal dari ponselnya. Itu bukan notifikasi pesan atau panggilan melainkan suara alarm. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Bella bangun ketika alarm berbunyi.
Ini pertama kalinya Bella bisa tertidur lelap tanpa mimpi buruk. Gadis itu mengerjap-ngerjapkan matanya. Diperhatikannya pakaian yang ia kenakan. Ia tidak memakai baju tidur seperti biasanya, pakaiannya masih sama persis dengan yang ia pakai tadi malam.
“Iuhh!”
Kepalanya spontan bergerak mundur ketika mencium bau bir dari lengan bajunya. Matanya kini tertuju pada kupluk rajut yang tergeletak di lantai kamar.
“Astaga! Apa yang baru saja terjadi?” Matanya membulat sempurna.
Bella mengacak rambutnya frustrasi. Bayang-bayang wajah bingung Allen masih tergambar jelas di ingatannya. Biasanya gadis itu tidak akan ingat dengan apa yang dia lakukan saat mabuk, tapi sialnya kali ini ia mengingat semuanya.
“Pengacara menyebalkan itu ... astaga ini sangat memalukan!”
Ia menyembunyikan kepalanya dibalik selimut tebal. Seolah dengan begitu rasa malunya akan sedikit berkurang. Padahal sama sekali tidak, justru malah semakin jelas teringat tentang tingkah absurdnya di depan Allen.
“Tidak apa-apa, pria itu hanya melakukan wawancara saja. Kita tidak akan pernah bertemu lagi,” gumamnya masih dengan posisi menyembunyikan kepala dibalik selimut.
Ponselnya bergetar menandakan ada panggilan masuk. Jemari pucatnya menyembul dari balik kain tebal nan hangat yang menutupi kepalanya. Meraih benda itu dan mulai berbicara dengan manajernya.
--“Jangan lupa kita akan ke Monterio hari ini,” ucap Karina nun jauh di sana.
“Iya,” jawabnya lalu memutuskan sambungan telepon.
“Tidak apa-apa, itu normal bagi orang mabuk. Untuk apa aku merasa malu, haha lucu sekali,” ucapnya sambil melipat selimut tebalnya.
Lima belas menit berlalu Bella selesai membersihkan diri dan mulai merias wajah. Aktivitasnya terhenti saat ia hendak memasang rambut palsu. Tiba-tiba saja ia teringat kejadian kemarin dan itu membuatnya kesal. Kepala agensinya sudah tahu, tinggal menunggu waktu saja sampai semua orang tahu.
“Pria tua menyebalkan!” gumamnya sambil menatap rambut palsu itu penuh kebencian.
“Aku penasaran, bagaimana reaksinya jika nanti semua orang tahu.”
Bella menghembuskan nafas berat lalu memasang wig itu serapi mungkin. Ia sendiri belum siap jika harus menunjukkan semuanya sekarang.
Bola matanya melirik layar ponsel yang berkedip sebentar. Karina sudah berisik karena ia belum datang. Wanita itu mengirim puluhan pesan beruntun.
Pukul delapan pagi ia sampai di gedung agensinya. Ia dikejutkan dengan seorang pria yang kini berdiri di hadapannya. Pria dengan setelan jas hitam rapi dengan kacamata berframe tipis bertengger di atas hidungnya. Orang yang sama dengan yang memergokinya mabuk malam tadi.
“Sedang apa dia di sini?”
Bella bertanya pada Karina, namun matanya yang tajam terkunci pada sosok menyebalkan di hadapannya. Bukankah aneh melihat orang yang selama ini tidak mau berurusan dengan dunia entertaiment, kini tiba-tiba melanggar prinsipnya sendiri. Pikiran buruknya langsung tertuju pada kejadian rambut palsunya kemarin.
“Apa kau menyesal tidak mengunggahnya ke internet kemarin? Kau berharap kejadian itu akan terjadi lagi kali ini?” tanyanya sinis.
“Begini, dia mengambil alih kasus ini. Pengacara Hendry juga sudah menyetujuinya,” ucap Karina berusaha menghentikan aktrisnya itu.
Bella memutar bola matanya malas. Entah kenapa ia merasa sangat benci pada pria itu sejak dia mengetahui rahasianya. Antara khawatir dan malu membuatnya memilih untuk membenci.
“Haha ... lucu sekali,” sinisnya.
Lima belas menit berlalu mereka sudah dalam perjalanan menuju Monterio. Butuh waktu dua jam untuk mereka bisa sampai di sekolah lamanya. Suasana hati Bella benar-benar sedang tidak baik karena Allen berada di antara mereka. Berulang kali pikirannya mengingat tentang kejadian tadi malam. Bagaimana bisa ia mencurahkan isi hatinya pada orang yang baru dikenal?
Setelah perjalanan panjang nan melelahkan, akhirnya mereka sampai di sebuah sekolah kecil di tengah kota terpencil. Bella keluar dari mobil dan langsung disambut dengan suasana yang lekat dengan masa lalunya. Jantungnya berdegup kencang. Ia seperti bisa melihat rekaman ulang ketika dirinya masih bersekolah di sini.
“Ada apa?” tanya Karina saat melihat gadis itu terdiam cukup lama.
Bella tersadar dari lamunannya dan menyadari bahwa semua orang menatapnya bingung. Gadis itu memperbaiki posisi anak rambutnya yang sedikit berantakan. Dihembuskannya nafas perlahan untuk menyiapkan batinnya.
“Kenapa kita tidak datang saat hari libur saja?” tanyanya saat melihat beberapa siswa dengan baju olah raga di lapangan basket.
“Mereka tidak akan ada di sini kalau kita datang hari libur,” jawab manajernya.
Sepanjang jalan jantungnya terasa seperti akan keluar dari rangkanya. Dahulu ia berada di sini sebagai korban bullying dan sekarang ia kembali sebagai pelaku? Tuduhan itu benar-benar berkebalikan dengan kenyataan yang ada.
Mereka memasuki sebuah ruangan lumayan luas yang dihiasi dengan rak-rak berisi piala dan album kenangan.
“Beliau sedang mengajar, silakan tunggu sekitar lima belas menit lagi,” ucap seorang wanita yang sepertinya guru baru.
Bella memilih melihat-lihat isi ruangan sambil menunggu gurunya datang. Gadis itu berjalan mendekati sebuah rak yang berisi album foto para alumni. Tatapannya terhenti pada sebuah album usang yang merupakan album yang berangka tahun 2017. Diambilnya album itu dan mulai melihat-lihat.
Matanya menyusuri gambar-gambar para alumni. Pandangannya terhenti pada sebuah foto gadis dengan rambut hitam berantakan. Itu adalah foto dirinya tujuh tahun yang lalu.
“Hitam?” tanya seseorang yang entah sejak kapan berada di sampingnya.
Bella mengangguk. “Dulu aku tinggal dengan nenek setelah ayahku meninggal. Dia takut aku tidak punya teman karena penampilanku. Jadi aku dipaksa mewarnai rambut.”
“Lalu, kenapa sekarang kau memilih tidak mewarnainya? Bukankah akan lebih aman seperti itu?” Pria itu menunjuk foto gadis tanpa senyuman itu.
Bella menghela nafas berat. “Apa kau selalu bertanya sebanyak ini?”
Gadis itu menutup album foto dan melemparkannya ke arah Allen. Beruntung pria itu sigap dan berhasil menangkap. Bella berjalan menjauh meninggalkan Allen yang masih diselimuti ribuan pertanyaan.
Seorang wanita paruh baya dengan kacamata tebal memasuki ruangan. Dia adalah wali kelas Bella saat ia masih bersekolah di sini. Hubungan keduanya tidak terlalu dekat, namun cukup tahu tentang seperti apa Bella.
Tiga puluh menit terasa sangat lama. Akhirnya mereka selesai melakukan wawancara dengan mantan wali kelasnya. Hari sudah menunjukkan pukul dua siang dan sudah saatnya bagi mereka untuk pulang.
“Aku ke toilet dulu,” ucap Bella.
“Perlu kutemani?” Pertanyaan menggelikan itu berasal dari Karina.
Bella menggeleng dan langsung meninggalkan manajer dan pengacaranya. Sepanjang perjalanan semua mata tertuju padanya. Sebagian dari mereka berbisik-bisik membicarakannya. Tanpa perlu bertanya pun ia tahu apa yang sedang dibicarakan para siswa itu. Pasti tidak jauh-jauh dari skandal yang sedang menjeratnya saat ini.
Toilet sekolah ini jauh lebih bagus dan bersih dari saat ia bersekolah di sini dulu. Bella menatap pantulan wajahnya di cermin. Gadis itu membasahi jemarinya dengan air dingin lalu memperbaiki riasan tipisnya.
“Brak!” suara keras berasal dari salah satu bilik kamar mandi membuat gadis itu terlonjak. Toilet ini sangat sepi saat ia masuk tadi, suara sekeras itu membuatnya penasaran.
“Sudah kubilang, kau tidak akan pernah bisa lepas dari kami!” ucap seseorang dari dalam sebuah bilik diikuti dengan suara guyuran air.
Gelak tawa puas terdengar membuat Bella memutuskan untuk memeriksa. Gadis itu mengintip ke sebuah bilik kamar mandi yang terbuka. Matanya membelalak ketik melihat seorang gadis basah kuyup dikelilingi tiga orang yang berusaha untuk menyakitinya. Ia mengambil ponsel dan mulai merekam.
“Brakk!!” Bella memukul daun pintu toilet membuat empat gadis berseragam kusut itu terkejut. Ditatapnya tajam ketiga gadis yang sedang merundung salah satu temannya itu. Ia pernah berada di posisi korban perundungan, jadi ia tahu seperti apa rasanya.
“Bukankah akan sangat menyenangkan jika aku bawa ini ke ranah hukum?” Gadis itu memperlihatkan video yang tadi ia rekam.
“Ini akan menjadi bukti paling kuat untuk menjebloskan kalian ke penjara. Ah kalian masih dibawah umur, tapi setidaknya lapas remaja sudah bisa menghancurkan masa depan kalian bukan?” Gadis itu memutar-mutar ponselnya sambil terus menatap tajam tiga siswa itu.
“Bukankah kau juga melakukan ini? Lantas kenapa sekarang menjadi sok-pahlawan seperti ini?” ucap salah satu dari mereka yang sepertinya merupakan pemimpinnya.
“Benarkah? Lalu haruskah aku melakukan hal yang sama? Mengguyur kepala kalian dengan air ini?”
Kakinya menendang sebuah ember berisi air bekas pel lantai. Tatapan tajamnya masih mengarah pada ketiga siswa yang kini terlihat sangat ketakutan. Sementara gadis yang menjadi korban hanya diam kedinginan.
“Ada apa ini?” tanya seseorang dari arah belakang.
Bella membalikkan badan untuk melihat siapa yang berbicara. Ia mematung ketika melihat seorang gadis dengan seragam guru magang berdiri tidak jauh darinya. Seketika ingatan masa lalunya kembali berkelebat. Gadis yang berdiri di hadapannya ini adalah orang yang sama dengan dia yang telah merundungnya tuju tahun yang lalu.
Bella menyunggingkan senyum sinis. Matanya meneliti dari ujung kepala sampai kaki gadis itu. Dia sama sekali belum berubah, masih sama seperti dulu. Mustahil Bella lupa.
“Lama tidak berjumpa ... Arin,” ucap gadis itu sambil menatap tajam gadis yang dipanggil Arin itu.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Tampak jelas dari matanya kalau dia sangat kesal.
Bella menyodorkan ponsel yang berisi video perundungan yang dilakukan oleh tiga siswa itu.
“Rasanya seperti melihat rekaman ulang kejadian tujuh tahun yang lalu bukan? Lucu sekali ketika melihat rumor sekarang mengatakan aku pelakunya.”
Bisa dilihat jemari Arin bergetar ketika melihat video itu. Tak peduli seberapa keras gadis itu berusaha menahan tapi tetap bisa terbaca jelas dengan matanya.
“Kau urus dulu mereka bertiga lalu kita bicara,” ucap gadis itu sambil melirik ketiga siswa yang kedapatan merundung itu.
Tiga gadis itu mengekor di belakang Arin seperti truk derek. Bersamaan dengan itu, ponselnya bergetar karena ada panggilan masuk.
“Aku akan segera kembali,” ucapnya lalu menutup sambungan telepon.
“Kau ... cepat ganti pakaian atau kau akan sakit,” perintahnya pada gadis yang masih berjongkok di dalam bilik kamar mandi.
“Kau bertingkah seperti pahlawan padahal kau sendiri seorang perundung,” ucap gadis itu sambil melirik Bella sinis.
“Benarkah? Maka pastikan kau menyimak kelanjutan beritanya setelah ini.” Bella menaikkan sudut bibirnya sebelah lalu melenggang pergi.
Dari jarak yang bisa dibilang cukup jauh Bella bisa melihat Wajah karina yang merengut karena terlalu lama menunggu. Bella tidak ada jadwal sama sekali setelah ini, namun Karina bertingkah seolah mereka punya jadwal padat. Semua acaranya dibatalkan sementara sampai isu itu dikonfirmasi tidak benar.
“Apa yang kau lakukan? Kenapa lama sekali?” tanya wanita itu kesal.
“Jangan langsung pergi, aku membawa saksi baru.” Bella kembali merapikan posisi poninya yang berantakan terkena angin.
“Siapa?” tanya Allen yang sepertinya juga sudah kesal menunggu terlalu lama.
Gadis itu mengabaikan pertanyaan Allen dan memilih duduk di sebuah kursi panjang. Matanya menatap seorang gadis dengan seragam guru magang yang sedang berjalan mendekati mereka. Bella menunjuk gadis itu dengan dagunya.
“Siapa dia?” tanya Karina penasaran.
“Teman lama,” ucapnya lagi-lagi dengan nada sinis.
Entah mereka bisa disebut sebagai teman atau tidak. Masa lalu mereka tidak terlalu dekat, tapi gadis itu justru yang selalu ada di dekatnya. Selalu ada bukan sebagai sahabat tapi sebagai perundung.
“Teman yang paling paham tentang aku.” Bella berdiri dan mendekati gadis itu lalu menepuk pundaknya pelan.
“Suatu keberuntungan bisa bertemu lagi ... teman lama.”
Arin sama sekali tidak berkomentar. Ia sadar gadis yang dulu ia ganggu kini memiliki karier yang lebih baik darinya yang berulang kali magang, namun belum pernah diterima sebagai pegawai tetap.
“Kau bisa langsung tanyai dia,” ucapnya sambil menunjuk Arin dengan dagunya.
“Kenapa kau lakukan ini?” tanya gadis itu dengan wajah seolah dialah yang paling tersakiti saat ini.
“Aku hanya memintamu memberikan keterangan saja, tidak mengungkap hubungan kita dahulu.”
“Tapi tetap saja ....” Gadis magang itu menghela nafas berat.
“Kau tidak bisa melakukan ini,” ucap Allen tiba-tiba.
“Kenapa?”
“Jika dia menolak bersaksi maka kau tidak bisa memaksanya. Anda boleh pergi,” ucap Allen ketika melihat wajah Arin yang terlihat tidak nyaman.
“Begitukah? Jadi aku penjahatnya sekarang?” Bella tertawa sinis.
“Saya menolak bersaksi,” ucap Arin sambil berusaha menyembunyikan senyum sinisnya.
Allen mengangguk lalu mempersilakan gadis itu untuk pergi. Bella tertawa kecil, lagi-lagi Arin terlindungi. Aktingnya sangat bagus sampai-sampai seorang pengacara mempercayainya. Akan lebih baik jika dia mendaftar agensi drama.
Arin berjalan mendekati Bella masih dengan tampang lugunya. “Lihat siapa yang menang,” bisiknya tepat di telinga.
“Tolong jangan membawaku ikut campur ke dalam masalahmu,” ucap gadis itu sambil menunduk lalu pergi meninggalkan mereka semua.
“Pemaksaan, omong kosong apa lagi itu.”
“Jika sikapmu seperti ini, orang akan semakin yakin kalau kau seorang perundung,” ucap Allen sambil menatap Bella tajam.
“Benarkah? Baiklah ... terima kasih sudah menyelamatkan orang yang sudah membuat masa sekolahku menjadi kenangan terburuk.” Jujur ia merasa kecewa karena Allen lebih membela Arin.
“Baru saja aku berpikir kau berbeda. Ah sudahlah.”
Bella berjalan cepat memasuki mobil mereka. Kesempatannya untuk membalas dendam terhapus oleh aturan hukum yang menyebalkan itu. Lagi-lagi ia kalah di hadapan Arin. Bahkan setelah sekian lama ia masih tetap berada di bawah gadis itu.
Hari sudah beranjak gelap saat mereka dalam perjalanan kembali ke Victorian City. Bella menyandarkan punggungnya di kursi mobil. Pandangannya menerawang keluar jendela, mengamati matahari yang mulai tenggelam. Suasana hatinya semakin tidak baik setelah kejadian di sekolah tadi.Di sampingnya, Allen masih sibuk dengan laptopnya. Entah apa yang sedang dia kerjakan Bella tidak peduli. Ia masih sangat kesal karena tadi Arin bisa lepas dengan sangat mudah.Suara notifikasi berbunyi dari ponsel gadis itu. Bella mengalihkan pandangannya menuju benda persegi empat itu. Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal.Matanya membulat seolah bola matanya akan keluar dari kelopaknya. Tangan pucat itu terasa sangat dingin dan jantungnya berdetak tiga kali lebih cepat. Ia tidak berteriak, namun perubahan reaksinya berhasil ditangkap oleh mata Allen.“Ada apa?” tanya pria itu khawatir saat melihat perubahan tingkah Bella.Gadis itu hanya menggeleng kaku
Dua minggu berlalu setelah kunjungan di Monterio, Bella dinyatakan bersih dan tidak pernah melakukan perundungan. Sebelumnya para penggemar masih sangat mencurigainya hingga akhirnya sebuah unggahan menggemparkan media sosial. Seseorang yang tidak diketahui siapa mengunggah foto surat tulisan tangan yang berisi tentang pembelaan terhadap Bella.Pria bertubuh tinggi dan kulit putih itu sibuk dengan ponselnya. Ia membuka sosial media Bella untuk memastikan tidak banyak lagi yang menghujatnya. Kasus itu sudah selesai dan ia harap gadis itu bisa hidup dengan lebih tenang meski itu tidak mungkin. Ada banyak hal yang disembunyikan gadis itu, hal itu membuatnya tidak yakin dia bisa hidup dengan tenang.“Kulihat kasusnya sudah selesai,” ucap seseorang dengan rambut keriting yang tidak lain adalah Hendry.Pria itu duduk di samping Allen sambil melirik isi ponselnya. Tangan kanannya memegangi sekaleng minuman bersoda. Entah sudah berapa kaleng minuman yang dia
Pukul 14.00 Bella masih berada di depan cermin kamarnya. Hatinya terasa was-was, ia seperti belum siap kembali tampil di depan penggemar. Skandalnya baru saja selesai beberapa hari lalu, bukankah ini terlalu cepat untuk kembali ke depan umum?“Jangan kecewakan mereka hanya karena beberapa orang tidak menyukaimu.” Kata-kata Allen terus berputar di ingatannya saat ini.Gadis itu merapikan poni tipis dari rambut palsunya. Ia tidak pernah mau menggunakan penata rambut perusahaan untuk menata rambutnya. Demi keamanan rahasianya, ia memilih menata rambutnya sendiri dan hasilnya tidak pernah buruk.“Ping!” suara notifikasi ponsel mengalihkan perhatiannya.Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Jantungnya berdegup kencang seketika. Ini nomor yang sama dengan yang mengiriminya foto boneka berdarah beberapa waktu lalu. Rasa-rasanya ia sudah memblokir nomor itu, tapi kenapa ia masih bisa menerima pesan darinya?“Sudah
Tiga puluh menit yang lalu, Karina pergi dari rumah Bella. Hari sudah beranjak malam dan gadis itu sendirian di rumah. Ia tidak membuka media sosialnya, tidak ingin membaca ocehan para pengguna internet yang selalu merasa paling benar. Itu hanya akan menambah beban pikirannya.Gadis itu mengganti bajunya dengan sweater tebal dan celana olah raga. Rambutnya tertutup kupluk berwarna hitam. Ia juga menggunakan masker hitam dan kacamata bulat yang sering ia gunakan saat pergi. Ia berdiri di depan cermin kamarnya, memandangi dirinya yang dibalut pakaian serba hitam.Mamanya dulu pernah berkata, fisik lelah bisa membantu meringankan beban otaknya. Gadis itu memasang earphone di telinganya, sebuah lagu dengan volume tinggi dan tempo cepat memenuhi pendengarannya.“Mereka tidak akan menyadariku bukan?” tanyanya pada diri sendiri.Gadis itu keluar dari rumahnya dan mulai berlari. Ia tidak memiliki tujuan yang pasti, ia hanya mengikuti ke mana kakinya a
Dark White Chapter 09Suara hujan deras mengguyur di luar sana. Sementara dalam sebuah ruangan berukuaran 7×8 meter, seorang pria masih sibuk mengganti kain kompres. Masih tergambar dengan jelas bagaimana Bella bercerita sambil menangis tadi. Gadis itu sedang terluka, bukan fisiknya tapi batin dan mentalnya.Saat ini semua orang seolah menodongkan senjata ke arahnya. Artikel dan unggahan di media sosial penuh dengan berita tentang kejadian tadi sore. Mereka yang sebelumnya tidak peduli, kini bersikap seolah mereka menjadi pihak yang paling dirugikan. Tidak sedikit pula berita yang sengaja dilebih-lebihkan untuk membuat nama gadis itu semakin buruk.Allen meletakkan baskom kecil berisi air dingin di nakas. Matanya terhenti pada obat-obatan yang berjajar rapi di atas lemari kecil itu. Ia melirik Bella sebentar lalu memutuskan untuk memeriksa obat apakah itu.“Ini gila ...” gumamnya sambil mengamati dua obat yang hanya tinggal beberapa buti
Suasana hening menyelimuti ruangan yang didominasi warna putih. Aroma obat dan desinfektan tercium pekat membuat hidung terasa sakit. Berulang kali Allen membuka ponselnya kalau-kalau Bella bangun dan mengabarinya. Tadi dia pergi saat gadis itu masih tertidur dan hanya meninggalkan pesan singkat.“Tn. Allen …” panggil seoang gadis dengan seragam putih dan topi perawat dari ruangan dokter.Pria itu beranjak berdiri, menghembuskan nafas berat dan melangkah malas memasuki ruangan kecil itu. Tepat saat ia memasuki ruangan, seorang pria dengan rambut yang hampir sempurna beruban melemparkan senyum kepadanya. Kaca mata tebal bertengger di atas hidungnya yang mancung.“Bagaimana kabarmu?” tanyanya basa-basi.Kulitnya yang eksotis sangat berbanding terbalik dengan warna rambutnya yang sempurna putih. Kerutan menggelantung di wajahnya menampakkan sudah berapa lama ia berhadapan dengan dunia ini.“Apakah masih perlu kujaw
Sinar matahari menyelusup memasuki jendela kamar. Bella mengerjapkan matanya berusaha mengumpulkan kesadarannya. Setelah sekian lama akhirnya gadis itu bisa tertidur sedikit lebih nyenyak. Matanya menyisir seisi ruangan namun tidak menemukan seseorang yang ia cari. “Sudah bangun?” Seorang wanita dengan pakaian kusut dan rambut di cepol seadanya datang dengan membawa segelas susu dan roti. “Sejak kapan kau ada di sini?” tanyanya sambil berusaha mengumpulkan kesadaran. “Pukul tiga tadi aku datang,” ucapnya lalu duduk di ujung ranjang Bella. “What!?” Bella yang sedang berusaha melemaskan ototnya langsung menghentikan aktivitasnya. “Aku yakin kau tidak tidur.” Gadis itu memperhatikan lingkaran hitam dan wajah sayu Karina. “Kau bisa resign menjadi manajerku,” ucapnya lirih. Ia tahu Karina selalu terlibat masalah karena dirinya. Sebagian besar manajer pasti akan sangat frustrasi mengurusnya. Tapi Karina, entah karena dia yang terlalu
Pukul sepuluh malam, Bella masih terjaga. Pikirannya tebang entah ke mana. Matanya menerawang bintang yang tertutup awan hitam di atas sana. Belasan kaleng minuman soda berserakan di sekitarnya. Gadis itu hampir mabuk karena terlalu banyak minum soda.“Ma, apa yang sedang terjadi sekarang? Bagaimana aku harus menghadapinya? Kehidupan gila ini semakin membuatku gila,” gumamnya. Mata birunya berkaca-kaca.Jika boleh jujur, Bella sangat merindukan mamanya. Ingin sekali ia datang menemui dan memeluknya seerat mungkin. Namun entah mengapa ia merasa ada tembok tinggi yang menghalangi setiap niatnya. Ada perasaan bersalah sekaligus takut memenuhi hatinya setiap kali ia ingin bertemu.“Ma ... kau tahu hidupku sekarang? Sangat menyenangkan ... begitu menyenangkan sampai aku lupa bagaimana caraku tertawa. Aku harap kau tidak bisa menonton TV di sana. Aku tidak ingin kau melihat wanita gila ini di layar TV.”Mamanya saat ini berada di sebuah
Matahari sudah mulai tenggelam di ufuk barat dan menciptakan nuansa senja yang hangat dan menenangkan. Ketiga orang dewasa itu berjalan santai di belakang seorang gadis kecil yang tampak sangat kegirangan di depan sana. Bella tersenyum melihat gadis itu tampak sangat Bahagia. Sudah terlalu banyak penderitaan di pundak gadis itu, ini saatnya dia berbahagia. Ia tidak tahu apakah ini akan menjadi pertama dan terakhir kalinya Lucy dapat bermain di tempat ini. “Aku ingin menaikinya!” Tangan mungilnya menunjuk sebuah komidi putar dengan kuda-kuda lucu yang bergerak berputar-putar. “Sungguh? Ayo kita naik!” Bella langsung menyambar tubuh kecil Lucy dan menggendongnya menuju komidi putar yang dimaksud. Ledakan tawa khas gadis kecil itu seketika pecah saat Bella menggendongnya. Sejak tadi mulutnya belum sempat tertutup karena sibuk tertawa dan ternganga melihat megahnya setiap permainan yang ada di taman bermain. Semua ini adalah mainan yang selama ini hanya bisa ia lihat lewat layer televi
Hari ini merupakan hari terakhir perekaman drama yang Bella dan Mark bintangi. Semua pemeran dan juga staf melakukan foto bersama. Drama ini akan segera di rilis bulan depan. Bella tidak tahu akan seheboh apa nanti saat drama ini rilis karena bahkan saat ini pun sudah ada ratusan artikel dan kehebohan yang bahkan melebihi beberapa drama yang saat ini sedang tayang. “Kamu sudah bekerja keras ... sangat keras.” Karina memberikan sebuah buket bunga sebagai ucapan selamat.Gadis itu tersenyum menerimanya. Akhirnya ia bisa terbebas dari masalah shooting dan partner kerja yang sangat tidak kompeten seperti Mark. Rasanya ada satu beban berat terangkat dari pundaknya saat ini. Terlebih lagi beberapa waktu lalu Anggun memberi kabar kalau keadaan Lucy semakin hari semakin membaik. Dr. John menjelaskan kalau dia terus mempertahankan progresnya seperti ini kemungkinan untuk bertahan hidup lebih lama akan semakin besar. Dr. John tidak bisa menjamin gadis kecil itu akan sembuh sepenuhnya. Yang b
Matahari sudah mulai tergelincir ke arah barat meski belum sepenuhnya menunjukkan waktu sore tetapi tidak juga bisa disebut sebagai siang. Berulang kali Bella memastikan kalau tali pengikat di pinggangnya terpasang dengan benar. Ini adalah adegan Bella terjatuh dari atas gedung. “Kalian tidak menggunakan CG?” tanyanya saat melihat lokasi shooting yang benar-benar berada di atas gedung. Angin berembus cukup kencang sedikit menyamarkan teriknya panas matahari yang menerpa. Kulitnya yang putih sedikit memerah karena terlalu panas. “Takut?” tanya Mark yang entah sejak kapan sudah berada di sampingnya. “Berhenti memancing keributan,” timpal Bella pelan. Ia masih merasa sedikit gugup karena ini pertama kalinya ia melakukan adegan seperti ini. “Tali ini kuat bukan?” Gadis itu berulang kali mengecek tali yang melilit pinggangnya. Apakah ini kuat? Bagaimana jika putus saat ia melakukan shooting? Sebenci apa pun ia pada hidupnya yang kusut ini, ia masih belum ingin mati. Setidaknya kini i
Malam semakin larut dan Bella masih berkutat dengan peralatan gambarnya. Kali ini ia sedikit merasa kesulitan fokus pada gambarnya. Ada begitu banyak hal yang ia pikirkan. Hari ini terasa sangat panjang dan melelahkan. Sejak tadi tidak henti-hentinya ia mengirim pesan kepada Anggun untuk menanyakan keadaan Lucy. Sudah seminggu sejak kejadian Lucy kritis, namun ia masih belum bisa tenang. Terlebih lagi anak itu semakin hari semakin terlihat memprihatinkan. Anggun bahkan sudah mengatakan kalau ia sudah siap dengan semua kemungkinan buruk yang akan terjadi. Tapi tidak dengannya. Ia tetap tidak bisa tenang.“Aishhh!” Tangannya mencoret-coret asal buku sketsanya yang kini penuh dengan coretan tidak jelas. Ia tidak bisa fokus pada apa yang ingin ia gambar. Pikirannya terlalu penuh dan ia merasa sangat lelah.Bella menyandarkan punggungnya kasar di sandaran kursi. Rambut pucatnya yang diikat kucir kuda bergerak-gerak terkena angin malam. Malam ini ia masih berada di hotel karena rumahnya m
Bella duduk di balkon hotel. Rumahnya masih dalam proses renovasi sehingga dia menginap untuk sementara di hotel. Sebelumnya Karina sudah menyarankan untuk tinggal di dorm atau di rumahnya, tetapi Bella menolak. Ia butuh kesnedirian, oleh karena itu ia memilih untuk tinggal di hotel saja. Gadis itu menatap layar ponselnya yang menampilkan sebuah artikel berita tentang dirinya. Ia menutup kasus itu dan tidak ingin memperpanjangnya. Sebagian orang menganggapnya terlalu baik pada para haters, tapi sebagian justru mencurigainya. Ribuan komentar pedas kembali menyerang media sosialnya. --“Mungkin dia sengaja membuat keributan untuk mengalihkan isu kencannya dengan Mark.” --“Aku tidak tahu kenapa aktris penuh skandal sepertinya masih terus dipertahankan oleh perusahaannya.” --“Aktingnya bahkan tidak sebagus itu. Dia tidak pantas mendapat banyak cinta.”--“Apakah dia masih memiliki penggemar? Sungguh aku kasihan pada mereka karena berulang kali dikecewakan.” --“Aku curiga skandal bullyi
Di luar sana para penggemar dan media semakin ramai berkumpu. Hari sudah menunjukkan pukul delapan malam dan di atas sana mendung menggantung tebal, namun mereka semua seolah tidak peduli. Menjadi seorang reporter, menyiarkan berita pertama kali lebih penting daripada kesehatan dirinya.Bella dan Allen duduk di sofa panjang yang ada di ruang tamu. Gadis itu sudah sedikit lebih tenang. Ia sudah berhenti menangis tetapi jiwanya masih sangat terguncang. Jemarinya masih sedingin es, dan wajahnya terlihat semakin pucat.Allen memperhatikan lengan Bella dan mendapati luka yang cukup dalam dan darahnya sudah membeku. Begitu pula dengan kuku tangannya tang terdapat sisa-sisa darah. Sepertinya gadis ini tanpa sadar mencakar dan melukai lengannya sendiri hingga berdarah.Allen mengambil kotak obat yang ada di tasnya. Ia membersihkan luka Bella perlahan dengan alkohol. Gadis itu sama sekali tidak menjerit atau merintih kesakitan. Ia masih diam, pandangan matanya sembab dan kosong.“Semua akan ba
Hari-hari berlalu dengan lebih baik dari sebelumnya. Bella kembali mendapatkan perhatian baik dari publik. Lagu barunya berhasil meraih berbagai macam penghargaan hanya dalam tiga minggu masa promosi. Para penggemarnya juga menyukai penampilan barunya. Mereka ahkan mengatakan kalau penampilannya kini jauh lebih baik dari sebelumnya. Ia tampak lebih nyaman menjadi dirinya sendiri. --“Jangan lupa untuk lebih sering melakukan siaran langsung! Aku mencintaimu!” --“Aku masih tidak percaya kau kembali. Sangat cantik!” --“Selamat atas kemenangannya di music show!” --“Suaramu sangat bagus! Begitu pula permainan biolamu.” Kali ini Bella kembali tidak hanya dengan lagu berupa melodi biola saja, tetapi ia juga bernyanyi di sela-sela permainannya. Awalnya ia tidak ingin merilis lagu ini, akan tetapi karena desakan agensinya, ia memutuskan untuk merilisnya meski dengan setengah hati. Bella menutup ponselnya setelah melihat beberapa komentar di postingan terbarunya. Beberapa waktu lalu ia meng
Bella berjalan cepat melewati lorong yang akan mengantarkannya menuju ruang rapat. Gadis itu menenteng sebuah map transparan yang berisi surat kontrak. Di belakangnya Karina tampak sedikit kewalahan mengikutinya. Ia bahkan tidak menyapa beberapa staf yang berpapasan dengannya. Raut wajahnya benar-benar menunjukkan suasana hatinya. Meskipun biasanya wajahnya memang tidak pernah diliputi senyuman, tetapi kali ini benar-benar berbeda. Ia sedang marah. Langkah kakinya terhenti ketika ia sampai di depan sebuah pintu kaca ruang rapat. Sayup-sayup ia bisa mendengar gelak tawa dari orang-orang di dalam. Ruangan ini didesain kedap suara, akan tetapi bahkan tidak bisa membendung suara tawa mereka. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. “Cobalah untuk sedikit tenang,” ucap Karina di sampingnya. Tidak menjawab pertanyaan dari manajernya, gadis itu justru membuka pintu ruang rapat dengan kasar. Orang-orang yang ada di ruangan itu lantas berhenti tertawa dan beral
Bella berada dalam perjalanannya menuju rumah sakit. Kali ini Karina tidak mencegahnya karena Lucy merupakan kunci utama agar Bella mau menandatangani kontrak itu. “Pikirkan dengan baik keputusanmu, jangan jadikan orang lain menderita karena keegoisanmu.” Karina berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Gadis berwajah pucat itu hanya diam menatap ke luar jendela mobil. Tangan kanannya beralih membuka ponselnya. Ia mengecek kolom komentar media sosialnya. Persis seperti yang ia duga sebelumnya. Unggahan terakhirnya penuh dengan hujatan para pengguna internet. -“Kudengar dia akan membintangi drama bersama Mark! Bukankah itu gila?” -“Dia bahkan belum membersihkan namanya sendiri. Sepertinya dia ingin menggunakan Mark untuk menarik perhatian publik. Mark ku yang malang.” -“Dia sama sekali tidak cocok untuk Mark!” -“Apakah ada yang ingin membuat petisi penolakan? Aku akan dengan senang hati menandatanganinya.”