Dark White chapter 03
Sunyi memenuhi ruangan berukuran tiga kali empat yang cukup rapi untuk ukuran kamar laki-laki. Yang terdengar hanya suara papan tombol laptop yang diketik dengan tempo cepat. Hari sudah hampir larut, namun seorang pria masih sibuk dengan tumpukan berkas di dekatnya. Matanya yang sudah minus, memerah karena terlalu lama menatap layar laptop.
“Kau habiskan minumanku?” tanya pria bertubuh tinggi dan rambut keriting yang kini berdiri di depan pintu kamar.
“Anggap saja itu upahku,” jawab Allen tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.
“Kau tidak boleh minum itu.”
Allen mengabaikannya, tangannya bergerak membuka sebuah map tipis yang berisi hasil wawancaranya dengan Bella. Ingatan tentang bagaimana David memperlakukan gadis itu membuatnya ngeri. Diamatinya terus kertas berwarna putih itu penuh tanya. Ada banyak pertanyaan yang dilewati begitu saja oleh gadis pengidap kelainan unik itu. Alasannya sama, karena itu privasinya.
“Kau tertarik dengan kasus ini?” Hendry mengambil kertas yang ada di tangan Allen lalu mulai membacanya.
“Aku hanya penasaran,” ucapnya lalu beralih mengetikkan sesuatu di papan tombol laptopnya.
“Dia sangat cantik, kenapa harus masuk agensi itu.” Pria berambut keriting itu menghela nafas berat.
Agensi yang menaungi Bella terkenal sebagai julukan “Agensi Psikopat.” Peraturan yang ketat dan sangat membatasi aktrisnya sudah menjadi rahasia umum. Banyak aktris yang memilih membatalkan kontraknya dan pindah ke agensi lain. Tidak sedikit pula yang memilih mengakhiri hidupnya.
“Bagaimana wawancara tadi?” Matanya tertuju pada layar laptop Allen yang menampakkan biodata singkat tentang Bella.
“Dia hampir mati di tangan CEO-nya sendiri.”
“Nah! Akan lebih baik jika dia sekolah hukum dan menjadi pengacara,” gumam pria itu sambil memperlihatkan wajah sedih yang sangat dibuat-buat.
“Tidak semua orang mau berurusan dengan politik. Aku bahkan sudah muak dengan pasal-pasal itu.”
Allen menghela nafas berat. Kepribadian dua laki-laki ini sangat berbeda, namun entah apa yang membuat keduanya bersahabat hingga tinggal di rumah yang sama. Hubungan antar keduanya bukan lagi sebatas sahabat saja, melainkan sudah seperti saudara kandung.
“Aku lapar.” Pria itu melepaskan kacamatanya.
“Tidak ada makanan.” Hendry merebahkan diri di tempat tidur kawannya itu.
“Mi instan?”
“Sekarang pergi belanja saja sana!” perintahnya sambil tersenyum menyebalkan.
Allen mendengus kesal lalu menyambar jaket hitam dan dompetnya. Mereka selalu bergantian mengisi kulkas. Namun rasa-rasanya itu merugikan karena selalu Hendry yang menghabiskannya. Terutama jika diisi minuman bersoda, dia bisa minum sampai mabuk.
“Jangan lupa beli cola!” perintahnya lalu kembali merebahkan diri.
Tentu saja cola itu untuk Hendry sendiri bukan untuknya. Laki-laki berkulit putih dan rambut rapi itu memasuki mobil hitamnya. Jarak minimarket sampai ke rumahnya cukup jauh dan sekarang hujan membuatnya memilih pakai mobil.
Lima belas menit membelah jalanan penuh dengan guyuran air, akhirnya ia sampai di sebuah minimarket terdekat. Cepat-cepat ia memilih semua bahan dapur yang kira-kira dibutuhkan. Ia bisa dibilang cukup pandai memasak dibanding Hendry.
“Tuan, boleh saya minta bantuan?” tanya petugas kasir setelah Allen membayar belanjaannya.
“Bantuan?”
“Gadis itu sudah dua jam duduk di sana, boleh tolong usir dia?” pinta wanita dengan rompi khas petugas minimarket.
Allen mengangguk lalu keluar mendekati gadis yang dimaksud. Ia terkejut melihat betapa banyak kaleng bir yang tergeletak di sekitar gadis itu. Kepalanya dibungkus kupluk rajut dan tudung jaket yang cukup tebal. Perlahan pria itu menepuk pundaknya untuk memastikan gadis itu masih sadar.
“Nona ...” panggilnya pelan.
Gadis itu mengangkat wajahnya, membuat Allen memundurkan wajahnya seketika. Hidungnya memerah dan tampak jelas dari matanya kalau gadis itu sedang mabuk. Ada satu hal yang membuat Allen merasa mengenal gadis di hadapannya itu. Diamatinya wajah putih bersih itu sejenak.
“Haha ... kau mau juga?” gadis itu mengulurkan kaleng bir di tangannya.
Matanya menyipit seperti orang mengantuk. Allen menarik salah satu kursi yang ada lalu duduk persis di depan gadis itu. Hujan turun semakin deras membuat udara semakin dingin. Ia mengenal siapa gadis itu, memang jika tanpa riasan akan tampak sangat berbeda, tapi Allen mengenalnya.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya sambil meletakkan belanjaannya di salah satu kursi di dekatnya.
Gadis itu mengangkat satu kaleng bir yang masih berisi setengahnya. Menggoyangnya sebentar lalu meminumnya tanpa ragu. Matanya menyipit saat minuman itu melewati kerongkongannya.
“Kenapa air banyak sekali?” Bella memperhatikan tetesan air yang semakin deras.
“Kau mabuk,” ucap Allen tidak tahu harus ia apakan gadis di hadapannya itu.
“Tidak ... aku sadar.” Bella mendekatkan wajahnya ke wajah Allen membuat pria itu spontan mundur.
“Kau ....”
Gadis itu mengatup wajah pria di hadapannya dengan kedua tangannya. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis kemudian berubah menjadi tawa mencurigakan. Ia mengenali siapa pria yang ada di hadapannya ini. Allen menepis kedua tangan pucat itu dari wajahnya. Ia bisa merasakan tangan Bella kedinginan.
“Dingin ... aku benci.” Bella menundukkan kepala lalu menyandarkan punggungnya lemas.
“Aku benci musim hujan!” teriaknya, lalu tertawa kecil.
Jemari pucatnya bergerak memegangi wajahnya yang berwarna serupa. Ia menggerakkan telunjuknya seperti membuat goresan di wajahnya. Tatapan matanya seketika berubah sedih, lalu tertawa kecut.
“Menakutkan,” gumamnya hampir tidak terdengar.
“Pulanglah kupanggilkan taksi.” Laki-laki itu mengemasi beberapa kaleng bir yang berantakan di meja.
“Benda itu berbahaya.” Jari telunjuknya mengarah ke tempat sampah yang berisi pecahan botol kaca.
Teringat tentang bagaimana dulu mamanya menyerang ayahnya dengan pecahan teko. Bella menggelengkan kepalanya berusaha menghilangkan ingatan itu. Tapi semua yang ada di tempat ini tiba-tiba saja membuatnya mengingat segalanya.
Bella melepas kupluk rajutnya dan memperlihatkan rambut putihnya yang lembut. Tangannya bergerak menyisir setiap helai rambutnya. Mata birunya tidak bisa menutupi seperti apa perasaannya saat ini.
“Menakutkan?” tanya Allen.
Bella mengangguk, ia selalu merasa apa pun yang ada pada dirinya terlihat menakutkan. Terutama rambutnya sendiri. Dan yang lebih menakutkan baginya adalah, karena ia harus menutupinya. Akan ada saat di mana penyamarannya akhirnya terbongkar.
Suara notifikasi panggilan mengalihkan perhatian keduanya. Suara itu berasal dari ponsel Bella yang dibiarkan tergeletak di meja. Diambilnya benda berbentuk persegi panjang itu.
“Lihat! Sudah kuduga dia akan menghubungiku.”
Bella memperlihatkan layar ponselnya dan tampak nama David di layar ponselnya. Gadis itu tertawa kecil lalu menggeser tombol berwarna merah di layar ponselnya. Tanpa rasa bersalah Bella kembali meraih kaleng bir yang belum dibuka. Namun sebelumnya, Allen sudah lebih dahulu mencegahnya.
“Berikan!” ucap gadis itu kesal.
“Kamu sudah terlalu banyak minum! Sekarang pulang biar kupanggilkan taksi.”
Pria itu berdiri dari duduknya bersiap mengajak Bella pergi. Namun gadis itu masih belum bergerak, ia justru meletakkan kepalanya di meja. Allen menghembuskan nafas berat, susah sekali hanya menyuruhnya pulang saja.
“Lihat ... dia menelepon lagi.”
Jari telunjuknya mengarah pada layar ponselnya yang lagi-lagi menampakkan telepon masuk dari kepala agensinya. Bella kembali menggeser tombol berwarna merah di layar ponselnya.
“Angkatlah siapa tahu penting.”
“Sama sekali tidak penting.” Bibir pucatnya menyunggingkan senyum sinis.
“Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang?” Agaknya pria itu sudah mulai bingung bagaimana cara mengajaknya pulang.
“Duarr!!” Kilatan petir menyambar begitu keras hingga membuat dinding kaca minimarket bergetar. Bella menutup kepalanya dan refleks menutup matanya karena terkejut. Hujan sudah mereda, namun justru petir yang semakin kencang menyambar.
“Lihat ... sudah waktunya kamu pulang,” ucapnya sambil memperhatikan Bella yang masih menutup kepalanya.
Gadis itu masih membenamkan kepalanya dibalik kedua tangannya. Ia bisa melihat telapak tangan Bella yang pucat terlihat semakin memucat. Disentuhnya telapak tangan kurus itu dan dapat ia rasakan kulitnya terasa sangat dingin.
“Hei! Kau baik-baik saja?” tanyanya sambil mengguncang-guncang punggung gadis itu.
Tidak ada jawaban, Allen semakin khawatir terjadi sesuatu pada gadis itu. Apa mungkin dia pingsan karena terlalu mabuk? Diperhatikannya punggung gadis itu bergetar hebat.
“Apa yang terjadi?”
Kedua tangannya bergerak mengangkat kepala Bella. Namun ia bisa merasakan gadis itu masih sadar dan sengaja menutupi wajahnya. Semabuk itukah gadis ini?
“Pulanglah sendiri, jangan pedulikan aku.” Gadis itu akhirnya mengangkat kepalanya.
Allen mengambil kupluk rajut yang tergeletak di meja lalu memasangkannya kembali di kepala gadis itu. Bella tersenyum sinis melihat perlakuan pria itu kepadanya. Siapa pun pasti akan merasa senang jika diperlakukan dengan hangat oleh seorang pria, sekalipun mereka baru mengenal. Tapi tidak dengan Bella, entah mengap ia justru benci diperlakukan baik.
“Ya benar, rambutku yang buruk ini harus benar-benar di sembunyikan,” ucapnya setelah Allen memasangkan kupluk dikepalanya.
“Kau kedinginan,” tegas pria itu singkat.
Bella mengambil ponselnya dan mulai membuka sosial medianya. Berulang kali ia tertawa kecil melihat komentar-komentar buruk yang memenuhi unggahannya. Ia ingat bagaimana orang-orang ini menyanjungnya dulu. Apakah mereka lupa akan hal itu?
“Kau bilang aku harus berhenti jika terlalu menyakitkan bukan?” Gadis itu menatap layar ponselnya kosong.
“Aku tidak merasa sakit. Hatiku sudah mati rasa, aku sama sekali tidak bisa merasakan apa-apa. Apa aku harus berhenti?”
Allen merebut ponsel dari tangan Bella. Ia tidak ingin gadis itu terus membaca komentar jahat yang ditujukan kepadanya.
“Aku hanya merasa takut. Aku takut tapi aku tidak tahu apa yang kutakutkan.”
Terlalu banyak hal yang ia tutupi membuatnya bingung mana yang sebenarnya ia takutkan. Ia takut penyamarannya terbongkar lagi, ia takut akan dirinya sendiri. Bella menghembuskan nafasnya berat.
“Aku selalu merasa lelah, tidak peduli seberapa lama aku tidur, aku tetap merasa lelah.”
“Kenapa?”
Ditatapnya mata Allen dengan penuh tanya. Ia tidak yakin pria itu bisa menjawab pertanyaannya. Ia juga tidak yakin ia akan mengingat pembicaraan malam ini karena ia sedang mabuk.
“Karena yang lelah bukan ragamu, tapi hatimu,” jawabnya.
“Kenapa hatiku lelah? Bukankah aku tidak berperasaan?” Bibir pucatnya menyunggingkan senyum sinis.
Allen berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangannya untuk Bella. Hari sudah sangat larut dan gerimis sudah mereda. Tidak baik bagi seorang wanita terlalu lama berada di luar selarut ini. Ia bahkan tidak berani memesankan taksi karena akan sangat berbahaya.
“Jangan dipendam, carilah orang baik dan luapkan semuanya.”
Tangan pucat itu akhirnya menerima uluran tangannya. Ia tahu sangat sulit bagi seseorang seperti Bella untuk mendapatkan teman. Namun sangat mudah baginya untuk mendapatkan orang yang membencinya.
Sepuluh menit berlalu mereka sampai di depan sebuah rumah besar di lingkungan perumahan elite. Allen menoleh ke arah Bella dan mendapati gadis itu sudah terlelap tidur. Dipandanginya wajah pucat itu dari dekat. Ia tidak berniat membangunkannya dan memilih menunggunya bangun.
Kelopak mata gadis itu mengerjap-ngerjap sampai akhirnya terbuka lebar. Cukup lama bagi Allen menunggu sampai gadis itu bangun.
“Astaga sudah sampai.” Sepertinya ia masih bingung dan panik tidak tahu harus apa.
“Terima kasih,” ucapnya sambil berusaha membuka pintu mobil.
“Jangan dipendam, hatimu juga punya kapasitasnya sendiri.”
Gadis itu tertawa kecil. “Lantas, kau mau menerima sebagian isinya?”
Allen terdiam, ia tidak menyangka responsnya akan seperti itu. Namun jika boleh jujur, ia bisa melakukannya. Ia merasa semakin penasaran dengan gadis ini. Tentang siapa dia dan apa saja yang ia sembunyikan. Tapi ia sendiri tidak merasa bisa menjadi pendengar yang baik.
“Tenang saja, aku masih bisa mengatasinya. Ini mudah.”
Bella membuka pintu mobil dan langsung masuk ke rumahnya. Sementara Allen masih berada di tempatnya. Dipandanginya rumah bercat abu-abu itu dari kejauhan. Pria itu melajukan mobilnya saat melihat lampu sebuah ruangan di lantai dua mati.
Tepat pukul satu malam Allen sampai di rumahnya kembali. Ia yakin Hendry akan mengomel karena ia terlalu lama. Terlebih lagi ia tidak mengaktifkan data selulernya tadi, sehingga tidak ada yang bisa menghubunginya.
“Hei! Kenapa lama sekali ....” Pria itu mendekati Allen dan mulai mengendus-endus.
“Astaga kau mabuk? Kenapa kau sulit sekali diperingatkan? Astaga.”
Allen berjalan santai dan mengabaikan Hendry yang sejak tadi mengoceh. Ia meletakkan belanjaannya di meja dapur kemudian langsung menuju kamarnya. Dan selama itu Hendry masih terus membuntutinya sambil terus mengoceh, memarahinya karena mengira ia mabuk.
“Boleh aku ambil alih kasus ini?” tanyanya sambil mengangkat sebuah map berwarna putih.
“Hah? Bukankah kau malas berhubungan dengan aktris?” Hendry menyipitkan matanya curiga.
“Boleh kuambil alih?” tanyanya meyakinkan.
“Apa kau masih mabuk?”
“Aku tidak mabuk, hanya saja aku berurusan dengan orang mabuk tadi. Aku masih menyayangi nyawaku, asal kau tahu saja.” Pria itu menarik kursi kerjanya dan mulai mengetikkan sesuatu di keyboard laptopnya.
“Tapi apa yang membuatmu melanggar prinsipmu sendiri?”
Bagi Hendry melihat Allen mengambil kasus selebritas lebih sulit daripada mempercayai mitos horor. Ia tahu persis Allen tidak pernah suka berurusan dengan agensi di dunia entertaiment.
“Ada sesuatu yang mengganggu pikiranku,” ucapnya sambil terus menatap layar laptopnya.
“Padahal aku ingin bertemu dengan bidadariku itu, tapi aku malas dengan agensinya. Oke kau ambil saja, tapi kau harus konfirmasi dengan mereka dulu,” ucapnya masih tidak percaya dengan sikap Allen yang tiba-tiba.
“Bidadariku?” Pria itu tertawa kecil.
“Bukankah dia sangat cantik, persis bidadari.” Hendry menunjuk sebuah foto yang terpampang jelas di layar laptop Allen.
Bella memang cantik dan Allen sendiri mengakui itu. Namun bukan itu alasan kenapa ia mengambil alih kasusnya. Ada rasa penasaran tentang siapa Bella yang membuatnya mau mengambil kasus ini. Bahkan menghianati prinsipnya sendiri untuk tidak mengambil kasus selebritas.
Bella dibangunkan dengan suara nyaring yang berasal dari ponselnya. Itu bukan notifikasi pesan atau panggilan melainkan suara alarm. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Bella bangun ketika alarm berbunyi.Ini pertama kalinya Bella bisa tertidur lelap tanpa mimpi buruk. Gadis itu mengerjap-ngerjapkan matanya. Diperhatikannya pakaian yang ia kenakan. Ia tidak memakai baju tidur seperti biasanya, pakaiannya masih sama persis dengan yang ia pakai tadi malam.“Iuhh!” Kepalanya spontan bergerak mundur ketika mencium bau bir dari lengan bajunya. Matanya kini tertuju pada kupluk rajut yang tergeletak di lantai kamar.“Astaga! Apa yang baru saja terjadi?” Matanya membulat sempurna.Bella mengacak rambutnya frustrasi. Bayang-bayang wajah bingung Allen masih tergambar jelas di ingatannya. Biasanya gadis itu tidak akan ingat dengan apa yang dia lakukan saat mabuk, tapi sialnya kali ini ia mengingat semuanya.“
Hari sudah beranjak gelap saat mereka dalam perjalanan kembali ke Victorian City. Bella menyandarkan punggungnya di kursi mobil. Pandangannya menerawang keluar jendela, mengamati matahari yang mulai tenggelam. Suasana hatinya semakin tidak baik setelah kejadian di sekolah tadi.Di sampingnya, Allen masih sibuk dengan laptopnya. Entah apa yang sedang dia kerjakan Bella tidak peduli. Ia masih sangat kesal karena tadi Arin bisa lepas dengan sangat mudah.Suara notifikasi berbunyi dari ponsel gadis itu. Bella mengalihkan pandangannya menuju benda persegi empat itu. Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal.Matanya membulat seolah bola matanya akan keluar dari kelopaknya. Tangan pucat itu terasa sangat dingin dan jantungnya berdetak tiga kali lebih cepat. Ia tidak berteriak, namun perubahan reaksinya berhasil ditangkap oleh mata Allen.“Ada apa?” tanya pria itu khawatir saat melihat perubahan tingkah Bella.Gadis itu hanya menggeleng kaku
Dua minggu berlalu setelah kunjungan di Monterio, Bella dinyatakan bersih dan tidak pernah melakukan perundungan. Sebelumnya para penggemar masih sangat mencurigainya hingga akhirnya sebuah unggahan menggemparkan media sosial. Seseorang yang tidak diketahui siapa mengunggah foto surat tulisan tangan yang berisi tentang pembelaan terhadap Bella.Pria bertubuh tinggi dan kulit putih itu sibuk dengan ponselnya. Ia membuka sosial media Bella untuk memastikan tidak banyak lagi yang menghujatnya. Kasus itu sudah selesai dan ia harap gadis itu bisa hidup dengan lebih tenang meski itu tidak mungkin. Ada banyak hal yang disembunyikan gadis itu, hal itu membuatnya tidak yakin dia bisa hidup dengan tenang.“Kulihat kasusnya sudah selesai,” ucap seseorang dengan rambut keriting yang tidak lain adalah Hendry.Pria itu duduk di samping Allen sambil melirik isi ponselnya. Tangan kanannya memegangi sekaleng minuman bersoda. Entah sudah berapa kaleng minuman yang dia
Pukul 14.00 Bella masih berada di depan cermin kamarnya. Hatinya terasa was-was, ia seperti belum siap kembali tampil di depan penggemar. Skandalnya baru saja selesai beberapa hari lalu, bukankah ini terlalu cepat untuk kembali ke depan umum?“Jangan kecewakan mereka hanya karena beberapa orang tidak menyukaimu.” Kata-kata Allen terus berputar di ingatannya saat ini.Gadis itu merapikan poni tipis dari rambut palsunya. Ia tidak pernah mau menggunakan penata rambut perusahaan untuk menata rambutnya. Demi keamanan rahasianya, ia memilih menata rambutnya sendiri dan hasilnya tidak pernah buruk.“Ping!” suara notifikasi ponsel mengalihkan perhatiannya.Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Jantungnya berdegup kencang seketika. Ini nomor yang sama dengan yang mengiriminya foto boneka berdarah beberapa waktu lalu. Rasa-rasanya ia sudah memblokir nomor itu, tapi kenapa ia masih bisa menerima pesan darinya?“Sudah
Tiga puluh menit yang lalu, Karina pergi dari rumah Bella. Hari sudah beranjak malam dan gadis itu sendirian di rumah. Ia tidak membuka media sosialnya, tidak ingin membaca ocehan para pengguna internet yang selalu merasa paling benar. Itu hanya akan menambah beban pikirannya.Gadis itu mengganti bajunya dengan sweater tebal dan celana olah raga. Rambutnya tertutup kupluk berwarna hitam. Ia juga menggunakan masker hitam dan kacamata bulat yang sering ia gunakan saat pergi. Ia berdiri di depan cermin kamarnya, memandangi dirinya yang dibalut pakaian serba hitam.Mamanya dulu pernah berkata, fisik lelah bisa membantu meringankan beban otaknya. Gadis itu memasang earphone di telinganya, sebuah lagu dengan volume tinggi dan tempo cepat memenuhi pendengarannya.“Mereka tidak akan menyadariku bukan?” tanyanya pada diri sendiri.Gadis itu keluar dari rumahnya dan mulai berlari. Ia tidak memiliki tujuan yang pasti, ia hanya mengikuti ke mana kakinya a
Dark White Chapter 09Suara hujan deras mengguyur di luar sana. Sementara dalam sebuah ruangan berukuaran 7×8 meter, seorang pria masih sibuk mengganti kain kompres. Masih tergambar dengan jelas bagaimana Bella bercerita sambil menangis tadi. Gadis itu sedang terluka, bukan fisiknya tapi batin dan mentalnya.Saat ini semua orang seolah menodongkan senjata ke arahnya. Artikel dan unggahan di media sosial penuh dengan berita tentang kejadian tadi sore. Mereka yang sebelumnya tidak peduli, kini bersikap seolah mereka menjadi pihak yang paling dirugikan. Tidak sedikit pula berita yang sengaja dilebih-lebihkan untuk membuat nama gadis itu semakin buruk.Allen meletakkan baskom kecil berisi air dingin di nakas. Matanya terhenti pada obat-obatan yang berjajar rapi di atas lemari kecil itu. Ia melirik Bella sebentar lalu memutuskan untuk memeriksa obat apakah itu.“Ini gila ...” gumamnya sambil mengamati dua obat yang hanya tinggal beberapa buti
Suasana hening menyelimuti ruangan yang didominasi warna putih. Aroma obat dan desinfektan tercium pekat membuat hidung terasa sakit. Berulang kali Allen membuka ponselnya kalau-kalau Bella bangun dan mengabarinya. Tadi dia pergi saat gadis itu masih tertidur dan hanya meninggalkan pesan singkat.“Tn. Allen …” panggil seoang gadis dengan seragam putih dan topi perawat dari ruangan dokter.Pria itu beranjak berdiri, menghembuskan nafas berat dan melangkah malas memasuki ruangan kecil itu. Tepat saat ia memasuki ruangan, seorang pria dengan rambut yang hampir sempurna beruban melemparkan senyum kepadanya. Kaca mata tebal bertengger di atas hidungnya yang mancung.“Bagaimana kabarmu?” tanyanya basa-basi.Kulitnya yang eksotis sangat berbanding terbalik dengan warna rambutnya yang sempurna putih. Kerutan menggelantung di wajahnya menampakkan sudah berapa lama ia berhadapan dengan dunia ini.“Apakah masih perlu kujaw
Sinar matahari menyelusup memasuki jendela kamar. Bella mengerjapkan matanya berusaha mengumpulkan kesadarannya. Setelah sekian lama akhirnya gadis itu bisa tertidur sedikit lebih nyenyak. Matanya menyisir seisi ruangan namun tidak menemukan seseorang yang ia cari. “Sudah bangun?” Seorang wanita dengan pakaian kusut dan rambut di cepol seadanya datang dengan membawa segelas susu dan roti. “Sejak kapan kau ada di sini?” tanyanya sambil berusaha mengumpulkan kesadaran. “Pukul tiga tadi aku datang,” ucapnya lalu duduk di ujung ranjang Bella. “What!?” Bella yang sedang berusaha melemaskan ototnya langsung menghentikan aktivitasnya. “Aku yakin kau tidak tidur.” Gadis itu memperhatikan lingkaran hitam dan wajah sayu Karina. “Kau bisa resign menjadi manajerku,” ucapnya lirih. Ia tahu Karina selalu terlibat masalah karena dirinya. Sebagian besar manajer pasti akan sangat frustrasi mengurusnya. Tapi Karina, entah karena dia yang terlalu
Matahari sudah mulai tenggelam di ufuk barat dan menciptakan nuansa senja yang hangat dan menenangkan. Ketiga orang dewasa itu berjalan santai di belakang seorang gadis kecil yang tampak sangat kegirangan di depan sana. Bella tersenyum melihat gadis itu tampak sangat Bahagia. Sudah terlalu banyak penderitaan di pundak gadis itu, ini saatnya dia berbahagia. Ia tidak tahu apakah ini akan menjadi pertama dan terakhir kalinya Lucy dapat bermain di tempat ini. “Aku ingin menaikinya!” Tangan mungilnya menunjuk sebuah komidi putar dengan kuda-kuda lucu yang bergerak berputar-putar. “Sungguh? Ayo kita naik!” Bella langsung menyambar tubuh kecil Lucy dan menggendongnya menuju komidi putar yang dimaksud. Ledakan tawa khas gadis kecil itu seketika pecah saat Bella menggendongnya. Sejak tadi mulutnya belum sempat tertutup karena sibuk tertawa dan ternganga melihat megahnya setiap permainan yang ada di taman bermain. Semua ini adalah mainan yang selama ini hanya bisa ia lihat lewat layer televi
Hari ini merupakan hari terakhir perekaman drama yang Bella dan Mark bintangi. Semua pemeran dan juga staf melakukan foto bersama. Drama ini akan segera di rilis bulan depan. Bella tidak tahu akan seheboh apa nanti saat drama ini rilis karena bahkan saat ini pun sudah ada ratusan artikel dan kehebohan yang bahkan melebihi beberapa drama yang saat ini sedang tayang. “Kamu sudah bekerja keras ... sangat keras.” Karina memberikan sebuah buket bunga sebagai ucapan selamat.Gadis itu tersenyum menerimanya. Akhirnya ia bisa terbebas dari masalah shooting dan partner kerja yang sangat tidak kompeten seperti Mark. Rasanya ada satu beban berat terangkat dari pundaknya saat ini. Terlebih lagi beberapa waktu lalu Anggun memberi kabar kalau keadaan Lucy semakin hari semakin membaik. Dr. John menjelaskan kalau dia terus mempertahankan progresnya seperti ini kemungkinan untuk bertahan hidup lebih lama akan semakin besar. Dr. John tidak bisa menjamin gadis kecil itu akan sembuh sepenuhnya. Yang b
Matahari sudah mulai tergelincir ke arah barat meski belum sepenuhnya menunjukkan waktu sore tetapi tidak juga bisa disebut sebagai siang. Berulang kali Bella memastikan kalau tali pengikat di pinggangnya terpasang dengan benar. Ini adalah adegan Bella terjatuh dari atas gedung. “Kalian tidak menggunakan CG?” tanyanya saat melihat lokasi shooting yang benar-benar berada di atas gedung. Angin berembus cukup kencang sedikit menyamarkan teriknya panas matahari yang menerpa. Kulitnya yang putih sedikit memerah karena terlalu panas. “Takut?” tanya Mark yang entah sejak kapan sudah berada di sampingnya. “Berhenti memancing keributan,” timpal Bella pelan. Ia masih merasa sedikit gugup karena ini pertama kalinya ia melakukan adegan seperti ini. “Tali ini kuat bukan?” Gadis itu berulang kali mengecek tali yang melilit pinggangnya. Apakah ini kuat? Bagaimana jika putus saat ia melakukan shooting? Sebenci apa pun ia pada hidupnya yang kusut ini, ia masih belum ingin mati. Setidaknya kini i
Malam semakin larut dan Bella masih berkutat dengan peralatan gambarnya. Kali ini ia sedikit merasa kesulitan fokus pada gambarnya. Ada begitu banyak hal yang ia pikirkan. Hari ini terasa sangat panjang dan melelahkan. Sejak tadi tidak henti-hentinya ia mengirim pesan kepada Anggun untuk menanyakan keadaan Lucy. Sudah seminggu sejak kejadian Lucy kritis, namun ia masih belum bisa tenang. Terlebih lagi anak itu semakin hari semakin terlihat memprihatinkan. Anggun bahkan sudah mengatakan kalau ia sudah siap dengan semua kemungkinan buruk yang akan terjadi. Tapi tidak dengannya. Ia tetap tidak bisa tenang.“Aishhh!” Tangannya mencoret-coret asal buku sketsanya yang kini penuh dengan coretan tidak jelas. Ia tidak bisa fokus pada apa yang ingin ia gambar. Pikirannya terlalu penuh dan ia merasa sangat lelah.Bella menyandarkan punggungnya kasar di sandaran kursi. Rambut pucatnya yang diikat kucir kuda bergerak-gerak terkena angin malam. Malam ini ia masih berada di hotel karena rumahnya m
Bella duduk di balkon hotel. Rumahnya masih dalam proses renovasi sehingga dia menginap untuk sementara di hotel. Sebelumnya Karina sudah menyarankan untuk tinggal di dorm atau di rumahnya, tetapi Bella menolak. Ia butuh kesnedirian, oleh karena itu ia memilih untuk tinggal di hotel saja. Gadis itu menatap layar ponselnya yang menampilkan sebuah artikel berita tentang dirinya. Ia menutup kasus itu dan tidak ingin memperpanjangnya. Sebagian orang menganggapnya terlalu baik pada para haters, tapi sebagian justru mencurigainya. Ribuan komentar pedas kembali menyerang media sosialnya. --“Mungkin dia sengaja membuat keributan untuk mengalihkan isu kencannya dengan Mark.” --“Aku tidak tahu kenapa aktris penuh skandal sepertinya masih terus dipertahankan oleh perusahaannya.” --“Aktingnya bahkan tidak sebagus itu. Dia tidak pantas mendapat banyak cinta.”--“Apakah dia masih memiliki penggemar? Sungguh aku kasihan pada mereka karena berulang kali dikecewakan.” --“Aku curiga skandal bullyi
Di luar sana para penggemar dan media semakin ramai berkumpu. Hari sudah menunjukkan pukul delapan malam dan di atas sana mendung menggantung tebal, namun mereka semua seolah tidak peduli. Menjadi seorang reporter, menyiarkan berita pertama kali lebih penting daripada kesehatan dirinya.Bella dan Allen duduk di sofa panjang yang ada di ruang tamu. Gadis itu sudah sedikit lebih tenang. Ia sudah berhenti menangis tetapi jiwanya masih sangat terguncang. Jemarinya masih sedingin es, dan wajahnya terlihat semakin pucat.Allen memperhatikan lengan Bella dan mendapati luka yang cukup dalam dan darahnya sudah membeku. Begitu pula dengan kuku tangannya tang terdapat sisa-sisa darah. Sepertinya gadis ini tanpa sadar mencakar dan melukai lengannya sendiri hingga berdarah.Allen mengambil kotak obat yang ada di tasnya. Ia membersihkan luka Bella perlahan dengan alkohol. Gadis itu sama sekali tidak menjerit atau merintih kesakitan. Ia masih diam, pandangan matanya sembab dan kosong.“Semua akan ba
Hari-hari berlalu dengan lebih baik dari sebelumnya. Bella kembali mendapatkan perhatian baik dari publik. Lagu barunya berhasil meraih berbagai macam penghargaan hanya dalam tiga minggu masa promosi. Para penggemarnya juga menyukai penampilan barunya. Mereka ahkan mengatakan kalau penampilannya kini jauh lebih baik dari sebelumnya. Ia tampak lebih nyaman menjadi dirinya sendiri. --“Jangan lupa untuk lebih sering melakukan siaran langsung! Aku mencintaimu!” --“Aku masih tidak percaya kau kembali. Sangat cantik!” --“Selamat atas kemenangannya di music show!” --“Suaramu sangat bagus! Begitu pula permainan biolamu.” Kali ini Bella kembali tidak hanya dengan lagu berupa melodi biola saja, tetapi ia juga bernyanyi di sela-sela permainannya. Awalnya ia tidak ingin merilis lagu ini, akan tetapi karena desakan agensinya, ia memutuskan untuk merilisnya meski dengan setengah hati. Bella menutup ponselnya setelah melihat beberapa komentar di postingan terbarunya. Beberapa waktu lalu ia meng
Bella berjalan cepat melewati lorong yang akan mengantarkannya menuju ruang rapat. Gadis itu menenteng sebuah map transparan yang berisi surat kontrak. Di belakangnya Karina tampak sedikit kewalahan mengikutinya. Ia bahkan tidak menyapa beberapa staf yang berpapasan dengannya. Raut wajahnya benar-benar menunjukkan suasana hatinya. Meskipun biasanya wajahnya memang tidak pernah diliputi senyuman, tetapi kali ini benar-benar berbeda. Ia sedang marah. Langkah kakinya terhenti ketika ia sampai di depan sebuah pintu kaca ruang rapat. Sayup-sayup ia bisa mendengar gelak tawa dari orang-orang di dalam. Ruangan ini didesain kedap suara, akan tetapi bahkan tidak bisa membendung suara tawa mereka. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. “Cobalah untuk sedikit tenang,” ucap Karina di sampingnya. Tidak menjawab pertanyaan dari manajernya, gadis itu justru membuka pintu ruang rapat dengan kasar. Orang-orang yang ada di ruangan itu lantas berhenti tertawa dan beral
Bella berada dalam perjalanannya menuju rumah sakit. Kali ini Karina tidak mencegahnya karena Lucy merupakan kunci utama agar Bella mau menandatangani kontrak itu. “Pikirkan dengan baik keputusanmu, jangan jadikan orang lain menderita karena keegoisanmu.” Karina berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Gadis berwajah pucat itu hanya diam menatap ke luar jendela mobil. Tangan kanannya beralih membuka ponselnya. Ia mengecek kolom komentar media sosialnya. Persis seperti yang ia duga sebelumnya. Unggahan terakhirnya penuh dengan hujatan para pengguna internet. -“Kudengar dia akan membintangi drama bersama Mark! Bukankah itu gila?” -“Dia bahkan belum membersihkan namanya sendiri. Sepertinya dia ingin menggunakan Mark untuk menarik perhatian publik. Mark ku yang malang.” -“Dia sama sekali tidak cocok untuk Mark!” -“Apakah ada yang ingin membuat petisi penolakan? Aku akan dengan senang hati menandatanganinya.”