Dua minggu berlalu setelah kunjungan di Monterio, Bella dinyatakan bersih dan tidak pernah melakukan perundungan. Sebelumnya para penggemar masih sangat mencurigainya hingga akhirnya sebuah unggahan menggemparkan media sosial. Seseorang yang tidak diketahui siapa mengunggah foto surat tulisan tangan yang berisi tentang pembelaan terhadap Bella.
Pria bertubuh tinggi dan kulit putih itu sibuk dengan ponselnya. Ia membuka sosial media Bella untuk memastikan tidak banyak lagi yang menghujatnya. Kasus itu sudah selesai dan ia harap gadis itu bisa hidup dengan lebih tenang meski itu tidak mungkin. Ada banyak hal yang disembunyikan gadis itu, hal itu membuatnya tidak yakin dia bisa hidup dengan tenang.
“Kulihat kasusnya sudah selesai,” ucap seseorang dengan rambut keriting yang tidak lain adalah Hendry.
Pria itu duduk di samping Allen sambil melirik isi ponselnya. Tangan kanannya memegangi sekaleng minuman bersoda. Entah sudah berapa kaleng minuman yang dia minum hari ini.
“Sudah,” jawab Allen singkat, matanya sama sekali tidak beralih dari layar ponselnya.
“Lalu ... kau sudah dapatkan jawabannya?”
“Jawaban?” pria itu mengangkat wajahnya dan menatap Hendry dengan dahi berkerut.
“Kau bilang merasa penasaran padanya, lalu kau apa kau sudah dapatkan jawaban atas rasa penasaranmu itu?” Hendry meletakkan kaleng sodanya ke meja kecil di depan mereka.
“Belum, aku justru semakin merasa penasaran.”
Pandangan matanya menerawang seolah sedang melihat tayangan ulang interaksinya dengan Bella. Ia merasa setiap pertanyaan dan perkataan yang keluar dari mulut gadis itu adalah bentuk dari kegundahan hatinya.
“Jangan terlalu dalam ketika menyelam, kau tidak pernah tahu ada makhluk apa di dalam sana.”
Hendry menepuk pundak Allen pelan. Ia belum pernah melihat sahabatnya itu begitu tertarik pada seseorang. Apalagi melihatnya mengorbankan prinsipnya, itu semakin membuatnya curiga.
“Menurutmu masalah apa yang sering dialami aktris sepertinya?” tanyanya, ia paham apa yang dikhawatirkan Hendry.
“Penggemar fanatik? Penguntit? Semua aktris pasti pernah mengalami itu.”
Sebagian besar kasus yang pernah ditangani Hendry selama ia menjadi pengacara adalah kasus penguntit.
“Menurutmu apa yang paling berpengaruh pada kesehatan mental?”
“Komentar buruk. Bukankah kau tahu sendiri berapa banyak publik figur yang bunuh diri karena ketikan kurang ajar itu?” Hendry menghembuskan nafas berat.
Allen mengangguk, ia tahu itu. Hampir setiap tahun pasti ada aktris yang memilih mengakhiri hidupnya karena hal tersebut. Itulah yang ia takutkan jika sampai terjadi pada Bella. Gadis itu memang terlihat sangat kuat, tapi ia seolah bisa melihat betapa besar bayangan hitam yang mengintai dibalik wajah cantik tanpa senyuman itu.
Pria itu beranjak dari duduknya. Hari sudah menunjukkan pukul delapan malam dan semua pekerjaannya sudah selesai.
“Apa kau menyukainya?” tanya Hendry curiga.
Yang ditanya tampak berpikir sejenak. “Aku rasa tidak,” jawabnya lalu mengambil jaket tebal yang tergeletak di lengan kursi.
Malam ini ia ada pertemuan dengan Dokter Jhony, seorang dokter spesialis yang cukup dekat dengannya sejak dua tahun terakhir. Tepat pukul setengah sepuluh malam pertemuannya selesai.
Pria itu melajukan mobilnya membelah jalanan yang cukup sepi. Dari jarak cukup jauh ia bisa melihat seorang gadis berdiri di tepi jembatan. Dilihat dari pergerakannya yang mencurigakan membuat pikirannya mengarah pada hal yang tidak-tidak. Satu-satunya yang ada di pikirannya saat ini adalah, wanita itu akan mengakhiri hidupnya.
Allen menepikan kendaraannya dan langsung keluar. Ia takut wanita itu nekat dan langsung melompat. Pria itu berlari dan langsung menarik gadis itu menjauh dari tepi jembatan.
“Hei apa masalahmu?!” teriak gadis itu kesal.
Pria itu terdiam melihat gadis dengan kupluk rajut berwarna merah hati itu. Jika melihat ekspresi gadis ini, sepertinya dugaannya salah.
“Aku pikir kau ....” Pria itu tidak melanjutkan ucapannya.
“Bunuh diri? Kau pikir aku segila itu?” Gadis itu tertawa kecil melihat tingkah absurdnya.
“Hei ... siapa pun akan berpikir seperti itu jika melihatmu seperti ini. Lagian apa yang kau lakukan selarut ini di tempat seperti ini?”
Gadis yang tidak lain adalah Bella itu berjalan mendekati pembatas jembatan. Anak-anak rambutnya yang menyembul dari balik kupluknya bergoyang tertiup angin malam. Kulit putih pucatnya sama sekali tidak tertutup riasan.
“Sedang menjadi Arrabella,” ucapnya sambil tersenyum tipis.
“Kau pikir selama ini dirimu siapa?” Laki-laki itu turut mendekat ke tepi jembatan.
“Entahlah, orang-orang mengatakan aku bidadari. Ahh bukankah aku memang secantik bidadari?” Bella menghembuskan nafasnya dalam.
Pandangannya mengarah pada bulan yang hampir sempurna tertutup awan. Tidak banyak bintang yang terlihat malam ini dan itu membuatnya sedikit kecewa.
“Suasana hatimu sedang bagus?” tanya pria itu.
“Apa-apaan ini ... apa aku terlihat sedang bahagia?” Bella memutar badannya menghadap pria yang kini berdiri di sampingnya.
“Suasana hatiku baik sampai seseorang tiba-tiba ribut karena mengira bidadari ini akan bunuh diri.”
Bella merasa akhir-akhir ini dirinya lebih terbuka dengan Allen. Semenjak pria itu tahu dirinya mengidap kelainan albino. Pada awalnya ia mengira dirinya sudah tamat karena Allen mengetahui segalanya. Tapi lambat laun, ketakutan itu menghilang.
“Mengherankan, seorang aktris papan atas pergi malam hari tanpa dikawal oleh bodyguardnya.”
“Hei! Apa kau tidak melihat penampilanku? Aku terlihat sangat berbeda, tidak akan ada yang mengenaliku,” jawabnya sambil tertawa kecil.
Hening menyelimuti keduanya, tidak ada yang berkomentar. Keduanya disibukkan dengan pikiran masing-masing.
“Terima kasih,” ucap Bella pelan.
Ini untuk pertama kalinya ia mengucapkan kata-kata itu dengan hangat. Allen menoleh ke arahnya, agaknya pria itu juga merasa heran.
“Apa ini? Aku seperti berbicara pada orang lain. Apa kau mabuk?” Allen menempelkan punggung tangannya ke dahi gadis itu.
“Kau mau mati?” ditepisnya tangan pria itu kasar lalu berbalik menatap aliran air sungai yang deras di bawah sana.
Pria itu benar, Bella juga merasa dirinya berubah. Ia merasa lebih mudah mengungkapkan isi hatinya akhir-akhir ini. Sungguh itu sedikit mengganggunya, tapi anehnya ia merasa lebih nyaman seperti ini.
“Aku harus menghadiri acara ragam besok. Ah dasar pria tua menyebalkan itu ... bukankah aku seharusnya hiatus terlebih dahulu sampai keadaan lebih baik?”
Bella menghela nafas berat. Ia takut kalau-kalau sesuatu yang buruk terjadi besok. Ia yakin masih banyak orang yang berusaha menggali lebih dalam tentang keburukan-keburukannya.
“Kau bisa melakukannya,” ucap Allen berusaha menyemangati.
“Menurutmu begitu?”
Allen mengangkat tangan kanannya hendak mengusap kepala gadis itu, namun gerakannya terhenti saat melihat mata biru itu meliriknya tajam.
“Lakukan saja ... tapi aku tidak akan luluh.” Gadis itu mengangkat sebelah alisnya membuat pria itu kembali menarik tangannya.
“Lakukan saja, mungkin belum semua orang percaya padamu. Tapi pasti ada di antara mereka yang masih mendukungmu. Jangan kecewakan mereka hanya karena komentar buruk beberapa orang.”
Bella menggeleng pelan lalu bertepuk tangan. “Wah, apa kau belajar sastra? Bagaimana bisa bahasamu semeyakinkan itu?”
“Kau memang menyebalkan,” gumam pria itu saat melihat reaksi Bella.
“Kau pikir dirimu menyenangkan?” sinisnya.
“Sudah malam, kau harus pulang.”
Hari sudah semakin larut dan di atas sana awan hitam semakin tebal. Allen menarik tangan gadis itu dan membawanya menuju mobil.
“Apa-apaan ini?” Gadis itu menghempaskan tangannya.
“Pulang ....”
Pria itu membuka pintu mobil dan mendorong Bella pelan untuk menyuruhnya masuk. Gadis itu hanya memutar bola matanya kesal.
“Kau datang ke ini dengan siapa? Ini jauh dari rumahmu?”
Allen mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Jembatan ini berjarak sekitar tujuh kilo meter dari rumah Bella. Ia juga tidak melihat gadis itu membawa kendaraan lain.
“Jalan ...” jawabnya santai. “Aku tidak berniat datang ke sini, kakiku yang menginginkannya.”
Mata Allen membulat sempurna mendengar jawaban gadis itu. Tujuh kilo meter bukan jarak yang pendek jika ditempuh dengan berjalan kaki. Diliriknya pakaian yang dikenakan gadis itu. Ia mengenakan celana olah raga dan hoodie yang serba hitam.
Sebagian orang melampiaskan masalahnya dengan membuat dirinya lelah. Dengan harapan ketika raganya lelah, ia bisa melupakan masalahnya sejenak. Allen berpikir itulah yang sedang dilakukan oleh Bella saat ini.
“Ini lebih baik dari pada mabuk seperti waktu itu,” ucapnya sambil tertawa kecil.
“Kata siapa? Aku baru ingin ke sana. Turunkan aku di minimarket itu.”
“Tidak,” tegasnya.
Sepuluh menit berlalu, mereka hampir sampai di rumah Bella. Gadis itu memperhatikan isi di dalam mobil pengacara yang pernah membantunya itu. Pandangannya terhenti pada kantong plastik bening yang terlihat berisi berbagai macam obat.
“Kau sakit,” tanyanya sambil menatap kantong plastik itu.
“Vitamin,” ucap Allen singkat.
Gadis itu mengangguk meski tidak terlalu yakin. Jika Allen tidak mengatakannya itu berarti rahasia. Dan Bella bukan tipe orang yang suka ingin tahu tentang rahasia orang lain. Karena dia sendiri memiliki rahasia dan ia tidak suka jika orang lain menguliknya.
Mereka sampai di depan rumah mewah bercat abu-abu yang tampak sepi. Belum sempat gadis itu turun dari mobil, seseorang dengan pakaian serba hitam baru saja keluar dari gerbang rumahnya. Matanya terbuka lebar, bagaimana bisa ada orang lain masuk ke rumahnya tanpa izin. Gadis itu cepat-cepat keluar dari mobil dan disusul oleh Allen.
“Hei! Apa yang baru saja kau lakukan!” teriaknya.
Orang itu tampak terkejut dan berbalik ia langsung tahu siapa orang itu. Orang itu menoleh kaku.
“Aku menunggumu lama sekali, dari mana saja kau? Aku mengantarkan naskah untuk acara besok,” ucapnya.
Orang itu tidak lain adalah Karina, manajer yang mengurus segala tentangnya. Hampir saja Bella memukulnya karena masuk tanpa izin. Setelah tahu kalau itu Karina, amarahnya mereda. Tapi tetap saja ia merasa kesal karena dia datang tanpa izin.
Karina menyerahkan print out naskah yang akan ia gunakan untuk menjawab pertanyaan besok. Allen memperhatikan wanita yang tampak gugup itu curiga.
“Aku pergi, masih banyak yang harus kukerjakan,” pamitnya lalu berlari kecil memasuki mobilnya.
Allen terus memperhatikan wanita itu dengan tatapan tajam. Bahkan sampai mobilnya menghilang di belokan ujung jalan ini, ia masih memperhatikannya.
“Jangan lupa mengunci pintu,” ucapnya lalu berjalan mendekati mobilnya.
Bella mengerutkan kening bingung. Mobil itu bergerak menjauh dari rumahnya. Ini berbeda dengan terakhir kali Allen mengantarkannya pulang. Hari itu dia menunggu sampai ia mematikan lampu kamar. Tapi hari ini, dia pergi begitu saja seperti ada yang harus dikerjakan.
Ia menggelengkan kepalanya kencang, berusaha menghapuskan pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu pikirannya.
Pukul 14.00 Bella masih berada di depan cermin kamarnya. Hatinya terasa was-was, ia seperti belum siap kembali tampil di depan penggemar. Skandalnya baru saja selesai beberapa hari lalu, bukankah ini terlalu cepat untuk kembali ke depan umum?“Jangan kecewakan mereka hanya karena beberapa orang tidak menyukaimu.” Kata-kata Allen terus berputar di ingatannya saat ini.Gadis itu merapikan poni tipis dari rambut palsunya. Ia tidak pernah mau menggunakan penata rambut perusahaan untuk menata rambutnya. Demi keamanan rahasianya, ia memilih menata rambutnya sendiri dan hasilnya tidak pernah buruk.“Ping!” suara notifikasi ponsel mengalihkan perhatiannya.Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Jantungnya berdegup kencang seketika. Ini nomor yang sama dengan yang mengiriminya foto boneka berdarah beberapa waktu lalu. Rasa-rasanya ia sudah memblokir nomor itu, tapi kenapa ia masih bisa menerima pesan darinya?“Sudah
Tiga puluh menit yang lalu, Karina pergi dari rumah Bella. Hari sudah beranjak malam dan gadis itu sendirian di rumah. Ia tidak membuka media sosialnya, tidak ingin membaca ocehan para pengguna internet yang selalu merasa paling benar. Itu hanya akan menambah beban pikirannya.Gadis itu mengganti bajunya dengan sweater tebal dan celana olah raga. Rambutnya tertutup kupluk berwarna hitam. Ia juga menggunakan masker hitam dan kacamata bulat yang sering ia gunakan saat pergi. Ia berdiri di depan cermin kamarnya, memandangi dirinya yang dibalut pakaian serba hitam.Mamanya dulu pernah berkata, fisik lelah bisa membantu meringankan beban otaknya. Gadis itu memasang earphone di telinganya, sebuah lagu dengan volume tinggi dan tempo cepat memenuhi pendengarannya.“Mereka tidak akan menyadariku bukan?” tanyanya pada diri sendiri.Gadis itu keluar dari rumahnya dan mulai berlari. Ia tidak memiliki tujuan yang pasti, ia hanya mengikuti ke mana kakinya a
Dark White Chapter 09Suara hujan deras mengguyur di luar sana. Sementara dalam sebuah ruangan berukuaran 7×8 meter, seorang pria masih sibuk mengganti kain kompres. Masih tergambar dengan jelas bagaimana Bella bercerita sambil menangis tadi. Gadis itu sedang terluka, bukan fisiknya tapi batin dan mentalnya.Saat ini semua orang seolah menodongkan senjata ke arahnya. Artikel dan unggahan di media sosial penuh dengan berita tentang kejadian tadi sore. Mereka yang sebelumnya tidak peduli, kini bersikap seolah mereka menjadi pihak yang paling dirugikan. Tidak sedikit pula berita yang sengaja dilebih-lebihkan untuk membuat nama gadis itu semakin buruk.Allen meletakkan baskom kecil berisi air dingin di nakas. Matanya terhenti pada obat-obatan yang berjajar rapi di atas lemari kecil itu. Ia melirik Bella sebentar lalu memutuskan untuk memeriksa obat apakah itu.“Ini gila ...” gumamnya sambil mengamati dua obat yang hanya tinggal beberapa buti
Suasana hening menyelimuti ruangan yang didominasi warna putih. Aroma obat dan desinfektan tercium pekat membuat hidung terasa sakit. Berulang kali Allen membuka ponselnya kalau-kalau Bella bangun dan mengabarinya. Tadi dia pergi saat gadis itu masih tertidur dan hanya meninggalkan pesan singkat.“Tn. Allen …” panggil seoang gadis dengan seragam putih dan topi perawat dari ruangan dokter.Pria itu beranjak berdiri, menghembuskan nafas berat dan melangkah malas memasuki ruangan kecil itu. Tepat saat ia memasuki ruangan, seorang pria dengan rambut yang hampir sempurna beruban melemparkan senyum kepadanya. Kaca mata tebal bertengger di atas hidungnya yang mancung.“Bagaimana kabarmu?” tanyanya basa-basi.Kulitnya yang eksotis sangat berbanding terbalik dengan warna rambutnya yang sempurna putih. Kerutan menggelantung di wajahnya menampakkan sudah berapa lama ia berhadapan dengan dunia ini.“Apakah masih perlu kujaw
Sinar matahari menyelusup memasuki jendela kamar. Bella mengerjapkan matanya berusaha mengumpulkan kesadarannya. Setelah sekian lama akhirnya gadis itu bisa tertidur sedikit lebih nyenyak. Matanya menyisir seisi ruangan namun tidak menemukan seseorang yang ia cari. “Sudah bangun?” Seorang wanita dengan pakaian kusut dan rambut di cepol seadanya datang dengan membawa segelas susu dan roti. “Sejak kapan kau ada di sini?” tanyanya sambil berusaha mengumpulkan kesadaran. “Pukul tiga tadi aku datang,” ucapnya lalu duduk di ujung ranjang Bella. “What!?” Bella yang sedang berusaha melemaskan ototnya langsung menghentikan aktivitasnya. “Aku yakin kau tidak tidur.” Gadis itu memperhatikan lingkaran hitam dan wajah sayu Karina. “Kau bisa resign menjadi manajerku,” ucapnya lirih. Ia tahu Karina selalu terlibat masalah karena dirinya. Sebagian besar manajer pasti akan sangat frustrasi mengurusnya. Tapi Karina, entah karena dia yang terlalu
Pukul sepuluh malam, Bella masih terjaga. Pikirannya tebang entah ke mana. Matanya menerawang bintang yang tertutup awan hitam di atas sana. Belasan kaleng minuman soda berserakan di sekitarnya. Gadis itu hampir mabuk karena terlalu banyak minum soda.“Ma, apa yang sedang terjadi sekarang? Bagaimana aku harus menghadapinya? Kehidupan gila ini semakin membuatku gila,” gumamnya. Mata birunya berkaca-kaca.Jika boleh jujur, Bella sangat merindukan mamanya. Ingin sekali ia datang menemui dan memeluknya seerat mungkin. Namun entah mengapa ia merasa ada tembok tinggi yang menghalangi setiap niatnya. Ada perasaan bersalah sekaligus takut memenuhi hatinya setiap kali ia ingin bertemu.“Ma ... kau tahu hidupku sekarang? Sangat menyenangkan ... begitu menyenangkan sampai aku lupa bagaimana caraku tertawa. Aku harap kau tidak bisa menonton TV di sana. Aku tidak ingin kau melihat wanita gila ini di layar TV.”Mamanya saat ini berada di sebuah
Udara pedesaan menyeruak menusuk hidung seolah membawa Bella ke sekian tahun yang lalu. Tempat ini pernah menjadi tempat paling menyeramkan bagi gadis itu, begitu pula dengan sekarang. Entah kekuatan dari mana yang membawanya kemari sendiri, tanpa ada teman baik itu manajernya ataupun Allen.Gadis itu menginjak pedal gas mobilnya melewati jalanan sepi. Jalanan di mana ia hampir saja mengalami kecelakaan. Sekarang ia datang sendiri dengan hati yang semakin ragu. Pakaiannya serba tertutup ditambah masker hitamnya semakin membuatnya tampak misterius.Bella menghentikan mobilnya di halaman parkir sebuah rumah sakit jiwa. Sepi, sunyi, seperti tempat tanpa penghuni. Ia merasakan dingin merambat melalui jemari tangannya. Degup jantungnya semakin cepat. Ia mencoba menenangkan diri dengan mengatur nafasnya.Gadis itu berjalan memasuki rumah sakit jiwa tua yang dindingnya sudah dipenuhi lumut itu. Beberapa orang perawat terlihat berkeliaran di dalamnya.“Ada
Sudah satu minggu sejak Bella datang menemui mamanya, saat ini ia merasa sedikit lebih lega, seperti satu beban yang selama ini mengganggunya sudah terangkat. Sudah lama sejak ia hiatus dari dunia pertelevisian, rumor tentangnya sudah mereda. Orang-orang kini fokus mencari kesalahan dari aktris-aktris lain.Bella terdiam duduk di hadapan dua orang yang kini menunggu jawabannya. Dua orang itu memintanya untuk melakukan comeback setelah sekian lama hiatus. Sejujurnya Bella masih merasa sangat sakit hati dengan perlakuan CEO-nya itu tapi dengan bujukan Karina akhirnya gadis itu bersedia menemui laki-laki mata duitan itu.“Jadi bagaimana keputusanmu?” tanya CEO-nya dengan tatapan masih sama dinginnya seperti sebelumnya.Bella meraih selembar kertas yang ada di hadapannya, membacanya lalu tersenyum miring. “Bukankah kau sudah tidak membutuhkanku lagi?” tanyanya.“Apakah aktris barumu tidak menghasilkan banyak uang, sampai-sampai k
Matahari sudah mulai tenggelam di ufuk barat dan menciptakan nuansa senja yang hangat dan menenangkan. Ketiga orang dewasa itu berjalan santai di belakang seorang gadis kecil yang tampak sangat kegirangan di depan sana. Bella tersenyum melihat gadis itu tampak sangat Bahagia. Sudah terlalu banyak penderitaan di pundak gadis itu, ini saatnya dia berbahagia. Ia tidak tahu apakah ini akan menjadi pertama dan terakhir kalinya Lucy dapat bermain di tempat ini. “Aku ingin menaikinya!” Tangan mungilnya menunjuk sebuah komidi putar dengan kuda-kuda lucu yang bergerak berputar-putar. “Sungguh? Ayo kita naik!” Bella langsung menyambar tubuh kecil Lucy dan menggendongnya menuju komidi putar yang dimaksud. Ledakan tawa khas gadis kecil itu seketika pecah saat Bella menggendongnya. Sejak tadi mulutnya belum sempat tertutup karena sibuk tertawa dan ternganga melihat megahnya setiap permainan yang ada di taman bermain. Semua ini adalah mainan yang selama ini hanya bisa ia lihat lewat layer televi
Hari ini merupakan hari terakhir perekaman drama yang Bella dan Mark bintangi. Semua pemeran dan juga staf melakukan foto bersama. Drama ini akan segera di rilis bulan depan. Bella tidak tahu akan seheboh apa nanti saat drama ini rilis karena bahkan saat ini pun sudah ada ratusan artikel dan kehebohan yang bahkan melebihi beberapa drama yang saat ini sedang tayang. “Kamu sudah bekerja keras ... sangat keras.” Karina memberikan sebuah buket bunga sebagai ucapan selamat.Gadis itu tersenyum menerimanya. Akhirnya ia bisa terbebas dari masalah shooting dan partner kerja yang sangat tidak kompeten seperti Mark. Rasanya ada satu beban berat terangkat dari pundaknya saat ini. Terlebih lagi beberapa waktu lalu Anggun memberi kabar kalau keadaan Lucy semakin hari semakin membaik. Dr. John menjelaskan kalau dia terus mempertahankan progresnya seperti ini kemungkinan untuk bertahan hidup lebih lama akan semakin besar. Dr. John tidak bisa menjamin gadis kecil itu akan sembuh sepenuhnya. Yang b
Matahari sudah mulai tergelincir ke arah barat meski belum sepenuhnya menunjukkan waktu sore tetapi tidak juga bisa disebut sebagai siang. Berulang kali Bella memastikan kalau tali pengikat di pinggangnya terpasang dengan benar. Ini adalah adegan Bella terjatuh dari atas gedung. “Kalian tidak menggunakan CG?” tanyanya saat melihat lokasi shooting yang benar-benar berada di atas gedung. Angin berembus cukup kencang sedikit menyamarkan teriknya panas matahari yang menerpa. Kulitnya yang putih sedikit memerah karena terlalu panas. “Takut?” tanya Mark yang entah sejak kapan sudah berada di sampingnya. “Berhenti memancing keributan,” timpal Bella pelan. Ia masih merasa sedikit gugup karena ini pertama kalinya ia melakukan adegan seperti ini. “Tali ini kuat bukan?” Gadis itu berulang kali mengecek tali yang melilit pinggangnya. Apakah ini kuat? Bagaimana jika putus saat ia melakukan shooting? Sebenci apa pun ia pada hidupnya yang kusut ini, ia masih belum ingin mati. Setidaknya kini i
Malam semakin larut dan Bella masih berkutat dengan peralatan gambarnya. Kali ini ia sedikit merasa kesulitan fokus pada gambarnya. Ada begitu banyak hal yang ia pikirkan. Hari ini terasa sangat panjang dan melelahkan. Sejak tadi tidak henti-hentinya ia mengirim pesan kepada Anggun untuk menanyakan keadaan Lucy. Sudah seminggu sejak kejadian Lucy kritis, namun ia masih belum bisa tenang. Terlebih lagi anak itu semakin hari semakin terlihat memprihatinkan. Anggun bahkan sudah mengatakan kalau ia sudah siap dengan semua kemungkinan buruk yang akan terjadi. Tapi tidak dengannya. Ia tetap tidak bisa tenang.“Aishhh!” Tangannya mencoret-coret asal buku sketsanya yang kini penuh dengan coretan tidak jelas. Ia tidak bisa fokus pada apa yang ingin ia gambar. Pikirannya terlalu penuh dan ia merasa sangat lelah.Bella menyandarkan punggungnya kasar di sandaran kursi. Rambut pucatnya yang diikat kucir kuda bergerak-gerak terkena angin malam. Malam ini ia masih berada di hotel karena rumahnya m
Bella duduk di balkon hotel. Rumahnya masih dalam proses renovasi sehingga dia menginap untuk sementara di hotel. Sebelumnya Karina sudah menyarankan untuk tinggal di dorm atau di rumahnya, tetapi Bella menolak. Ia butuh kesnedirian, oleh karena itu ia memilih untuk tinggal di hotel saja. Gadis itu menatap layar ponselnya yang menampilkan sebuah artikel berita tentang dirinya. Ia menutup kasus itu dan tidak ingin memperpanjangnya. Sebagian orang menganggapnya terlalu baik pada para haters, tapi sebagian justru mencurigainya. Ribuan komentar pedas kembali menyerang media sosialnya. --“Mungkin dia sengaja membuat keributan untuk mengalihkan isu kencannya dengan Mark.” --“Aku tidak tahu kenapa aktris penuh skandal sepertinya masih terus dipertahankan oleh perusahaannya.” --“Aktingnya bahkan tidak sebagus itu. Dia tidak pantas mendapat banyak cinta.”--“Apakah dia masih memiliki penggemar? Sungguh aku kasihan pada mereka karena berulang kali dikecewakan.” --“Aku curiga skandal bullyi
Di luar sana para penggemar dan media semakin ramai berkumpu. Hari sudah menunjukkan pukul delapan malam dan di atas sana mendung menggantung tebal, namun mereka semua seolah tidak peduli. Menjadi seorang reporter, menyiarkan berita pertama kali lebih penting daripada kesehatan dirinya.Bella dan Allen duduk di sofa panjang yang ada di ruang tamu. Gadis itu sudah sedikit lebih tenang. Ia sudah berhenti menangis tetapi jiwanya masih sangat terguncang. Jemarinya masih sedingin es, dan wajahnya terlihat semakin pucat.Allen memperhatikan lengan Bella dan mendapati luka yang cukup dalam dan darahnya sudah membeku. Begitu pula dengan kuku tangannya tang terdapat sisa-sisa darah. Sepertinya gadis ini tanpa sadar mencakar dan melukai lengannya sendiri hingga berdarah.Allen mengambil kotak obat yang ada di tasnya. Ia membersihkan luka Bella perlahan dengan alkohol. Gadis itu sama sekali tidak menjerit atau merintih kesakitan. Ia masih diam, pandangan matanya sembab dan kosong.“Semua akan ba
Hari-hari berlalu dengan lebih baik dari sebelumnya. Bella kembali mendapatkan perhatian baik dari publik. Lagu barunya berhasil meraih berbagai macam penghargaan hanya dalam tiga minggu masa promosi. Para penggemarnya juga menyukai penampilan barunya. Mereka ahkan mengatakan kalau penampilannya kini jauh lebih baik dari sebelumnya. Ia tampak lebih nyaman menjadi dirinya sendiri. --“Jangan lupa untuk lebih sering melakukan siaran langsung! Aku mencintaimu!” --“Aku masih tidak percaya kau kembali. Sangat cantik!” --“Selamat atas kemenangannya di music show!” --“Suaramu sangat bagus! Begitu pula permainan biolamu.” Kali ini Bella kembali tidak hanya dengan lagu berupa melodi biola saja, tetapi ia juga bernyanyi di sela-sela permainannya. Awalnya ia tidak ingin merilis lagu ini, akan tetapi karena desakan agensinya, ia memutuskan untuk merilisnya meski dengan setengah hati. Bella menutup ponselnya setelah melihat beberapa komentar di postingan terbarunya. Beberapa waktu lalu ia meng
Bella berjalan cepat melewati lorong yang akan mengantarkannya menuju ruang rapat. Gadis itu menenteng sebuah map transparan yang berisi surat kontrak. Di belakangnya Karina tampak sedikit kewalahan mengikutinya. Ia bahkan tidak menyapa beberapa staf yang berpapasan dengannya. Raut wajahnya benar-benar menunjukkan suasana hatinya. Meskipun biasanya wajahnya memang tidak pernah diliputi senyuman, tetapi kali ini benar-benar berbeda. Ia sedang marah. Langkah kakinya terhenti ketika ia sampai di depan sebuah pintu kaca ruang rapat. Sayup-sayup ia bisa mendengar gelak tawa dari orang-orang di dalam. Ruangan ini didesain kedap suara, akan tetapi bahkan tidak bisa membendung suara tawa mereka. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. “Cobalah untuk sedikit tenang,” ucap Karina di sampingnya. Tidak menjawab pertanyaan dari manajernya, gadis itu justru membuka pintu ruang rapat dengan kasar. Orang-orang yang ada di ruangan itu lantas berhenti tertawa dan beral
Bella berada dalam perjalanannya menuju rumah sakit. Kali ini Karina tidak mencegahnya karena Lucy merupakan kunci utama agar Bella mau menandatangani kontrak itu. “Pikirkan dengan baik keputusanmu, jangan jadikan orang lain menderita karena keegoisanmu.” Karina berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Gadis berwajah pucat itu hanya diam menatap ke luar jendela mobil. Tangan kanannya beralih membuka ponselnya. Ia mengecek kolom komentar media sosialnya. Persis seperti yang ia duga sebelumnya. Unggahan terakhirnya penuh dengan hujatan para pengguna internet. -“Kudengar dia akan membintangi drama bersama Mark! Bukankah itu gila?” -“Dia bahkan belum membersihkan namanya sendiri. Sepertinya dia ingin menggunakan Mark untuk menarik perhatian publik. Mark ku yang malang.” -“Dia sama sekali tidak cocok untuk Mark!” -“Apakah ada yang ingin membuat petisi penolakan? Aku akan dengan senang hati menandatanganinya.”