Pukul 14.00 Bella masih berada di depan cermin kamarnya. Hatinya terasa was-was, ia seperti belum siap kembali tampil di depan penggemar. Skandalnya baru saja selesai beberapa hari lalu, bukankah ini terlalu cepat untuk kembali ke depan umum?
“Jangan kecewakan mereka hanya karena beberapa orang tidak menyukaimu.” Kata-kata Allen terus berputar di ingatannya saat ini.
Gadis itu merapikan poni tipis dari rambut palsunya. Ia tidak pernah mau menggunakan penata rambut perusahaan untuk menata rambutnya. Demi keamanan rahasianya, ia memilih menata rambutnya sendiri dan hasilnya tidak pernah buruk.
“Ping!” suara notifikasi ponsel mengalihkan perhatiannya.
Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Jantungnya berdegup kencang seketika. Ini nomor yang sama dengan yang mengiriminya foto boneka berdarah beberapa waktu lalu. Rasa-rasanya ia sudah memblokir nomor itu, tapi kenapa ia masih bisa menerima pesan darinya?
“Sudah terima hadiahku?” Bella membaca pesan singkat itu.
Gadis itu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar. Sebuah kotak kado berwarna hitam tergeletak di meja kecil dekat tempat tidurnya. Entah apa yang membuatnya tidak menyadari keberadaan benda itu sejak tadi.
Diambilnya kotak kado itu dengan tangan bergetar. Rasa penasaran dan takut bercampur menjadi satu di benaknya. Perlahan ia melepaskan pita merah yang mengikat kotak tersebut. Jantungnya berdebar lebih cepat dari sebelumnya.
“Astaga!” teriaknya.
Kotak itu terlempar dan mengeluarkan isinya. Bella melompat mundur terkejut. Keringat dingin mengucur keluar dari pori-porinya. Mulutnya terbuka tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
Sebuah boneka beruang yang sudah dipotong-potong keluar dari kotak. Noda merah memenuhi bulu putihnya yang lembut. Ini persis foto boneka yang ia terima beberapa waktu lalu.
Bella melangkah mundur, keringat dingin keluar dari kulit putihnya. Gadis itu terduduk di kasur empuknya. Matanya masih menatap kotak kado itu ketakutan. Ia bahkan sampai tidak sadar kalau ponsel di tangannya bergetar.
“Jangan kunci pintumu, agar aku bisa datang lagi.” Sebuah pesan kembali masuk dari nomor yang sama.
Dilemparkannya benda berbentuk persegi panjang itu sembarangan. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang kamar. Ia takut ada yang mengawasi. Ia berlari memeriksa jendela dan ternyata sudah terkunci rapat.
Semua jendela dan pintu di rumahnya terkunci dan hanya dia yang memiliki kuncinya. Bahkan karina yang sering datang ke rumahnya pun hanya bisa masuk sampai teras rumahnya saja. Bella merasa ada yang menguntitnya akhir-akhir ini. Pesan teror dan boneka itu pasti dikirim oleh orang yang sama.
“Siapa kamu!” Ia mengirimkan pesan ke nomor yang menerornya.
“Akhirnya kau memperhatikanku, aku sangat ingin memberi kejutan untukmu. Apa kau suka?” Orang itu membalas pesannya.
“Apa maumu?!” ketiknya dengan jemari gemetar ketakutan.
“Menyenangkan sekali bisa berbicara dengan bintang ternama.”
“Apa yang kau inginkan?” tanya gadis itu.
Nomor misterius itu tidak membalas. Ia berusaha menelepon, tapi nomornya tidak aktif. Bella meremas ponselnya geram. Tangannya mulai basah karena keringat dingin.
Sebuah panggilan masuk, namun bukan dari nomor misterius itu melainkan dari manajernya. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, sudah saatnya ia datang ke tempat shooting. Acara live akan dimulai pukul lima nanti, ia harus segera bersiap.
“Aku segera turun,” ucapnya singkat lalu menutup sambungan telepon.
Gadis itu beranjak mengemasi kado mengerikan itu dan langsung membuangnya ke tempat sampah. Ia berlari keluar karena sopir perusahaannya sudah menunggu. Meski pikirannya masih semrawut, ia mencoba untuk tetap profesional. Seperti yang dikatakan Allen, ia tidak ingin mengecewakan penggemarnya.
Gadis itu duduk di kursi penumpang. Ia menggerak-gerakkan jemarinya gelisah. Tatapannya kosong ke luar jendela dan pikirannya kacau. Semua pertanyaan yang ia hafalkan tadi malam seolah menguap begitu saja. Penampakan boneka berdarah itu menguasai pikirannya.
“Ping!” Lagi-lagi suara notifikasi pesan masuk ke ponselnya.
Cepat-cepat ia membukanya, ia pikir itu berasal dari penerornya. Namun ternyata bukan, pesan itu berasal dari Allen.
“Semoga berhasil!” pesan Allen.
Mata Bella menatap pesan itu lama. Rasanya ia ingin menceritakan semua yang ia alami barusan kepada pria itu. Tapi ia mengurungkan niatnya dan memilih memendam sendiri. Ia sudah terlalu banyak bercerita pada laki-laki itu.
Meskipun ingin, Bella tidak boleh terlalu dekat dengan Allen. Itu tidak baik untuk kelanjutan kariernya dan juga karier pria itu. Terlalu dekat dengannya hanya membuat masalah baru. Tidak ada teman baik untuk selebritas seperti dirinya jika ingin aman.
“Ada apa?” tanya Karina yang sejak tadi duduk di sampingnya.
Gadis itu menggeleng dan memasukkan ponselnya ke dalam tas. Ia mengabaikan pesan singkat yang baru saja ia terima.
“Tenang saja, semua akan berjalan lancar.”
Wanita itu menepuk pundak Bella pelan dan tersenyum mengayomi. Ia seolah tahu apa yang sedang dicemaskan gadis itu. Bella mengangguk sembari tersenyum tipis. Bibir pucatnya yang tertutup lipstik tipis terangkat.
Sepuluh menit berlalu mereka sampai di sebuah gedung televisi. Matahari sudah hampir tenggelam di ufuk barat. Gadis itu melangkah memasuki gedung bersama dengan manajernya.
Pukul 16.45 ia berdiam diri di ruang tunggu. Bisa ia dengar di luar sana pembawa acara sedang membuka acara hari ini. Jantungnya berdegup kencang bukan karena ia belum siap. Tapi pikirannya dipenuhi dengan penampakan boneka beruang yang telah dimutilasi. Berulang kali ia mencoba menelepon nomor misterius itu, tapi gagal.
Ia memperhatikan pesan dari Allen yang sejak tadi belum dibalas. Di sampingnya tergeletak biola berwarna putih yang akan ia gunakan untuk tampil nanti.
“Bisakah aku melakukannya?” gumamnya pelan.
Bella beranjak saat MC acara memanggil namanya, disusul dengan suara tepuk tangan dari para penonton yang hadir. Gaun hitam dan langkahnya yang anggun berhasil membius para penonton yang menyaksikan. Bahkan dengan senyum tipis yang sangat terpaksa pun ia tampak sangat menawan.
Bella duduk di sebuah sofa empuk yang khusus disediakan untuk bintang tamu. Bola matanya berkilatan tertimpa cahaya lampu studio. Puluhan kamera mengarah kepadanya.
“Ya! Tanpa basa-basi lagi langsung saja kita mulai wawancara dengan violinis ternama kita Nona Arrabella,” ucap seorang wanita yang sedikit lebih tua darinya dengan nada semangat.
Setelah wawancara panjang yang membosankan akhirnya mereka tiba pada sesi tanya jawab langsung dengan para penggemar. Komentar-komentar bergerak cepat di layar.
“Apa kau sudah punya pacar?” MC acara membaca salah satu komentar.
“Wah kenapa pertanyaannya seperti ini ... tentu saja aku punya.” Bella tersenyum manis.
Jawabannya itu langsung diikuti teriakan putus asa para penonton yang berada di studio.
“Benarkah?” Agaknya pembawa acara juga terkejut dengan jawaban Bella.
“Bukankah kalian kekasihku,” ucapnya lalu tertawa kecil dan lagi-lagi diikuti teriakan semangat.
Ia merasa geli dengan jawabannya sendiri. Batinnya ingin sekali cepat-cepat pergi dari tempat ini. Ia lelah ditanya pertanyaan-pertanyaan yang menurutnya sama sekali tidak penting dan membuang waktu.
Lima belas menit lamanya mereka menjawab pertanyaan langsung dari penggemar akhirnya acara selesai. Saatnya ia menampilkan penampilan terakhirnya untuk menutup acara. Bella berdiri di tengah panggung yang sangat gelap. Hanya satu lampu yang menyorot dirinya dan efek asap di bawahnya memberikan kesan anggun.
Gadis itu memejamkan mata dan mulai menggesekkan bownya. Irama musik klasik yang bertempo cepat dan lambat tidak beraturan menghasilkan melodi yang luar biasa indah. Suasana hening dan hanya terdengar suara biolanya saja. Semua mata menatapnya terpukau.
Bella sudah berada di ujung lagu ketika layar di belakangnya tiba-tiba menyala. Suasana hening berubah menjadi sedikit berisik, namun gadis itu berusaha tetap pada permainannya. Mungkin itu hanya kesalahan teknis, pikirnya.
“Astaga apa itu!” teriak para penonton saat layar di belakangnya menampilkan gambar seorang wanita dengan penampilan serba putih.
Bella masih fokus pada permainannya hingga akhirnya sebuah botol minum melayang menimpa kepalanya. Gadis itu menghentikan permainannya dan menyadari kekacauan terjadi. Matanya menatap tidak percaya fotonya terpampang lebar di layar studio. Itu adalah foto dirinya.
Gadis itu berjalan mundur, jantungnya berdegup kencang. Akhirnya hari itu tiba, hari di mana penyamarannya diketahui oleh semua orang. Ia beralih menatap semua orang yang kini menatapnya tidak percaya.
Puluhan botol minum melayang mengarah pada dirinya. Bukannya hujan bunga mawar, tapi hujan botol minum dan sampah menimpanya di penampilannya kali ini. Tangannya gemetar mencengkeram gagang biola putihnya.
“Dasar bermuka dua!” teriak salah satu penonton.
Suara teriakan dan kerusuhan memenuhi mata dan telinganya. Wajah mulusnya mulai basah terkena keringat dingin. Ia bahkan tidak sadar kalau senar biolanya melukai jemarinya. Noda merah bercampur dengan keringat memenuhi telapak tangannya.
“Dia terlihat sangat buruk!”
“Dasar penipu!”
Semua teriakan itu membuat telinganya panas. Bella melemparkan biola putihnya ke sembarang arah. Ia menatap tajam mata para penonton yang kini sibuk meneriakinya. Hujan sampah dan botol minum masih belum berakhir. Di belakang sana para staff sedang bingung kenapa foto itu bisa muncul di layar.
Tangan putih pucatnya bergerak melepaskan rambut hitam palsunya. Helaian rambut berwarna putih tergerai dan membuat para penonton bungkam. Bungkam bukan karena mereka terpesona, tapi karena sikap nekat gadis itu. Serentak mulut mereka menganga secara bersamaan.
“Wah dasar penipu! Lihat dia selama ini sudah menipu kita semua!” teriak salah satu penonton dan disahut dengan gemuruh jawaban dari yang lainnya.
Bella tersenyum tipis, jadi beginilah reaksi mereka ketika tahu dirinya yang sebenarnya. Hari yang selama ini hanya menghiasi angan-angannya terjadi secara nyata. Tidak ada air mata yang keluar dari kedua matanya. Sesuatu berhasil menghantam kepalanya dengan keras.
“Lihat apa dia sedang berakting?”
Pandangannya mengabur, riuh suara penonton yang meneriakinya kalah dengan suara berdengung di telinganya. Suara detak jantung merambat memenuhi telinganya. Bodyguardnya datang menghampiri dan berusaha mengajaknya bicara, namun gadis itu terlebih dahulu ambruk.
Para staff berusaha untuk menenangkan penonton yang semakin tidak terkendali. Entah bagaimana reaksi kepala agensinya saat ini.
Bella mengerjapkan matanya perlahan, sayup-sayup ia mendengar seseorang sedang berdebat di luar sana. Ia berada di salah satu ruang istirahat di gedung agensinya. Kepalanya terasa nyeri, teringat bagaimana para penonton menghakiminya tadi. Gadis itu meraih ponsel, dua buah pesan masuk dan salah satunya langsung menyita perhatiannya.
“Bagaimana? Kau menyukai kejutanku?” Sebuah pesan dari nomor yang terus menerornya.
Gadis itu beranjak duduk dan melepas infus yang tertancap rapi di punggung tangannya. Nomor itu lantas mengiriminya foto-foto kekacauan yang terjadi tadi. Bisa dipastikan dia berada di antara kerumunan para penonton saat itu.
“Bukankah wajahmu terlihat sangat ketakutan? Apa kau sedang memasang wajah itu sekarang?” Pesan itu terus menerus masuk membuat gadis itu geram.
“Katakan siapa kau!” ketiknya dengan penuh kemarahan.
“Kau akan segera mengetahuinya, pelan-pelan saja dan nikmati permainannya. Ini akan sangat menyenangkan.”
Bella mengerutkan keningnya. Ada kemungkinan orang ini akan membocorkan rahasianya yang lain.
“Berapa yang kau minta, akan kuberikan.”
“Hahaha ... aku tidak menginginkan uangmu sayang. Aku hanya ingin membuatmu menderita sepertiku.”
“Balas dendam?” gumamnya pelan.
Perasaannya campur aduk saat ini. Bella memeluk lututnya yang terbungkus selimut tipis. Ia harus mempersiapkan diri mendapatkan amukan kepala agensi dan menerima semua keputusan yang dibuat. Bahkan jika ia harus keluar dari agensi ini.
“Kau sudah sadar?” Karina datang membawa nampan yang berisi minuman.
“Aku menghancurkannya,” ucap gadis itu.
Matanya berkaca-kaca menatap Karina yang kini berdiri di sampingnya. Sebagai seorang manajer wanita itu harus kesulitan karena ulahnya. Karina memeluk Bella lembut layaknya seorang ibu memeluk anaknya.
Bella tidak bisa membendung air matanya agar tidak keluar. Ia merasa baik-baik saja tadi, tapi saat melihat Karina ia menyesali semuanya.
“Maafkan aku,” ucap gadis itu.
“Kau sama sekali tidak melakukan kesalahan. Kau sudah melakukan yang terbaik.” Tangannya menepuk-nepuk kepala Bella lembut.
“Semuanya sudah terbongkar,” gumam gadis itu.
“Tidak apa-apa, kau sendiri pasti sudah tahu kalau hari ini akan tiba bukan?”
Beberapa saat kemudian gadis itu dihadapkan dengan kepala agensinya. Dilihat dari wajahnya saja sudah menjelaskan segalanya. Bella tahu ini kesalahannya, ia sudah membohongi semua orang. Mereka pantas marah padanya.
“Plak!!” Telapak tangan kekar pria itu kembali menghantam pipi Bella.
Karina menjerit melihat apa yang dilakukan David kepada gadis itu. Bella masih sangat terkejut saat ini, ini bukan waktu yang tepat untuk memarahinya. Gadis itu masih menunduk tanpa berkata apa-apa. Untuk pertama kalinya gadis itu menunduk saat sedang dimarahi kepala agensinya.
“Sekarang apa yang akan kau lakukan?” tanya laki-laki dengan topi baret bertengger di kepalanya.
“Aku sudah sangat lelah denganmu, baru saja kasus kemarin selesai. Sekarang kau berulah lagi? Apa sebenarnya yang kau inginkan?” Pria itu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.
“Maafkan aku.” Gadis itu menunduk dalam.
“Warnai rambutmu,” ucap pria itu sambil menatapnya tajam.
“Percuma, mereka sudah mengetahui semuanya. Mewarnainya hanya akan menimbulkan masalah baru.” Gadis itu berusaha mengelak, ia tidak ingin mengubah warna rambutnya lagi.
“Lalu apa yang akan kau lakukan? Ah sudahlah aku sudah sangat pusing denganmu.”
Laki-laki dengan topi baret itu beranjak dari duduknya. Bella masih berada pada posisinya. Di sampingnya Karina berusaha menghibur. Beberapa staff yang menyaksikannya juga terlihat kesal padanya.
“Kau harus istirahat,” ucap manajernya lalu mengajak gadis itu pulang ke rumahnya.
“Aku ingin keluar,” gumam gadis itu.
“Tidak-tidak, kau harus membayar denda jika berhenti sebelum kontrakmu berakhir.”
“Akan aku bayar!” tegasnya.
“Tidak-tidak, kau sedang emosi, jangan mengambil keputusan di saat seperti ini. Kau harus bertahan sebentar lagi.”
Karina mengatup kepala Bella lembut. Ditatapnya kedua mata biru gadis itu dalam kemudian mendekapnya erat.
Tiga puluh menit yang lalu, Karina pergi dari rumah Bella. Hari sudah beranjak malam dan gadis itu sendirian di rumah. Ia tidak membuka media sosialnya, tidak ingin membaca ocehan para pengguna internet yang selalu merasa paling benar. Itu hanya akan menambah beban pikirannya.Gadis itu mengganti bajunya dengan sweater tebal dan celana olah raga. Rambutnya tertutup kupluk berwarna hitam. Ia juga menggunakan masker hitam dan kacamata bulat yang sering ia gunakan saat pergi. Ia berdiri di depan cermin kamarnya, memandangi dirinya yang dibalut pakaian serba hitam.Mamanya dulu pernah berkata, fisik lelah bisa membantu meringankan beban otaknya. Gadis itu memasang earphone di telinganya, sebuah lagu dengan volume tinggi dan tempo cepat memenuhi pendengarannya.“Mereka tidak akan menyadariku bukan?” tanyanya pada diri sendiri.Gadis itu keluar dari rumahnya dan mulai berlari. Ia tidak memiliki tujuan yang pasti, ia hanya mengikuti ke mana kakinya a
Dark White Chapter 09Suara hujan deras mengguyur di luar sana. Sementara dalam sebuah ruangan berukuaran 7×8 meter, seorang pria masih sibuk mengganti kain kompres. Masih tergambar dengan jelas bagaimana Bella bercerita sambil menangis tadi. Gadis itu sedang terluka, bukan fisiknya tapi batin dan mentalnya.Saat ini semua orang seolah menodongkan senjata ke arahnya. Artikel dan unggahan di media sosial penuh dengan berita tentang kejadian tadi sore. Mereka yang sebelumnya tidak peduli, kini bersikap seolah mereka menjadi pihak yang paling dirugikan. Tidak sedikit pula berita yang sengaja dilebih-lebihkan untuk membuat nama gadis itu semakin buruk.Allen meletakkan baskom kecil berisi air dingin di nakas. Matanya terhenti pada obat-obatan yang berjajar rapi di atas lemari kecil itu. Ia melirik Bella sebentar lalu memutuskan untuk memeriksa obat apakah itu.“Ini gila ...” gumamnya sambil mengamati dua obat yang hanya tinggal beberapa buti
Suasana hening menyelimuti ruangan yang didominasi warna putih. Aroma obat dan desinfektan tercium pekat membuat hidung terasa sakit. Berulang kali Allen membuka ponselnya kalau-kalau Bella bangun dan mengabarinya. Tadi dia pergi saat gadis itu masih tertidur dan hanya meninggalkan pesan singkat.“Tn. Allen …” panggil seoang gadis dengan seragam putih dan topi perawat dari ruangan dokter.Pria itu beranjak berdiri, menghembuskan nafas berat dan melangkah malas memasuki ruangan kecil itu. Tepat saat ia memasuki ruangan, seorang pria dengan rambut yang hampir sempurna beruban melemparkan senyum kepadanya. Kaca mata tebal bertengger di atas hidungnya yang mancung.“Bagaimana kabarmu?” tanyanya basa-basi.Kulitnya yang eksotis sangat berbanding terbalik dengan warna rambutnya yang sempurna putih. Kerutan menggelantung di wajahnya menampakkan sudah berapa lama ia berhadapan dengan dunia ini.“Apakah masih perlu kujaw
Sinar matahari menyelusup memasuki jendela kamar. Bella mengerjapkan matanya berusaha mengumpulkan kesadarannya. Setelah sekian lama akhirnya gadis itu bisa tertidur sedikit lebih nyenyak. Matanya menyisir seisi ruangan namun tidak menemukan seseorang yang ia cari. “Sudah bangun?” Seorang wanita dengan pakaian kusut dan rambut di cepol seadanya datang dengan membawa segelas susu dan roti. “Sejak kapan kau ada di sini?” tanyanya sambil berusaha mengumpulkan kesadaran. “Pukul tiga tadi aku datang,” ucapnya lalu duduk di ujung ranjang Bella. “What!?” Bella yang sedang berusaha melemaskan ototnya langsung menghentikan aktivitasnya. “Aku yakin kau tidak tidur.” Gadis itu memperhatikan lingkaran hitam dan wajah sayu Karina. “Kau bisa resign menjadi manajerku,” ucapnya lirih. Ia tahu Karina selalu terlibat masalah karena dirinya. Sebagian besar manajer pasti akan sangat frustrasi mengurusnya. Tapi Karina, entah karena dia yang terlalu
Pukul sepuluh malam, Bella masih terjaga. Pikirannya tebang entah ke mana. Matanya menerawang bintang yang tertutup awan hitam di atas sana. Belasan kaleng minuman soda berserakan di sekitarnya. Gadis itu hampir mabuk karena terlalu banyak minum soda.“Ma, apa yang sedang terjadi sekarang? Bagaimana aku harus menghadapinya? Kehidupan gila ini semakin membuatku gila,” gumamnya. Mata birunya berkaca-kaca.Jika boleh jujur, Bella sangat merindukan mamanya. Ingin sekali ia datang menemui dan memeluknya seerat mungkin. Namun entah mengapa ia merasa ada tembok tinggi yang menghalangi setiap niatnya. Ada perasaan bersalah sekaligus takut memenuhi hatinya setiap kali ia ingin bertemu.“Ma ... kau tahu hidupku sekarang? Sangat menyenangkan ... begitu menyenangkan sampai aku lupa bagaimana caraku tertawa. Aku harap kau tidak bisa menonton TV di sana. Aku tidak ingin kau melihat wanita gila ini di layar TV.”Mamanya saat ini berada di sebuah
Udara pedesaan menyeruak menusuk hidung seolah membawa Bella ke sekian tahun yang lalu. Tempat ini pernah menjadi tempat paling menyeramkan bagi gadis itu, begitu pula dengan sekarang. Entah kekuatan dari mana yang membawanya kemari sendiri, tanpa ada teman baik itu manajernya ataupun Allen.Gadis itu menginjak pedal gas mobilnya melewati jalanan sepi. Jalanan di mana ia hampir saja mengalami kecelakaan. Sekarang ia datang sendiri dengan hati yang semakin ragu. Pakaiannya serba tertutup ditambah masker hitamnya semakin membuatnya tampak misterius.Bella menghentikan mobilnya di halaman parkir sebuah rumah sakit jiwa. Sepi, sunyi, seperti tempat tanpa penghuni. Ia merasakan dingin merambat melalui jemari tangannya. Degup jantungnya semakin cepat. Ia mencoba menenangkan diri dengan mengatur nafasnya.Gadis itu berjalan memasuki rumah sakit jiwa tua yang dindingnya sudah dipenuhi lumut itu. Beberapa orang perawat terlihat berkeliaran di dalamnya.“Ada
Sudah satu minggu sejak Bella datang menemui mamanya, saat ini ia merasa sedikit lebih lega, seperti satu beban yang selama ini mengganggunya sudah terangkat. Sudah lama sejak ia hiatus dari dunia pertelevisian, rumor tentangnya sudah mereda. Orang-orang kini fokus mencari kesalahan dari aktris-aktris lain.Bella terdiam duduk di hadapan dua orang yang kini menunggu jawabannya. Dua orang itu memintanya untuk melakukan comeback setelah sekian lama hiatus. Sejujurnya Bella masih merasa sangat sakit hati dengan perlakuan CEO-nya itu tapi dengan bujukan Karina akhirnya gadis itu bersedia menemui laki-laki mata duitan itu.“Jadi bagaimana keputusanmu?” tanya CEO-nya dengan tatapan masih sama dinginnya seperti sebelumnya.Bella meraih selembar kertas yang ada di hadapannya, membacanya lalu tersenyum miring. “Bukankah kau sudah tidak membutuhkanku lagi?” tanyanya.“Apakah aktris barumu tidak menghasilkan banyak uang, sampai-sampai k
Allen meraih tangan Bella dan membawanya naik sepeda, setelah mendengar jawaban Bella yang seolah hilang harapan. Gadis itu tidak membantah dan mengikuti arahan pria itu. Ke manakah dia akan dibawa? Ke mana pun itu yang pasti tidak akan membahayakannya.Bella berpegangan pada baju hitam Allen. Sudah lama sekali Bella tidak naik sepeda seperti ini. semua kegiatannya mengharuskan dirinya menaiki mobil, mencium aroma pendingin yang memuakkan itu. Jujur ia sangat senang sat ini, terlepas dari beratnya beban pikiran yang sedang ia rasakan.Semilir angin menyapu wajahnya yang tertutup masker. Anak-anak rambut yang keluar dari kupluknya bergoyang-goyang tertiup angin. Menyenangkan, terakhir kali ia naik sepeda adalah saat ia SMP, sebelum ia menjadi trainee agensi yang menaunginya sata ini. ia bahkan sudah lupa bagaimana cara menyeimbangkan diri saat mengendarai sepeda.“Kita akan ke mana?” tanya Bella di tengah perjalanan.“Menemui seseorang,&r
Matahari sudah mulai tenggelam di ufuk barat dan menciptakan nuansa senja yang hangat dan menenangkan. Ketiga orang dewasa itu berjalan santai di belakang seorang gadis kecil yang tampak sangat kegirangan di depan sana. Bella tersenyum melihat gadis itu tampak sangat Bahagia. Sudah terlalu banyak penderitaan di pundak gadis itu, ini saatnya dia berbahagia. Ia tidak tahu apakah ini akan menjadi pertama dan terakhir kalinya Lucy dapat bermain di tempat ini. “Aku ingin menaikinya!” Tangan mungilnya menunjuk sebuah komidi putar dengan kuda-kuda lucu yang bergerak berputar-putar. “Sungguh? Ayo kita naik!” Bella langsung menyambar tubuh kecil Lucy dan menggendongnya menuju komidi putar yang dimaksud. Ledakan tawa khas gadis kecil itu seketika pecah saat Bella menggendongnya. Sejak tadi mulutnya belum sempat tertutup karena sibuk tertawa dan ternganga melihat megahnya setiap permainan yang ada di taman bermain. Semua ini adalah mainan yang selama ini hanya bisa ia lihat lewat layer televi
Hari ini merupakan hari terakhir perekaman drama yang Bella dan Mark bintangi. Semua pemeran dan juga staf melakukan foto bersama. Drama ini akan segera di rilis bulan depan. Bella tidak tahu akan seheboh apa nanti saat drama ini rilis karena bahkan saat ini pun sudah ada ratusan artikel dan kehebohan yang bahkan melebihi beberapa drama yang saat ini sedang tayang. “Kamu sudah bekerja keras ... sangat keras.” Karina memberikan sebuah buket bunga sebagai ucapan selamat.Gadis itu tersenyum menerimanya. Akhirnya ia bisa terbebas dari masalah shooting dan partner kerja yang sangat tidak kompeten seperti Mark. Rasanya ada satu beban berat terangkat dari pundaknya saat ini. Terlebih lagi beberapa waktu lalu Anggun memberi kabar kalau keadaan Lucy semakin hari semakin membaik. Dr. John menjelaskan kalau dia terus mempertahankan progresnya seperti ini kemungkinan untuk bertahan hidup lebih lama akan semakin besar. Dr. John tidak bisa menjamin gadis kecil itu akan sembuh sepenuhnya. Yang b
Matahari sudah mulai tergelincir ke arah barat meski belum sepenuhnya menunjukkan waktu sore tetapi tidak juga bisa disebut sebagai siang. Berulang kali Bella memastikan kalau tali pengikat di pinggangnya terpasang dengan benar. Ini adalah adegan Bella terjatuh dari atas gedung. “Kalian tidak menggunakan CG?” tanyanya saat melihat lokasi shooting yang benar-benar berada di atas gedung. Angin berembus cukup kencang sedikit menyamarkan teriknya panas matahari yang menerpa. Kulitnya yang putih sedikit memerah karena terlalu panas. “Takut?” tanya Mark yang entah sejak kapan sudah berada di sampingnya. “Berhenti memancing keributan,” timpal Bella pelan. Ia masih merasa sedikit gugup karena ini pertama kalinya ia melakukan adegan seperti ini. “Tali ini kuat bukan?” Gadis itu berulang kali mengecek tali yang melilit pinggangnya. Apakah ini kuat? Bagaimana jika putus saat ia melakukan shooting? Sebenci apa pun ia pada hidupnya yang kusut ini, ia masih belum ingin mati. Setidaknya kini i
Malam semakin larut dan Bella masih berkutat dengan peralatan gambarnya. Kali ini ia sedikit merasa kesulitan fokus pada gambarnya. Ada begitu banyak hal yang ia pikirkan. Hari ini terasa sangat panjang dan melelahkan. Sejak tadi tidak henti-hentinya ia mengirim pesan kepada Anggun untuk menanyakan keadaan Lucy. Sudah seminggu sejak kejadian Lucy kritis, namun ia masih belum bisa tenang. Terlebih lagi anak itu semakin hari semakin terlihat memprihatinkan. Anggun bahkan sudah mengatakan kalau ia sudah siap dengan semua kemungkinan buruk yang akan terjadi. Tapi tidak dengannya. Ia tetap tidak bisa tenang.“Aishhh!” Tangannya mencoret-coret asal buku sketsanya yang kini penuh dengan coretan tidak jelas. Ia tidak bisa fokus pada apa yang ingin ia gambar. Pikirannya terlalu penuh dan ia merasa sangat lelah.Bella menyandarkan punggungnya kasar di sandaran kursi. Rambut pucatnya yang diikat kucir kuda bergerak-gerak terkena angin malam. Malam ini ia masih berada di hotel karena rumahnya m
Bella duduk di balkon hotel. Rumahnya masih dalam proses renovasi sehingga dia menginap untuk sementara di hotel. Sebelumnya Karina sudah menyarankan untuk tinggal di dorm atau di rumahnya, tetapi Bella menolak. Ia butuh kesnedirian, oleh karena itu ia memilih untuk tinggal di hotel saja. Gadis itu menatap layar ponselnya yang menampilkan sebuah artikel berita tentang dirinya. Ia menutup kasus itu dan tidak ingin memperpanjangnya. Sebagian orang menganggapnya terlalu baik pada para haters, tapi sebagian justru mencurigainya. Ribuan komentar pedas kembali menyerang media sosialnya. --“Mungkin dia sengaja membuat keributan untuk mengalihkan isu kencannya dengan Mark.” --“Aku tidak tahu kenapa aktris penuh skandal sepertinya masih terus dipertahankan oleh perusahaannya.” --“Aktingnya bahkan tidak sebagus itu. Dia tidak pantas mendapat banyak cinta.”--“Apakah dia masih memiliki penggemar? Sungguh aku kasihan pada mereka karena berulang kali dikecewakan.” --“Aku curiga skandal bullyi
Di luar sana para penggemar dan media semakin ramai berkumpu. Hari sudah menunjukkan pukul delapan malam dan di atas sana mendung menggantung tebal, namun mereka semua seolah tidak peduli. Menjadi seorang reporter, menyiarkan berita pertama kali lebih penting daripada kesehatan dirinya.Bella dan Allen duduk di sofa panjang yang ada di ruang tamu. Gadis itu sudah sedikit lebih tenang. Ia sudah berhenti menangis tetapi jiwanya masih sangat terguncang. Jemarinya masih sedingin es, dan wajahnya terlihat semakin pucat.Allen memperhatikan lengan Bella dan mendapati luka yang cukup dalam dan darahnya sudah membeku. Begitu pula dengan kuku tangannya tang terdapat sisa-sisa darah. Sepertinya gadis ini tanpa sadar mencakar dan melukai lengannya sendiri hingga berdarah.Allen mengambil kotak obat yang ada di tasnya. Ia membersihkan luka Bella perlahan dengan alkohol. Gadis itu sama sekali tidak menjerit atau merintih kesakitan. Ia masih diam, pandangan matanya sembab dan kosong.“Semua akan ba
Hari-hari berlalu dengan lebih baik dari sebelumnya. Bella kembali mendapatkan perhatian baik dari publik. Lagu barunya berhasil meraih berbagai macam penghargaan hanya dalam tiga minggu masa promosi. Para penggemarnya juga menyukai penampilan barunya. Mereka ahkan mengatakan kalau penampilannya kini jauh lebih baik dari sebelumnya. Ia tampak lebih nyaman menjadi dirinya sendiri. --“Jangan lupa untuk lebih sering melakukan siaran langsung! Aku mencintaimu!” --“Aku masih tidak percaya kau kembali. Sangat cantik!” --“Selamat atas kemenangannya di music show!” --“Suaramu sangat bagus! Begitu pula permainan biolamu.” Kali ini Bella kembali tidak hanya dengan lagu berupa melodi biola saja, tetapi ia juga bernyanyi di sela-sela permainannya. Awalnya ia tidak ingin merilis lagu ini, akan tetapi karena desakan agensinya, ia memutuskan untuk merilisnya meski dengan setengah hati. Bella menutup ponselnya setelah melihat beberapa komentar di postingan terbarunya. Beberapa waktu lalu ia meng
Bella berjalan cepat melewati lorong yang akan mengantarkannya menuju ruang rapat. Gadis itu menenteng sebuah map transparan yang berisi surat kontrak. Di belakangnya Karina tampak sedikit kewalahan mengikutinya. Ia bahkan tidak menyapa beberapa staf yang berpapasan dengannya. Raut wajahnya benar-benar menunjukkan suasana hatinya. Meskipun biasanya wajahnya memang tidak pernah diliputi senyuman, tetapi kali ini benar-benar berbeda. Ia sedang marah. Langkah kakinya terhenti ketika ia sampai di depan sebuah pintu kaca ruang rapat. Sayup-sayup ia bisa mendengar gelak tawa dari orang-orang di dalam. Ruangan ini didesain kedap suara, akan tetapi bahkan tidak bisa membendung suara tawa mereka. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. “Cobalah untuk sedikit tenang,” ucap Karina di sampingnya. Tidak menjawab pertanyaan dari manajernya, gadis itu justru membuka pintu ruang rapat dengan kasar. Orang-orang yang ada di ruangan itu lantas berhenti tertawa dan beral
Bella berada dalam perjalanannya menuju rumah sakit. Kali ini Karina tidak mencegahnya karena Lucy merupakan kunci utama agar Bella mau menandatangani kontrak itu. “Pikirkan dengan baik keputusanmu, jangan jadikan orang lain menderita karena keegoisanmu.” Karina berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Gadis berwajah pucat itu hanya diam menatap ke luar jendela mobil. Tangan kanannya beralih membuka ponselnya. Ia mengecek kolom komentar media sosialnya. Persis seperti yang ia duga sebelumnya. Unggahan terakhirnya penuh dengan hujatan para pengguna internet. -“Kudengar dia akan membintangi drama bersama Mark! Bukankah itu gila?” -“Dia bahkan belum membersihkan namanya sendiri. Sepertinya dia ingin menggunakan Mark untuk menarik perhatian publik. Mark ku yang malang.” -“Dia sama sekali tidak cocok untuk Mark!” -“Apakah ada yang ingin membuat petisi penolakan? Aku akan dengan senang hati menandatanganinya.”