Alaric terburu-buru pergi ke perusahaan Emily setelah mendapat kabar jika istrinya itu bertemu dengan Anya. Tentu saja dia cemas dan panik, takut jika sampai Emily merajuk lagi seperti sebelumnya.
“Emi.” Alaric masuk ruang kerja Emily untuk menemui istrinya.
Emily langsung memandang Alaric yang baru saja datang. Dia terkejut melihat suaminya masuk dengan ekspresi wajah panik.
“Kebetulan kamu datang. Mau makan buah?” Emily malah menawari suaminya buah yang dibelinya dari penjual rujak.
Alaric menatap Emily yang sedang mengunyah. Dia pun mendekat dengan sikap biasa meski dalam hatinya takut istrinya marah lagi.
“Ini segar, sambalnya juga pedas,” ucap Emily lantas mencocol potongan buah ke sambal lalu memakannya.
Alaric masih memperhatikan yang dilakukan Emily, mencoba antisipasi jika tiba-tiba istrinya itu marah.
“Kenapa tiba-tiba ke sini ga kasih kabar? Terus kenapa sejak tadi hanya diam saja?&
“Nomornya sudah tidak aktif, aku sudah melacak ponselnya, dan tebak di mana ponsel itu sekarang.”Billy datang memberikan informasi yang diinginkan Alaric.“Di mana?” tanya Alaric menunggu.“Tempat sampah dalam kondisi hancur.” Billy mengeluarkan kantong plastik berisi ponsel yang dimaksud.Alaric memperhatikan ponsel yang diletakkan di meja, sudah rusak parah seolah sengaja dihancurkan.“Jadi kita tidak tahu siapa yang mengirimkan pesan itu? Tidak ada bukti diapa pelakunya?” tanya Alaric lantas menatap Billy.“Mungkin masih bisa dicari jika pelakunya belum menghapus semuanya. Aku akan coba mengambil data yang tersisa, semoga masih ada petunjuk,” ujar Billy lantas memasukkan kembali kantong plastik berisi ponsel rusak itu ke saku jasnya.Alaric pun diam berpikir. Dia bisa menebak jika pelakunya mungkin Anya, tapi tanpa bukti dia tak bisa menuduh sembarangan.“Unt
“Kamu sedang apa?” tanya Alaric saat melihat Emily terus menyentuh perut.Emily menoleh Alaric, suaminya itu baru dari kamar mandi dan sekarang naik ranjang menghampirinya.“Kenapa aku tidak merasakan apa-apa, ya?” tanya Emily memandang perutnya, lantas menoleh Alaric.Alaric malah menahan tawa mendengar pertanyaan random istrinya. Dia sampai mengambil ponsel dan mencari sesuatu.Emily pun memperhatikan yang dilakukan suaminya. Hingga dia melihat suaminya agak mendekat lantas memperlihatkan sesuatu di ponsel.“Lihat, ini tabel usia kehamilan. Bayi kita di usia ini,” ucap Alaric menunjuk tabel usia 8 minggu.“Masih kecil sekali,” gumam Emily sambil menyentuh layar ponsel suaminya.“Iya kecil, makanya belum terasa dan perutmu juga masih datar,” balas Alaric lantas menoleh untuk bisa menatap wajah istrinya.Emily menoleh suaminya lantas melebarkan senyum saat keduanya saling tatap.“Aku hanya penasaran saja,” ucap Emily lagi sambil melebarkan senyum sampai membuat deretan gigi putihnya t
Alaric dan Billy menatap Emily yang berbaring di sofa, keduanya saling tatap sejenak lantas kembali menatap Emily.“Kamu tidak kasih obat tidur di minumannya, kan?” tanya Alaric menatap curiga karena setelah minum, Emily tiba-tiba mengantuk lalu berbaring begitu saja.Billy terkejut mendengar tuduhan Alaric, hingga langsung memukul lengan temannya itu.“Beraninya kamu pukul!” amuk Alaric.“Kamu sendiri beraninya menuduh!” amuk Billy balik.“Ya, gimana ga nuduh, masa tiba-tiba Emi tidur,” balas Alaric keheranan.“Mungkin dia mengantuk, lihat sudah jam berapa!” Billy tak mau disalahkan karena tak merasa melakukan yang dituduhkan.Alaric melihat waktu yang hampir menunjukkan jam sebelas malam. Dia pun melihat istrinya yang tidur dengan pulas.“Sudah, mau debat soal es coklat apa soal pengirim foto itu?”Billy pun berusaha mengakhiri perdebatan mereka.Alaric pun akhirnya tak mengajak debat lagi, memilih menyelimuti istrinya lalu membahas siapa pelaku yang menghubungi Emily.“Aku sudah men
Alaric mengajak Emily pulang setelah selesai bicara dengan Billy. Alaric harus menggendong Emily saat menuju mobil dan saat keluar dari mobil ketika mereka sampai rumah karena tak tega membangunkan. “Kalian dari mana selarut ini? Kenapa Emi minta gendong?” tanya Mia yang kebetulan melihat Alaric pulang sambil menggendong Emily. “Emi tadi mau minta es coklat, tapi malah tidur di mobil,” jawab Alaric dengan suara lirih. Mia menatap Emily yang tidur pulas, lantas meminta Alaric untuk segera menidurkan di kamar. Alaric membawa Emily ke kamar, lantas membaringkan perlahan. Dia memandang Emily yang memejamkan mata, menatap lekat wajah istri yang dinikahinya beberapa bulan lalu itu. “Aku harap kamu tidak pernah salah paham dengan kedatangan Anya. Meski dia pernah ada di hidupku, tapi kamu adalah pilihanku, Emi.” Alaric bicara dalam hati sambil terus memandang wajah Emily. Saat Alaric mengusap lembut kening Emily, ternyata istrinya itu membuka mata hingga akhirnya menatap dirinya. “Ak
[Al, aku tiba-tiba pengen makan nasi kucing.] Alaric mengerutkan alis membaca pesan Emily. “Nasi kucing, apaan nasi kucing?” Alaric tentunya bingung, lagian mana ada nasi lauk kucing. [Al, kenapa pesannya dibaca tapi ga dibales!] Alaric membaca pesan dari Emily lagi, tapi dia masih bingung dengan nasi yang dimaksud istrinya. Dia pun membalas untuk menunggu sebentar. “Kenapa, Pak?” tanya Niko ketika melihat Alaric mengerutkan dahi. “Emi ingin makan nasi kucing. Ini nasi buat kucing, apa nasi dengan lauk kucing?” tanya Alaric yang tak pernah mendengar nama makanan seperti itu. Niko langsung menahan tawa karena ketidaktahuan bosnya itu. Kedua alis Alaric berkerut hingga saling bertautan melihat Niko menahan tawa, hingga dia bertanya dengan nada kesal. “Kenapa kamu malah menahan tawa seperti itu? Kamu nertawain keinginan istriku?” Alaric melotot ke asisten pribadinya itu. “Bukan, Pak. Mana ada nertawain keinginan Bu Emi. Lagian makanan itu ada,” ujar Niko menjelaskan. Alaric me
“Hanya dua hari?” tanya Emily sambil menatap Alaric yang baru saja bicara.“Iya dua hari saja,” jawab Alaric.Emily terlihat berpikir sambil mengunyah makanan yang sudah ada di mulut, lantas menjawab, “Aku tidak usah ikut saja, lagi pula aku harus mempersiapkan proposal untuk acara bazar bulan depan.”“Kamu yakin?” tanya Alaric agak cemas meninggalkan Emily.Emily mengangguk-angguk menjawab pertanyaan Alaric.“Tapi janji, kamu harus terus bersama Bara dan Fandy. Apa pun yang terjadi, tidak boleh sampai meninggalkan keduanya,” ujar Alaric agak berat melepas karena mencemaskan Emily tapi pekerjaannya sekarang juga sangat penting.Emily malah melebarkan senyum. Dia memberikan suapan ke Alaric, lantas membalas, “Iya, kali ini aku tidak bandel lagi. Lagi pula sekarang ada dia, aku pasti lebih hati-hati.”Emily bicara sambil mengusap perutnya yang masih datar.**
Emily mengerutkan alis membaca pesan itu, hingga mendapat pesan lagi yang menyebutkan nama pengirimnya.Emily semakin geram sambil mencengkram benda pipih itu, hingga akhirnya dia memilih mendial nomor pengirim pesan.“Apa sebenarnya yang kamu inginkan? Mau apa lagi? Tidak cukupkah kamu tahu kalau Alaric hanya menginginkanku dan kamu hanya masa lalunya!”Emily benar-benar tak habis pikir karena Anya kembali mengganggunya, seperti tak tenang jika sehari saja tak mengganggu Emily.“Kamu sepertinya salah paham. Aku hanya ingin memberitahu sesuatu kepadamu, ya ini juga demi kebaikanmu,” balas Anya dari seberang panggilan.Emily menyeringai mendengar balasan Anya, hingga dia kembali bicara.“Kamu pikir aku akan terpancing dengan kamu mengatakan itu?”Emily sekarang lebih waspada dan tak ingin mudah percaya apalagi kepada mantan kekasih suaminya. Jangan sampai kejadian Aster terulang lagi.“T
“Apa itu?” tanya Emily saat melihat amplop coklat di tangan Febry.“Fandy bilang titipan dari resepsionis.”Febry menjawab sambil memberikan amplop itu ke Emily yang baru saja bangun, tak lupa Febry menyiapkan es coklat untuk Emily agar bisa minum lebih dulu.“Minum dulu, Bu.” Febry penuh perhatian melayani Emily.Emily menerima es coklat itu, lantas berterima kasih sebelum kemudian meminumnya.“Apa bagian resepsionis mengatakan ini dari mana?” tanya Emily sambil membolak-balikan amplop itu tapi hanya ada alamat penerima sjaa.“Tadi aku sudah tanya, katanya dari klien yang kirim kurir,” jawab Febry.“Klien?” Emily mengerutkan alis karena merasa tidak ada klien yang mengabari jika akan mengirimkan berkas atau semacamnya.“Bu, apa Bu Emi membutuhkan yang lainnya? Kalau tidak ada, saya mau kembali bekerja,” kata Febry.Emily mengangguk memba
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan
Hari berikutnya, Vano masih menemani Sabrina di apartemen. Pagi itu bersama Sabrina di sofa untuk mengganti perban gadis itu.“Tahan bentar,” ucap Vano saat membersihkan luka Sabrina sebelum diperban lagi.Sabrina melirik ke lengannya. Dia agak meringis karena terasa sedikit perih.Vano membungkus luka itu lagi dengan perlahan setelah selesai dibersihkan.Sabrina menatap Vano yang serius mengganti perban, hingga dia bertanya, “Apa kamu yakin kalau keputusanmu ingin menikah tidak terburu-buru?”Sabrina merasa Vano mengatakan itu hanya spontan saja.Vano melirik Sabrina, lalu menjawab, “Kamu juga setuju, kan? Lalu kenapa sekarang tanya?”“Ya, aku hanya syok saja. Tidak menyangka kamu akan semudah itu bilang mau menikahiku,” balas Sabrina.“Aku serius mengatakan itu,” ucap Vano sambil merapikan perban yang baru saja selesai dipasang.Vano kini menatap Sabrina, memb
Sabrina mengajak Raditya duduk agar bisa mengobrol dengan nyaman. Vano juga ikut bersama keduanya tapi hanya menjadi pendengar saja.“Bagaimana kejadiannya sampai kamu diserang seperti itu?” tanya Raditya penasaran.Sabrina menceritakan dari awal dan akhir apa yang terjadi sampai membuatnya terluka.“Aku hanya masih nggak nyangka kalau dia masih dendam karena dulu aku kabur, Pa. Dia bilang dihajar habis-habisan dan ganti rugi, makanya begitu melihatku dia mau membawaku,” ujar Sabrina menjelaskan.“Dia sudah salah karena menjualmu, lalu dengan enaknya bilang dendam. Dia benar-benar harus diberi pelajaran!” geram Raditya karena pria itu sangat jahat.“Tapi Papa tidak usah terlalu cemas, sekarang pelakunya juga sudah ditangkap,” kata Sabrina menenangkan sang papa.Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara bel yang membuat mereka menoleh ke pintu.“Biar aku lihat siapa yang datang,” kata Vano.Vano berdiri menuju pintu, lalu mel
Sabrina terbangun karena lapar. Dia melihat Vano yang baru saja masuk kamar. “Kamu sudah bangun.” Vano langsung mendekat ke ranjang. Sabrina hendak bangun tapi kesusahan karena lengannya sakit. Vano dengan sigap membantu, lalu memastikan Sabrina duduk dengan nyaman. “Aku lapar,” ucap Sabrina karena siang tadi belum makan dan sudah ada tragedi yang membuatnya terluka. “Untung saja aku pesan makanan. Baru saja sampai dan kamu bangun. Biar aku ambilkan ke sini,” kata Vano hendak berdiri. “Aku makan di luar saja, tidak nyaman makan di sini,” kata Sabrina bersiap turun dari ranjang. Vano langsung membantu Sabrina turun dari ranjang karena lengan Sabrina yang terluka tidak bisa dibuat banyak gerak. Vano benar-benar perhatian ke Sabrina. Dia berjalan sambil memperhatikan Sabrina agar tak jatuh, padahal Sabrina bisa berjalan dengan baik karena lengannya saja yang sakit bukan seluruh tubuh. Sabrina sudah duduk di kursi meja makan. Vano membuka pembungkus makanan, lalu mengambil