“Hanya dua hari?” tanya Emily sambil menatap Alaric yang baru saja bicara.
“Iya dua hari saja,” jawab Alaric.
Emily terlihat berpikir sambil mengunyah makanan yang sudah ada di mulut, lantas menjawab, “Aku tidak usah ikut saja, lagi pula aku harus mempersiapkan proposal untuk acara bazar bulan depan.”
“Kamu yakin?” tanya Alaric agak cemas meninggalkan Emily.
Emily mengangguk-angguk menjawab pertanyaan Alaric.
“Tapi janji, kamu harus terus bersama Bara dan Fandy. Apa pun yang terjadi, tidak boleh sampai meninggalkan keduanya,” ujar Alaric agak berat melepas karena mencemaskan Emily tapi pekerjaannya sekarang juga sangat penting.
Emily malah melebarkan senyum. Dia memberikan suapan ke Alaric, lantas membalas, “Iya, kali ini aku tidak bandel lagi. Lagi pula sekarang ada dia, aku pasti lebih hati-hati.”
Emily bicara sambil mengusap perutnya yang masih datar.
**
Emily mengerutkan alis membaca pesan itu, hingga mendapat pesan lagi yang menyebutkan nama pengirimnya.Emily semakin geram sambil mencengkram benda pipih itu, hingga akhirnya dia memilih mendial nomor pengirim pesan.“Apa sebenarnya yang kamu inginkan? Mau apa lagi? Tidak cukupkah kamu tahu kalau Alaric hanya menginginkanku dan kamu hanya masa lalunya!”Emily benar-benar tak habis pikir karena Anya kembali mengganggunya, seperti tak tenang jika sehari saja tak mengganggu Emily.“Kamu sepertinya salah paham. Aku hanya ingin memberitahu sesuatu kepadamu, ya ini juga demi kebaikanmu,” balas Anya dari seberang panggilan.Emily menyeringai mendengar balasan Anya, hingga dia kembali bicara.“Kamu pikir aku akan terpancing dengan kamu mengatakan itu?”Emily sekarang lebih waspada dan tak ingin mudah percaya apalagi kepada mantan kekasih suaminya. Jangan sampai kejadian Aster terulang lagi.“T
“Apa itu?” tanya Emily saat melihat amplop coklat di tangan Febry.“Fandy bilang titipan dari resepsionis.”Febry menjawab sambil memberikan amplop itu ke Emily yang baru saja bangun, tak lupa Febry menyiapkan es coklat untuk Emily agar bisa minum lebih dulu.“Minum dulu, Bu.” Febry penuh perhatian melayani Emily.Emily menerima es coklat itu, lantas berterima kasih sebelum kemudian meminumnya.“Apa bagian resepsionis mengatakan ini dari mana?” tanya Emily sambil membolak-balikan amplop itu tapi hanya ada alamat penerima sjaa.“Tadi aku sudah tanya, katanya dari klien yang kirim kurir,” jawab Febry.“Klien?” Emily mengerutkan alis karena merasa tidak ada klien yang mengabari jika akan mengirimkan berkas atau semacamnya.“Bu, apa Bu Emi membutuhkan yang lainnya? Kalau tidak ada, saya mau kembali bekerja,” kata Febry.Emily mengangguk memba
“Kamu sudah melihatnya, kan? Bagaimana? Apa kamu masih merasa layak? Bagaimanapun kamu bukan yang terbaik meski kamu merasa jika kamu ini sempurna. Aku tidak bermaksud apa-apa, hanya saja kasihan denganmu. Jika sampai orang tua Al tahu apalagi kakeknya tahu siapa kamu sebenarnya, mereka pasti akan kecewa karena Al memiliki istri yang ternyata aib bagi keluarga.”Emily kembali menangis sambil menekuk kedua kaki dan memeluknya, menyembunyikan wajah beserta kesedihannya setelah mengetahui fakta tentang dirinya.Dia mengingat ucapan Anya saat menghubunginya, membuatnya benar-benar terpukul karena masalah itu.Di luar kamar apartemen. Fandy dan Bara bingung karena Emily meminta pulang ke apartemen padahal belum waktunya jam kerja usai.“Hubungi Tuan saja,” kata Bara saat mendengar suara Emily menangis.Fandy langsung mengeluarkan ponsel, lantas mencoba menghubungi Alaric.Di tempat Alaric, pria itu sedang meninjau proses pembangunan sebuah rumah sakit yang ditangani perusahaannya.Saat sed
Alaric sampai di apartemen saat malam hari. Dia langsung masuk dan melihat Fandy juga Bara berjaga di dekat kamar.“Masih tidak mau keluar?” tanya Alaric sambil meletakkan jas di sandaran sofa.“Belum, Tuan. Saya sudah mencoba menawari makan atau minum, tapi Nona tidak menjawab,” jawab Fandy.Billy dan Niko pun ikut bingung karena Alaric panik sepanjang jalan. Belum lagi Emily tidak menjawab panggilan meski ponselnya aktif.Alaric pun mendekat ke pintu kamar. Dia mencoba memutar gagang pintu yang ternyata tidak terkunci. Alaric pun membuka pintu perlahan agar tak membuat Emily terkejut, lantas masuk untuk melihat istrinya.“Emi.” Alaric mendekat saat melihat Emily berbaring miring sambil meringkuk.“Emi, aku pulang. Ada apa, hm?” tanya Alaric lantas menyentuh lengan Emily agar menghadap ke arahnya.Emily menyembunyikan wajah menggunakan kedua tangan saat Alaric menyentuhnya. Dia kembali menangis sampai kedua pundaknya bergetar.“Emi.”Alaric menarik paksa istrinya, membangunkan agar bi
Alaric masih mencoba menenangkan Emily dengan terus memeluk istrinya.“Kamu sudah makan?” tanya Alaric sambil mengusap rambut Emily.Emily menggelengkan kepala sambil menjawab, “Tidak lapar.”Alaric melepas pelukan, lantas memandang Emily yang terlihat sangat sedih.“Kita belum tahu apakah hasil tes DNA itu benar atau tidak. Andaipun memang benar, aku tidak akan mempermasalahkan hal itu. Stop berpikir berlebihan, aku hidup denganmu bukan statusmu,” ujar Alaric untuk melegakan hati Emily.Emily menatap Alaric, tapi bibirnya kembali berkerut seperti ingin menangis.“Jangan menangis lagi, kamu jelek kalau menangis,” ucap Alaric malah menggoda istrinya karena tak tahu lagi harus bagaimana lagi membuat istrinya tak sedih.“Kenapa malah dikata jelek? Aku lagi sedih!” protes Emily kemudian memukul tangan Alaric.“Iya lagi sedih.” Alaric gemas dengan tingkah istrin
Alaric menatap Emily yang sudah tidur setelah selesai makan. Mungkin istrinya itu lelah karena sejak tadi menangis dan memikirkan beban sendirian.Alaric menggenggam telapak tangan Emily, tak melepas karena istrinya ingin tidur sambil menggenggam tangannya.Saat Alaric masih menatap Emily yang tidur dengan kelopak mata bengkak, ponsel Alaric berdering, membuat pria itu meraih benda pipih itu menggunakan satu tangan, lantas menjawab panggilan dari Billy.“Bagaimana?” tanya Alaric.“Sudah aku cek, hasil ini benar-benar dikeluarkan oleh rumah sakit itu. Logo juga tanda tangan dokternya memang asli.”Alaric diam mendengar ucapan Billy, lantas memandang Emily yang pasti sangat terpukul jika tahu kalau memang bukan anak papinya.“Tapi untuk hasilnya belum bisa dipastikan benar atau tidak, kan?” tanya Alaric karena Billy hanya mengecek keaslian berkas yang diterima Emily.“Ya, untuk memastikan itu, aku sarankan kalian tanya langsung ke mertuamu. Bukan apa-apa, Al. Hanya saja lebih baik disel
Alaric menoleh Emily yang duduk di sampingnya. Dia melihat istrinya itu cemas, bahkan meremas jemari berulangkali.“Semua akan baik-baik saja,” ucap Alaric sambil menggenggam tangan Emily.Emily menoleh Alaric, melihat suaminya itu tersenyum sambil mengangguk.Emily menarik napas panjang, lantas mengembuskan perlahan untuk mengatur sesak yang terasa menekan rongga dadanya saat ini.Emily menoleh suaminya, lantas mengangguk setelah siap. Mereka pun turun dari mobil untuk menemui orang tua Emily.Ternyata Alaric sudah lebih dulu menghubungi mertuanya, hingga pagi ini Ansel tak berangkat ke kantor karena menunggu Alaric dan Emily datang.“Ada apa? Apa ada masalah?” tanya Aruna yang cemas sejak tadi setelah mendapat kabar dari Alaric.Emily menatap sang mami yang terlihat cemas. Dia sampai menahan tangis sambil menggeleng kepala. Dia berusaha tersenyum meski benar-benar sedih ketika melihat ibu dan ayah yang merawatnya.Aruna tahu jika Emily dalam kondisi tak baik. Putrinya akan banyak di
Alaric berdiri sambil melipat kedua tangan di depan dada. Memandang Ansel yang duduk di tepian ranjang sambil menggenggam telapak tangan Emily. Aruna dan Ansel menunggu Emily di samping ranjang karena sangat mencemaskan kondisi putri mereka itu, terutama Ansel yang sama sekali tak mengalihkan pandangan dari wajah Emily. “Emi,” lirih Ansel sambil mencium punggung tangan Emily, berharap putrinya agar segera bangun. Emily akhirnya menggerakkan kelopak mata, membuat Ansel dan yang lain langsung bersemangat menunggu Emily bangun. “Emi, maafin papi kalau tidak jujur,” ucap Ansel begitu melihat Emily membuka mata. Emily menatap ayahnya yang penuh rasa bersalah. Dia tiba-tiba menangis sampai kedua pundaknya bergetar. “Aku maunya papi hanya Papi.” Emily menangis sampai membuat Ansel langsung memeluknya. Alaric hanya memperhatikan, bagaimanapun kondisi Emily sekarang membutuhkan Ansel dan Aruna. Ansel memeluk erat Emily yang menangis sesenggukan padahal baru sadar. “Mau kamu bukan anak