Alaric sampai di apartemen saat malam hari. Dia langsung masuk dan melihat Fandy juga Bara berjaga di dekat kamar.“Masih tidak mau keluar?” tanya Alaric sambil meletakkan jas di sandaran sofa.“Belum, Tuan. Saya sudah mencoba menawari makan atau minum, tapi Nona tidak menjawab,” jawab Fandy.Billy dan Niko pun ikut bingung karena Alaric panik sepanjang jalan. Belum lagi Emily tidak menjawab panggilan meski ponselnya aktif.Alaric pun mendekat ke pintu kamar. Dia mencoba memutar gagang pintu yang ternyata tidak terkunci. Alaric pun membuka pintu perlahan agar tak membuat Emily terkejut, lantas masuk untuk melihat istrinya.“Emi.” Alaric mendekat saat melihat Emily berbaring miring sambil meringkuk.“Emi, aku pulang. Ada apa, hm?” tanya Alaric lantas menyentuh lengan Emily agar menghadap ke arahnya.Emily menyembunyikan wajah menggunakan kedua tangan saat Alaric menyentuhnya. Dia kembali menangis sampai kedua pundaknya bergetar.“Emi.”Alaric menarik paksa istrinya, membangunkan agar bi
Alaric masih mencoba menenangkan Emily dengan terus memeluk istrinya.“Kamu sudah makan?” tanya Alaric sambil mengusap rambut Emily.Emily menggelengkan kepala sambil menjawab, “Tidak lapar.”Alaric melepas pelukan, lantas memandang Emily yang terlihat sangat sedih.“Kita belum tahu apakah hasil tes DNA itu benar atau tidak. Andaipun memang benar, aku tidak akan mempermasalahkan hal itu. Stop berpikir berlebihan, aku hidup denganmu bukan statusmu,” ujar Alaric untuk melegakan hati Emily.Emily menatap Alaric, tapi bibirnya kembali berkerut seperti ingin menangis.“Jangan menangis lagi, kamu jelek kalau menangis,” ucap Alaric malah menggoda istrinya karena tak tahu lagi harus bagaimana lagi membuat istrinya tak sedih.“Kenapa malah dikata jelek? Aku lagi sedih!” protes Emily kemudian memukul tangan Alaric.“Iya lagi sedih.” Alaric gemas dengan tingkah istrin
Alaric menatap Emily yang sudah tidur setelah selesai makan. Mungkin istrinya itu lelah karena sejak tadi menangis dan memikirkan beban sendirian.Alaric menggenggam telapak tangan Emily, tak melepas karena istrinya ingin tidur sambil menggenggam tangannya.Saat Alaric masih menatap Emily yang tidur dengan kelopak mata bengkak, ponsel Alaric berdering, membuat pria itu meraih benda pipih itu menggunakan satu tangan, lantas menjawab panggilan dari Billy.“Bagaimana?” tanya Alaric.“Sudah aku cek, hasil ini benar-benar dikeluarkan oleh rumah sakit itu. Logo juga tanda tangan dokternya memang asli.”Alaric diam mendengar ucapan Billy, lantas memandang Emily yang pasti sangat terpukul jika tahu kalau memang bukan anak papinya.“Tapi untuk hasilnya belum bisa dipastikan benar atau tidak, kan?” tanya Alaric karena Billy hanya mengecek keaslian berkas yang diterima Emily.“Ya, untuk memastikan itu, aku sarankan kalian tanya langsung ke mertuamu. Bukan apa-apa, Al. Hanya saja lebih baik disel
Alaric menoleh Emily yang duduk di sampingnya. Dia melihat istrinya itu cemas, bahkan meremas jemari berulangkali.“Semua akan baik-baik saja,” ucap Alaric sambil menggenggam tangan Emily.Emily menoleh Alaric, melihat suaminya itu tersenyum sambil mengangguk.Emily menarik napas panjang, lantas mengembuskan perlahan untuk mengatur sesak yang terasa menekan rongga dadanya saat ini.Emily menoleh suaminya, lantas mengangguk setelah siap. Mereka pun turun dari mobil untuk menemui orang tua Emily.Ternyata Alaric sudah lebih dulu menghubungi mertuanya, hingga pagi ini Ansel tak berangkat ke kantor karena menunggu Alaric dan Emily datang.“Ada apa? Apa ada masalah?” tanya Aruna yang cemas sejak tadi setelah mendapat kabar dari Alaric.Emily menatap sang mami yang terlihat cemas. Dia sampai menahan tangis sambil menggeleng kepala. Dia berusaha tersenyum meski benar-benar sedih ketika melihat ibu dan ayah yang merawatnya.Aruna tahu jika Emily dalam kondisi tak baik. Putrinya akan banyak di
Alaric berdiri sambil melipat kedua tangan di depan dada. Memandang Ansel yang duduk di tepian ranjang sambil menggenggam telapak tangan Emily. Aruna dan Ansel menunggu Emily di samping ranjang karena sangat mencemaskan kondisi putri mereka itu, terutama Ansel yang sama sekali tak mengalihkan pandangan dari wajah Emily. “Emi,” lirih Ansel sambil mencium punggung tangan Emily, berharap putrinya agar segera bangun. Emily akhirnya menggerakkan kelopak mata, membuat Ansel dan yang lain langsung bersemangat menunggu Emily bangun. “Emi, maafin papi kalau tidak jujur,” ucap Ansel begitu melihat Emily membuka mata. Emily menatap ayahnya yang penuh rasa bersalah. Dia tiba-tiba menangis sampai kedua pundaknya bergetar. “Aku maunya papi hanya Papi.” Emily menangis sampai membuat Ansel langsung memeluknya. Alaric hanya memperhatikan, bagaimanapun kondisi Emily sekarang membutuhkan Ansel dan Aruna. Ansel memeluk erat Emily yang menangis sesenggukan padahal baru sadar. “Mau kamu bukan anak
Mia sedang berbelanja di supermarket. Dia menyempatkan belanja hanya untuk mengisi waktu luangnya.Saat sedang memilih beberapa barang yang dibutuhkan. Mia melihat rak susu ibu hamil, membuatnya berjalan ke rak khusus susu ibu hamil karena teringat Emily.“Emily biasa minum yang ini sepertinya. Di rumah sudah habis belum, ya?”Mereka baru tahu beberapa hari ini soal kehamilan Emily. Mia sempat melihat Emily membuat susu, sehingga berpikir ingin membelikan susu untuk menantunya itu.“Tanggal kadaluarsanya masih agak lama. Ga papa mungkin kalau beli meski di rumah masih,” gumam Mia.Mia pun akhirnya mengambil dua kotak susu ibu hamil, lalu memasukkan ke troli.“Bu Mia. Tidak kusangka ketemu di sini,” ucap seorang wanita yang muncul di depan Mia.Mia terkejut mendengar sapaan itu. Dia pun menatap wanita yang baru saja datang, ternyata wanita itu adalah istri salah satu rekan bisnis perusahaan Bobby.“Iya, kebetulan aku juga memang ingin belanja,” balas Mia.Wanita itu mengangguk-angguk,
“Aku di rumah orang tua Emi. Kalau Mama mau ke sini, aku tunggu,” ucap Alaric saat bicara dengan sang mama.Alaric mengangguk lantas mengakhiri panggilan itu.“Siapa?” tanya Emily saat melihat suaminya baru saja selesai bicara.Emily ada di kamar bersama Alaric setelah tenang. Dia menatap suaminya yang baru saja menerima panggilan.“Mama, dia tanya aku di mana katanya ada yang mau dibicarakan,” jawab Alaric lantas mendekat ke Emily, kemudian duduk di tepian ranjang.“Apa ada masalah?” tanya Emily.“Mama tidak bilang, mungkin ada sesuatu saja yang ingin dibahas,” jawab Alaric sambil menatap wajah Emily yang masih sembab.Emily mengangguk-angguk mendengar jawaban Alaric.“Kamu istirahatlah dulu, aku akan menunggu Mama di bawah,” ucap Alaric.“Jangan bilang dulu soal statusku, ya.” Emily tiba-tiba saja cemas jika mertuanya tahu soal dirinya yang anak di luar nikah.Alaric tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Kamu tenang saja, jangan berpikiran berlebih,” ucap Alaric karena Emily sudah
“Mama tidak ikut masuk?” tanya Emily ternyata tidak tidur.Dia langsung bangun saat melihat Alaric masuk kamar.Alaric terkejut mendengar pertanyaan Emily, tapi mencoba bersikap biasa.“Mama tadi buru-buru ada urusan. Dia hanya tanya apa kamu baik-baik saja, serta memastikan kalau aku memang di sini,” jawab Alaric berbohong karena tak ingin menyakiti hati Emily lagi jika tahu soal Mia yang sudah mengetahui tentang status Emily.Emily membentuk huruf O dengan bibir, dia agak heran tapi mengabaikan.“Kupikir ada apa sampai Mama ke sini,” ucap Emily pada akhirnya.Alaric hanya tersenyum kemudian duduk di tepian ranjang.“Aku izin keluar sebentar,” kata Alaric.“Keluar? Ke mana? Jangan bilang mau menemui Anya!” Emily langsung menebak sambil memasang wajah kesal.Alaric langsung menggenggam telapak tangan Emily, kemudian menjelaskan dengan perlahan.“Aku