Alaric masih mencoba menenangkan Emily dengan terus memeluk istrinya.
“Kamu sudah makan?” tanya Alaric sambil mengusap rambut Emily.
Emily menggelengkan kepala sambil menjawab, “Tidak lapar.”
Alaric melepas pelukan, lantas memandang Emily yang terlihat sangat sedih.
“Kita belum tahu apakah hasil tes DNA itu benar atau tidak. Andaipun memang benar, aku tidak akan mempermasalahkan hal itu. Stop berpikir berlebihan, aku hidup denganmu bukan statusmu,” ujar Alaric untuk melegakan hati Emily.
Emily menatap Alaric, tapi bibirnya kembali berkerut seperti ingin menangis.
“Jangan menangis lagi, kamu jelek kalau menangis,” ucap Alaric malah menggoda istrinya karena tak tahu lagi harus bagaimana lagi membuat istrinya tak sedih.
“Kenapa malah dikata jelek? Aku lagi sedih!” protes Emily kemudian memukul tangan Alaric.
“Iya lagi sedih.” Alaric gemas dengan tingkah istrin
Alaric menatap Emily yang sudah tidur setelah selesai makan. Mungkin istrinya itu lelah karena sejak tadi menangis dan memikirkan beban sendirian.Alaric menggenggam telapak tangan Emily, tak melepas karena istrinya ingin tidur sambil menggenggam tangannya.Saat Alaric masih menatap Emily yang tidur dengan kelopak mata bengkak, ponsel Alaric berdering, membuat pria itu meraih benda pipih itu menggunakan satu tangan, lantas menjawab panggilan dari Billy.“Bagaimana?” tanya Alaric.“Sudah aku cek, hasil ini benar-benar dikeluarkan oleh rumah sakit itu. Logo juga tanda tangan dokternya memang asli.”Alaric diam mendengar ucapan Billy, lantas memandang Emily yang pasti sangat terpukul jika tahu kalau memang bukan anak papinya.“Tapi untuk hasilnya belum bisa dipastikan benar atau tidak, kan?” tanya Alaric karena Billy hanya mengecek keaslian berkas yang diterima Emily.“Ya, untuk memastikan itu, aku sarankan kalian tanya langsung ke mertuamu. Bukan apa-apa, Al. Hanya saja lebih baik disel
Alaric menoleh Emily yang duduk di sampingnya. Dia melihat istrinya itu cemas, bahkan meremas jemari berulangkali.“Semua akan baik-baik saja,” ucap Alaric sambil menggenggam tangan Emily.Emily menoleh Alaric, melihat suaminya itu tersenyum sambil mengangguk.Emily menarik napas panjang, lantas mengembuskan perlahan untuk mengatur sesak yang terasa menekan rongga dadanya saat ini.Emily menoleh suaminya, lantas mengangguk setelah siap. Mereka pun turun dari mobil untuk menemui orang tua Emily.Ternyata Alaric sudah lebih dulu menghubungi mertuanya, hingga pagi ini Ansel tak berangkat ke kantor karena menunggu Alaric dan Emily datang.“Ada apa? Apa ada masalah?” tanya Aruna yang cemas sejak tadi setelah mendapat kabar dari Alaric.Emily menatap sang mami yang terlihat cemas. Dia sampai menahan tangis sambil menggeleng kepala. Dia berusaha tersenyum meski benar-benar sedih ketika melihat ibu dan ayah yang merawatnya.Aruna tahu jika Emily dalam kondisi tak baik. Putrinya akan banyak di
Alaric berdiri sambil melipat kedua tangan di depan dada. Memandang Ansel yang duduk di tepian ranjang sambil menggenggam telapak tangan Emily. Aruna dan Ansel menunggu Emily di samping ranjang karena sangat mencemaskan kondisi putri mereka itu, terutama Ansel yang sama sekali tak mengalihkan pandangan dari wajah Emily. “Emi,” lirih Ansel sambil mencium punggung tangan Emily, berharap putrinya agar segera bangun. Emily akhirnya menggerakkan kelopak mata, membuat Ansel dan yang lain langsung bersemangat menunggu Emily bangun. “Emi, maafin papi kalau tidak jujur,” ucap Ansel begitu melihat Emily membuka mata. Emily menatap ayahnya yang penuh rasa bersalah. Dia tiba-tiba menangis sampai kedua pundaknya bergetar. “Aku maunya papi hanya Papi.” Emily menangis sampai membuat Ansel langsung memeluknya. Alaric hanya memperhatikan, bagaimanapun kondisi Emily sekarang membutuhkan Ansel dan Aruna. Ansel memeluk erat Emily yang menangis sesenggukan padahal baru sadar. “Mau kamu bukan anak
Mia sedang berbelanja di supermarket. Dia menyempatkan belanja hanya untuk mengisi waktu luangnya.Saat sedang memilih beberapa barang yang dibutuhkan. Mia melihat rak susu ibu hamil, membuatnya berjalan ke rak khusus susu ibu hamil karena teringat Emily.“Emily biasa minum yang ini sepertinya. Di rumah sudah habis belum, ya?”Mereka baru tahu beberapa hari ini soal kehamilan Emily. Mia sempat melihat Emily membuat susu, sehingga berpikir ingin membelikan susu untuk menantunya itu.“Tanggal kadaluarsanya masih agak lama. Ga papa mungkin kalau beli meski di rumah masih,” gumam Mia.Mia pun akhirnya mengambil dua kotak susu ibu hamil, lalu memasukkan ke troli.“Bu Mia. Tidak kusangka ketemu di sini,” ucap seorang wanita yang muncul di depan Mia.Mia terkejut mendengar sapaan itu. Dia pun menatap wanita yang baru saja datang, ternyata wanita itu adalah istri salah satu rekan bisnis perusahaan Bobby.“Iya, kebetulan aku juga memang ingin belanja,” balas Mia.Wanita itu mengangguk-angguk,
“Aku di rumah orang tua Emi. Kalau Mama mau ke sini, aku tunggu,” ucap Alaric saat bicara dengan sang mama.Alaric mengangguk lantas mengakhiri panggilan itu.“Siapa?” tanya Emily saat melihat suaminya baru saja selesai bicara.Emily ada di kamar bersama Alaric setelah tenang. Dia menatap suaminya yang baru saja menerima panggilan.“Mama, dia tanya aku di mana katanya ada yang mau dibicarakan,” jawab Alaric lantas mendekat ke Emily, kemudian duduk di tepian ranjang.“Apa ada masalah?” tanya Emily.“Mama tidak bilang, mungkin ada sesuatu saja yang ingin dibahas,” jawab Alaric sambil menatap wajah Emily yang masih sembab.Emily mengangguk-angguk mendengar jawaban Alaric.“Kamu istirahatlah dulu, aku akan menunggu Mama di bawah,” ucap Alaric.“Jangan bilang dulu soal statusku, ya.” Emily tiba-tiba saja cemas jika mertuanya tahu soal dirinya yang anak di luar nikah.Alaric tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Kamu tenang saja, jangan berpikiran berlebih,” ucap Alaric karena Emily sudah
“Mama tidak ikut masuk?” tanya Emily ternyata tidak tidur.Dia langsung bangun saat melihat Alaric masuk kamar.Alaric terkejut mendengar pertanyaan Emily, tapi mencoba bersikap biasa.“Mama tadi buru-buru ada urusan. Dia hanya tanya apa kamu baik-baik saja, serta memastikan kalau aku memang di sini,” jawab Alaric berbohong karena tak ingin menyakiti hati Emily lagi jika tahu soal Mia yang sudah mengetahui tentang status Emily.Emily membentuk huruf O dengan bibir, dia agak heran tapi mengabaikan.“Kupikir ada apa sampai Mama ke sini,” ucap Emily pada akhirnya.Alaric hanya tersenyum kemudian duduk di tepian ranjang.“Aku izin keluar sebentar,” kata Alaric.“Keluar? Ke mana? Jangan bilang mau menemui Anya!” Emily langsung menebak sambil memasang wajah kesal.Alaric langsung menggenggam telapak tangan Emily, kemudian menjelaskan dengan perlahan.“Aku
Alaric menatap dingin ke Anya. Dia menerka, ulah apa lagi yang akan dibuat oleh mantan kekasihnya itu. “Kamu pikir, aku akan mempercayai semua provokasimu?” Alaric benar-benar tak menyangka jika Anya akan semanipulatif ini. Anya hanya tersenyum mendengar ucapan Alaric. “Aku akan mengatakannya meski kamu tak mau mendengar.” Anya menatap Alaric yang terus bersikap dingin kepadanya. Di sisi lain, Billy masih memantau dan mendengarkan. Hingga saat dia melihat Anya bicara dengan jarak dekat ke Alaric, saat itu juga dia mendengar apa yang dikatakan oleh Anya. Tentu saja hal itu membuat Billy terkejut juga panik, di saat bersamaan dengan Alaric mengepalkan telapak tangan ketika mendengar apa yang dikatakan Anya. “Apa kamu sedang mencoba mengadu domba?” tanya Alaric sambil menatap Anya yang mundur ke kursi setelah bicara. “Tidak ada yang sedang mengadu domba atau memprovokasi. Aku bicara sesuai fakta, begitu juga dengan status istrimu. Aku hanya kasihan kepadamu, Al.” Anya hendak menye
Emily duduk di kamar, menunggu kabar dari Alaric tapi tak kunjung menghubungi.“Kenapa dia tak menghubungiku? Kenapa mereka bicara sangat lama?”Emily melihat jam di pesan terakhir yang dikirimkan Alaric saat akan menemui Anya, tapi ini sudah satu jam lebih, membuat Emily cemas karena tak mungkin Alaric bicara sangat lama jika hanya untuk memperingatkan.Emily pun memutuskan untuk menghubungi Alaric, tapi dia harus menelan kekecewaan saat ponsel suaminya tak bisa dihubungi.“Kenapa tiba-tiba tak bisa dihubungi?”Emily pun mencoba mengirim pesan, berpikir jika mungkin saja suaminya mematikan ponsel ketika bicara dengan Anya.Emily menunggu lagi, tapi perasaannya gelisah dan cemas menunggu suaminya memberi kabar.Emily duduk sambil terus memandang ponsel, tapi tetap saja belum ada tanda-tanda suaminya menghubungi.Hingga akhirnya Emily memutuskan menghubungi Billy untuk bertanya di mana Alaric saat ini.“Billy, kamu bersama Al?” tanya Emily ketika panggilannya dijawab Billy.“Aku tidak
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan
Hari berikutnya, Vano masih menemani Sabrina di apartemen. Pagi itu bersama Sabrina di sofa untuk mengganti perban gadis itu.“Tahan bentar,” ucap Vano saat membersihkan luka Sabrina sebelum diperban lagi.Sabrina melirik ke lengannya. Dia agak meringis karena terasa sedikit perih.Vano membungkus luka itu lagi dengan perlahan setelah selesai dibersihkan.Sabrina menatap Vano yang serius mengganti perban, hingga dia bertanya, “Apa kamu yakin kalau keputusanmu ingin menikah tidak terburu-buru?”Sabrina merasa Vano mengatakan itu hanya spontan saja.Vano melirik Sabrina, lalu menjawab, “Kamu juga setuju, kan? Lalu kenapa sekarang tanya?”“Ya, aku hanya syok saja. Tidak menyangka kamu akan semudah itu bilang mau menikahiku,” balas Sabrina.“Aku serius mengatakan itu,” ucap Vano sambil merapikan perban yang baru saja selesai dipasang.Vano kini menatap Sabrina, memb
Sabrina mengajak Raditya duduk agar bisa mengobrol dengan nyaman. Vano juga ikut bersama keduanya tapi hanya menjadi pendengar saja.“Bagaimana kejadiannya sampai kamu diserang seperti itu?” tanya Raditya penasaran.Sabrina menceritakan dari awal dan akhir apa yang terjadi sampai membuatnya terluka.“Aku hanya masih nggak nyangka kalau dia masih dendam karena dulu aku kabur, Pa. Dia bilang dihajar habis-habisan dan ganti rugi, makanya begitu melihatku dia mau membawaku,” ujar Sabrina menjelaskan.“Dia sudah salah karena menjualmu, lalu dengan enaknya bilang dendam. Dia benar-benar harus diberi pelajaran!” geram Raditya karena pria itu sangat jahat.“Tapi Papa tidak usah terlalu cemas, sekarang pelakunya juga sudah ditangkap,” kata Sabrina menenangkan sang papa.Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara bel yang membuat mereka menoleh ke pintu.“Biar aku lihat siapa yang datang,” kata Vano.Vano berdiri menuju pintu, lalu mel
Sabrina terbangun karena lapar. Dia melihat Vano yang baru saja masuk kamar. “Kamu sudah bangun.” Vano langsung mendekat ke ranjang. Sabrina hendak bangun tapi kesusahan karena lengannya sakit. Vano dengan sigap membantu, lalu memastikan Sabrina duduk dengan nyaman. “Aku lapar,” ucap Sabrina karena siang tadi belum makan dan sudah ada tragedi yang membuatnya terluka. “Untung saja aku pesan makanan. Baru saja sampai dan kamu bangun. Biar aku ambilkan ke sini,” kata Vano hendak berdiri. “Aku makan di luar saja, tidak nyaman makan di sini,” kata Sabrina bersiap turun dari ranjang. Vano langsung membantu Sabrina turun dari ranjang karena lengan Sabrina yang terluka tidak bisa dibuat banyak gerak. Vano benar-benar perhatian ke Sabrina. Dia berjalan sambil memperhatikan Sabrina agar tak jatuh, padahal Sabrina bisa berjalan dengan baik karena lengannya saja yang sakit bukan seluruh tubuh. Sabrina sudah duduk di kursi meja makan. Vano membuka pembungkus makanan, lalu mengambil