Alaric dan Billy menatap Emily yang berbaring di sofa, keduanya saling tatap sejenak lantas kembali menatap Emily.“Kamu tidak kasih obat tidur di minumannya, kan?” tanya Alaric menatap curiga karena setelah minum, Emily tiba-tiba mengantuk lalu berbaring begitu saja.Billy terkejut mendengar tuduhan Alaric, hingga langsung memukul lengan temannya itu.“Beraninya kamu pukul!” amuk Alaric.“Kamu sendiri beraninya menuduh!” amuk Billy balik.“Ya, gimana ga nuduh, masa tiba-tiba Emi tidur,” balas Alaric keheranan.“Mungkin dia mengantuk, lihat sudah jam berapa!” Billy tak mau disalahkan karena tak merasa melakukan yang dituduhkan.Alaric melihat waktu yang hampir menunjukkan jam sebelas malam. Dia pun melihat istrinya yang tidur dengan pulas.“Sudah, mau debat soal es coklat apa soal pengirim foto itu?”Billy pun berusaha mengakhiri perdebatan mereka.Alaric pun akhirnya tak mengajak debat lagi, memilih menyelimuti istrinya lalu membahas siapa pelaku yang menghubungi Emily.“Aku sudah men
Alaric mengajak Emily pulang setelah selesai bicara dengan Billy. Alaric harus menggendong Emily saat menuju mobil dan saat keluar dari mobil ketika mereka sampai rumah karena tak tega membangunkan. “Kalian dari mana selarut ini? Kenapa Emi minta gendong?” tanya Mia yang kebetulan melihat Alaric pulang sambil menggendong Emily. “Emi tadi mau minta es coklat, tapi malah tidur di mobil,” jawab Alaric dengan suara lirih. Mia menatap Emily yang tidur pulas, lantas meminta Alaric untuk segera menidurkan di kamar. Alaric membawa Emily ke kamar, lantas membaringkan perlahan. Dia memandang Emily yang memejamkan mata, menatap lekat wajah istri yang dinikahinya beberapa bulan lalu itu. “Aku harap kamu tidak pernah salah paham dengan kedatangan Anya. Meski dia pernah ada di hidupku, tapi kamu adalah pilihanku, Emi.” Alaric bicara dalam hati sambil terus memandang wajah Emily. Saat Alaric mengusap lembut kening Emily, ternyata istrinya itu membuka mata hingga akhirnya menatap dirinya. “Ak
[Al, aku tiba-tiba pengen makan nasi kucing.] Alaric mengerutkan alis membaca pesan Emily. “Nasi kucing, apaan nasi kucing?” Alaric tentunya bingung, lagian mana ada nasi lauk kucing. [Al, kenapa pesannya dibaca tapi ga dibales!] Alaric membaca pesan dari Emily lagi, tapi dia masih bingung dengan nasi yang dimaksud istrinya. Dia pun membalas untuk menunggu sebentar. “Kenapa, Pak?” tanya Niko ketika melihat Alaric mengerutkan dahi. “Emi ingin makan nasi kucing. Ini nasi buat kucing, apa nasi dengan lauk kucing?” tanya Alaric yang tak pernah mendengar nama makanan seperti itu. Niko langsung menahan tawa karena ketidaktahuan bosnya itu. Kedua alis Alaric berkerut hingga saling bertautan melihat Niko menahan tawa, hingga dia bertanya dengan nada kesal. “Kenapa kamu malah menahan tawa seperti itu? Kamu nertawain keinginan istriku?” Alaric melotot ke asisten pribadinya itu. “Bukan, Pak. Mana ada nertawain keinginan Bu Emi. Lagian makanan itu ada,” ujar Niko menjelaskan. Alaric me
“Hanya dua hari?” tanya Emily sambil menatap Alaric yang baru saja bicara.“Iya dua hari saja,” jawab Alaric.Emily terlihat berpikir sambil mengunyah makanan yang sudah ada di mulut, lantas menjawab, “Aku tidak usah ikut saja, lagi pula aku harus mempersiapkan proposal untuk acara bazar bulan depan.”“Kamu yakin?” tanya Alaric agak cemas meninggalkan Emily.Emily mengangguk-angguk menjawab pertanyaan Alaric.“Tapi janji, kamu harus terus bersama Bara dan Fandy. Apa pun yang terjadi, tidak boleh sampai meninggalkan keduanya,” ujar Alaric agak berat melepas karena mencemaskan Emily tapi pekerjaannya sekarang juga sangat penting.Emily malah melebarkan senyum. Dia memberikan suapan ke Alaric, lantas membalas, “Iya, kali ini aku tidak bandel lagi. Lagi pula sekarang ada dia, aku pasti lebih hati-hati.”Emily bicara sambil mengusap perutnya yang masih datar.**
Emily mengerutkan alis membaca pesan itu, hingga mendapat pesan lagi yang menyebutkan nama pengirimnya.Emily semakin geram sambil mencengkram benda pipih itu, hingga akhirnya dia memilih mendial nomor pengirim pesan.“Apa sebenarnya yang kamu inginkan? Mau apa lagi? Tidak cukupkah kamu tahu kalau Alaric hanya menginginkanku dan kamu hanya masa lalunya!”Emily benar-benar tak habis pikir karena Anya kembali mengganggunya, seperti tak tenang jika sehari saja tak mengganggu Emily.“Kamu sepertinya salah paham. Aku hanya ingin memberitahu sesuatu kepadamu, ya ini juga demi kebaikanmu,” balas Anya dari seberang panggilan.Emily menyeringai mendengar balasan Anya, hingga dia kembali bicara.“Kamu pikir aku akan terpancing dengan kamu mengatakan itu?”Emily sekarang lebih waspada dan tak ingin mudah percaya apalagi kepada mantan kekasih suaminya. Jangan sampai kejadian Aster terulang lagi.“T
“Apa itu?” tanya Emily saat melihat amplop coklat di tangan Febry.“Fandy bilang titipan dari resepsionis.”Febry menjawab sambil memberikan amplop itu ke Emily yang baru saja bangun, tak lupa Febry menyiapkan es coklat untuk Emily agar bisa minum lebih dulu.“Minum dulu, Bu.” Febry penuh perhatian melayani Emily.Emily menerima es coklat itu, lantas berterima kasih sebelum kemudian meminumnya.“Apa bagian resepsionis mengatakan ini dari mana?” tanya Emily sambil membolak-balikan amplop itu tapi hanya ada alamat penerima sjaa.“Tadi aku sudah tanya, katanya dari klien yang kirim kurir,” jawab Febry.“Klien?” Emily mengerutkan alis karena merasa tidak ada klien yang mengabari jika akan mengirimkan berkas atau semacamnya.“Bu, apa Bu Emi membutuhkan yang lainnya? Kalau tidak ada, saya mau kembali bekerja,” kata Febry.Emily mengangguk memba
“Kamu sudah melihatnya, kan? Bagaimana? Apa kamu masih merasa layak? Bagaimanapun kamu bukan yang terbaik meski kamu merasa jika kamu ini sempurna. Aku tidak bermaksud apa-apa, hanya saja kasihan denganmu. Jika sampai orang tua Al tahu apalagi kakeknya tahu siapa kamu sebenarnya, mereka pasti akan kecewa karena Al memiliki istri yang ternyata aib bagi keluarga.”Emily kembali menangis sambil menekuk kedua kaki dan memeluknya, menyembunyikan wajah beserta kesedihannya setelah mengetahui fakta tentang dirinya.Dia mengingat ucapan Anya saat menghubunginya, membuatnya benar-benar terpukul karena masalah itu.Di luar kamar apartemen. Fandy dan Bara bingung karena Emily meminta pulang ke apartemen padahal belum waktunya jam kerja usai.“Hubungi Tuan saja,” kata Bara saat mendengar suara Emily menangis.Fandy langsung mengeluarkan ponsel, lantas mencoba menghubungi Alaric.Di tempat Alaric, pria itu sedang meninjau proses pembangunan sebuah rumah sakit yang ditangani perusahaannya.Saat sed
Alaric sampai di apartemen saat malam hari. Dia langsung masuk dan melihat Fandy juga Bara berjaga di dekat kamar.“Masih tidak mau keluar?” tanya Alaric sambil meletakkan jas di sandaran sofa.“Belum, Tuan. Saya sudah mencoba menawari makan atau minum, tapi Nona tidak menjawab,” jawab Fandy.Billy dan Niko pun ikut bingung karena Alaric panik sepanjang jalan. Belum lagi Emily tidak menjawab panggilan meski ponselnya aktif.Alaric pun mendekat ke pintu kamar. Dia mencoba memutar gagang pintu yang ternyata tidak terkunci. Alaric pun membuka pintu perlahan agar tak membuat Emily terkejut, lantas masuk untuk melihat istrinya.“Emi.” Alaric mendekat saat melihat Emily berbaring miring sambil meringkuk.“Emi, aku pulang. Ada apa, hm?” tanya Alaric lantas menyentuh lengan Emily agar menghadap ke arahnya.Emily menyembunyikan wajah menggunakan kedua tangan saat Alaric menyentuhnya. Dia kembali menangis sampai kedua pundaknya bergetar.“Emi.”Alaric menarik paksa istrinya, membangunkan agar bi