Hari berikutnya, Vano berangkat ke perusahaan seperti biasa. Namun, pagi ini dia tak menjemput Sabrina karena gadis itu tak membalas pesannya atau menjawab panggilan darinya.
Vano berpikir jika Sabrina pasti masih kesal, lalu membiarkan saja jika Sabrina ingin menghindarinya lebih dulu. Dia hanya ingin memberi kesempatan agar Sabrina lebih tenang dan rasa kesalnya tak semakin memuncak.
Jam kerja sudah dimulai. Vano berada di ruang kerjanya mengecek berkas, hingga tatapannya tertuju ke meja Sabrina. Kosong, gadis itu tidak berangkat ke kantor.
“Kenapa dia tidak berangkat?” Vano tentunya cemas, apalagi sejak pagi Sabrina tak menjawab panggilan darinya.
Vano mencoba menghubungi Sabrina lagi, tapi masih tidak dijawab. Akhirnya Vano memutuskan untuk keluar dari ruangannya.
“Apa Sabrina memberitahu kalau dia tidak berangkat?” tanya Vano ke rekan terdekat Sabrina.
“Tidak, Pak. Sabrina tidak menghubungi saya. Saya juga
Vano masih di apartemen Sabrina. Dia begitu cemas karena panas tubuh Sabrina tidak turun-turun dan gadis itu tidak mau minum obat.“Sab.” Vano memanggil lembut karena Sabrina tidur dengan dahi berkerut, menandakan jika gadis itu gelisah.“Kamu mimpi buruk, hm?” tanya Vano sambil mengusap pipi Sabrina yang panas.Sabrina seperti terkejut hingga membuka mata saat merasakan sentuhan tangan Vano di pipinya.“Tubuhmu semakin panas, kalau kamu tidak coba minum obat, kita ke rumah sakit saja agar kamu mendapat penanganan tepat,” ucap Vano karena sangat mencemaskan kondisi Sabrina.Sabrina menggeleng mendengar ucapan Vano, lalu mencoba bangun untuk minum obat karena tak ingin ke rumah sakit.Vano bingung kenapa Sabrina tak mau minum obat, padahal kondisinya sangat tidak baik.Sabrina ingin mengambil obat, tapi karena tubuhnya lemas membuatnya susah menggapai.Akhirnya Vano yang mengambilkan bersamaan dengan segelas air putih.Setelah mendapat obatnya, Sabrina masih ragu untuk minum.“Ada apa?
Vano masih berada di apartemen Sabrina seharian bahkan sampai malam. Saat jam makan malam, Vano membangunkan Sabrina yang seharian ini tidur karena kondisi tubuhnya masih belum sehat. “Sab, bangunlah dan makan dulu sebelum minum obat,” kata Vano dengan suara lembut saat membangunkan Sabrina. Sabrina membuka mata dengan agak berat lalu melihat Vano yang berjongkok di samping ranjang menatap dirinya. “Tidak mau,” jawab Sabrina karena merasa kondisi tubuhnya tak ada perubahan. “Harus, Sab. Biar kamu sembuh,” ucap Vano memaksa, “kalau malam ini sampai pagi panasmu tidak turun, aku akan membawamu ke rumah sakit,” ucap Vano lagi. Sabrina langsung memanyunkan bibir mendengar ucapan Vano, hingga kemudian membalas, “Sebenarnya sakitku ini bisa sembuh dengan mudah. Tidak perlu obat atau dokter.” Dahi Vano berkerut halus mendengar ucapan Sabrina. “Mudah apanya? Nyatanya sudah minum obat dan istirahat seharian masih panas.” Sabrina masih manyun, lalu membalas, “Sakitku itu karena memikirkan
Vano terkejut mendengar pertanyaan Sabrina. Dia bingung harus menjawab apa karena dia sendiri masih tidak tahu apa sebenarnya yang ada di hatinya. Masih suka atau benci ke Claudia. Sabrina masih menunggu jawaban Vano dengan hati cemas. Apalagi pria itu terlihat ragu dan tak menjawab secara spontan yang menunjukkan jika ada sesuatu yang harus dipertimbangkan. “Bagaimana masa lalu dan perasaanku dulu, aku sekarang hanya ingin fokus mencintaimu saja,” ucap Vano tak menjawab bagaimana perasaannya ke Claudia. Sabrina agak kecewa karena bukan jawaban itu yang diharapkan. “Jika kamu tidak bisa lepas dari masa lalu, hubungan kita takkan pernah berjalan dengan baik ketika kamu masih terikat dengan hubungan yang sebenarnya belum kamu yakini berakhi,” ujar Sabrina. Vano diam mendengar ucapan Sabrina, lalu mendengar kekasihnya itu kembali bicara. “Aku sudah mengalaminya. Semenjak bertemu denganmu, aku tidak pernah bisa melupakanmu. Aku ingin melupakan, tapi tak bisa sampai akhirnya membuatku
Vano sangat terkejut melihat sang mami di sana. Dia tak menyangka kalau Oma Aruna akan datang ke apartemen itu. “Mami? Mami kenapa di sini?” tanya Vano yang panik. Oma Aruna melongok ke dalam saat mendengar pertanyaan Vano, lalu kembali menatap putranya itu. “Mami hanya mau mastiin kamu bohong atau tidak,” jawab Oma Aruna. Vano menggeleng pelan mendengar jawaban Oma Aruna. “Sabrina sakit, kan? Mami ke sini untuk melihat kondisinya serta memastikan apakah yang kamu katakan benar.” Oma Aruna masuk begitu saja melewati Vano hingga membuat pria itu terkejut. Vano tak bisa mencegah sang mami, hingga akhirnya memilih mengikuti Oma Aruna ke dalam. Saat Oma Aruna baru saja masuk, Sabrina keluar kamar dan terkejut melihat Oma Aruna di apartemen itu. Oma Aruna melihat kening Sabrina memakai kompres seperti bayi, lalu dia mendekat ke Sabrina yang terlihat terkejut. “Kamu sakit? Sudah periksa?” tanya Oma Aruna sambil memperhatikan Sabrina. “Ini sudah lebih baik, Bibi.” Sabri
Sabrina sangat terkejut, apa benar Oma Aruna sebaik ini? Sungguh dia tak pernah menyangka kalau akan bertemu orang tua yang memiliki pemikiran terbuka selain ayahnya."Kenapa kamu diam? Apa Vano nggak mau ngajak kamu ke rumah? Makanya kamu takut?" tanya Oma Aruna karena Sabrina syok.Sabrina menggeleng menjawab pertanyaan Oma Aruna. Saat akan menjawab, Oma Aruna sudah kembali bicara."Iya begitu, Vano? Kamu nggak mau ngajak dia ke rumah? Kamu mau main-main saja?" tanya Oma Aruna blak-blakan.Vano terkejut dan langsung menggeleng."Apaan sih, Mami. Kebiasaan asal tuduh. Bukan tidak mau ajak, Mami juga baru tahu kalau kami pacaran, kan? Masa iya, tiba-tiba aku ajak dia ke rumah, ntar Mami ngira aku aneh-aneh," balas Vano sungguh menghadapi sang mami butuh kesabaran ekstra.Oma Runa menyipitkan mata, tapi akhirnya percaya.Sabrina sejak tadi hanya mengulum senyum melihat Vano dan Oma Aruna bicara. Saat seperti ini, Vano terlihat seperti anak kecil.Akhirnya Oma Aruna tidak membahas hal s
“Nanti malam Mami mengundangmu datang ke rumah,” ucap Vano saat makan siang bersama dengan Sabrina di luar.Kondisi Sabrina sudah membaik setelah sakit dua hari, bahkan sekarang Sabrina sudah mulai bekerja lagi.“Kenapa tiba-tiba mau mengajak makan malam?” tanya Sabrina merasa gugup, padahal Oma Aruna juga baik dan perhatian kepadanya.Sabrina hanya merasa sungkan karena semua terasa mendadak.Vano melihat Sabrina yang terlihat panik, hingga dia mengulum senyum karena ekspresi wajah Sabrina sangat menggemaskan.“Bukan tiba-tiba, sebenarnya sejak kemarin-kemarin Mami minta agar aku mengajakmu ke rumah. Tapi karena kamu masih kerja siangnya, jadi aku memutuskan baru malam ini saja mengajakmu, apalagi besok hari sabtu,” ujar Vano menjelaskan.Sabrina diam, dia hanya akan merasa canggung dan bingung harus bagaimana nantinya saat berhadapan dengan orang tua Vano.“Ini hanya makan malam biasa, Sab.
“Bilang apa ke Kak Sabrina?” tanya Claudia setelah selesai makan bersama dengan Sabrina dan Vano.“Terima kasih Kak Sabrina dan Om Vano. Kyle suka,” ucap Kyle terlihat senang.Vano mengusap rambut Kyle dengan lembut sambil tersenyum.“Kami pergi dulu,” kata Claudia.“Iya,” balas Vano.“Hati-hati di jalan, Kyle.” Sabrina melambai ke Kyle.Kyle mengangguk sambil menggandeng tangan Claudia, mereka lantas pergi dari sana.Sabrina menatap Vano yang memiliki aura beda. Tidak seperti sebelumnya yang penuh kebencian saat memandang ke Claudia.“Sudah lega?” tanya Sabrina sambil menatap Vano.Vano menoleh Sabrina, lalu menganggukkan kepala.“Ya,” jawab Vano sambil mengangguk-anggukan kepala.“Ayo pergi!” ajak Sabrina sambil mengulurkan tangan.Vano tersenyum lalu menggapai tangan Sabrina, mereka meninggalkan tempat
Sabrina malah gelagapan mendengar ucapan Oma Aruna.“Mi.” Vano melihat Sabrina yang gugup, membuatnya memperingatkan sang mami lagi karena takut Sabrina tersinggung.“Mami jangan buru-buru, lagian sepertinya Sabrina dan Vano masih ingin menjalani semuanya secara alami. Iyakan?” tanya Emily agar Sabrina lebih nyaman.Sabrina memandang ke Emily, lalu membalas dengan senyuman.“Bukan buru-buru, hanya berharap.” Oma Aruna membalas ucapan Emily lalu menoleh ke Sabrina.“Kamu tidak marah mendengar ucapan bibi, kan?” tanya Oma Aruna karena sejak tadi Sabrina diam.Sabrina terkejut dan malah tidak enak hati karena pertanyaan Oma Aruna.“Tentu saja tidak, Bibi. Untuk apa marah? Lagi pula, namanya orang berharap itu boleh. Aku juga sering berharap akan sesuatu,” balas Sabrina untuk menyenangkan hati Oma Aruna.Oma Aruna langsung senang mendengar balasan Sabrina.Mereka mengobrol lagi membahas hal lain. Namun, Sabrina tiba-tiba ban