Vano sedang mengecek berkas, tapi dia terlihat gelisah dan sama sekali tidak fokus karena kejadian tadi. Dia kesal sampai menutup berkas kasar, lalu menoleh ke dinding kaca untuk melihat Sabrina sekilas yang terlihat sangat senang.Vano tidak tahu, kenapa dia terus terbayang-bayang saat Sabrina memeluk Raditya, dia terus berpikir meski mencoba untuk membuang bayangan itu.“Kenapa aku harus kesal, bukankah dia mau dengan siapa itu hak dia!” gerutu Vano.Vano kembali melirik ke Sabrina, tapi kali ini saat melihat Sabrina tersenyum saat bekerja, kenapa membuat kepalanya semakin panas.“Apa selama ini Sabrina menjadi simpanan pria itu?”Pikiran buruk akhirnya bersarang di kepalanya. Apalagi jika mengingat masa lalu, Sabrina berasal dari keluarga biasa yang mau dijual pamannya lalu kabur, kemudian sekarang Sabrina tiba-tiba datang sebagai sarjana lulusan terbaik di universitas ternama, membuat Vano bertanya-tanya ji
Vano semakin gelisah tapi bingung karena apa dan harus bagaimana. Dia keluar dari kamar karena merasa sesak berada di ruangan itu, saat baru saja akan menuruni anak tangga, Vano berpapasan dengan sang papi.“Ternyata kamu sudah pulang,” ucap Opa Ansel saat bertemu Vano.“Ya,” jawab Vano.Opa Ansel hanya mengangguk lalu kembali berjalan menuju lantai atas, tapi langkahnya terhenti saat mendengar ucapan Vano.“Pi, aku mau tanya sesuatu. Apa Papi ada waktu?” tanya Vano memberanikan diri karena kegelisahan di hatinya benar-benar tak bisa terbendung lagi.Opa Ansel agak aneh dengan ucapan Vano, tak biasanya putranya itu membahas sesuatu dengannya selain pekerjaan, itupun biasanya dibahas di kantor.“Tentu,” balas Opa Ansel yang tentunya tak keberatan sama sekali.Vano akhirnya pergi ke lantai dua bersama ayahnya, mereka kini berada di balkon.“Mau membahas apa? Papi agak terkejut
Vano masih diam mencerna semua ucapan sang papi, hingga papinya tiba-tiba menepuk pundaknya.“Tidak ada salahnya mencari tahu, setidaknya itu bisa meringankan beban pikiran dan tidak membuat salah paham atau rasa penasaran,” ucap Opa Ansel.Vano memandang ke sang papi, lalu menganggukkan kepala.“Terima kasih, Pi. Aku akan sampaikan masalah ini ke temenku, terima kasih sarannya,” ucap Vano.Vano pamit pergi ke kamarnya, sedangkan Opa Ansel masih mengamati. Dia merasa jika yang diceritakan oleh Vano bukanlah temannya tapi diri sendiri.“Semoga dia nggak salah langkah,” gumam Opa Ansel.Opa Ansel masih berpikir positif karena cerita Vano masih berdasarkan penilaian pribadi bukan fakta yang terjadi.Vano berada di kamar. Dia gelisah dan bingung meski sudah diberi solusi. Dia masih tak percaya kalau dirinya menyukai Sabrina, hanya berpikir jika itu rasa simpati saja.Vano menghubungi resepsionis
Sabrina mencoba mencerna apa yang dimaksud Vano, hingga akhirnya dia paham dan mengerti kenapa pria itu berkata demikian. Sabrina hendak jujur dan menjelaskan, tapi Vano kembali bicara dengan cepat.“Kalau kamu tidak mau meninggalkannya begitu saja karena takut kehilangan pemasukan, kalau begitu tinggalkan dia agar bisa bersamaku. Balas budi dengan menjadi kekasihku dan lepaskan pria itu. Jika kamu butuh uang, aku akan memberinya. Aku yang akan mencukupi semua kebutuhanmu, aku tidak rela kamu dimanfaatkan pria tua itu!”Vano bicara dengan sangat cepat agar Sabrina tidak menyela apa yang hendak dikatakannya.Sabrina awalnya terkejut Vano bicara sangat cepat sampai tak bisa di sela, tapi kemudian tertawa karena Vano benar-benar salah paham kepadanya.Vano mengerutkan alis melihat Sabrina malah tertawa. Dia berpikir kalau Sabrina pasti tidak menganggap serius ucapannya, bahkan mungkin Sabrina menganggap dirinya tak lebih kaya dari Raditya.
Vano akhirnya ikut masuk karena Sabrina sudah berjanji akan menceritakan semuanya. Di dalam sana Raditya memandang Vano yang terlihat canggung lalu melirik Sabrina.“Duduklah dulu, aku akan membuatkan minum buat kalian,” ucap Sabrina lalu berjalan ke dapur.Vano benar-benar kikuk, lalu ikut duduk saat melihat Raditya duduk lebih dulu.Raditya menatap Vano karena sekarang sudah tahu siapa Vano. Selain Vano adalah anak rekan kerjanya, Vano juga pria yang sudah menyelamatkan putrinya tujuh tahun lalu. Sabrina sudah menceritakan semuanya termasuk alasan dia di sana menjadi staffnya Vano.Sabrina datang membawa kopi dan camilan, lalu duduk di samping ayahnya setelah menyajikan.“Jadi, apa ada masalah sampai kalian berada di posisi seperti tadi?” tanya Raditya sangat penasaran.Vano sedang minum kopi buatan Sabrina, dia langsung tersedak hingga terbatuk karena mendengar pertanyaan Raditya. Belum juga hilang rasa malu karena
Vano sangat lega, ternyata usahanya menyelamatkan Sabrina tidak sia-sia. Mengetahui Sabrina sekarang bisa hidup baik dan bertemu ayah kandungnya, membuat beban Vano seperti sedikit berkurang.Dengan begini, Vano akhirnya tahu bagaimana latar belakang keluarga ayah Sabrina dan memastikan jka Sabrina akan bisa terus hidup dengan baik.“Jadi kamu menyempatkan datang di sini karena takut Sabrina jadi simpanan pria kaya, ya?” tanya Raditya lalu membahas kejadian tadi.Vano kembali malu sampai mengusap tengkuk.“Tapi ya wajar, lagian kamu atasannya. Pasti kamu atasan yang baik, sampai benar-benar memperhatikan anak buahmu meski di luar pekerjaan,” ucap Raditya mengandung suatu arti.Vano hanya mengangguk-ang
Keesokan harinya. Vano siap pergi ke perusahaan dengan wajah semringah. Selain rasa penasarannya kini sudah hilang, dia juga tak salah paham dan malah kembali memiliki pelabuhan untuk cintanya yang pernah kandas.“Pagi, Mi.” Vano langsung menyapa sang mami yang baru saja akan duduk.Oma Aruna terkejut mendengar sapaan Vano. Dia menatap putranya yang terlihat sangat bahagia tak seperti biasanya.Opa Ansel yang juga baru datang di ruang makan, merasa heran dengan sikap Vano yang benar-benar berbeda.“Apa ada kabar baik?” tanya Oma Aruna lalu mengambilkan sarapan untuk putranya itu.Vano menatap Oma Aruna, lalu menjawab, “ Biasa saja.”Opa Ansel masih memperhatikan Vano yang sudah mulai makan, lalu teringat pembahasan mereka semalam.“Bagaimana kabar temanmu?” tanya Opa Ansel sambil memperhatikan ekspresi wajah Vano.Oma Aruna bingung dengan apa yang dimaksud oleh suaminya.&l
[Mau makan siang bersama?]Sabrina membaca pesan dari Vano. Dia lantas melirik ke ruangan Vano dan melihat pria itu memberi isyarat agar membalas pesan yang dikirimkan.[Tentu.]Sabrina menjawab dengan singkat. Lalu menoleh ke Vano lagi dan melihat pria itu sedang mengetik pesan setelah membaca balasan darinya.[Nanti kutunggu di basement.]Sabrina mengerutkan alis membaca balasan Vano. Kenapa ke basement jika ingin makan siang, sedangkan biasanya makan di kantin.[Kenapa ke basement?]Sabrina menunggu balasan dari Vano, hingga pesan balasan kembali masuk.[Karena aku ingin mengajakmu makan siang di luar.]Sabrina langsung menahan senyum kemudian kembali membalas akan ke basement saat jam makan siang nanti.Jam makan siang pun tiba. Sabrina merapikan meja lebih dulu sebelum pergi menyusul Vano karena tadi dia sudah melihat pria itu pergi lebih dulu.“Ayo makan, Sab!” ajak teman Sabrina.&