Vano kembali ke perusahaan setelah mengantar Athalia pulang. Saat dia baru saja menginjakkan kaki di lobi, Vano menghentikan langkah ketika melihat siapa yang baru saja keluar dari lift. “Om Vano.” Suara anak kecil memanggil Vano, membuat pria itu tak bisa menghindar atau berpura tak melihat. Vano terpaksa bersikap biasa saat melihat Claudia bersama putranya menghampiri Vano. “Kamu dari mengantar Athalia pulang?” tanya Claudia saat menghampiri Vano untuk sekadar menyapa. “Ya,” jawab Vano singkat. Tampaknya Vano takkan pernah bisa memperbaiki hubungannya dengan Claudia meski sebagai teman. “Om Vano, aku baru beli mobil baru lho,” kata anak Claudia yang berumur tiga tahun. Vano sedikit membungkuk lalu mengusap kepala bocah laki-laki itu. “Iya, bagus.” Vano tersenyum ke anak Claudia tapi tidak dengan ibunya. “Om Vano kembali kerja dulu,” ucap Vano lalu berdiri dengan tegap lagi. Vano menatap sekilas ke Claudia tanpa ekspresi, lalu memilih meninggalkan Claudia. Claudia memilih be
“Baru pulang? Kemarilah!” perintah Oma Aruna saat melihat Vano datang. Vano berjalan agak malas ke arah sang mami duduk, lalu memandang sang mami yang memintanya duduk. “Ada apa, Mi? Aku baru pulang mau mandi dan istirahat dulu,” kata Vano karena pusing mengurus banyak laporan hari ini. “Bentar saja, mami hanya mau tanya,” balas Oma Aruna. “Tanya apa?” Vano terlihat malas karena lelah. “Mami punya temen, temannya punya anak gadis cantik dan pandai main celo. Kamu mau nggak kenalan sama dia?” tanya Oma Aruna. Sejak kuliah, Oma Aruna tak pernah melihat sekalipun putranya berpacaran, hal itu membuat Oma Aruna cemas apalagi di usia Vano yang menginjak usia 28 tahun, masih tak ada tanda-tanda putranya itu punya kekasih. “Tunggu! Maksud Mami apa? Mami mau jodohin aku? Mi, nggak zamannya!” Vano langsung bisa menebak lalu menolak. Oma Aruna terkejut mendengar tebakan dan penolakan Vano, lalu menjelaskan, “Mami hanya ingin kamu tuh kenal sama gadis. Mami nggak pernah tuh lihat kamu deke
Sabrina terkejut mendengar pertanyaan satpam, tapi kemudian berpikir jika mungkin ini jalan agar dirinya bisa bertemu dan membalas budi kebaikan Vano.“Iya, Pak. Saya memang mau daftar jadi cleaning service, tapi memang sejak tadi bingung saja harus lewat mana,” ujar Sabrina agar dirinya tak diusir.“Oh, tanya dong dari tadi. Jadi bisa aku bantu arahin,” balas satpam.Sabrina melebarkan senyum meski agak canggung.“Masuk saja, nanti lewat sisi kanan gedung. Di sana ada pintu untuk cleaning service, nah masuk saja cari yang namanya Bu Monik, bilang mau daftar kerja cleaning service,” ucap satpam memberi instruksi.Sabrina mengangguk-angguk mendengar ucapan satpam.“Sudah bawa syarat-syaratnya, kan?” tanya satpam lagi.“Sudah, Pak.” Sabrina berbohong hanya agar diperbolehkan masuk.“Ya sudah, sana buruan sebelum keduluan orang,” ucap satpam lagi.Sabrina berterima kasih karena satpam itu baik. Dia segera berjalan ke arah satpam tadi mengarahkan. Dia berjalan sambil memandang ke lobi, be
Sabrina benar-benar sangat senang. Dia masih berdiri sambil memperhatikan Vano yang sedang bicara dengan salah satu staff di divisi itu, sampai tidak sadar kalau Bu Monik sudah masuk ke pantry.“Sabrina, kenapa kamu malah diam di sana?” tanya Bu Monik menatap heran ke Sabrina.“Oh ya, Bu.” Sabrina tersadar dari lamunan, lalu masuk mengikuti Bu Monik.Di sana Sabrina bertemu dengan dua petugas lainnya.“Ini Rahmat dan Haikal. Kalian harus kerja bareng dan jangan ada namanya senior junior, semua sama. Paham!” Bu Monik menegaskan agar Sabrina tidak dikerjai Rahmat dan Haikal yang sudah lebih dulu bekerja di sana.Dua pria berumur 25 tahunan itu langsung buru-buru memperkenalkan diri ke Sabrina karena senang mendapat teman kerja perempuan.“Rahmat.”“Haikal.“Aku Sabrina, salam kenal.” Sabrina membalas jabat tangan kedua rekan kerjanya itu.“Bagus kalau kalian bisa akur. Ingat, tugas wajib dilaksanakan bersama, jangan mengerjai yang perempuan untuk kerja terlalu berat juga,” ucap Bu Monik
“Kenapa kamu masih di sini?” tanya Vano menatap Sabrina yang masih berdiri termangu di depan mejanya.Sabrina terlihat bingung mendengar pertanyaan Vano, sepertinya pria itu memang tak mengenalinya dan sudah lupa.“Tidak ada, Pak.” Sabrina tetap sopan meski kebingungan. “Saya permisi,” ucap Sabrina lalu berjalan menuju pintu.“Tunggu!” Vano memanggil hingga membuat langkah Sabrina terhenti.Sabrina membalikkan badan, melihat Vano yang menatapnya hingga berpikir jika pria itu mungkin baru menyadari siapa dirinya.Vano terlihat ingin bicara tapi agak ragu, hingga kemudian berkata, “Kamu office girl baru?”Sabrina harus menelan kekecewaan karena ternyata Vano memang tak mengenalinya.“Iya, Pak. Jika Anda butuh sesuatu, panggil saya saja,” balas Sabrina meski begitu kecewa.Vano mengangguk lalu bertanya, “Siapa namamu?”“Sabrina.”Vano hanya mengangguk lalu mengambil cangkir kopi yang dibawa Sabrina.Sabrina terlihat begitu kecewa hingga tersenyum getir, tampaknya yang mengingat kebaikan
Sabrina sangat syok melihat Athalia jatuh. Dia sangat panik lalu memilih meletakkan nampan berisi cangkir di meja samping pantry, lantas berlari menghampiri Athalia. “Papa, Mama, sakit!” teriak Athalia menangis masih dengan posisi terlentang, kepala Athalia sepertinya membentur lantai. Haikal dan Rahmat terkejut mendengar suara Athalia menangis, mereka mendekat untuk menolong, tapi Sabrina lebih dulu sampai di tempat Athalia. Sabrina langsung membantu Athalia bangun, lalu mengusap belakang kepala gadis kecil itu. Athalia menangis sangat kencang karena sangat kesakitan, sedangkan Sabrina panik karena takut terkena marah. “Mana yang sakit, kakak bantu usap, ya.” Sabrina mencoba menenangkan, tapi Athalia malah semakin menangis menjadi-jadi. Vano keluar dari ruangan karena mendengar suara Athalia, hingga melihat keponakannya itu sedang dipeluk Sabrina. “Ada apa ini?” tanya Vano dengan suara keras karena Athalia menangis sampai seperti itu. Rahmat dan Haikal diam menunduk kare
Vano terkejut mendengar Sabrina menyebut kalau Athalia adalah anaknya, tapi dia juga memaklumi karena Sabrina baru saja bekerja di sana dan tidak tahu siapa Athalia. Juga dia tak berniat untuk menjelaskan.“Maaf, saya benar-benar minta maaf karena sudah sangat ceroboh,” ucap Sabrina lagi karena Vano tidak merespon ucapan maafnya.“Tidak masalah, lagi pula Thalia sudah biasa jatuh seperti itu. Dia juga sudah tenang dan tidak ada yang fatal, jadi tak perlu cemas,” balas Vano karena tidak tega melihat Sabrina yang terus minta maaf.Sabrina memberanikan diri menatap Vano. Pria itu ternyata masih baik seperti tujuh tahun lalu.“Di mana kopiku?” tanya Vano karena itu yang tadi ingin ditanyakan.“Ada di ruangan Anda,” jawab Sabrina.Vano mengangguk lalu berjalan melewati Sabrina. Dia membuka pintu, hingga gerakan tangannya terhenti karena ucapan Sabrina.“Anda tidak akan memecat saya, kan?” tanya Sabrina memastikan.Vano menoleh Sabrina, lalu menjawab, “Tidak, tapi lain kali lebih hati-hati
Sabrina berada di kamar hotel tempatnya menginap. Dia baru saja selesai mandi, lantas mengecek ponsel.“Kalau aku lama di sini, tidak mungkin kalau terus tinggal di hotel,” gumam Sabrina berpikir.Sabrina membuka salah satu aplikasi di ponsel, lalu melihat rumah kontrakan atau kos yang bisa ditinggalinya. Hingga dia menemukan salah satu rumah yang dikontrakkan, tapi saat melihat alamatnya, ekspresi wajah Sabrina berubah benci.Bagaimana tidak? Alamat rumah itu ada di dekat area rumah pamannya dulu. Pria yang hampir menjualnya ke pria hidung belang.“Lupakan sewa rumah.”Sabrina tiba-tiba berpikir untuk menyewa apartemen yang dekat dengan perusahaan saja.Saat Sabrina masih mencari apartemen, ponselnya berdering dengan nama terpampang di layar.“Kamu ke mana? Kenapa pergi tidak pamit?”Suara seorang pria terdengar dari seberang panggilan.“Aku ada perlu di luar kota, Pa. Janji kalau sudah selesai akan segera pulang,” jawab Sabrina.“Ke luar kota mana? Papa nggak mau kamu melakukan hal