Sabrina benar-benar sangat senang. Dia masih berdiri sambil memperhatikan Vano yang sedang bicara dengan salah satu staff di divisi itu, sampai tidak sadar kalau Bu Monik sudah masuk ke pantry.“Sabrina, kenapa kamu malah diam di sana?” tanya Bu Monik menatap heran ke Sabrina.“Oh ya, Bu.” Sabrina tersadar dari lamunan, lalu masuk mengikuti Bu Monik.Di sana Sabrina bertemu dengan dua petugas lainnya.“Ini Rahmat dan Haikal. Kalian harus kerja bareng dan jangan ada namanya senior junior, semua sama. Paham!” Bu Monik menegaskan agar Sabrina tidak dikerjai Rahmat dan Haikal yang sudah lebih dulu bekerja di sana.Dua pria berumur 25 tahunan itu langsung buru-buru memperkenalkan diri ke Sabrina karena senang mendapat teman kerja perempuan.“Rahmat.”“Haikal.“Aku Sabrina, salam kenal.” Sabrina membalas jabat tangan kedua rekan kerjanya itu.“Bagus kalau kalian bisa akur. Ingat, tugas wajib dilaksanakan bersama, jangan mengerjai yang perempuan untuk kerja terlalu berat juga,” ucap Bu Monik
“Kenapa kamu masih di sini?” tanya Vano menatap Sabrina yang masih berdiri termangu di depan mejanya.Sabrina terlihat bingung mendengar pertanyaan Vano, sepertinya pria itu memang tak mengenalinya dan sudah lupa.“Tidak ada, Pak.” Sabrina tetap sopan meski kebingungan. “Saya permisi,” ucap Sabrina lalu berjalan menuju pintu.“Tunggu!” Vano memanggil hingga membuat langkah Sabrina terhenti.Sabrina membalikkan badan, melihat Vano yang menatapnya hingga berpikir jika pria itu mungkin baru menyadari siapa dirinya.Vano terlihat ingin bicara tapi agak ragu, hingga kemudian berkata, “Kamu office girl baru?”Sabrina harus menelan kekecewaan karena ternyata Vano memang tak mengenalinya.“Iya, Pak. Jika Anda butuh sesuatu, panggil saya saja,” balas Sabrina meski begitu kecewa.Vano mengangguk lalu bertanya, “Siapa namamu?”“Sabrina.”Vano hanya mengangguk lalu mengambil cangkir kopi yang dibawa Sabrina.Sabrina terlihat begitu kecewa hingga tersenyum getir, tampaknya yang mengingat kebaikan
Sabrina sangat syok melihat Athalia jatuh. Dia sangat panik lalu memilih meletakkan nampan berisi cangkir di meja samping pantry, lantas berlari menghampiri Athalia. “Papa, Mama, sakit!” teriak Athalia menangis masih dengan posisi terlentang, kepala Athalia sepertinya membentur lantai. Haikal dan Rahmat terkejut mendengar suara Athalia menangis, mereka mendekat untuk menolong, tapi Sabrina lebih dulu sampai di tempat Athalia. Sabrina langsung membantu Athalia bangun, lalu mengusap belakang kepala gadis kecil itu. Athalia menangis sangat kencang karena sangat kesakitan, sedangkan Sabrina panik karena takut terkena marah. “Mana yang sakit, kakak bantu usap, ya.” Sabrina mencoba menenangkan, tapi Athalia malah semakin menangis menjadi-jadi. Vano keluar dari ruangan karena mendengar suara Athalia, hingga melihat keponakannya itu sedang dipeluk Sabrina. “Ada apa ini?” tanya Vano dengan suara keras karena Athalia menangis sampai seperti itu. Rahmat dan Haikal diam menunduk kare
Vano terkejut mendengar Sabrina menyebut kalau Athalia adalah anaknya, tapi dia juga memaklumi karena Sabrina baru saja bekerja di sana dan tidak tahu siapa Athalia. Juga dia tak berniat untuk menjelaskan.“Maaf, saya benar-benar minta maaf karena sudah sangat ceroboh,” ucap Sabrina lagi karena Vano tidak merespon ucapan maafnya.“Tidak masalah, lagi pula Thalia sudah biasa jatuh seperti itu. Dia juga sudah tenang dan tidak ada yang fatal, jadi tak perlu cemas,” balas Vano karena tidak tega melihat Sabrina yang terus minta maaf.Sabrina memberanikan diri menatap Vano. Pria itu ternyata masih baik seperti tujuh tahun lalu.“Di mana kopiku?” tanya Vano karena itu yang tadi ingin ditanyakan.“Ada di ruangan Anda,” jawab Sabrina.Vano mengangguk lalu berjalan melewati Sabrina. Dia membuka pintu, hingga gerakan tangannya terhenti karena ucapan Sabrina.“Anda tidak akan memecat saya, kan?” tanya Sabrina memastikan.Vano menoleh Sabrina, lalu menjawab, “Tidak, tapi lain kali lebih hati-hati
Sabrina berada di kamar hotel tempatnya menginap. Dia baru saja selesai mandi, lantas mengecek ponsel.“Kalau aku lama di sini, tidak mungkin kalau terus tinggal di hotel,” gumam Sabrina berpikir.Sabrina membuka salah satu aplikasi di ponsel, lalu melihat rumah kontrakan atau kos yang bisa ditinggalinya. Hingga dia menemukan salah satu rumah yang dikontrakkan, tapi saat melihat alamatnya, ekspresi wajah Sabrina berubah benci.Bagaimana tidak? Alamat rumah itu ada di dekat area rumah pamannya dulu. Pria yang hampir menjualnya ke pria hidung belang.“Lupakan sewa rumah.”Sabrina tiba-tiba berpikir untuk menyewa apartemen yang dekat dengan perusahaan saja.Saat Sabrina masih mencari apartemen, ponselnya berdering dengan nama terpampang di layar.“Kamu ke mana? Kenapa pergi tidak pamit?”Suara seorang pria terdengar dari seberang panggilan.“Aku ada perlu di luar kota, Pa. Janji kalau sudah selesai akan segera pulang,” jawab Sabrina.“Ke luar kota mana? Papa nggak mau kamu melakukan hal
Sabrina malah gelagapan mendengar pertanyaan Vano, belum lagi pria itu menatapnya karena menunggu jawaban darinya. “Oh, itu karena saya terbiasa membantu Pa ... maksud saya, Bapak saya ngitung nota kalau baru saja kulakan barang di pasar. Jadi kalau lihat angka-angka, otak saya langsung bekerja,” jawab Sabrina sampai meralat nama panggilan untuk sang ayah karena panik. Sabrina tidak siap jujur jika dia lulusan sarjana dengan nilai IPK tertinggi di angkatannya, Vano pasti akan mempertanyakan kenapa dirinya malah bekerja sebagai cleaning service dan bukannya bekerja sebagai staff perusahaan. Vano mengangguk-angguk mendengar ucapan Sabrina, hingga kemudian kembali fokus ke berkas yang ada di meja. “Baiklah, kamu bisa pergi,” ucap Vano lagi. Sabrina hanya mengangguk mendengar ucapan Vano lalu pergi dari sana. Akan lebih mudah baginya jika jujur ke Vano soal siapa dirinya, tapi Sabrina sendiri tak yakin kalau Vano akan menganggap hal itu penting. Saat siang hari. Semua staff termasuk
Vano mengangkat wajah saat mendengar suara Sabrina. Dia melihat Sabrina berdiri di depan meja membawa nampan berisi makanan.Sabrina tiba-tiba merasa tegang, apalagi Vano menatapnya datar dan terkesan menakutkan.“Duduk saja,” ucap Vano singkat lalu kembali makan.“Terima kasih.” Sabrina mengembangkan senyum mendapat izin. Dia menoleh Haikal lalu meminta temannya itu duduk bersamanya di sana.Haikal malah takut kalau Sabrina terkena masalah sebab mengganggu Vano, tapi karena Sabrina memaksa, membuat Haikal mendekat. Semua staff yang ada di sana terheran-heran karena Sabrina diizinkan duduk satu meja dengan Vano, padahal biasanya tak ada yang berani mendekat.Sabrina duduk berhadapan dengan Vano, sekilas dia menatap Vano yang fokus makan tanpa memperhatikan sekitar.Haikal masih agak ragu, tapi melihat Sabrina mulai makan, membuat Haikal akhirnya mencoba tenang dan makan bersama.Vano mengunyah makanan dengan tatapan tertuju ke piring, lalu tiba-tiba dia memandang ke Sabrina.“Data yan
Emily gemas dengan Athalia yang bandel, hingga tatapannya tertuju ke Sabrina yang hanya diam. Dia melihat seragam cleaning service yang dipakai gadis itu.“Kamu cleaning service baru?” tanya Emily karena Sabrina hanya diam.Sabrina terkejut mendengar pertanyaan Emily, dia ingin menjawab tapi Athalia bicara lebih dulu.“Ini Kakak yang kemarin bikin aku jatuh, Mama. Sekarang bikin aku jatuh lagi!” Athalia melipat kedua tangan di depan dada, menatap ke Sabrina sambil menggelembungkan kedua pipi.Sabrina terkejut mendengar aduan Athalia, membuatnya menunduk karena takut terkena masalah.Emily sendiri menghela napas kasar, lalu mencubit pelan pipi putrinya itu.“Ini bukan salah kakaknya, tapi salahmu yang lari-larian. Thalia nggak boleh nuduh atau melimpahkan kesalahan ke orang lain kalau memang salah.”Bukannya dibela, Athalia malah mendapat nasihat dari sang mama, membuat gadis kecil itu semakin cemberut.Sabrina sendiri terkejut karena Emily malah memarahi Athalia bukan dirinya. Dia mer