Sudah ya gengs, ga pusing lagi kan, wkwkwkwk pagi sudah 3 bab, siang jangan nunggu lagi ya. sengaja aku up sekalian, biar kalian bisa makan dan rehat dengan tenang. Selamat berakhir pekan, jangan lupa istirahat.
Emily masih menangis sesenggukan sampai memejamkan mata. Alaric merasa sangat bersalah sudah membuat Emily sampai seperti ini. Alaric pun meraih tubuh Emily lantas memeluk untuk menenangkan. Emily langsung diam saat merasakan pelukan suaminya. Dia berpikir masih bermimpi, tapi hangat pelukan dan aroma tubuh suaminya itu bukan seperti mimpi. Dia sampai meraba punggung Alaric, benar-benar merasakan jika itu nyata. “Al.” Emily menyebut nama suaminya dengan bibir bergetar. “Aku di sini, maaf karena butuh waktu untuk benar-benar meyakinkan hatiku jika ini takdir,” ucap Alaric langsung menjelaskan karena tadi meninggalkan Emily. Emily langsung menangis lagi mendengar ucapan Alaric. Dia memeluk erat suaminya seperti enggan melepas. “Kamu pasti sangat menderita,” ucap Alaric sambil menenggelamkan wajah di ceruk leher Emily. Emily menangis sepuasnya untuk melepas sesak dan sedih karena berpikir jika suaminya akan benar-benar membenci dirinya. “Aku pikir kamu tidak akan memaafkanku,” uc
Hari berikutnya. Ansel dan Aruna mendengarkan cerita Alaric soal penyebab Emily masuk rumah sakit. Keduanya terkejut karena Alaric mau jujur ke mereka. “Maafkan aku Pi, Mi. Aku tidak bermaksud demikian, tapi karena terbawa emosi membuatku sedikit kasar,” ucap Alaric mencoba bertanggung jawab dengan apa yang dilakukannya. “Al ga salah, Pi, Mi. Akunya saja yang memang juga sedang dalam kondisi ga baik. Al sudah mengakui kesalahannya, tapi itu juga ada penjelasan kenapa Al seperti itu kemarin,” timpal Emily ikut membela suaminya. Aruna dan Ansel saling tatap mendengar penjelasan Alaric dan Emily. Mereka tak bisa langsung menyalahkan Alaric karena Emily membela pria itu. “Lalu, apa penyebab sampai kamu bersikap kasar ke Emi?” tanya Ansel. Alaric menjelaskan semuanya, termasuk ucapan provokasi Anya. Dia bukan mengadu atau mencari pembelaan untuk dirinya sendiri agar tak terkena amukan mertua, tapi itu semata-mata dilakukan agar dia bisa mengambil tindakan selanjutnya. Aruna dan Ansel
Alaric dan Ansel menunggu di luar karena Emily sedang membersihkan diri bersama Aruna.Kedua pria itu duduk sambil memikirkan masalah yang terjadi.“Menurut Papi, apakah ada orang luar yang tahu status Emily selain keluarga?” tanya Alaric ingin mulai menyelidiki.Informasi itu sangat sensitif tak mungkin sembarangan orang tahu jika Ansel saja berusaha menyembunyikannya.“Hanya kami, keluarga maminya, termasuk mami kandungnya, ayah kandungnya. Papi sebenarnya juga tidak tahu, kenapa ada hasil tes DNA itu, padahal kami tidak pernah melakukannya karena tak ingin meninggalkan jejak,” ujar Ansel menjelaskan.Alaric pun berpikir ketika mendengar ucapan Ansel. Jika memang tak pernah melakukan tes DNA, kenapa ada hasil tes DNA itu.“Mungkin ayah kandung Emi yang menyebar informasi itu?” tanya Alaric penasaran.Ansel mengerutkan dahi mendengar pertanyaan Alaric, hingga kemudian menjawab, “Papi rasa bukan.”“Ayah kandungnya pergi bukan karena tak ingin mengakui Emi, tapi dia merelakannya untuk
“Makan yang banyak agar kamu cepat sehat,” ucap Mia sambil memotong apel lantas memberikan ke Emily.Emily menatap sang mertua, sampai tak sadar jika mertuanya itu menyodorkan potongan apel ke arahnya.“Kenapa malah melamun?” tanya Mia keheranan.“Mau disuapi?” tanya Mia lagi kemudian menyodorkan potongan apel ke mulut Emily.Emily membuka mulut, bola matanya terlihat berkaca-kaca seperti ingin menangis.“Lho, kenapa malah pengen nangis?” tanya Mia buru-buru mengambil tisu untuk menyeka air mata Emily.Emily menggeleng pelan kemudian mengunyah potongan apel yang ada di mulut.Mia memandang Emily, sepertinya dia tahu kenapa Emily menatapnya seperti itu.“Masih memikirkan soal kejadian di masa lalu?” tanya Mia menebak.Emily tak berani menjawab, hanya sekuat tenaga menahan agar tak menangis.Mia menggenggam tangan Emily, mencoba meyakinkan jika semuanya aka
Emily berada di ruang inap bersama Claudia yang siang itu datang menjenguknya. Ada juga Vano yang terlihat memasang wajah masam karena ada Claudia meskipun di sana ada Mia dan Aruna juga.“Setelah pisah, hubungan kalian ga baik-baik aja, ya?” tanya Emily sambil melirik Vano yang duduk bersama sang mami.Claudia melirik ke Vano, kemudian membalas, “Ya, namanya pernah menjalin hubungan lalu kandas, di mana-mana susah baikannya. Nunggu dia move on.”Claudia bicara sambil mengupas jeruk.Emily menyedot es coklat yang dibawakan Claudia. Dia menatap sahabatnya itu, kemudian melirik Vano yang berwajah masam.“Kamu sendiri, apa sudah move on?” tanya Emily.Claudia langsung menatap Emily dengan wajah masam.“Tenang saja, aku akan segera move on begitu mendapat pria yang siap menikah denganku,” jawab Claudia kemudian memasukan jeruk ke mulut.“Berarti belum move on?” tanya Emily penasaran.“Jangan dibahas,” balas Claudia sambil me
Billy menoleh kanan dan kiri, dia terlihat bingung sampai melihat Alaric yang menatapnya.“Apa?” tanya Billy masih bingung dengan maksud Claudia.Alaric malah mengedikkan bahu, saat keduanya menoleh ke arah Claudia, mereka melihat wanita itu berjalan ke arahnya.“Akhirnya kamu datang,” ucap Claudia sambil memberikan isyarat mata ke Billy.Billy masih bingung dengan yang terjadi, terutama ucapan Claudia sebelum menunjuk dirinya.“Bantu aku, please.” Claudia bicara dengan suara sangat lirih sampai yang terlihat hanya gerakan bibir.Billy melihat Claudia panik, lantas memandang Vano yang berdiri menatap dirinya.“Sudah mau pergi?” tanya Billy yang sepertinya langsung paham maksud Claudia.“Iya, kita makan dulu sebelum aku balik ke perusahaan,” jawab Claudia kemudian menggandeng tangan Billy tanpa permisi.Alaric terkejut melihat yang dilakukan teman istrinya itu, apalagi Billy yang syok karena Claudia menggandengnya begitu saja.Vano terlihat sangat kesal. Dia mendekat ke Billy dan yang l
“Vano kuliah?” tanya Emily ke sang mama yang hari itu menjemputnya bersama Alaric. Emily sudah diperbolehkan pulang, tapi untuk sementara ini dia dan Alaric akan tinggal di rumah Aruna. “Entah, sejak semalam mami pulang ga lihat dia. Mungkin sibuk dengan tugas kuliahnya,” jawab Aruna sambil merapikan barang yang akan dibawa pulang. Emily mengangguk percaya saja, tapi sepertinya tidak dengan Alaric yang kemarin melihat kekecewaan dalam tatapan mata Vano. “Ini sudah semua, ayo pulang!” ajak Aruna lega karena akhirnya Emily bisa pulang dari rumah sakit. Mereka pun pulang ke rumah Aruna. Emily langsung masuk kamar karena harus banyak istirahat berdasarkan saran dokter kandungannya untuk menjaga kondisi janinnya agar tetap sehat. “Aku sudah bilang Papi agar kamu diberi cuti, minimal satu minggu untuk memastikan kondisimu baik-baik saja,” ujar Alaric sambil menarik selimut untuk menutupi kaki Emily. “Padahal aku sudah sehat dan masih bisa kerja,” balas Emily terlihat sedih karena dimi
Mia berada di mobil yang terparkir di pinggir jalan. Dia membaca pesan yang diterimanya, kemudian menoleh ke bahu jalan yang tampak beberapa toko berjajar di sana. “Benar di sini, kan?” Mia memperhatikan area pertokoan juga kafe di sisi jalan. Dia masih menunggu di sana cukup lama, hingga melihat apa yang diincarnya. Mia pun merapikan pakaian, kemudian turun dari mobil dengan sikap biasa saja. Mia berjalan menuju ke kafe, lantas masuk dan berjalan menuju kasir. Ada satu pelanggan di depannya yang sedang memesan minuman, tentu saja Mia di sana karena tujuan itu. “Terima kasih.” Mia mendengar wanita di depannya berterima kasih, hingga saat wanita itu membalikkan badan, dia dan wanita itu saling tatap. “Bibi.” Anya terkejut melihat Mia di sana. “Kamu ....” Mia terlihat seperti mengingat, padahal sebenarnya sudah tahu siapa wanita yang dilihatnya. “Anya, Bibi.” Anya bicara lembut sambil tersenyum ke Mia. “Oh Tuhan. Iya.” Mia mengangguk-angguk seperti baru ingat. “Bibi dengan siap
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan
Hari berikutnya, Vano masih menemani Sabrina di apartemen. Pagi itu bersama Sabrina di sofa untuk mengganti perban gadis itu.“Tahan bentar,” ucap Vano saat membersihkan luka Sabrina sebelum diperban lagi.Sabrina melirik ke lengannya. Dia agak meringis karena terasa sedikit perih.Vano membungkus luka itu lagi dengan perlahan setelah selesai dibersihkan.Sabrina menatap Vano yang serius mengganti perban, hingga dia bertanya, “Apa kamu yakin kalau keputusanmu ingin menikah tidak terburu-buru?”Sabrina merasa Vano mengatakan itu hanya spontan saja.Vano melirik Sabrina, lalu menjawab, “Kamu juga setuju, kan? Lalu kenapa sekarang tanya?”“Ya, aku hanya syok saja. Tidak menyangka kamu akan semudah itu bilang mau menikahiku,” balas Sabrina.“Aku serius mengatakan itu,” ucap Vano sambil merapikan perban yang baru saja selesai dipasang.Vano kini menatap Sabrina, memb
Sabrina mengajak Raditya duduk agar bisa mengobrol dengan nyaman. Vano juga ikut bersama keduanya tapi hanya menjadi pendengar saja.“Bagaimana kejadiannya sampai kamu diserang seperti itu?” tanya Raditya penasaran.Sabrina menceritakan dari awal dan akhir apa yang terjadi sampai membuatnya terluka.“Aku hanya masih nggak nyangka kalau dia masih dendam karena dulu aku kabur, Pa. Dia bilang dihajar habis-habisan dan ganti rugi, makanya begitu melihatku dia mau membawaku,” ujar Sabrina menjelaskan.“Dia sudah salah karena menjualmu, lalu dengan enaknya bilang dendam. Dia benar-benar harus diberi pelajaran!” geram Raditya karena pria itu sangat jahat.“Tapi Papa tidak usah terlalu cemas, sekarang pelakunya juga sudah ditangkap,” kata Sabrina menenangkan sang papa.Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara bel yang membuat mereka menoleh ke pintu.“Biar aku lihat siapa yang datang,” kata Vano.Vano berdiri menuju pintu, lalu mel
Sabrina terbangun karena lapar. Dia melihat Vano yang baru saja masuk kamar. “Kamu sudah bangun.” Vano langsung mendekat ke ranjang. Sabrina hendak bangun tapi kesusahan karena lengannya sakit. Vano dengan sigap membantu, lalu memastikan Sabrina duduk dengan nyaman. “Aku lapar,” ucap Sabrina karena siang tadi belum makan dan sudah ada tragedi yang membuatnya terluka. “Untung saja aku pesan makanan. Baru saja sampai dan kamu bangun. Biar aku ambilkan ke sini,” kata Vano hendak berdiri. “Aku makan di luar saja, tidak nyaman makan di sini,” kata Sabrina bersiap turun dari ranjang. Vano langsung membantu Sabrina turun dari ranjang karena lengan Sabrina yang terluka tidak bisa dibuat banyak gerak. Vano benar-benar perhatian ke Sabrina. Dia berjalan sambil memperhatikan Sabrina agar tak jatuh, padahal Sabrina bisa berjalan dengan baik karena lengannya saja yang sakit bukan seluruh tubuh. Sabrina sudah duduk di kursi meja makan. Vano membuka pembungkus makanan, lalu mengambil