Ansel dan Aruna pulang lebih dulu setelah memastikan jika Emily baik-baik saja. Ansel masuk kamar lalu membuka salah satu lemari di kamar ganti dan mengeluarkan kotak kecil dari sana.Aruna memandang yang dilakukan suaminya, hingga melihat kotak yang dikeluarkan Ansel.“Kamu akan memberikannya ke Emi?” tanya Aruna.Ansel menoleh ke Aruna, lalu menganggukkan kepala.“Ini miliknya, sudah seharusnya aku berikan,” ucap Ansel meski dengan suara agak berat.Aruna mendekat ke suaminya, lalu memeluk Ansel erat.“Keputusanmu menceritakan yang sebenarnya tanpa terkecuali sudah benar, Emi berhak mengetahuinya,” ucap Aruna sambil mengusap punggung Ansel secara konstan.Ansel hanya diam saat istrinya memeluk karena pikirannya tertuju ke Emily.“Aku yakin, Emi akan membuat keputusan yang tepat. Jangan sesali apa pun. 27 tahun kebersamaan bersamanya, lebih dari cukup untuk menunjukkan betapa sayangmu kepadanya serta alasan kenapa kamu menyembunyikan status Emily yang sebenarnya,” ujar Aruna lagi kar
Hari berikutnya. Ansel dan Aruna berniat pergi ke rumah Bobby untuk menemui Emily lagi. Namun, saat keduanya baru saja ingin keluar, pembantu menghampiri dan berkata jika ada tamu.“Tamu? Siapa?” tanya Aruna bingung.Ansel dan Aruna saling tatap, hingga akhirnya pergi melihat siapa yang datang.Saat baru saja keluar ke ruang tamu, Ansel terkejut karena Simon yang datang ke rumahnya.“Kamu mengenalnya?” tanya Aruna karena Ansel hanya diam.“Dia anak angkat Emilio,” jawab Ansel.Aruna terkejut hingga menatap Simon yang sedikit membungkuk memberi hormat kepadanya, membuat Aruna akhirnya membalas dengan menganggukkan kepala.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Ansel sedikit tak senang.“Aku akan terus memohon agar Anda mau mengizinkan Emily pergi menjenguk Papa. Kami tidak minta banyak hal, hanya kehadiran Emily saja,” ucap Simon to the point karena Ansel juga melakukan hal sama.Ansel mendengkus kasar mendengar ucapan Simon, sedangkan Aruna merasa kasihan karena bagaimanapun Simon hany
Setelah mendapat surat izin dokter untuk bisa pergi, akhirnya hari itu Emily dan Alaric akan terbang ke Milan bersama Simon.“Langsung kabari kalau sudah sampai sana, jika ada apa-apa juga segera beritahu mami,” ucap Aruna cemas karena Emily pergi dengan usia kehamilan yang sudah tua.“Iya, Mami jangan cemas. Aku pasti akan terus kasih kabar ke Mami,” balas Emily agar Aruna merasa tenang.Setelah berpamitan dengan semua orang, akhirnya Emily pergi bersama Alaric dan Simon.Alaric berjalan sambil menggandeng Emily, memastikan istrinya tidak tersenggol atau tergelincir sesuatu. Setelah beberapa saat menunggu di ruang tunggu, akhirnya mereka masuk ke pesawat. Emily dan Alaric duduk bersisian di kelas bisnis, sedangkan Simon ada di belakang kursi Emily.Simon sangat berterima kasih karena Emily mau memikirkan ayahnya. Dia jauh-jauh datang hanya untuk mencari Emily hingga usahanya membuahkan hasil.Emily menatap ke luar je
Emily melihat wanita paruh baya menuruni anak tangga perlahan, hingga wanita itu berhenti melangkah saat melihat Emily dan Alaric di sana.“Simon.” Wanita itu memandang ke Simon seolah meminta penjelasan.Simon berjalan menuju tangga, kemudian membantu wanita itu turun hingga sampai lantai dasar untuk mempertemukannya dengan Emily.“Siapa mereka?” tanya wanita bernama Grace.“Cobak tebak, siapa mereka,” balas Simon.Grace tiba-tiba menghentikan langkah saat menatap Emily lalu kembali memandang ke Simon lagi. Grace bingung karena ada dua orang asing di rumahnya yang datang bersama sang putra, sedangkan sebelumnya Simon pamit ke luar negeri untuk urusan bisnis.Simon memandang Emily dan memberi isyarat agar mendekat.Emily menoleh Alaric yang mengangguk. Dia dan Alaric berjalan mendekat ke arah Grace dan Simon, sampai akhirnya mereka sampai di hadapan Grace.Grace menatap lekat karena merasa tak asing, hingga bola matanya berkaca-kaca.“Dia Emily. Papa ingin sekali bertemu dengannya, ka
“Kamu baik-baik saja?” tanya Alaric karena Emily hanya diam sejak tadi.Emily menoleh ke Alaric saat mendengar pertanyaan suaminya lalu menggeleng kepala.“Aku hanya lelah,” jawab Emily sambil tersenyum.Alaric mendekat lalu meminta Emily untuk berbaring. Tak lupa dia meletakkan bantal di belakang pinggang dan depan perut Emily agar saat berbaring miring merasa nyaman.“Kamu pasti bingung karena pertemuanmu dengan istri ayahmu,” ucap Alaric menebak karena sepertinya sang istri tidak akan cerita.Alaric bisa melihat dengan jelas tatapan Emily seperti orang kebingungan, karena itu dia mencoba memahami posisi Emily.Emily terkejut mendengar ucapan Alaric, lalu menganggukkan kepala.“Tidak apa, lagi pula wajar jika memang kamu bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Apa yang kamu lakukan tadi sudah baik, jadi sekarang jangan terlalu dipikirkan. Istirahatlah, baby kita juga pasti capek karena menempuh perjalanan panjang,” ucap Alaric sambil mengusap lembut rambut Emily.Emily mencoba terse
Emily duduk diam menunggu Emilio sadar. Dia malah takut kalau terjadi sesuatu dengan Emilio karena kedatangannya. “Minumlah, Simon yang membelikan ini,” kata Alaric memberikan jus buah ke Emily. Emily mengangguk lalu menerima jus buah dari Alaric. Dia meminumnya sedikit, lalu kembali memberikannya ke Alaric. “Dia akan baik-baik saja, kan?” tanya Emily karena tiba-tiba saja cemas. Alaric menatap ke monitor yang memantau detak jantung Emilio, lalu kembali menatap Emily yang cemas. “Seharusnya baik-baik saja,” jawab Alaric. Emily tersenyum tipis lalu kembali memandang ke Emilio. Semua orang masih ada di sana menunggu sampai Emilio sadar. Grace mendekat ke Emily lalu duduk di samping putri suaminya itu. “Sudah berapa bulan?” tanya Grace sambil menyentuh perut Emily. “Sudah tujuh bulan mau masuk delapan,” jawab Emily. Grace tersenyum sambil mengusap perut Emily, lalu tiba-tiba menghela napas kasar. “Papamu terlalu senang tahu kamu datang. Sampai-sampai dia tak bisa mengontrol emo
“Papa harus jaga kesehatan. Nurut kata Mama dan Simon, juga jangan lupa larangan dokter dilakukan. Kalau tidak, Papa yang akan menyesal sendiri,” ucap Emily saat berpamitan dengan Emilio.Emily sudah di sana hampir satu minggu. Dia harus segera pulang karena mama dan maminya mencemaskan kondisi kesehatannya.“Tentu saja, papa akan hidup lebih lama untuk bisa melihatmu lebih lama. Jadi papa akan melakukan apa pun perintah mereka demi kesehatan papa,” ucap Emilio terlihat sangat bahagia. Bahkan sekarang lebih segar meski masih dirawat di rumah sakit.Emily mengangguk mendengar ucapan Emilio lalu mengecup kening ayahnya itu.“Janji ya, kalau sehat jenguk aku di Indonesia. Papa juga sudah janji akan menggendong anakku, jadi Papa harus tepati itu,” ucap Emily menekankan karena dia ingin ayahnya lebih berusaha untuk sembuh.Emilio tidak menyangka Emily akan menciumnya, itu rasanya menjadi hadiah yang tiada tara untuk E
Emily duduk di samping luar kamar, menikmati susu dan buah sambil mengirup udara segar pagi itu. Usia kehamilannya sudah masuk sembilan bulan, dia benar-benar menikmati hari-harinya.“Emi, aku harus ke kantor pagi karena ada rapat,” ucap Alaric saat menemui Emily di samping kamar.Emily menoleh lalu memulas senyum manis.“Iya, hati-hati di jalan,” ucap Emily lalu meletakkan perlahan gelas di meja.Alaric melihat Emily yang mulai kesusahan bergerak. Dia meminta Emily untuk tetak duduk saja dan tidak usah berdiri.“Tidak usah mengantarku. Kamu duduk saja dan nikmati susunya,” kata Alaric memberikan perhatian ekstra untuk istrinya itu.“Kamu tahu saja aku kesusahan bangun dan banyak bergerak,” seloroh Emily diakhiri tawa kecil.“Aku suamimu jadi sudah pasti tahu,” balas Alaric kemudian mencium kening Emily.Sebelum berangkat, Alaric menggenggam kedua telapak tangan Emily lalu menatap penuh kasih sayang ke istrinya itu.“Jika kamu menginginkan sesuatu atau ada sesuatu, segera hubungi aku,
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan
Hari berikutnya, Vano masih menemani Sabrina di apartemen. Pagi itu bersama Sabrina di sofa untuk mengganti perban gadis itu.“Tahan bentar,” ucap Vano saat membersihkan luka Sabrina sebelum diperban lagi.Sabrina melirik ke lengannya. Dia agak meringis karena terasa sedikit perih.Vano membungkus luka itu lagi dengan perlahan setelah selesai dibersihkan.Sabrina menatap Vano yang serius mengganti perban, hingga dia bertanya, “Apa kamu yakin kalau keputusanmu ingin menikah tidak terburu-buru?”Sabrina merasa Vano mengatakan itu hanya spontan saja.Vano melirik Sabrina, lalu menjawab, “Kamu juga setuju, kan? Lalu kenapa sekarang tanya?”“Ya, aku hanya syok saja. Tidak menyangka kamu akan semudah itu bilang mau menikahiku,” balas Sabrina.“Aku serius mengatakan itu,” ucap Vano sambil merapikan perban yang baru saja selesai dipasang.Vano kini menatap Sabrina, memb
Sabrina mengajak Raditya duduk agar bisa mengobrol dengan nyaman. Vano juga ikut bersama keduanya tapi hanya menjadi pendengar saja.“Bagaimana kejadiannya sampai kamu diserang seperti itu?” tanya Raditya penasaran.Sabrina menceritakan dari awal dan akhir apa yang terjadi sampai membuatnya terluka.“Aku hanya masih nggak nyangka kalau dia masih dendam karena dulu aku kabur, Pa. Dia bilang dihajar habis-habisan dan ganti rugi, makanya begitu melihatku dia mau membawaku,” ujar Sabrina menjelaskan.“Dia sudah salah karena menjualmu, lalu dengan enaknya bilang dendam. Dia benar-benar harus diberi pelajaran!” geram Raditya karena pria itu sangat jahat.“Tapi Papa tidak usah terlalu cemas, sekarang pelakunya juga sudah ditangkap,” kata Sabrina menenangkan sang papa.Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara bel yang membuat mereka menoleh ke pintu.“Biar aku lihat siapa yang datang,” kata Vano.Vano berdiri menuju pintu, lalu mel
Sabrina terbangun karena lapar. Dia melihat Vano yang baru saja masuk kamar. “Kamu sudah bangun.” Vano langsung mendekat ke ranjang. Sabrina hendak bangun tapi kesusahan karena lengannya sakit. Vano dengan sigap membantu, lalu memastikan Sabrina duduk dengan nyaman. “Aku lapar,” ucap Sabrina karena siang tadi belum makan dan sudah ada tragedi yang membuatnya terluka. “Untung saja aku pesan makanan. Baru saja sampai dan kamu bangun. Biar aku ambilkan ke sini,” kata Vano hendak berdiri. “Aku makan di luar saja, tidak nyaman makan di sini,” kata Sabrina bersiap turun dari ranjang. Vano langsung membantu Sabrina turun dari ranjang karena lengan Sabrina yang terluka tidak bisa dibuat banyak gerak. Vano benar-benar perhatian ke Sabrina. Dia berjalan sambil memperhatikan Sabrina agar tak jatuh, padahal Sabrina bisa berjalan dengan baik karena lengannya saja yang sakit bukan seluruh tubuh. Sabrina sudah duduk di kursi meja makan. Vano membuka pembungkus makanan, lalu mengambil