:-0
“Lho?”Aku terkejut seraya menunjuk pada lelaki yang kini berdiri dekat kitchen set dapur rumah Pak Akhtara.“Lho? Mbak Jihan?”Dia pun terkejut sama denganku sembari menunjuk diriku.“Mas Rafqi … ikut pesta juga?” Tanyaku.Rafqi, lelaki yang pernah kutolong dengan menyimpan ponselnya saat di mall, itu kini berada di rumah Pak Akhtara.Kepalanya mengangguk dengan seulas senyum.“Iya. Lalu … Mbak Jihan sendiri … kok bisa disini?”Haruskah aku mengatakan padanya jika aku ini istri Pak Akhtara?Mau mengakui status, namun aku ingat ucapan Pak Akhtara yang seakan-akan tidak ingin mengenalkanku pada rekan-rekan bisnisnya. Jadi, aku memilih alasan …“Eh … aku pembantu di rumah ini, Mas.”Lebih baik mengalah dari pada Pak Akhtara kembali mengeluarkan taringnya karena pengakuanku tanpa seizinnya.Mbak Mini yang duduk di sebelahku langsung mengangkat kedua alisnya sembari menatapku. Pasalnya aku adalah istri majikannya tapi lebih memilih mengaku sebagai pembantu.Mbak Mini juga pasti ingat perte
Kepalaku dan Rafqi sama-sama menoleh ke asal suara. Dan yang datang adalah ...'Pak Akhtara!' Batinku terkejut.Seketika kedua mataku terbuka lebar dengan kedatangan beliau yang begitu mendadak ke dapur. Juga ... takut terkena getah amarahnya karena aku berani keluar dari kamar tanpa izin. Mau bagaimana lagi? Keduanya temannya yang tidak tahu diri itu memasuki kamarku. Menganggapku pembantu d rumah ini, mengusirku dari kamarku, dan ... bercumbu di sana. "Sorry, Tar. Gue di dapur. Nggak ikut gabung," Rafqi berucap tanpa turun dari duduknya. Sedang aku memilih langsung berdiri dari duduk dengan perasaan cemas dan ekspresi wajah yang mulai ketakutan. Kemudian Pak Akhtara melangkah mendekati kami dengan tatapan tajamnya yang dialamatkan padaku. Begitu sudah berdiri di dekat Rafqi, beliau melirik gelas berisi air hangat milik Rafqi yang berada dalam genggaman. "Ngapain lo nggak gabung sama yang lain, Raf?" Tanya Pak Akhtara."Kepala gue pusing, Tar.""Pusing?" Tanya Pak Akhtara dengan
Bukannya menjawab pertanyaan Pak Akhtara, aku justru menatap kedua bola matanya lekat dengan penuh keberanian. "Jihan!!!" Bentaknya. Sembari kedua tangannya mencengkeram erat kedua lenganku. Terasa sakit. Namun aku sudah terbiasa dengan luka fisik dan terlebih luka hati yang kerap beliau torehkan. Bahkan, jumlah luka itu jauh lebih banyak dari luka masa lalu yang pernah kuberikan pada beliau. Aku terus menatap kedua bola matanya yang makin lama makin menatapku tajam penuh kobaran emosi. Untuk apa beliau marah hanya karena aku berhubungan dengan Rafqi? Bukankah beliau sendiri juga sudah bahagia dengan adanya Merissa diantara kami? "Dimana tas yang Rafqi kasih?!" Tanyanya lagi dengan nada bicara yang rendah namun menusuk. Aku masih tetap diam tidak menjawab. Alasannya karena aku sudah lelah dan muak dengan sikap beliau yang terlalu diktator menghukumku tanpa melihat kebenarannya. "Kamu bisu, heh?!" Kepalaku menggeleng pelan dengan tetap menatap kedua matanya yang makin di
“Kalian berdua memang br***sek!”Tanpa menunggu mereka selesai berciuman, aku segera melangkah ke kamar. Untuk apa terus melihat tontonan yang hanya membuatku makin hancur tak karuan?Cukup sudah Pak Akhtara menghempaskan perasaanku! Hatiku benar-benar sakit!Dengan sedikit membanting pintu kamar, aku langsung menguncinya rapat-rapat. Dan tubuhku langsung merosot dibalik pintu hingga terduduk di lantai.Dinginnya lantai kamar benar-benar tidak bisa memadamkan api kecemburuan di hatiku. Dan ketika aku menatap ranjang kamar yang begitu berantakan, bekas pergumulan kami yang terjadi karena paksaan Pak Akhtara, makin menambah luka di hati.Lalu aku memeluk kedua lutut tanpa air mata yang mungkin telah mengering. Semua ini karena balas dendam Pak Akhtara yang tidak main-main menyakitkannya.Bayangan indah kami saat di Korea beberapa waktu lalu melintas di otakku. Namun aku segera menggelengkan kepala untuk mengusir kenangan indah yang mungkin hanya akan menjadi kenangan.Hatinya yang kala i
“Ning Shifa?”Kedua mataku membola menatap kehadirannya di convention hall hotel ini. Dengan memakai gamis syar’i seperti yang kukenakan.“Mbak Jihan tadi ikut kajian?” Tanyanya.Kepalaku mengangguk pelan, “Iya. Ning Shifa sendiri?”Shifa tidak langsung menjawab melainkan kepala menoleh ke kanan, tempat pintu keluar jama’ah laki-laki. Lalu matanya mencari keberadaan seseorang.“Tunggu bentar ya, Mbak. Jangan kemana-mana.” Tahannya.Lalu dia berdiri di dekat pita pembatas antara pintu keluar jama’ah laki-laki dan perempuan. Seperti sedang menunggu … seseorang.Siapa?Gus Kahfi kah?Atau … suaminya?Sekitar tiga menit aku menunggu dengan menyandarkan punggung di dinding dekat pintu keluar jama’ah perempuan, tiba-tiba Shifa kembali datang menghampiriku.“Mbak Jihan, bisa … ngobrol bentar?”Aku berpikir sejenak mengenai ajakannya. Sebab, tadi Faris, asisten pribadi Pak Akhtara, mewanti-wanti aku untuk segera pulang tanpa diperbolehkan pergi kemanapun. Juga jemputan yang disiapkan untukku t
“Tapi … itu nggak mungkin, Gus.”Setelah mendengar pengakuan isi hati Gus Kahfi yang mengatakan terang-terangan jika ia masih memiliki rasa cinta untukku, bagaimana hatiku tidak carut marut?Aku mendambakan lelaki sholeh yang bisa membimbingku menjadi wanita yang berakhlak. Bukan memiliki suami yang kerap menyakiti hatiku karena sikapnya dan adanya perempuan lain yang mendiami hatinya.Aku pernah memiliki rasa sayang untuk Gus Kahfi, namun itu terpupuskan oleh sikap Pak Akhtara yang membuat rencana pernikahan kami gagal.“Aku tahu, Han. Itu nggak mungkin. Karena kamu masih jadi istri laki-laki lain.”“Dan aku nggak akan bikin kamu jadi istri yang mendurhakai suami dengan meminta cerai darinya. Sekalipun sikapnya ke kamu menurutku nggak mencerminkan suami yang baik.”“Karena apa yang dirasa kita buruk, tapi itu adalah yang terbaik menurut Allah. Siapa tahu, dibalik sikap suamimu yang kayak gitu, Allah punya kado terbaik buat kamu.”Perempuan mana yang tidak jatuh hati dengan sikap Gus K
“Maaf, kuretase?” Tanyaku memastikan.Kepala perempuan itu mengangguk polos.Seketika itu juga, tubuhku seperti tidak memiliki nyawa, linglung, dan tidak berpijak di bumi.“Bu Jihan, antriannya sudah maju.”Perempuan itu mengingatkan antrian kantin namun aku justru bertanya …“Bisa kita bicara empat mata?”“Empat mata gimana, Bu?”“Aku perlu tahu. Soal … kuretase itu. Tolong.”Wajah perempuan itu lantas berubah keheranan karena aku seperti tidak mengerti apapun tentang tindakan itu.Aku segera menarik lengan perempuan itu ke tempat yang tidak terlalu bising. Lalu dengan hati carut marut dan pikiran melayang kemana-mana, aku langsung bertanya tanpa basa basi.“Tolong jelasin dari awal. Apa maksud kuretase itu.”Perempuan itu nampak kebingungan dengan pertanyaanku.“Lho? Apa Bu Jihan tidak tahu kalau akan menjalani kuretase?”“Kuretase itu untuk apa?”“Kuretase itu semacam aborsi, Bu.”Duar!!!Aborsi?Aku menatap perempuan itu dengan mata membelalak sempurna. Bahkan semua bulu kudukku me
Pak Akhtara tidak langsung menjawab. Melainkan hanya menatapku datar. Begitu juga dengan aku yang menatap berani matanya.Kutepikan apa itu rasa hormat pada suami!Demi menuntut penjelasan tentang kuretase itu jauh lebih penting dari sekedar menghormati beliau yang tidak menghargaiku! Sama sekali!“Aborsi apa yang kamu maksud?” Tanyanya tenang seperti tidak melakukan merasa bersalah sama sekali.Aku tersenyum miring dengan menahan letupan emosi yang membuat jantungku bekerja sangat cepat. Penilaianku pada beliau mendadak turun drastis.“Jangan berubah terlalu jauh, Pak. Bahkan sampai bikin Pak Akhtara berubah jadi pelupa dan br***sek!”Kedua matanya membola terkejut dengan umpatan yang kualamatkan padanya.“Jihan! Berani kamu menghina saya!” Bentaknya.Namun aku tidak takut dan tetap berani menatapnya tanpa keraguan. Emosi ini sudah mendominasi pikiranku.“Berani berbuat tapi nggak berani ngakuin! Apalagi sampai berani mem-bu-nuh darah daging sendiri! Bilang sama saya, itu namanya apa