:-0
“Ning Shifa?”Kedua mataku membola menatap kehadirannya di convention hall hotel ini. Dengan memakai gamis syar’i seperti yang kukenakan.“Mbak Jihan tadi ikut kajian?” Tanyanya.Kepalaku mengangguk pelan, “Iya. Ning Shifa sendiri?”Shifa tidak langsung menjawab melainkan kepala menoleh ke kanan, tempat pintu keluar jama’ah laki-laki. Lalu matanya mencari keberadaan seseorang.“Tunggu bentar ya, Mbak. Jangan kemana-mana.” Tahannya.Lalu dia berdiri di dekat pita pembatas antara pintu keluar jama’ah laki-laki dan perempuan. Seperti sedang menunggu … seseorang.Siapa?Gus Kahfi kah?Atau … suaminya?Sekitar tiga menit aku menunggu dengan menyandarkan punggung di dinding dekat pintu keluar jama’ah perempuan, tiba-tiba Shifa kembali datang menghampiriku.“Mbak Jihan, bisa … ngobrol bentar?”Aku berpikir sejenak mengenai ajakannya. Sebab, tadi Faris, asisten pribadi Pak Akhtara, mewanti-wanti aku untuk segera pulang tanpa diperbolehkan pergi kemanapun. Juga jemputan yang disiapkan untukku t
“Tapi … itu nggak mungkin, Gus.”Setelah mendengar pengakuan isi hati Gus Kahfi yang mengatakan terang-terangan jika ia masih memiliki rasa cinta untukku, bagaimana hatiku tidak carut marut?Aku mendambakan lelaki sholeh yang bisa membimbingku menjadi wanita yang berakhlak. Bukan memiliki suami yang kerap menyakiti hatiku karena sikapnya dan adanya perempuan lain yang mendiami hatinya.Aku pernah memiliki rasa sayang untuk Gus Kahfi, namun itu terpupuskan oleh sikap Pak Akhtara yang membuat rencana pernikahan kami gagal.“Aku tahu, Han. Itu nggak mungkin. Karena kamu masih jadi istri laki-laki lain.”“Dan aku nggak akan bikin kamu jadi istri yang mendurhakai suami dengan meminta cerai darinya. Sekalipun sikapnya ke kamu menurutku nggak mencerminkan suami yang baik.”“Karena apa yang dirasa kita buruk, tapi itu adalah yang terbaik menurut Allah. Siapa tahu, dibalik sikap suamimu yang kayak gitu, Allah punya kado terbaik buat kamu.”Perempuan mana yang tidak jatuh hati dengan sikap Gus K
“Maaf, kuretase?” Tanyaku memastikan.Kepala perempuan itu mengangguk polos.Seketika itu juga, tubuhku seperti tidak memiliki nyawa, linglung, dan tidak berpijak di bumi.“Bu Jihan, antriannya sudah maju.”Perempuan itu mengingatkan antrian kantin namun aku justru bertanya …“Bisa kita bicara empat mata?”“Empat mata gimana, Bu?”“Aku perlu tahu. Soal … kuretase itu. Tolong.”Wajah perempuan itu lantas berubah keheranan karena aku seperti tidak mengerti apapun tentang tindakan itu.Aku segera menarik lengan perempuan itu ke tempat yang tidak terlalu bising. Lalu dengan hati carut marut dan pikiran melayang kemana-mana, aku langsung bertanya tanpa basa basi.“Tolong jelasin dari awal. Apa maksud kuretase itu.”Perempuan itu nampak kebingungan dengan pertanyaanku.“Lho? Apa Bu Jihan tidak tahu kalau akan menjalani kuretase?”“Kuretase itu untuk apa?”“Kuretase itu semacam aborsi, Bu.”Duar!!!Aborsi?Aku menatap perempuan itu dengan mata membelalak sempurna. Bahkan semua bulu kudukku me
Pak Akhtara tidak langsung menjawab. Melainkan hanya menatapku datar. Begitu juga dengan aku yang menatap berani matanya.Kutepikan apa itu rasa hormat pada suami!Demi menuntut penjelasan tentang kuretase itu jauh lebih penting dari sekedar menghormati beliau yang tidak menghargaiku! Sama sekali!“Aborsi apa yang kamu maksud?” Tanyanya tenang seperti tidak melakukan merasa bersalah sama sekali.Aku tersenyum miring dengan menahan letupan emosi yang membuat jantungku bekerja sangat cepat. Penilaianku pada beliau mendadak turun drastis.“Jangan berubah terlalu jauh, Pak. Bahkan sampai bikin Pak Akhtara berubah jadi pelupa dan br***sek!”Kedua matanya membola terkejut dengan umpatan yang kualamatkan padanya.“Jihan! Berani kamu menghina saya!” Bentaknya.Namun aku tidak takut dan tetap berani menatapnya tanpa keraguan. Emosi ini sudah mendominasi pikiranku.“Berani berbuat tapi nggak berani ngakuin! Apalagi sampai berani mem-bu-nuh darah daging sendiri! Bilang sama saya, itu namanya apa
Di sebuah restaurant yang berada di dalam pusat perbelanjaan ini, aku duduk bersama Rafqi. Sedang Mbak Mini dan Rosita duduk di kursi yang lain.Aku tidak mau mereka berdua mendengar apa yang ingin kubicarakan dengan Rafqi. "Ada apa, Mbak?""Aku mau cerita satu hal penting ke Mas Rafqi. Sekaligus ... minta bantuannya juga."Dengan kedua alis berkerut, dia menatapku heran. "Apa itu?"Aku membasahi bibir dan berdehem sebelum mengutarakan hal penting ini. "Mas, aku ini ... bukan pembantu di rumah Pak Akhtara."Kepalanya mengangguk pelan seraya terus memandangku."Oke. Lalu ... Mbak Jihan itu sebenarnya apanya Akhtara?""Aku ... istrinya."Kedua mata Rafqi menatapku dengan membola terkejut. Bahkan kedua alisnya ikut terangkat. "Is ... istrinya?" Tanyanya lagi memastikan. Kepalaku mengangguk pelan dengan menatapnya juga. "Oh God!" ucapnya lirih. Aku membiarkan Rafqi mencerna semua pemikirannya dulu sebelum aku melanjutkan cerita. Aku rasa otaknya sedang memikirkan hal yang tidak jauh
Setelah dibaringkan di ranjang kamarku, Rosita berkata ..."Mbak Min, ini telfon Pak Akhtara dulu atau dokter dulu?""Dokter dulu lah, Ros! Buruan!!" Seru Mbak Mini.Rasa pusing yang seperti ini, juga dengan begah, dan mualnya seperti pernah kurasakan saat ... saat aku kenapa ya?Tubuhku terasa sangat lemas dan kepala ini seperti dipaku berkali-kali. Mbak Mini kemudian kembali ke kamarku dan membantuku meminum segelas teh manis hangat buatannya. Rasanya sedikit meredakan mual yang tidak mengenakkan. Lalu kepalaku dipijat perlahan."Mbak Jihan, jangan terlalu memforsir tenaga.""Nggak kok, Mbak Min," ucapku lemas. "Maaf ya, Mbak. Kemarin waktu Pak Akhtara nyuruh aku mbersihin kamarnya, aku terkejut banget. Kamarnya berantakan. Aku nggak tahu Mbak Jihan dan Pak Akhtara punya masalah apa sampai bertengkar parah kayak gitu. Tapi ... saranku, kalau Mbak Jihan udah nggak kuat sama bahterah rumah tangga ini, lebih baik pisah aja."Sejauh ini Mbak Mini dan Rosita hanya mengerti jika Pak Akh
Setibanya di rumah, aku segera masuk kamar.Apa yang kubicarakan dengan Mbak Mini di tempat praktek dokter kandungan tadi membuatku sadar harus bergerak cepat. Bahwa mempersiapkan segalanya lebih awal itu jauh lebih baik.Aku masih tidak tahu pasti kapan Pak Akhtara akan menikah dengan Merissa. Tapi, jika kemarin beliau baru saja menyodorkan padaku surat izin menikah lagi, bukankah urusan administrasi pernikahan mereka sudah hampir selesai?Dari situ bukankah mereka hanya tinggal mencari tanggal baik untuk menikah?“Halo, Han?”“Halo, Pa. Lagi ngapain sama Mama?”Aku sedang menghubungi Papa, cinta pertama dalam hidupku.“Lagi di tempat usaha. Ini lagi nyuci bahan baku.”Seketika aku teringat akan usaha Papa yang kemarin baru saja diporak-porandakan Pak Akhtara secara diam-diam oleh preman sewaan. Lalu beliau keluar seperti pahlawan kesiangan dengan memberikan kucuran dana segar.Sayangnya, Papa tidak mengetahui hal ini. Karena aku masih menyembunyikannya.“Mama nggak ikutan?”“Nggak. M
“Aku udah ngobrol sama Merissa, kalau … kita sepakat untuk menikah dua minggu lagi. Dia minta yang penting kami sah menikah dulu. Soal resepsi … bisa kita bicarakan nanti enaknya gimana.”Aku tetap diam sembari menatap lantai marmer rumah ini.Ada rasa cemburu dan … tidak terima kala aku akan dimadu. Apalagi dengan sepupuku sendiri yang juga masih menjadi rivalku.Tapi … aku tidak boleh egois dan mengikuti rasa cemburuku yang tak bertepi ini. Juga dengan rasa cinta untuk Pak Akhtara yang harus mulai kutinggalkan perlahan-lahan.Kewarasanku dan nasib janinku jauh lebih berharga dari pada cemburu ini.“Tara, sebelum kamu menikahi Merissa, apa kamu udah periksain Jihan ke dokter terbaik yang ada di rumah sakit kita?” Papa Pak Akhtara bertanya.Aku tidak mendongak dan tetap menatap lantai marmer rumah. Terserah Pak Akhtara mau menjawab apa.“Udah, Pa. Dokter Arman bilang … kecil kemungkinan Jihan bisa ngasih aku keturunan.”Aku tersenyum tipis nan miris mendengar jawaban paling konyol yang