:-o
"Apa kamu senang saya akan menikah sama Merissa?"Beliau masih memegang daguku agar tetap menatapnya dengan tangan kirinya tetap mendekapku dari belakang. Mata tajamnya yang terbingkai kacamata itu seperti menyimpan sebuah maksud yang tidak kuketahui pasti. "Karena setahu saya, kalau kamu memang mencintai saya, kamu nggak akan pernah ngizinin saya menikahi Merissa, Han! Bahkan kamu nggak akan pernah nyuruh saya menikahinya!""Kalaupun kita ada masalah, kamu pasti sekuat tenaga bakal yakinin saya kalau kamu benar! Bukan malah menghancurkan rumah tangga kita lalu nyuruh saya poligami!"Apa maksud Pak Akhtara berkata seperti ini?Sungguh aku tidak mengerti dengan jalan pikiran beliau. Kemarin beliau berkata jika sudah mantap untuk memilih Merissa ketimbang aku. Juga, berniat ingin membuatku hancur sehancir-hancurnya.Tapi mengapa sekarang justru bertanya dengan makna seakan-akan menyuruhku untuk menahan pernikahannya dengan Merissa?Aneh kan!?"Kalau kamu mencintai saya, mana mungkin ka
Hari H pernikahan.Aku sudah terjaga sejak pukul dua dini hari untuk melakukan ibadah sepertiga malam seperti sebelum-sebelumnya. Namun ibadah malam kali ini, sedikit spesial karena aku terus bermunajat pada Ilahi agar diberi kelancaran untuk …. kabur!Ya, tepat di hari H pernikahan Pak Akhtara dan Merissa, aku berencana untuk kabur dari rumah ini.Ini seperti yang kurencanakan dengan Mbak Mini tempo hari setelah ia mengantarku ke dokter kandungan.Saat itu ……“Kalau Mbak Jihan punya rencana kayak gitu, aku tahu kapan waktu yang tepat untuk kabur dari kuasa Pak Akhtara.”“Kapan, Mbak Min?”“Tepat di hari pernikahan mereka digelar.”Aku berpikir sejenak mendengar jawaban Mbak Mini yang menurutku terlalu lama.“Kenapa harus nunggu waktu hari H pernikahan itu, Mbak Min?”Mbak Mini kemudian mengubah posisi duduk hingga menghadapku sepenuhnya.“Karena waktu itu, Mbak Jihan bisa keluar dari rumah tanpa ditanya macam-macam sama Imron. Dia nggak bakal ngecek barang apa aja yang kita masukin ke
Kartu nomer baruku sudah siap di dalam dompet. Begitu juga dengan mahar pernikahan yang dulu Pak Akhtara berikan sudah kuletakkan di dalam tas.Sengaja aku hanya membawa mahar pernikahan saja agar tidak mencolok jika ingin kabur dari rumah ini. Hanya itu barang berharga yang kumiliki sekaligus kenang-kenangan dari beliau.Aku juga sudah menyiapkan uang secukupnya di dalam dompet. Itu adalah uang yang berada ATM yang Pak Akhtara berikan padaku.Meski isinya lumayan namun aku tidak mau mengambil kesempatan dalam kesempitan. Nanti, Tuhan pasti akan memampukan aku untuk mencari pundi-pundi rupiah itu sendiri.“Ayo, Mbak. Pak Akhtara pasti udah nungguin.” Mbak Mini berucap.Kemudian aku mengeluarkan kartu ATM berwarna kuning keemasan itu dan meletakkannya di atas nakas.Itu bukan milikku lagi ketika memutuskan untuk pergi dari kehidupannya. Dan itu artinya aku tidak berhak meminta nafkah lagi.Lalu aku menarik laci dan mengeluarkan sebuah kertas berisi tulisan …[Untuk Pak Akhtara. Selamat
Di luar ruang rias, kami berdiri berhadapan dengan saling memandang. Sikap angkuhnya begitu kuat ditunjukkan. Berbeda denganku yang menatapnya santai dan cuek.“Akhtara itu cintanya sama Merissa! Kamu tuh cuma dipakai senang-senang doang! Ngerti kamu?!”Aku hanya memandangnya tanpa berbicara.“Aku ingetin ya, Han! Kalau mereka lagi berduaan, kamu jangan ganggu-ganggu! Biar Merissa cepat hamil! Awas kalau kamu ngerecokin Akhtara waktu lagi berduaan sama Merissa!”Masih tetap aku memandangnya tanpa menjawab.“Harusnya kamu tuh sadar diri! Kalau Akhtara mutusin poligami itu artinya dia udah bosan sama kamu! Kamu udah dianggap sampah!”“Keluarin apa yang mau Bude Rani omongin. Mumpung aku masih disini.” Tantangku tenang dengan tangan bersedekap.Aku tidak akan menunjukkan sikap lemah atau hancur hanya karena tekanannya. Akan kulawan dengan berani!“Kalau aku jadi kamu … mending minta cerai! Karena mau kamu binal model apapun, Akhtara nggak mungkin ngelirik kamu lagi! Tapi dasarannya kamu e
Taksi yang kutumpangi bergerak cepat menuju Bandung meninggalkan Bogor.Tidak ada tanda-tanda orang asing mengikuti taksi ini. Aku sangat bersyukur karena kepergianku secara diam-diam akhirnya berjalan lancar.Ingin rasanya aku menghubungi Mbak Mini untuk bertanya …Apakah Pak Akhtara mencariku?Bagaimana dengan acara akad nikah keduanya?Namun aku teringat jika …“Mbak, jangan hubungi nomerku lebih dulu kalau bukan aku yang menghubungi. Biar Pak Akhtara ngertinya Mbak Jihan kabur karena usaha Mbak sendiri,” ucap Mbak Mini kemarin.Mungkin itu bisa berbahaya jika aku menghubungi Mbak Mini lebih dulu. Karena bisa dipastikan ketidakberadaanku di Bogor akan membuat Pak Akhtara menanyakan terus menerus hal ini pada Mbak Mini dan Rosita.Atau yang lebih parah ponsel mereka berdua akan dicek oleh Pak Akhtara.Jadi, aku harus mengurungkan niat untuk bertanya pada Mbak Mini dan Rosita tentang acara pernikahan Pak Akhtara dan Merissa.Bukankah jika aku sudah memutuskan untuk kabur dan membesark
Hari demi hari berlalu. Tidak terasa sudah satu minggu kami berada di Jogja. Tinggal di salah satu rumah Bude Irma yang kosong. Selama satu minggu ini pula, Papa, Mama, dan aku tidak keluar dari rumah jika tidak ada kepentingan yang mendesak. Juga, jika keluar rumah, kami selalu mengenakan masker.Alasannya sudah pasti siapa tahu ada yang mengenali wajah kami lalu mengabarkannya pada Pak Akhtara. Papa tidak mau pelarian dan persembunyian kami diketahui oleh orang yang juga mengenal Pak Akhtara dan keluarganya. "Rus, kalian udah sembunyi selama seminggu. Apa iya kalian bakal sembunyi terus?" Tanya Bude Irma saat bertandang ke rumah dengan membawa gudeg. "Tunggu aman dulu, Mbak Ir," jawab Papa."Sampai kapan amannya?"Kami sedang makan bersama di ruang tengah beralaskan tikar. Maklum, rumah ini tidak begitu besar. Papa nampak berpikir sejenak lalu berucap ... "Seenggaknya dua minggu lagi lah, Mbak Ir."Bude Irma menghela nafas lalu menatapku sekilas dan kembali menatap Papa."Jiha
Sudah tidak ada lagi satu pun barang yang mengingatkanku pada Pak Akhtara.Mahar pernikahan telah dijual Papa lalu digunakan untuk modal awal membuka kembali tempat makan milik Bu Irwan.Papa dan Mama tidak lagi bingung mencari pelanggan karena hari pertama buka saja, menurut kedua karyawan yang membantu memasak berkata jika tempat tetap lah ramai seperti biasa.Maklum, tempat ini berada di sekitar kampus beken di Jogja.Aku yang sudah tidak lagi mengalami morning sickness pun ikut membantu di dapur dengan melakukan tugas yang ringan-ringan saja. Karena kandunganku sudah memasuki usia kehamilan tiga bulan lebih.Tidak terasa jika aku telah lepas dari Pak Akhtara. Juga tidak ada tanda-tanda beliau mencari keberadaanku. Pasti, beliau telah melupakanku dan menjalani rumah tangga bahagianya dengan Merissa.Iri?Sedikit. Nanti juga akan hilang dengan sendirinya.Mana mungkin aku tidak iri jika yang sedang kukandung adalah darah dagingnya juga. Pasti nanti anakku akan mewarisi genetik beliau
“Ya ampun, Mbak Mini!”Aku sangat terkejut mendapati telfon darinya untuk pertama kali. Setelah sekian lama kami tidak berjumpa.Ah … iya, aku melupakan satu hal jika sebelum kabur dari rumah Pak Akhtara, Mbak Mini telah mencatat nomerku yang baru.Dan ini pertama kalinya dia menghubungiku sejak kejadian saat itu. Sekitar setengah tahun yang lalu.“Kok baru menghubungi sekarang, Mbak?”Waktu itu aku tidak berani menghubungi Mbak Mini lebih dulu karena ia berpesan jika semua telah terkendali, maka dia yang akan menghubungi.Tapi, apakah setengah tahun ini semuanya baru terkendali?“Iya, Mbak Jihan. Baru sempat dan baru keinget.”“Aku kangen lho.”Shifa yang berada di kamarku ikut mendengarkan dengan seksama dengan siapa aku menelfon.Mbak Mini terkekeh renyah mendengar ucapan rinduku padanya.“Masak kangen sama aku. Kangen sama aku apa kangen sama Rosita?”Aku seketika teringat pada Rosita.“Eh iya, gimana kabar Rosita, Mbak Min?”“Baik, Mbak Jihan. Kita berdua jauh lebiiiih baik sekara