:-o
Kartu nomer baruku sudah siap di dalam dompet. Begitu juga dengan mahar pernikahan yang dulu Pak Akhtara berikan sudah kuletakkan di dalam tas.Sengaja aku hanya membawa mahar pernikahan saja agar tidak mencolok jika ingin kabur dari rumah ini. Hanya itu barang berharga yang kumiliki sekaligus kenang-kenangan dari beliau.Aku juga sudah menyiapkan uang secukupnya di dalam dompet. Itu adalah uang yang berada ATM yang Pak Akhtara berikan padaku.Meski isinya lumayan namun aku tidak mau mengambil kesempatan dalam kesempitan. Nanti, Tuhan pasti akan memampukan aku untuk mencari pundi-pundi rupiah itu sendiri.“Ayo, Mbak. Pak Akhtara pasti udah nungguin.” Mbak Mini berucap.Kemudian aku mengeluarkan kartu ATM berwarna kuning keemasan itu dan meletakkannya di atas nakas.Itu bukan milikku lagi ketika memutuskan untuk pergi dari kehidupannya. Dan itu artinya aku tidak berhak meminta nafkah lagi.Lalu aku menarik laci dan mengeluarkan sebuah kertas berisi tulisan …[Untuk Pak Akhtara. Selamat
Di luar ruang rias, kami berdiri berhadapan dengan saling memandang. Sikap angkuhnya begitu kuat ditunjukkan. Berbeda denganku yang menatapnya santai dan cuek.“Akhtara itu cintanya sama Merissa! Kamu tuh cuma dipakai senang-senang doang! Ngerti kamu?!”Aku hanya memandangnya tanpa berbicara.“Aku ingetin ya, Han! Kalau mereka lagi berduaan, kamu jangan ganggu-ganggu! Biar Merissa cepat hamil! Awas kalau kamu ngerecokin Akhtara waktu lagi berduaan sama Merissa!”Masih tetap aku memandangnya tanpa menjawab.“Harusnya kamu tuh sadar diri! Kalau Akhtara mutusin poligami itu artinya dia udah bosan sama kamu! Kamu udah dianggap sampah!”“Keluarin apa yang mau Bude Rani omongin. Mumpung aku masih disini.” Tantangku tenang dengan tangan bersedekap.Aku tidak akan menunjukkan sikap lemah atau hancur hanya karena tekanannya. Akan kulawan dengan berani!“Kalau aku jadi kamu … mending minta cerai! Karena mau kamu binal model apapun, Akhtara nggak mungkin ngelirik kamu lagi! Tapi dasarannya kamu e
Taksi yang kutumpangi bergerak cepat menuju Bandung meninggalkan Bogor.Tidak ada tanda-tanda orang asing mengikuti taksi ini. Aku sangat bersyukur karena kepergianku secara diam-diam akhirnya berjalan lancar.Ingin rasanya aku menghubungi Mbak Mini untuk bertanya …Apakah Pak Akhtara mencariku?Bagaimana dengan acara akad nikah keduanya?Namun aku teringat jika …“Mbak, jangan hubungi nomerku lebih dulu kalau bukan aku yang menghubungi. Biar Pak Akhtara ngertinya Mbak Jihan kabur karena usaha Mbak sendiri,” ucap Mbak Mini kemarin.Mungkin itu bisa berbahaya jika aku menghubungi Mbak Mini lebih dulu. Karena bisa dipastikan ketidakberadaanku di Bogor akan membuat Pak Akhtara menanyakan terus menerus hal ini pada Mbak Mini dan Rosita.Atau yang lebih parah ponsel mereka berdua akan dicek oleh Pak Akhtara.Jadi, aku harus mengurungkan niat untuk bertanya pada Mbak Mini dan Rosita tentang acara pernikahan Pak Akhtara dan Merissa.Bukankah jika aku sudah memutuskan untuk kabur dan membesark
Hari demi hari berlalu. Tidak terasa sudah satu minggu kami berada di Jogja. Tinggal di salah satu rumah Bude Irma yang kosong. Selama satu minggu ini pula, Papa, Mama, dan aku tidak keluar dari rumah jika tidak ada kepentingan yang mendesak. Juga, jika keluar rumah, kami selalu mengenakan masker.Alasannya sudah pasti siapa tahu ada yang mengenali wajah kami lalu mengabarkannya pada Pak Akhtara. Papa tidak mau pelarian dan persembunyian kami diketahui oleh orang yang juga mengenal Pak Akhtara dan keluarganya. "Rus, kalian udah sembunyi selama seminggu. Apa iya kalian bakal sembunyi terus?" Tanya Bude Irma saat bertandang ke rumah dengan membawa gudeg. "Tunggu aman dulu, Mbak Ir," jawab Papa."Sampai kapan amannya?"Kami sedang makan bersama di ruang tengah beralaskan tikar. Maklum, rumah ini tidak begitu besar. Papa nampak berpikir sejenak lalu berucap ... "Seenggaknya dua minggu lagi lah, Mbak Ir."Bude Irma menghela nafas lalu menatapku sekilas dan kembali menatap Papa."Jiha
Sudah tidak ada lagi satu pun barang yang mengingatkanku pada Pak Akhtara.Mahar pernikahan telah dijual Papa lalu digunakan untuk modal awal membuka kembali tempat makan milik Bu Irwan.Papa dan Mama tidak lagi bingung mencari pelanggan karena hari pertama buka saja, menurut kedua karyawan yang membantu memasak berkata jika tempat tetap lah ramai seperti biasa.Maklum, tempat ini berada di sekitar kampus beken di Jogja.Aku yang sudah tidak lagi mengalami morning sickness pun ikut membantu di dapur dengan melakukan tugas yang ringan-ringan saja. Karena kandunganku sudah memasuki usia kehamilan tiga bulan lebih.Tidak terasa jika aku telah lepas dari Pak Akhtara. Juga tidak ada tanda-tanda beliau mencari keberadaanku. Pasti, beliau telah melupakanku dan menjalani rumah tangga bahagianya dengan Merissa.Iri?Sedikit. Nanti juga akan hilang dengan sendirinya.Mana mungkin aku tidak iri jika yang sedang kukandung adalah darah dagingnya juga. Pasti nanti anakku akan mewarisi genetik beliau
“Ya ampun, Mbak Mini!”Aku sangat terkejut mendapati telfon darinya untuk pertama kali. Setelah sekian lama kami tidak berjumpa.Ah … iya, aku melupakan satu hal jika sebelum kabur dari rumah Pak Akhtara, Mbak Mini telah mencatat nomerku yang baru.Dan ini pertama kalinya dia menghubungiku sejak kejadian saat itu. Sekitar setengah tahun yang lalu.“Kok baru menghubungi sekarang, Mbak?”Waktu itu aku tidak berani menghubungi Mbak Mini lebih dulu karena ia berpesan jika semua telah terkendali, maka dia yang akan menghubungi.Tapi, apakah setengah tahun ini semuanya baru terkendali?“Iya, Mbak Jihan. Baru sempat dan baru keinget.”“Aku kangen lho.”Shifa yang berada di kamarku ikut mendengarkan dengan seksama dengan siapa aku menelfon.Mbak Mini terkekeh renyah mendengar ucapan rinduku padanya.“Masak kangen sama aku. Kangen sama aku apa kangen sama Rosita?”Aku seketika teringat pada Rosita.“Eh iya, gimana kabar Rosita, Mbak Min?”“Baik, Mbak Jihan. Kita berdua jauh lebiiiih baik sekara
Bulu kuduk di sekujur tubuhku meremang karena tidak sengaja bertemu dengan …Mama dan Papanya Pak Akhtara.Delapan bulan lamanya aku tidak bertemu mereka lagi. Dan mengapa sekarang kami bertemu kembali di tempat aku melarikan diri?Ya Tuhan, aku benar-benar menyesal datang ke pusat perbelanjaan ini jika pada akhirnya hanya akan membuatku bertemu dengan mereka.Kedua kakiku terasa lemas karena pertemuan yang tak terduga ini. Beruntung Shifa memegangi kedua lenganku dengan sigap.“Mbak? Kenapa? Apa perutnya sakit?” Tanya Shifa cemas.Aku segera menggelengkan kepala.Sedang Mama yang mendengar pertanyaan Shifa langsung menoleh dengan wajah tak kalah cemasnya.Melihat Shifa memegangi kedua lenganku, Mama pun ikut memegangi kedua lenganku juga.“Han? Kenapa? Apa perutmu kontraksi?”Kepalaku kembali menggeleng tanpa mau bersuara. Khawatir jika Papa dan Mamanya Pak Akhtara mengetahui kehamilanku.Aku tidak mau orang terdekat Pak Akhtara mengetahuinya.“Mending kita pulang ya? Mama nggak mau k
"Akhtara nggak mungkin ngelakuin perbuatan gila kayak gitu! Dia bukan pembunuh!" "Aku yakin, kalau kamu emang yang cari gara-gara! Itu pasti bukan anaknya Akhtara lalu Akhtara tahu semua rahasiamu!""Bilang aja kalau kamu itu sebenarnya hamil anak lelaki lain tapi nyuruh Akhtara ngakuin! Akal bulusmu itu bisa dibaca, Jihan!""Lalu kamu sekarang jelek-jelekin Akhtara di depan kami! Jangan suka memfitnah Akhtara! Dia udah bahagia sama Merissa!""Aku yakin bentar lagi Merissa bakal hamil anaknya Akhtara yang sesungguhnya!"Mamanya Pak Akhtara berseru marah dengan menunjuk wajahku berkali-kali. Kemudian Mamaku tidak tinggal diam melihatku diperlakukan seperti ini.Mamaku langsung berdiri dengan wajah garangnya dengan berkacak pinggang. "Anakku Jihan bukan perempuan murahan, Nyonya! Silahkan anda cari kebenarannya di klinik yang pernah dipakai Akhtara untuk membunuh darah dagingnya sendiri!""Beruntung ... anakku Jihan diberi keselamatan oleh Yang Maha Kuasa. Andai anakku Jihan ikut pergi