POV Jihan tinggal beberapa chapter lagi. Setelah itu giliran POV Akhtara sampai tamat. Bagi yang pengen tahu gimana POV Akhtara, sabar ... :-)
Aku mundur beberapa langkah dengan mata membola begitu tahu siapa yang bertandang siang ini ke rumah. Hingga aku tidak sadar membiarkan pintu rumah tetap terbuka. Penampilannya tidak berubah seperti terakhir kali aku meninggalkannya beberapa bulan silam. Tepat di hari beliau menikahi perempuan yang masih menjadi sepupu serta rivalku.Matanya menyorotku sedikit tajam dengan kacamata yang membingkai. Tanpa senyum atau ekspresi terkejut. Dan yang ada di dalam otakku hanya ...Bagaimana dia bisa menemukan rumahku?Bagaimana dia tahu aku berada di rumah sendirian tanpa kedua orang tua?Apa yang dia inginkan hingga repot-repot datang kemari?Apakah dia akan kembali menghabisi calon anakku?Tidak!!!Tidak akan kubiarkan!!!Tanpa pikir panjang, aku langsung memasuki kamar dan menguncinya rapat-rapat.Jantungku berdetak sangat cepat! Ketakutan dan kecemasan saat berhadapan dengan beliau langsung memenuhi bayangan!Aku masih ingat dengan sumpahnya yang akan menyeretku kembali ke Bogor jika be
"Apa kamu yakin, nggak mau ketemu Akhtara?"Kepalaku mengangguk pelan dengan tetap berbaring miring. Badanku terasa tidak begitu enak dan tidak nyaman karena kedatangannya yang begitu mendadak. Juga banyak memori buruk yang langsung bangkit hingga memberi sugesti pada alam bawah sadar bahwa beliau akan berbuat jahat lagi padaku. Untuk apa kembali bertemu dan berbicara jika tujuan beliau datang kemari hanya untuk menghancurkanku?Bukankah sedari awal niatnya ingin membuatku hancur?Dan keadaanku yang seperti apakah beliau masih tega menghancurkannya lebih dalam lagi?"Papa akan bilang Akhtara kalau kamu nggak mau ketemu."Lalu Mama menahan tangan Papa saat hendak berdiri."Kenapa, Ma?" Tanya Papa.Kemudian Mama menatapku."Han, jangan kembali meletakkan piring yang habis dipakai ke tempat penyimpanan. Cuci dulu sampai bersih, baru kamu kembalikan.""Artinya, jangan meninggalkan masalah yang jelas-jelas penyelesaiannya udah ada di depan mata. Biar masa depanmu, masa depan kita, dan masa
Mengapa beliau justru tertawa lirih setelah mendapat pukulan yang pastinya lumayan keras dari Papa?Mendengar tawanya itu, aku pun merasa takut. Karena beliau benar-benar seperti bukan Pak Akhtara.Beliau tertawa lirih tanpa menatapku atau Mama, dengan tangan menyeka darah dari sudut bibirnya yang masih menetes.Lalu aku dan Mama saling menatap dengan ekspresi yang sama bingungnya. Kemudian kembali menatap Pak Akhtara yang sudah tidak lagi tertawa lirih, namun senyuman di bibirnya tetap saja … menakutkan bagiku.Andai ragaku sudah kuat untuk berdiri, mungkin aku tidak akan pikir panjang untuk segera melarikan diri dari hadapan beliau.Jujur … aku takut dan … trauma hanya dengan melihatnya.“Kamu luar biasa, Jihan.”Itu kalimat pertama beliau yang memiliki makna ambigu.Beliau mendesis sakit dengan tangan mengusap-usap pipinya yang baru saja ditinju oleh Papa.“Dulu, kamu bilang mencintai saya. Tapi nyatanya kamu main gila sama Hadza. Lalu kamu datang lagi dalam kehidupan saya. Tapi … k
Pak Akhtara menciumku untuk pertama kalinya setelah kami terpisah setengah tahun lebih lamanya.Dan bodohnya, aku tidak menolak atau menjauhkan dirinya dari hadapanku. Aku seperti tersihir oleh perasaanku yang masih memujanya, mencintainya.Mana mungkin aku yang tengah hamil keturunannya, tidak menyimpan cinta setitik pun meski mati-matian aku telah melupakannya?Justru aku begitu menginginkannya dan ada perasaan tidak rela jika Pak Akhtara menyudahi ini.Setelah membuatku terlena beberapa detik, beliau sedikit menarik wajahnya lalu menatap kedua mataku dengan sorot terluka. Tidak ada ekspresi bengis yang tergambar di wajahnya.Dan itu mengingatkanku kembali pada beliau yang dulu. Beliau yang kurindukan dan yang begitu kucintai.Akhtara-ku yang dulu.Bukan Akhtara yang sekarang.Kupikir beliau akan menyudahi kecupan beberapa detik itu ketika menarik wajahnya. Tapi dugaanku salah ketika beliau justru menggunakan kedua tangannya untuk melepas pasmina yang kukenakan lalu merapikan anak ra
Ketika perawat melakukan pengecekan, ternyata aku masih pembukaan dua. Dan rasa sakit di perut serta punggung makin lama makin intens hingga aku meringis kesakitan.Di kamar rawat inap yang begitu bagus ini, aku berkali-kali mendesis kesakitan menahan kontraksi yang ternyata masih tetap saja bertahan di pembukaan kedua.Makin lama, aku makin tidak kuat hingga gelombang rasa sakit kontraksi itu hingga membuatku menangis.“Ma … aku nggak kuat,” ucapku dengan menangis kesakitan.“Sabar ya, Han. Dibuat tiduran aja ya?” ucap Mama dengan menggosok-gosok pinggangku.Kepalaku menggeleng sembari menyeka air mata.“Sakit banget, Ma.”“Sayang-sayang kalau harus operasi, Han. Bayinya udah di posisi yang seharusnya kata dokter tadi. Sabar ya?”Jam demi jam berlalu. Sore telah berganti malam dan rasa sakitnya benar-benar luar biasa.Aku masih menangis kesakitan. Bahkan tidak bernafsu untuk makan. Sedang Shifa, Mama, dan Papa tidak karu-karuan menenangkan dan membujukku untuk makan meski sesuap demi
Aku masih tidak percaya dengan kedatangan beliau yang diluar prediksi.Aku sempat berharap andai saja beliau menemaniku melahirkan keturunannya. Namun ketika beliau masih menegaskan penolakannya bahwa yang akan kulahirkan ini bukanlah keturunannya, aku tidak berharap banyak.Namun, secuil harapanku yang tidak kujadikan doa itu ternyata diijabah oleh Tuhan.Tuhan membawanya kemari, ke ruang operasi, dimana aku tengah melakukan operasi sesar untuk melahirkan keturunannya.Entah apa yang membuat beliau datang di saat yang tepat. Dan aku merasa senang sekaligus sedih mendapati kehadiran beliau.Senang karena beliau menemaniku melahirkan hingga kegugupan yang tadi kurasakan saat dokter akan memulai operasi tergantikan dengan kerinduanku padanya. Tapi aku sedih karena beliau datang pasti karena desakan Papanya, bukan karena keinginannya sendiri.“Bapak kapan datang?” Tanyaku seraya menatapnya dari bawah.Beliau kemudian menurunkan maskernya hingga terpampang wajah yang kurindukan. Dengan ked
“Akhtira Badsah Ubaid.”Dengan menggendong putraku, aku menatap Papanya Pak Akhtara lekat usai beliau mengatakan saran nama untuk putraku.Mengapa … beliau memberikan saran nama untuk putraku dengan nama yang tidak jauh berbeda dari nama Pak Akhtara?“Kamu pasti bingung, kenapa Papa punya ide nama kayak gitu.”Kepalaku mengangguk pelan dengan menatap beliau.“Jihan, tanpa nunggu tes DNA itu keluar, cuma lihat bayi ini aja, Papa udah yakin dia anaknya Akhtara. Wajah mereka hampir sama. Papa tentu masih ingat gimana wajah Akhtara waktu masih bayi.”“Kedua, mana ada perempuan rela melarikan diri dari lelaki yang menghamilinya kalau bukan karena ingin menyelamatkan anaknya?”"Putraku Akhtara, benar-benar kayak monster. Dendamnya ke kamu nggak kunjung habis. Persis sama kayak Mamanya."Kemudian aku menatap wajah putraku yang tertidur damai dalam gendongan.“Papa sengaja kasih nama itu … biar Akhtara tahu kalau dia punya duplikat. Keturunannya. Biar dia merasa bersalah sepanjang hidupnya kar
Meski Akhtira belum tidur dengan nyenyak, aku terpaksa melepas ASI dari bibirnya yang mungil itu. Dia sedikit merengek lalu aku memberikannya pada Mbak Santi.“Titip Akhtira bentar ya, Mbak.”Kemudian aku berganti gamis dan mengenakan hijab lalu keluar dari kamar.Sungguh aku sangat penasaran dengan kedatangan Faris, asisten pribadi Pak Akhtara. Dia datang tanpa memberi kabar.Apakah dia datang dengan membawa akta perceraian keduaku dengan Pak Akhtara?Entahlah.Kalau pun iya, aku benar-benar tidak masalah. Toh, di dalam pernikahan kami sudah tidak ada lagi keharmonisan. Beliau juga sudah mendeklarasikan kebahagiaannya hanya bersama Merissa. Bukan bersama denganku juga.Beliau lebih memilih hidup hanya bersama istri keduanya dari pada mempertahankanku sebagai istri pertamanya juga.“Selamat siang, Bu Jihan.”Faris berdiri seketika begitu melihatku dan sedikit menunduk hormat.Dia begitu rapi dengan pakaian batik dan rambut yang begitu klemis. Juga dengan sebuah map di atas meja.Apa is