:-o
Ketika perawat melakukan pengecekan, ternyata aku masih pembukaan dua. Dan rasa sakit di perut serta punggung makin lama makin intens hingga aku meringis kesakitan.Di kamar rawat inap yang begitu bagus ini, aku berkali-kali mendesis kesakitan menahan kontraksi yang ternyata masih tetap saja bertahan di pembukaan kedua.Makin lama, aku makin tidak kuat hingga gelombang rasa sakit kontraksi itu hingga membuatku menangis.“Ma … aku nggak kuat,” ucapku dengan menangis kesakitan.“Sabar ya, Han. Dibuat tiduran aja ya?” ucap Mama dengan menggosok-gosok pinggangku.Kepalaku menggeleng sembari menyeka air mata.“Sakit banget, Ma.”“Sayang-sayang kalau harus operasi, Han. Bayinya udah di posisi yang seharusnya kata dokter tadi. Sabar ya?”Jam demi jam berlalu. Sore telah berganti malam dan rasa sakitnya benar-benar luar biasa.Aku masih menangis kesakitan. Bahkan tidak bernafsu untuk makan. Sedang Shifa, Mama, dan Papa tidak karu-karuan menenangkan dan membujukku untuk makan meski sesuap demi
Aku masih tidak percaya dengan kedatangan beliau yang diluar prediksi.Aku sempat berharap andai saja beliau menemaniku melahirkan keturunannya. Namun ketika beliau masih menegaskan penolakannya bahwa yang akan kulahirkan ini bukanlah keturunannya, aku tidak berharap banyak.Namun, secuil harapanku yang tidak kujadikan doa itu ternyata diijabah oleh Tuhan.Tuhan membawanya kemari, ke ruang operasi, dimana aku tengah melakukan operasi sesar untuk melahirkan keturunannya.Entah apa yang membuat beliau datang di saat yang tepat. Dan aku merasa senang sekaligus sedih mendapati kehadiran beliau.Senang karena beliau menemaniku melahirkan hingga kegugupan yang tadi kurasakan saat dokter akan memulai operasi tergantikan dengan kerinduanku padanya. Tapi aku sedih karena beliau datang pasti karena desakan Papanya, bukan karena keinginannya sendiri.“Bapak kapan datang?” Tanyaku seraya menatapnya dari bawah.Beliau kemudian menurunkan maskernya hingga terpampang wajah yang kurindukan. Dengan ked
“Akhtira Badsah Ubaid.”Dengan menggendong putraku, aku menatap Papanya Pak Akhtara lekat usai beliau mengatakan saran nama untuk putraku.Mengapa … beliau memberikan saran nama untuk putraku dengan nama yang tidak jauh berbeda dari nama Pak Akhtara?“Kamu pasti bingung, kenapa Papa punya ide nama kayak gitu.”Kepalaku mengangguk pelan dengan menatap beliau.“Jihan, tanpa nunggu tes DNA itu keluar, cuma lihat bayi ini aja, Papa udah yakin dia anaknya Akhtara. Wajah mereka hampir sama. Papa tentu masih ingat gimana wajah Akhtara waktu masih bayi.”“Kedua, mana ada perempuan rela melarikan diri dari lelaki yang menghamilinya kalau bukan karena ingin menyelamatkan anaknya?”"Putraku Akhtara, benar-benar kayak monster. Dendamnya ke kamu nggak kunjung habis. Persis sama kayak Mamanya."Kemudian aku menatap wajah putraku yang tertidur damai dalam gendongan.“Papa sengaja kasih nama itu … biar Akhtara tahu kalau dia punya duplikat. Keturunannya. Biar dia merasa bersalah sepanjang hidupnya kar
Meski Akhtira belum tidur dengan nyenyak, aku terpaksa melepas ASI dari bibirnya yang mungil itu. Dia sedikit merengek lalu aku memberikannya pada Mbak Santi.“Titip Akhtira bentar ya, Mbak.”Kemudian aku berganti gamis dan mengenakan hijab lalu keluar dari kamar.Sungguh aku sangat penasaran dengan kedatangan Faris, asisten pribadi Pak Akhtara. Dia datang tanpa memberi kabar.Apakah dia datang dengan membawa akta perceraian keduaku dengan Pak Akhtara?Entahlah.Kalau pun iya, aku benar-benar tidak masalah. Toh, di dalam pernikahan kami sudah tidak ada lagi keharmonisan. Beliau juga sudah mendeklarasikan kebahagiaannya hanya bersama Merissa. Bukan bersama denganku juga.Beliau lebih memilih hidup hanya bersama istri keduanya dari pada mempertahankanku sebagai istri pertamanya juga.“Selamat siang, Bu Jihan.”Faris berdiri seketika begitu melihatku dan sedikit menunduk hormat.Dia begitu rapi dengan pakaian batik dan rambut yang begitu klemis. Juga dengan sebuah map di atas meja.Apa is
Penerbangan menuju Jakarta akan dijadwalkan pukul enam malam. Hanya itu penerbangan yang paling mendekati dari waktu sekarang.“Han, ngapain kamu ke Jakarta nemuin Akhtara?” Mama bertanya penuh nada keberatan.“Ma, Akhtira itu putranya. Salah kah aku mengajak ayah putraku untuk memikirkan kesembuhan putra kami?”“Tapi Papanya Akhtara udah ngasih Akhtira kartu khusus. Semua pelayanan terbaik dari rumah sakit ini akan diberikan untuk anakmu.”“Tapi aku nggak bisa mikir ini sendirian, Ma,” ucapku dengan air mata mengalir dari sudut mata.Kemudian aku mengusapnya kasar kemudian menatap Mama.“Gimana kalau Akhtira perlu donor jantung? Gimana kalau … “Aku tidak bisa meneruskan ucapan lalu kembali menatap Mama.“Kalau yang Mama khawatirin aku bakal jatuh hati lagi ke Pak Akhtara,” Lalu kepalaku menggeleng tegas, “Cintaku udah habis di Akhtira, putraku! Aku ngelakuin ini cuma demi kesembuhan dia. Bukan untuk yang lain!”“Gimana kalau Akhtara nolak kemari? Kamu buang-buang waktu, Jihan!” Mama
Ekspresi wajah Pak Akhtara sedikit terkejut mendengar Akhtira sakit.“Dia sakit keras, Pak. Tolong … bantu saya mencari kesembuhan buat dia.”Beliau hanya memandangku lekat dengan memasang pendengaran baik-baik.“Kalau Bapak nggak mencintai dia, seenggaknya … tolong lakukan satu kebaikan besar ini untuk dia. Setelah itu … semuanya terserah Bapak.”“Kalau bukan demi kesembuhan Akhtira … “ Aku mengusap air mata yang mendadak membasahi pipi, “Saya nggak akan mengemis perhatian kayak gini.”Pak Akhtara kemudian menundukkan wajah sembari berperang dengan pikiran dan hatinya. Aku tahu jika beliau sedang berusaha melawan ego dan nafsunya. Sisi buruknya yang selalu memandang buruk diriku dan Akhtira, buah hati kami.“Heh, Jihan! Mending lo pergi dari sini! Lo nggak lihat apa, kalau Mas Tara diem tuh artinya nggak perduli!” Merissa langsung mengambil bagian untuk bicara.Kemudian aku meliriknya tajam dengan emosi yang tidak bisa kubendung.“Jaga mulut lo, Mer! Ini bukan urusan lo!”“Lo yang har
“Mas Tara!”Aku menoleh ke sumber suara yang memanggil nama Pak Akhtara. Dan dalam sekejap dia berlari ke arah Pak Akhtara lalu duduk di samping beliau dan …… memeluknya.Merissa memeluk suaminya. Sekaligus masih suamiku juga.Pak Akhtara nampak kelincutan ketika Merissa memeluknya erat sembari ia duduk di antara kami.Seakan-akan seperti dia adalah pemisah antara aku dan Pak Akhtara.“Aku nyariin kamu dari lantai satu kayak orang gila, Mas. Lagian, kenapa telfon sama pesanku nggak kamu balas sih?”Suara manja Merissa benar-benar membuatku ingin muntah.Aku tidak mempedulikan ulah Merissa dan tampaknya memandangi lantai rumah sakit itu jauh lebih mengasyikkan.“Lain kali pokoknya aku nggak mau ditinggal lagi! Aku nggak bisa tidur sendirian, Mas. Aku takut.”“Semalam aku nggak berani tidur kamar. Aku mondar mandir terus. Kamu tahu kan kalau aku nggak bisa jauh dari kamu.”Aku langsung merasa mual dan menghirup udara sebanyak mungkin lalu menghelanya. Sikap lintah darat dan bermuka dua M
Hari demi hari kondisi Akhtira makin membaik. Dia sudah diperbolehkan meminum ASI namun melewati selang makan.Kerja jantungnya juga sudah berangsur normal pasca operasi. Dia juga sudah sering merengek karena lapar dan tidak sering tidur. Kukunya pun sudah tidak terlihat warna kebiruan lagi.Mata kecil Akhtira mengerjap lucu ketika aku menengoknya yang sudah dipindah ke dalam boks bayi. Putraku itu sudah tidak lagi tidur di dalam inkubator.Aku duduk di sebelahnya sembari mengusap pipi lembutnya.“Hai, jagoan, Bunda. Udah kerasa mendingan? Cepat sembuh ya, Tira. Kita main bareng-bareng di rumah.”Akhtira hanya membalas ucapanku dengan matanya mengerjap lucu.Selama Akhtira dirawat di rumah sakit, aku hanya pulang ketika akan memeras ASI dan tidur saja. Ketika pagi menjelang hingga malam, aku selalu menunggui Akhtira di ruang tunggu pasien bersama Mbak Santi yang selalu menemani.Sedang Papa dan Mama sudah mulai membuka tempat usahanya karena keadaan Akhtira sudah terkondisikan dengan b