:-o
Meski Akhtira belum tidur dengan nyenyak, aku terpaksa melepas ASI dari bibirnya yang mungil itu. Dia sedikit merengek lalu aku memberikannya pada Mbak Santi.“Titip Akhtira bentar ya, Mbak.”Kemudian aku berganti gamis dan mengenakan hijab lalu keluar dari kamar.Sungguh aku sangat penasaran dengan kedatangan Faris, asisten pribadi Pak Akhtara. Dia datang tanpa memberi kabar.Apakah dia datang dengan membawa akta perceraian keduaku dengan Pak Akhtara?Entahlah.Kalau pun iya, aku benar-benar tidak masalah. Toh, di dalam pernikahan kami sudah tidak ada lagi keharmonisan. Beliau juga sudah mendeklarasikan kebahagiaannya hanya bersama Merissa. Bukan bersama denganku juga.Beliau lebih memilih hidup hanya bersama istri keduanya dari pada mempertahankanku sebagai istri pertamanya juga.“Selamat siang, Bu Jihan.”Faris berdiri seketika begitu melihatku dan sedikit menunduk hormat.Dia begitu rapi dengan pakaian batik dan rambut yang begitu klemis. Juga dengan sebuah map di atas meja.Apa is
Penerbangan menuju Jakarta akan dijadwalkan pukul enam malam. Hanya itu penerbangan yang paling mendekati dari waktu sekarang.“Han, ngapain kamu ke Jakarta nemuin Akhtara?” Mama bertanya penuh nada keberatan.“Ma, Akhtira itu putranya. Salah kah aku mengajak ayah putraku untuk memikirkan kesembuhan putra kami?”“Tapi Papanya Akhtara udah ngasih Akhtira kartu khusus. Semua pelayanan terbaik dari rumah sakit ini akan diberikan untuk anakmu.”“Tapi aku nggak bisa mikir ini sendirian, Ma,” ucapku dengan air mata mengalir dari sudut mata.Kemudian aku mengusapnya kasar kemudian menatap Mama.“Gimana kalau Akhtira perlu donor jantung? Gimana kalau … “Aku tidak bisa meneruskan ucapan lalu kembali menatap Mama.“Kalau yang Mama khawatirin aku bakal jatuh hati lagi ke Pak Akhtara,” Lalu kepalaku menggeleng tegas, “Cintaku udah habis di Akhtira, putraku! Aku ngelakuin ini cuma demi kesembuhan dia. Bukan untuk yang lain!”“Gimana kalau Akhtara nolak kemari? Kamu buang-buang waktu, Jihan!” Mama
Ekspresi wajah Pak Akhtara sedikit terkejut mendengar Akhtira sakit.“Dia sakit keras, Pak. Tolong … bantu saya mencari kesembuhan buat dia.”Beliau hanya memandangku lekat dengan memasang pendengaran baik-baik.“Kalau Bapak nggak mencintai dia, seenggaknya … tolong lakukan satu kebaikan besar ini untuk dia. Setelah itu … semuanya terserah Bapak.”“Kalau bukan demi kesembuhan Akhtira … “ Aku mengusap air mata yang mendadak membasahi pipi, “Saya nggak akan mengemis perhatian kayak gini.”Pak Akhtara kemudian menundukkan wajah sembari berperang dengan pikiran dan hatinya. Aku tahu jika beliau sedang berusaha melawan ego dan nafsunya. Sisi buruknya yang selalu memandang buruk diriku dan Akhtira, buah hati kami.“Heh, Jihan! Mending lo pergi dari sini! Lo nggak lihat apa, kalau Mas Tara diem tuh artinya nggak perduli!” Merissa langsung mengambil bagian untuk bicara.Kemudian aku meliriknya tajam dengan emosi yang tidak bisa kubendung.“Jaga mulut lo, Mer! Ini bukan urusan lo!”“Lo yang har
“Mas Tara!”Aku menoleh ke sumber suara yang memanggil nama Pak Akhtara. Dan dalam sekejap dia berlari ke arah Pak Akhtara lalu duduk di samping beliau dan …… memeluknya.Merissa memeluk suaminya. Sekaligus masih suamiku juga.Pak Akhtara nampak kelincutan ketika Merissa memeluknya erat sembari ia duduk di antara kami.Seakan-akan seperti dia adalah pemisah antara aku dan Pak Akhtara.“Aku nyariin kamu dari lantai satu kayak orang gila, Mas. Lagian, kenapa telfon sama pesanku nggak kamu balas sih?”Suara manja Merissa benar-benar membuatku ingin muntah.Aku tidak mempedulikan ulah Merissa dan tampaknya memandangi lantai rumah sakit itu jauh lebih mengasyikkan.“Lain kali pokoknya aku nggak mau ditinggal lagi! Aku nggak bisa tidur sendirian, Mas. Aku takut.”“Semalam aku nggak berani tidur kamar. Aku mondar mandir terus. Kamu tahu kan kalau aku nggak bisa jauh dari kamu.”Aku langsung merasa mual dan menghirup udara sebanyak mungkin lalu menghelanya. Sikap lintah darat dan bermuka dua M
Hari demi hari kondisi Akhtira makin membaik. Dia sudah diperbolehkan meminum ASI namun melewati selang makan.Kerja jantungnya juga sudah berangsur normal pasca operasi. Dia juga sudah sering merengek karena lapar dan tidak sering tidur. Kukunya pun sudah tidak terlihat warna kebiruan lagi.Mata kecil Akhtira mengerjap lucu ketika aku menengoknya yang sudah dipindah ke dalam boks bayi. Putraku itu sudah tidak lagi tidur di dalam inkubator.Aku duduk di sebelahnya sembari mengusap pipi lembutnya.“Hai, jagoan, Bunda. Udah kerasa mendingan? Cepat sembuh ya, Tira. Kita main bareng-bareng di rumah.”Akhtira hanya membalas ucapanku dengan matanya mengerjap lucu.Selama Akhtira dirawat di rumah sakit, aku hanya pulang ketika akan memeras ASI dan tidur saja. Ketika pagi menjelang hingga malam, aku selalu menunggui Akhtira di ruang tunggu pasien bersama Mbak Santi yang selalu menemani.Sedang Papa dan Mama sudah mulai membuka tempat usahanya karena keadaan Akhtira sudah terkondisikan dengan b
POV AKHTARA"Sebelumnya ... saya ucapin makasih banyak sama Bapak karena udah bantuin saya ngelunasi perumahan untuk kedua orang tua."Aku tulus membantunya melunasi perumahan yang ditinggali kedua orang tuanya karena merasa kasihan saja. Tidak lebih. Mengingat Jihan adalah tulang punggung keluarga setelah kebangkrutan bisnis orang tuanya."Saya ini anak tunggal, Pak. Kadang capek juga kerja sendirian nggak ada yang bantuin menghidupi kedua orang tua. Bahkan di ibu kota pun, saya sendirian. Nggak punya teman berkeluh kesah. Mau curhat sama sahabat, takutnya malah disebarluasin.""Tapi, saya bersyukur karena ketemu Bapak. Apalagi sampai saya dikasih kamar yang nyaman. Secara nggak langsung ... Bapak tuh kayak ... sosok kakak dan pelindung,” ucapnya saat kami dalam penerbangan menuju Maldives.Lalu Jihan menautkan kesepuluh jari dan menundukkan kepala. "Bapak tuh dewasa, bijaksana, dan pengertian banget. Apalagi waktu saya mau dipecat kantor tapi Bapak nolongin saya. Entah gimana nasib
Hari demi hari berlalu.Ungkapan cinta yang Jihan tujukan padaku ternyata bukan isapan jempol semata. Ia mulai berani memberikan kontak fisik yang makin membuatku ‘gila’ karenanya.Hingga pada akhirnya setelah kami pulang dari Maldives, apa yang begitu lelaki inginkan ketika memiliki istri, akhirnya tersalurkan.Aku berhasil memiliki Jihan sebagai wanitaku dan istriku sepenuhnya.Meski sebelumnya dia memiliki pekerjaan sampingan sebagai pacar sewaan, namun mahkotanya masih utuh dan terjaga. Dan aku adalah lelaki yang berhasil mengambilnya.Seindah ini rasanya bisa mendapatkan mahkota istri.Bahkan aku tidak lagi mempedulikan masa lalu Jihan yang mungkin pernah melakukan sentuhan fisik dengan lelaki yang pernah menyewanya.Ah … sok suci sekali kalau aku membahas dosa Jihan di masa lalu. Toh aku sendiri juga memiliki beberapa kenangan masa lalu yang berdosa. Me***um Sabrina misalnya.Kalau aku bisa memaklumi masa lalu Jihan dan cintanya padaku cukup besar, bukankah aku hanya tinggal mela
POV AKHTARAHadza dan Jihan berselingkuh. Titik!Itu adalah fakta yang tidak terbantahkan. Bahwa istri yang sangat kucintai bahkan nampak sangat mencintaiku juga, ternyata ... pengkhianat!!!Bawahan dan istriku bermain asmara di belakangku. Dan pantas saja Jihan tidak merespon panggilan atau pesan dariku.Karena selingkuhannya bisa memuaskan dirinya!Hari itu, aku tidak jadi kembali ke Jakarta. Untuk apa? Mengemis cinta pada wanita yang berkhianat? Itu bukan gayaku!Demi menguak perselingkuhannya, aku meminta Den Mas Lubis untuk menghubungi orang kepercayaannya demi meneruskan pengintai pada aktivitas Jihan.Setidaknya, tiga kali dalam sehari, orang kepercayaan Den Mas Lubis mengirim foto maupun video yang menunjukkan pengkhianatan istriku itu. Hingga aku merasa tidak kuat dan lelah dengannya. Orang suruhan Den Mas Lubis menjelaskan banyak poin penting terkait pengkhianatan Jihan.Bahwa dia mendekatiku hanya demi harta karena selanjutnya dia akan berencana menikah dengan Hadza. Dan ya