:-o
Hari demi hari berlalu.Ungkapan cinta yang Jihan tujukan padaku ternyata bukan isapan jempol semata. Ia mulai berani memberikan kontak fisik yang makin membuatku ‘gila’ karenanya.Hingga pada akhirnya setelah kami pulang dari Maldives, apa yang begitu lelaki inginkan ketika memiliki istri, akhirnya tersalurkan.Aku berhasil memiliki Jihan sebagai wanitaku dan istriku sepenuhnya.Meski sebelumnya dia memiliki pekerjaan sampingan sebagai pacar sewaan, namun mahkotanya masih utuh dan terjaga. Dan aku adalah lelaki yang berhasil mengambilnya.Seindah ini rasanya bisa mendapatkan mahkota istri.Bahkan aku tidak lagi mempedulikan masa lalu Jihan yang mungkin pernah melakukan sentuhan fisik dengan lelaki yang pernah menyewanya.Ah … sok suci sekali kalau aku membahas dosa Jihan di masa lalu. Toh aku sendiri juga memiliki beberapa kenangan masa lalu yang berdosa. Me***um Sabrina misalnya.Kalau aku bisa memaklumi masa lalu Jihan dan cintanya padaku cukup besar, bukankah aku hanya tinggal mela
POV AKHTARAHadza dan Jihan berselingkuh. Titik!Itu adalah fakta yang tidak terbantahkan. Bahwa istri yang sangat kucintai bahkan nampak sangat mencintaiku juga, ternyata ... pengkhianat!!!Bawahan dan istriku bermain asmara di belakangku. Dan pantas saja Jihan tidak merespon panggilan atau pesan dariku.Karena selingkuhannya bisa memuaskan dirinya!Hari itu, aku tidak jadi kembali ke Jakarta. Untuk apa? Mengemis cinta pada wanita yang berkhianat? Itu bukan gayaku!Demi menguak perselingkuhannya, aku meminta Den Mas Lubis untuk menghubungi orang kepercayaannya demi meneruskan pengintai pada aktivitas Jihan.Setidaknya, tiga kali dalam sehari, orang kepercayaan Den Mas Lubis mengirim foto maupun video yang menunjukkan pengkhianatan istriku itu. Hingga aku merasa tidak kuat dan lelah dengannya. Orang suruhan Den Mas Lubis menjelaskan banyak poin penting terkait pengkhianatan Jihan.Bahwa dia mendekatiku hanya demi harta karena selanjutnya dia akan berencana menikah dengan Hadza. Dan ya
POV AKHTARA“Pengambilan janin sudah selesai dilakukan, Pak Akhtara.”Aku yang sedang menghisap nikotin di dekat mobil, sontak menoleh ke arah Dokter Arman. Di tangannya ada sebuah wadah yang telah dibungkus plastik hitam.“Ini adalah janinnya. Lebih baik, Bapak kebumikan dengan layak.”Ada keengganan ketika aku akan menerima barang itu.“Pak Akhtara, tolong jangan buat saya makin berdosa dengan membuang janin ini sembarangan. Karena kesepakatan kita hanya sebatas saya mengambil janin itu dari rahim Bu Jihan dan Pak Akhtara tidak memberhentikan saya dari rumah sakit.”Akhirnya dengan berat hati aku menerima barang itu.“Bapak bisa mengebumikannya di kuburan. Selayaknya mengubur jasad manusia.”Sejauh ini aku tidak berkata apapun tentang siapa Jihan dalam kehidupanku. Namun Dokter Arman pasti memiliki pemikiran jika yang dikandung Jihan adalah darah dagingku. Karena aku tidak mungkin bertindak sejauh ini jika Jihan bukan seseorang yang memiliki arti dalam hidupku.“Dimana, Jihan?”“Masi
POV AKHTARADihari pertama aku menikahi Merissa, di hari itu pula aku kehilangan Jihan. "Mas, mau kemana?!" Tanya Merissa ketika aku sedang bersiap-siap.Merissa yang masih mengenakan gaun pernikahan pun terheran-heran. "Nyari Jihan," ucapku setenang mungkin. "Paling dia keluar kemana gitu, Mas. Nanti pasti pulang. Lagian kita baru menikah.""Mer! Please, jangan halangi aku nyari Jihan. Dia juga istriku! Tolong kamu ngertiin!""Terus kamu mau nyari Jihan kemana, Mas?"Usai membaca pesan dari Den Mas Lubis yang mengatakan bahwa orang suruhannya mulai bergerak ke Bogor, aku segera memasukkan ponsel ke dalam tas kecil milikku. "Aku pergi, Mer. Maaf ... di hari pertama kita menikah, aku malah pergi nyari Jihan. Setelah ketemu, aku pasti pulang.""Kalau nggak ketemu? Apa kamu bakal nelantarin aku di rumah? Iya?" Tanyanya dengan nada meradang."Mer, please. Kalian berdua istri-istriku. Aku udah berjanji bakal adil ke kalian. Please, Mer."Usai mencium keningnya, aku segera berlalu dari k
POV AKHTARA“Mau kemana, Mas?” Tanya Merissa.Dia baru saja mandi pagi sedang aku sudah bersiap-siap akan pergi.“Mau ketemu sepupu, Mer.”“Siapa?”“Den Mas Lubis.”Merissa kemudian berjalan ke arahku dengan rambut setengah basahnya dan memakai bathrobe.Dulu, jika Jihan yang mengenakannya, aku pasti akan langsung ‘memakannya’ saat itu juga. Tapi mengapa ketika Merissa yang memakainya aku … tenang-tenang saja?Apa ada yang salah dengan hasratku?Apa karena usiaku yang sudah menginjak angka empat puluh tiga dan stress yang melanda sehingga gairahku menurun?Oh ayolah. Aku merasa belum terlalu tua.“Ngapain?”“Katanya ada yang pengen diomongin. Aku juga nggak tahu apa.”“Aku ikut ya, Mas? Bosen di rumah sendirian.”Aku memegang kedua pundaknya sembari menatap kedua bola matanya.“Dia bilang ini urusan lelaki, Mer. Aku nggak enak kalau ngajak kamu.”Merissa menghela nafas kecewa sembari memasang wajah masam.“Nggak ngerti amat sepupu kamu, Mas. Kita kan pengantin baru.”Kemudian aku memba
POV AKHTARA“Aku pengen jalan-jalan ke Eropa. Ke tempat-tempat yang romantis!”Merissa berkata dengan sedikit ketus bercampur kesal.Mendengar dia ingin ke benua biru tersebut, jujur aku tidak berniat pergi ke negara yang jauhnya teramat. Melelahkan dan … entahlah, aku tidak berminat saja.Masih dengan memeluk Merissa dari belakang, aku pun berbisik …“Bali nggak kalah bagus. Nggak capek di perjalanan dan … “Aku menggantung kalimat karena masih memikirkan apa kelanjutannya yang kira-kira bisa membuat Merissa bersedia menuruti keinginanku itu.“Dan apa, Mas?” Tanyanya.Lalu sebuah ide cemerlang muncul di kekeruhan otakku yang sedari kemarin terus memikirkan Jihan saja.“Ehm … kita bisa langsung check in di hotel mungkin.”Aku pikir dengan menuruti saran Den Mas Lubis dan Mama untuk membahagiakan Merissa adalah jalan terbaik yang bisa kupilih. Karena Jihan tidak bisa kutemukan. Jejaknya tidak bisa kulacak sama sekali.Menuntut pertanggungjawaban pada Mbak Mini dan Rosita juga tidak memb
POV AKHTARA“Aku nggak akan nyari Jihan lagi.”Papa kemudian menoleh dengan wajah geramnya seraya menatapku tajam. Jihan seolah-olah telah mendapatkan hati Papa.Entah bagaimana caranya perempuan itu bisa begitu mudah membuat lawannya menjadi menyukainya. Tapi tidak denganku yang masih saja membencinya tapi … juga menginginkannya.Sialan sekali hatiku ini!Mengapa tidak sekalian saja membenci Jihan sejadi-jadinya!Mengapa masih saja aku memikirkan dirinya berada dimana dan … bersama siapa?!Aaargh!!!“Karena dia pergi atas kemauannya sendiri! Aku nggak pernah nyuruh dia pergi satu kali pun!”“Justru, aku nyuruh Mbak Mini sama Rosita buat jagain Jihan biar nggak kabur! Tapi … “Kemudian aku menatap tajam Mbak Mini yang berdiri dengan wajah menunduk lalu menunjuknya.“Mereka berdua justru teledor! Jihan akhirnya kabur!”“Kamu tahu kenapa seorang istri yang baik kayak Jihan lebih milih kabur dari pada hidup sama kamu, Tara?!”Aku menatap Papa dengan sorot keheranan karena menilai Jihan se
POV AKHTARAHari demi hari berlalu. Tak terasa usia pernikahanku dengan Merissa telah memasuki bulan keenam.Selama itu pula aku berusaha berdamai dengan keadaan dan perasaanku. Bahwa yang kini menemani hari-hariku adalah Merissa saja. Tanpa ada Jihan.Merissa begitu telaten dan sabar menghadapi keadaanku. Baik itu dari segi psikis dan fisikku.Jarang sekali dia menjelek-jelekkan Jihan dihadapanku meski aku belum menceritakan masa laluku bersama Jihan. Justru, Merissa lah yang membuka pikiranku untuk lebih lapang menerima apa yang terjadi dan menjadikan masa lalu sebagai pelajaran.Dan dia juga tidak memaksaku untuk mengatakan tentang masa laluku dengan Jihan. Dengan alasan agar aku tidak kembali teringat pada Jihan dan lebih fokus menatap rumah tangga kami berdua.Setelah meminum obat yang membuatku berstamina, seperti malam-malam sebelumnya, aku memberikan kepuasan batin untuk menyenangkan Merissa. Meski tidak dengan batinku yang tak terpuaskan.Apakah seperti perasaan Jihan ketika a