:-o
POV AKHTARA“Pengambilan janin sudah selesai dilakukan, Pak Akhtara.”Aku yang sedang menghisap nikotin di dekat mobil, sontak menoleh ke arah Dokter Arman. Di tangannya ada sebuah wadah yang telah dibungkus plastik hitam.“Ini adalah janinnya. Lebih baik, Bapak kebumikan dengan layak.”Ada keengganan ketika aku akan menerima barang itu.“Pak Akhtara, tolong jangan buat saya makin berdosa dengan membuang janin ini sembarangan. Karena kesepakatan kita hanya sebatas saya mengambil janin itu dari rahim Bu Jihan dan Pak Akhtara tidak memberhentikan saya dari rumah sakit.”Akhirnya dengan berat hati aku menerima barang itu.“Bapak bisa mengebumikannya di kuburan. Selayaknya mengubur jasad manusia.”Sejauh ini aku tidak berkata apapun tentang siapa Jihan dalam kehidupanku. Namun Dokter Arman pasti memiliki pemikiran jika yang dikandung Jihan adalah darah dagingku. Karena aku tidak mungkin bertindak sejauh ini jika Jihan bukan seseorang yang memiliki arti dalam hidupku.“Dimana, Jihan?”“Masi
POV AKHTARADihari pertama aku menikahi Merissa, di hari itu pula aku kehilangan Jihan. "Mas, mau kemana?!" Tanya Merissa ketika aku sedang bersiap-siap.Merissa yang masih mengenakan gaun pernikahan pun terheran-heran. "Nyari Jihan," ucapku setenang mungkin. "Paling dia keluar kemana gitu, Mas. Nanti pasti pulang. Lagian kita baru menikah.""Mer! Please, jangan halangi aku nyari Jihan. Dia juga istriku! Tolong kamu ngertiin!""Terus kamu mau nyari Jihan kemana, Mas?"Usai membaca pesan dari Den Mas Lubis yang mengatakan bahwa orang suruhannya mulai bergerak ke Bogor, aku segera memasukkan ponsel ke dalam tas kecil milikku. "Aku pergi, Mer. Maaf ... di hari pertama kita menikah, aku malah pergi nyari Jihan. Setelah ketemu, aku pasti pulang.""Kalau nggak ketemu? Apa kamu bakal nelantarin aku di rumah? Iya?" Tanyanya dengan nada meradang."Mer, please. Kalian berdua istri-istriku. Aku udah berjanji bakal adil ke kalian. Please, Mer."Usai mencium keningnya, aku segera berlalu dari k
POV AKHTARA“Mau kemana, Mas?” Tanya Merissa.Dia baru saja mandi pagi sedang aku sudah bersiap-siap akan pergi.“Mau ketemu sepupu, Mer.”“Siapa?”“Den Mas Lubis.”Merissa kemudian berjalan ke arahku dengan rambut setengah basahnya dan memakai bathrobe.Dulu, jika Jihan yang mengenakannya, aku pasti akan langsung ‘memakannya’ saat itu juga. Tapi mengapa ketika Merissa yang memakainya aku … tenang-tenang saja?Apa ada yang salah dengan hasratku?Apa karena usiaku yang sudah menginjak angka empat puluh tiga dan stress yang melanda sehingga gairahku menurun?Oh ayolah. Aku merasa belum terlalu tua.“Ngapain?”“Katanya ada yang pengen diomongin. Aku juga nggak tahu apa.”“Aku ikut ya, Mas? Bosen di rumah sendirian.”Aku memegang kedua pundaknya sembari menatap kedua bola matanya.“Dia bilang ini urusan lelaki, Mer. Aku nggak enak kalau ngajak kamu.”Merissa menghela nafas kecewa sembari memasang wajah masam.“Nggak ngerti amat sepupu kamu, Mas. Kita kan pengantin baru.”Kemudian aku memba
POV AKHTARA“Aku pengen jalan-jalan ke Eropa. Ke tempat-tempat yang romantis!”Merissa berkata dengan sedikit ketus bercampur kesal.Mendengar dia ingin ke benua biru tersebut, jujur aku tidak berniat pergi ke negara yang jauhnya teramat. Melelahkan dan … entahlah, aku tidak berminat saja.Masih dengan memeluk Merissa dari belakang, aku pun berbisik …“Bali nggak kalah bagus. Nggak capek di perjalanan dan … “Aku menggantung kalimat karena masih memikirkan apa kelanjutannya yang kira-kira bisa membuat Merissa bersedia menuruti keinginanku itu.“Dan apa, Mas?” Tanyanya.Lalu sebuah ide cemerlang muncul di kekeruhan otakku yang sedari kemarin terus memikirkan Jihan saja.“Ehm … kita bisa langsung check in di hotel mungkin.”Aku pikir dengan menuruti saran Den Mas Lubis dan Mama untuk membahagiakan Merissa adalah jalan terbaik yang bisa kupilih. Karena Jihan tidak bisa kutemukan. Jejaknya tidak bisa kulacak sama sekali.Menuntut pertanggungjawaban pada Mbak Mini dan Rosita juga tidak memb
POV AKHTARA“Aku nggak akan nyari Jihan lagi.”Papa kemudian menoleh dengan wajah geramnya seraya menatapku tajam. Jihan seolah-olah telah mendapatkan hati Papa.Entah bagaimana caranya perempuan itu bisa begitu mudah membuat lawannya menjadi menyukainya. Tapi tidak denganku yang masih saja membencinya tapi … juga menginginkannya.Sialan sekali hatiku ini!Mengapa tidak sekalian saja membenci Jihan sejadi-jadinya!Mengapa masih saja aku memikirkan dirinya berada dimana dan … bersama siapa?!Aaargh!!!“Karena dia pergi atas kemauannya sendiri! Aku nggak pernah nyuruh dia pergi satu kali pun!”“Justru, aku nyuruh Mbak Mini sama Rosita buat jagain Jihan biar nggak kabur! Tapi … “Kemudian aku menatap tajam Mbak Mini yang berdiri dengan wajah menunduk lalu menunjuknya.“Mereka berdua justru teledor! Jihan akhirnya kabur!”“Kamu tahu kenapa seorang istri yang baik kayak Jihan lebih milih kabur dari pada hidup sama kamu, Tara?!”Aku menatap Papa dengan sorot keheranan karena menilai Jihan se
POV AKHTARAHari demi hari berlalu. Tak terasa usia pernikahanku dengan Merissa telah memasuki bulan keenam.Selama itu pula aku berusaha berdamai dengan keadaan dan perasaanku. Bahwa yang kini menemani hari-hariku adalah Merissa saja. Tanpa ada Jihan.Merissa begitu telaten dan sabar menghadapi keadaanku. Baik itu dari segi psikis dan fisikku.Jarang sekali dia menjelek-jelekkan Jihan dihadapanku meski aku belum menceritakan masa laluku bersama Jihan. Justru, Merissa lah yang membuka pikiranku untuk lebih lapang menerima apa yang terjadi dan menjadikan masa lalu sebagai pelajaran.Dan dia juga tidak memaksaku untuk mengatakan tentang masa laluku dengan Jihan. Dengan alasan agar aku tidak kembali teringat pada Jihan dan lebih fokus menatap rumah tangga kami berdua.Setelah meminum obat yang membuatku berstamina, seperti malam-malam sebelumnya, aku memberikan kepuasan batin untuk menyenangkan Merissa. Meski tidak dengan batinku yang tak terpuaskan.Apakah seperti perasaan Jihan ketika a
POV AKHTARA“Undangan pertunangan gue sama cewek gue. Bukan sama istri orang. Namanya Mytha, bukan Jihan!”Karena aku tidak kunjung menerima undangan itu, Rafqi menarik tanganku dan meletakkannya di telapak.“Semoga lo sadar kalau gue selama ini nggak pernah main gila sama Jihan! Dia bukan tipe gue dan gue nggak ada perasaan apapun ke dia selain pernah berterima kasih karena dia udah nemuin ponsel gue. Titik!”Rafqi kemudian berlalu dari hadapanku sedang aku segera membuka undangan itu dan membacanya dengan seksama. Aku langsung menghela nafas panjang dengan hati dipenuhi rasa bersalah pada Rafqi dan … Jihan.Benarkah jika mereka memang tidak memiliki hubungan spesial apapun?Benarkah jika aku yang selama ini terlalu salah paham padanya?Mengapa sesulit ini untuk percaya dengan segala hal yang berkaitan dengan Jihan?Ketika rasa berasalah itu mendominasi, lalu kata hatiku kembali berbisik.Siapa tahu jika awalnya Jihan dan Rafqi memanglah memiliki hubungan. Lalu setelah aku memergoki k
POV AKHTARAPapa dan Abid memutuskan untuk menginap di rumahku karena esok pagi, kami berdua akan menuju Yogya.Setelah pembicaraan yang membuat rahasiaku dan Jihan terkuak terang-terangan di depan Merissa, kini aku berada di kamar dengan dirinya yang nampak terpukul. Kemudian aku mencoba mendekatinya dengan niatan untuk menjelaskan segalanya.Aku mengambil duduk di sebelahnya yang sedang melamun dengan menatap lantai kamar.“Mer?” Panggilku pelan.Wajahnya benar-benar muram dan hanya melirikku sekilas.“Aku mau ceritain segalanya dari awal sampai akhir. Tentang hubunganku sama Jihan.”Dia terseyum miris kemudian mendadak tidak bisa menahan kesedihannya dan pecahlah tangisnya.Aku langsung merengkuhnya dalam pelukan dan membiarkannya menangis selega-leganya. Karena aku tahu ini pasti menyakitkan untuk Merissa setelah aku membohonginya dengan berkata bahwa tidak pernah sekalipun ‘menyentuh’ Jihan.Dia menganggap aku hanya miliknya dan hanya menginginkannya. Tapi pada kenyataannya, aku m