:-o
POV AKHTARA“Aku pengen jalan-jalan ke Eropa. Ke tempat-tempat yang romantis!”Merissa berkata dengan sedikit ketus bercampur kesal.Mendengar dia ingin ke benua biru tersebut, jujur aku tidak berniat pergi ke negara yang jauhnya teramat. Melelahkan dan … entahlah, aku tidak berminat saja.Masih dengan memeluk Merissa dari belakang, aku pun berbisik …“Bali nggak kalah bagus. Nggak capek di perjalanan dan … “Aku menggantung kalimat karena masih memikirkan apa kelanjutannya yang kira-kira bisa membuat Merissa bersedia menuruti keinginanku itu.“Dan apa, Mas?” Tanyanya.Lalu sebuah ide cemerlang muncul di kekeruhan otakku yang sedari kemarin terus memikirkan Jihan saja.“Ehm … kita bisa langsung check in di hotel mungkin.”Aku pikir dengan menuruti saran Den Mas Lubis dan Mama untuk membahagiakan Merissa adalah jalan terbaik yang bisa kupilih. Karena Jihan tidak bisa kutemukan. Jejaknya tidak bisa kulacak sama sekali.Menuntut pertanggungjawaban pada Mbak Mini dan Rosita juga tidak memb
POV AKHTARA“Aku nggak akan nyari Jihan lagi.”Papa kemudian menoleh dengan wajah geramnya seraya menatapku tajam. Jihan seolah-olah telah mendapatkan hati Papa.Entah bagaimana caranya perempuan itu bisa begitu mudah membuat lawannya menjadi menyukainya. Tapi tidak denganku yang masih saja membencinya tapi … juga menginginkannya.Sialan sekali hatiku ini!Mengapa tidak sekalian saja membenci Jihan sejadi-jadinya!Mengapa masih saja aku memikirkan dirinya berada dimana dan … bersama siapa?!Aaargh!!!“Karena dia pergi atas kemauannya sendiri! Aku nggak pernah nyuruh dia pergi satu kali pun!”“Justru, aku nyuruh Mbak Mini sama Rosita buat jagain Jihan biar nggak kabur! Tapi … “Kemudian aku menatap tajam Mbak Mini yang berdiri dengan wajah menunduk lalu menunjuknya.“Mereka berdua justru teledor! Jihan akhirnya kabur!”“Kamu tahu kenapa seorang istri yang baik kayak Jihan lebih milih kabur dari pada hidup sama kamu, Tara?!”Aku menatap Papa dengan sorot keheranan karena menilai Jihan se
POV AKHTARAHari demi hari berlalu. Tak terasa usia pernikahanku dengan Merissa telah memasuki bulan keenam.Selama itu pula aku berusaha berdamai dengan keadaan dan perasaanku. Bahwa yang kini menemani hari-hariku adalah Merissa saja. Tanpa ada Jihan.Merissa begitu telaten dan sabar menghadapi keadaanku. Baik itu dari segi psikis dan fisikku.Jarang sekali dia menjelek-jelekkan Jihan dihadapanku meski aku belum menceritakan masa laluku bersama Jihan. Justru, Merissa lah yang membuka pikiranku untuk lebih lapang menerima apa yang terjadi dan menjadikan masa lalu sebagai pelajaran.Dan dia juga tidak memaksaku untuk mengatakan tentang masa laluku dengan Jihan. Dengan alasan agar aku tidak kembali teringat pada Jihan dan lebih fokus menatap rumah tangga kami berdua.Setelah meminum obat yang membuatku berstamina, seperti malam-malam sebelumnya, aku memberikan kepuasan batin untuk menyenangkan Merissa. Meski tidak dengan batinku yang tak terpuaskan.Apakah seperti perasaan Jihan ketika a
POV AKHTARA“Undangan pertunangan gue sama cewek gue. Bukan sama istri orang. Namanya Mytha, bukan Jihan!”Karena aku tidak kunjung menerima undangan itu, Rafqi menarik tanganku dan meletakkannya di telapak.“Semoga lo sadar kalau gue selama ini nggak pernah main gila sama Jihan! Dia bukan tipe gue dan gue nggak ada perasaan apapun ke dia selain pernah berterima kasih karena dia udah nemuin ponsel gue. Titik!”Rafqi kemudian berlalu dari hadapanku sedang aku segera membuka undangan itu dan membacanya dengan seksama. Aku langsung menghela nafas panjang dengan hati dipenuhi rasa bersalah pada Rafqi dan … Jihan.Benarkah jika mereka memang tidak memiliki hubungan spesial apapun?Benarkah jika aku yang selama ini terlalu salah paham padanya?Mengapa sesulit ini untuk percaya dengan segala hal yang berkaitan dengan Jihan?Ketika rasa berasalah itu mendominasi, lalu kata hatiku kembali berbisik.Siapa tahu jika awalnya Jihan dan Rafqi memanglah memiliki hubungan. Lalu setelah aku memergoki k
POV AKHTARAPapa dan Abid memutuskan untuk menginap di rumahku karena esok pagi, kami berdua akan menuju Yogya.Setelah pembicaraan yang membuat rahasiaku dan Jihan terkuak terang-terangan di depan Merissa, kini aku berada di kamar dengan dirinya yang nampak terpukul. Kemudian aku mencoba mendekatinya dengan niatan untuk menjelaskan segalanya.Aku mengambil duduk di sebelahnya yang sedang melamun dengan menatap lantai kamar.“Mer?” Panggilku pelan.Wajahnya benar-benar muram dan hanya melirikku sekilas.“Aku mau ceritain segalanya dari awal sampai akhir. Tentang hubunganku sama Jihan.”Dia terseyum miris kemudian mendadak tidak bisa menahan kesedihannya dan pecahlah tangisnya.Aku langsung merengkuhnya dalam pelukan dan membiarkannya menangis selega-leganya. Karena aku tahu ini pasti menyakitkan untuk Merissa setelah aku membohonginya dengan berkata bahwa tidak pernah sekalipun ‘menyentuh’ Jihan.Dia menganggap aku hanya miliknya dan hanya menginginkannya. Tapi pada kenyataannya, aku m
POV AKHTARASesenti pun mataku tidak berpindah dari wanita yang masih bergelar istriku itu. Wajah putihnya yang terbungkus pashmina terlihat lebih berisi dan kedua matanya menatapku lebar-lebar.Jihan mungkin tidak percaya dengan kedatanganku. Sama! Aku juga tidak percaya akan bertemu dengannya setelah lama tidak bertemu.Kemudian dia mundur beberapa langkah dari pintu ruang tamu yang tetap dia biarkan terbuka dengan wajah terkejut luar biasa. Lalu tidak sengaja mataku menatap perutnya yang …Aku menatap perutnya yang membesar dengan rasa penasaran yang teramat dan terkejut luar biasa.Apakah … Jihan hamil?Belum sempat aku berkata apapun, Jihan dengan keterkejutannya langsung berlalu dengan cepat menuju kamar. Kemudian terdengar suara kunci diputar.Masih dengan keterkejutan yang belum selesai, Papa kemudian menghampiriku.“Masuk, Tara. Papa mau bicara di dalam.”Setelah melepas alas kaki, aku dan Papa masuk ke dalam rumah yang sederhana ini. Ruang tamu hanya ada karpet merah yang ter
POV AKHTARAKata dokter, Jihan mengalami drop karena ketakutannya saat melihat keberadaanku di dekatnya.Aku berani bertaruh jika dia takut aku akan berbuat hal yang sama seperti satu tahun silam. Yaitu mengambil paksa janinnya.Ada perasaan bersalah dan malu karena hal itu tidak hanya diketahui Jihan saja, melainkan kedua orang tua kami berdua telah mengetahui semuanya. Dan Papa telah mengetahui itu semua sejelas-jelasnya dari Dokter Arman.Karena kondisinya tidak darurat, Jihan kemudian dipindahkan ke ruang rawat inap super eksklusif di rumah sakit ini.Dia tidak mau menatapku dan selalu terlihat ketakutan ketika aku berada di sekitarnya.Baru saja aku menyibak tirai kamar rawat inapnya, Papanya Jihan langsung menghadiahi sebuah bogeman ke pipiku.Bugh!Sakit dan sudut bibirku mengeluarkan darah.Namun aku tidak membalas tindakan beliau. Itu adalah ekspresi marah seorang ayah pada suami putrinya yang dianggap begitu kurang ajar.Beliau kemudian keluar dari kamar rawat Jihan karena ti
POV AKHTARATanpa menunggu Jihan pulih, esok harinya aku memutuskan kembali ke Bogor tanpa sepengetahuan Papa. Kalaupun Papa marah, biarlah. Aku akan terima sekaligus dengan konsekuensinya.Mana mungkin aku sanggup menemani Jihan hingga pulih tapi pada akhirnya aku dilarang merujuk dirinya?Begitu tiba di rumah, Merissa terkejut melihat kedatanganku. Kebetulan dia masih izin tidak bekerja. “Lho, Mas? Kamu udah pulang?”Aku mengangguk lalu membawanya dalam pelukan.“Aku kangen kamu, Mer,” ucapku dengan memeluknya erat-erat.Merissa yang kupeluk tapi justru ciumanku semalam bersama Jihan menari-nari di dalam benak.Aku memeluknya hanya untuk mengikis dominasi Jihan di dalam hatiku. Juga untuk belajar menerima dia menjadi satu-satunya ratu di dalam hatiku kelak meski … hatiku masih saja enggan.Jihan yang kubutuhkan tapi kedua orang tua kami tidak akan pernah setuju andai kami kembali rujuk. Dan pastinya, Jihan sudah tidak sudi menerimaku lagi.“Aku juga kangen kamu, Mas. Aku takut kamu
POV AKHTARA Sepasang tiket VIP dari biro perjalanan ke tanah suci sudah siap di tangan. "Apa kamu yakin ini adalah cara terbaik bikin kedua orang tua Jihan mau merestui hubungan saya sama Jihan, Ris?" Tanyaku."Kita coba saja dulu, Pak. Kalau Bapak ngasih harta atau rumah baru, belum tentu orang tua Bu Jihan luluh. Justru marah yang iya. Tapi kalau hadiah sepaket perjalanan ke tanah suci, saya rasa itu adalah hadiah terbaik sepanjang masa."Apa yang dikatakan Faris ada benarnya. "Oke. Saya akan hubungi Jihan kalau nanti malam mau bertamu ke rumahnya.""Semoga semuanya lancar, Pak."Hampir satu minggu ini aku dan Faris berpikir tentang hadiah terbaik untuk kedua orang tua Jihan agar sudi menerimaku lagi. Dan pilihan kami jatuh pada tanah suci. Dan selama satu minggu itu pula, aku selalu memikirkan Jihan dan Akhtira. Apakah Jihan mendapat omongan yang tidak mengenakkan dari kedua orang tuanya karena memilihku?Ataukah semuanya baik-baik saja tidak seperti dugaanku?Sebab, satu minggu
POV AKHTARA“Maaf katamu?” Tanya Farhan dengan suara sinis.“Waktu Jihan merawat Akhtira sendirian, dihina orang lain perempuan nggak benar karena melahirkan tanpa suami, lalu Akhtira dihina anak haram, siapa yang jadi tameng untuk mereka heh?!”Aku tidak menjawab dan hanya menatap Farhan. Membiarkan dia menyelesaikan ucapannya. “Aku!” Dia menepuk dadanya dengan wajah benar-benar kesal.“Bukan kamu! Yang tiba-tiba datang ngambil semua yang aku usahakan!” ucapnya dengan menunjuk dadaku.“Kamu memang ayah kandung Akhtira, tapi aku yang lebih banyak berjasa ke mereka! Aku menyayangi mereka itu tulus!”“Dan Jihan nggak mungkin berpaling kalau bukan karena kamu pakai acara pura-pura mau mati! Biar apa, heh?! Dapat simpati Jihan dengan cara pintas? Iya?!”Kepalaku menggeleng dengan menatap Farhan yang begitu kecewa dan sakit hati.“Munafik!”“Saya nggak perlu menjelaskannya ke kamu karena saya tahu kamu nggak butuh itu, Far.”Tanpa berkata lagi, Farhan kemudian menaiki motornya dengan ekspr
POV AKHTARA [Pesan dariku : Han, saya mau ke rumahmu malam ini. Apa boleh?]Aku menunggu jawaban Jihan dengan sangat tidak sabaran. Menit demi menit itu terasa sangat lama sekali. Kemana dia? Mengapa sedang tidak online?Setelah lima menit dan mondar-mandir sendiri di dalam apartemen, aku kembali melihat ponsel yang masih saja belum menunjukkan ada notifikasi dari Jihan.Baru kemarin Jihan bertamu ke apartemenku, dan hari ini aku langsung bergerak cepat. Memangnya mau menunggu apa?Ting …Aku segera meraih ponsel yang ada di meja dengan harap-harap cemas semoga saja itu dari Jihan.Dan ...[Pesan dari Jihan : Maaf, Pak. Mau apa memangnya?]Kemudian aku langsung menekan gambar telfon dan terhubung ke nomer Jihan. Aku merasa berbicara langsung itu lebih jelas dan gamblang dari pada mengatakannya melalui pesan singkat.“Halo?”“Saya mencintai kamu, Han.”Ini mungkin terlihat sangat frontal dan tidak sabaran. Karena aku langsung mengatakan isi hatiku kepada Jihan tanpa ada basa basi sama
POV AKHTARAJihan kemudian menoleh dengan mata berkaca-kaca kemudian dia berdiri tanpa membawa paper bag. Lalu dia berjalan ke arahku hingga terlihat jelas ekspresi wajahnya.Kecewa, sedih, dan marah bercampur menjadi satu.“Ketika Bapak mau pergi meninggalkan saya dan Akhtira, setelah nyuruh Faris datang ke rumah dengan memberikan deretan surat berharga beserta rekening berisi uang yang nggak main-main banyaknya, kenapa Bapak nggak angkat telfon saya?”“Kenapa Bapak main pergi aja waktu itu?”Lalu air matanya kembali jatuh setetes membasahi pipi.“Bapak ngasih saya dan Akhtira harta sebanyak itu lalu pergi gitu aja, saya kayak merasa semuanya bisa Bapak hargai pakai uang!”Kemudian air mata Jihan makin deras membasahi pipinya. Bahkan bibirnya ikut bergetar menahan isak tangis.“Saya tahu Bapak itu kaya, tapi kenapa semuanya selalu Bapak putuskan sendiri tanpa dengerin saya dulu! Kenapa Bapak selalu menilainya pakai uang?! Bapak punya hati dan cinta kan?! Kenapa nggak mencoba menggunak
POV AKHTARATujuh hari aku berada di tanah suci untuk benar-benar menghambakan diri pada Tuhan. Segala urusan duniawi kukesampingkan.Aku benar-benar mengharap ampunan turun bersama dengan kesungguhanku saat bersujud, menengadahkan tangan, dan tetesan air mata penyesalan.Kugunakan waktu itu sebaik mungkin dengan memperbanyak ibadah. Aku hanya pulang ke hotel jika benar-benar mengantuk.Aku tidak tahu apakah pemeriksaan keseluruhan terhadap kesehatanku itu lolos ataukah tidak. Bila lolos dan dinyatakan cocok, setidaknya aku telah membasuh jiwaku di tanah suci sebelum kembali pada sang Khaliq.Tapi bila tidak lolos, aku harap Tuhan memberi jalan kehidupan yang lebih baik. Karena aku sudah tidak lagi muda dan waktunya lebih fokus pada ibadah serta keluarga.Faris melambaikan tangannya begitu aku keluar dari pintu kedatangan penerbangan luar negeri. Dengan menggeret koper, aku menghampirinya yang menatapku dengan pandangan berkaca-kaca.Dia sudah kuanggap seperti adik dan langsung merangk
POV AKHTARA Faris yang berdiri di samping itu kemudian menatapku penuh keterkejutan. Pun dengan dokter yang kuajak berbicara dan masih memegang hasil laboratorium pasien yang menderita sakit keras itu. "Pak, apa ... maksudnya?" Tanya dokter itu. "Maksud saya seperti yang dokter pikirkan."Dokter itu kemudian menatap Faris dengan penuh keterkejutan. Pasalnya mana ada orang yang sudi mendonorkan hatinya dengan terang-terangan seperti aku?Mungkin mereka pikir aku sedang main-main dengan hal ini. Padahal aku benar-benar merasa bahwa ini adalah titik balik untuk memperbaiki diri dan mendapatkan ampunan dari Tuhan atas semua kesalahanku. "Pak Akhtara, maaf. Ini bukan perkara sederhana, Pak. Mendonorkan hati itu tidak sama dengan mendonorkan ginjal. Manusia punya dua ginjal dan masih bisa bertahan hidup dengan satu ginjal. Tapi kalau hati ... manusia hanya punya satu, Pak. Kalau itu diambil, maka --- ""Saya mati. Begitu kan alurnya?" Jawabku tenang. Dokter dan Faris saling bertatapan d
POV AKHTARA“Mas, mau gendong Tira nggak?” Tanya Abid dengan suara sangat lirih.Aku yang tengah duduk di bangku belakang sambil menatap keluar jendela mobil pun beralih atensi pada adikku itu.Dia tengah memangku putraku, Akhtira, yang sudah tertidur dengan lelap. Sedang kedua anaknya masing-masing dipangku istrinya dan Papa. Hanya aku saja yang tidak memangku anak kecil.Kemudian aku melongok ke arah putraku itu. Dia benar-benar damai terlelap di atas pangkuan adikku. Dan selalu enggan untuk berdekatan denganku.“Apa dia nanti nggak kebangun, Bid?” Tanyaku dengan suara sama lirihnya.“Pelan-pelan aja, Mas.”Lalu aku mengusap pipi halusnya itu dengan ibu jari untuk memastikan apakah Akhtira benar-benar sangat terlelap. Ternyata putraku itu tetap tidur dengan sangat pulas.“Kayaknya dia kecapekan habis main air terus perutnya kenyang. Jadi deh ngorok.”Aku menahan tawa karena guyonan Abid lalu mengangguk dengan mengulurkan kedua tangan untuk menerima putraku.Galau di hati yang sedari
POV AKHTARAAku harus tetap professional dengan tidak mencampuradukkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Meski terasa sulit dengan tidak memikirkan penolakan Jihan saat aku sedang bekerja seperti ini.Permintaan Jihan yang tidak bersedia rujuk adalah sebuah keputusan yang tidak boleh kupaksa. Dia memiliki hak yang harus kuhormati sekalipun itu melukai hatiku.Cintaku pada sesama manusia telah habis di Jihan.Meski Humaira begitu baik secara sifat dan iman, tetap saja aku selalu terbayang Jihan. Bukankah akan makin menyakiti Humaira jika dia mengerti jika hatiku masih tertambat pada Jihan?“Mungkin jika Bu Jihan sudah menikah lagi, Bapak akan benar-benar bisa melepas dan melupakannya. Karena pintu untuk mendapatkannya benar-benar telah tertutup,” ucap Faris.Aku menghela nafas panjang dengan menatap gelas minumku yang mengembun. Kami sedang makan malam bersama karena aku tidak mau makan malam sendirian. Kebetulan tempat tinggal Faris tidak jauh dari apartemen tempatku berteduh.“M
POV AKHTARAKarena putraku, Akhtira, sedang duduk di pangkuan seorang lelaki dengan menghadap wajah orang itu. Bahkan senyum putraku terlihat mengembang penuh tawa apalagi saat lelaki itu menyerukkan kepalanya ke arah dada putraku.Tira kembali tertawa terpingkal karena geli dan mencengkeram rambut lelaki itu. Semakin Tira terpingkal, dia semakin menyerukkan kepalanya ke dada putraku hingga tawa keduanya menguar bebas dan membuatku … iri.Lelaki yang masih memakai kemeja putih dan celana kain hitam khas pakaian ASN itu, apakah dia yang bernama Farhan?Seorang aparatur sipil negara yang berstatus duda dan sedang mendekati Jihan.Karena lelaki itu sibuk menyerukkan kepalanya di dada putraku, dia tidak menyadari kehadiranku yang menatap ke arahnya dengan penuh rasa iri dan sedih.Iri karena putraku bisa seakrab itu dengannya. Padahal aku ini ayah biologisnya.Dan sedih karena aku belum pernah sekalipun menggendong putraku sama sekali.Sudah berapa lama mereka bersama? Sudah berapa lama le