:-o
POV AKHTARAKata dokter, Jihan mengalami drop karena ketakutannya saat melihat keberadaanku di dekatnya.Aku berani bertaruh jika dia takut aku akan berbuat hal yang sama seperti satu tahun silam. Yaitu mengambil paksa janinnya.Ada perasaan bersalah dan malu karena hal itu tidak hanya diketahui Jihan saja, melainkan kedua orang tua kami berdua telah mengetahui semuanya. Dan Papa telah mengetahui itu semua sejelas-jelasnya dari Dokter Arman.Karena kondisinya tidak darurat, Jihan kemudian dipindahkan ke ruang rawat inap super eksklusif di rumah sakit ini.Dia tidak mau menatapku dan selalu terlihat ketakutan ketika aku berada di sekitarnya.Baru saja aku menyibak tirai kamar rawat inapnya, Papanya Jihan langsung menghadiahi sebuah bogeman ke pipiku.Bugh!Sakit dan sudut bibirku mengeluarkan darah.Namun aku tidak membalas tindakan beliau. Itu adalah ekspresi marah seorang ayah pada suami putrinya yang dianggap begitu kurang ajar.Beliau kemudian keluar dari kamar rawat Jihan karena ti
POV AKHTARATanpa menunggu Jihan pulih, esok harinya aku memutuskan kembali ke Bogor tanpa sepengetahuan Papa. Kalaupun Papa marah, biarlah. Aku akan terima sekaligus dengan konsekuensinya.Mana mungkin aku sanggup menemani Jihan hingga pulih tapi pada akhirnya aku dilarang merujuk dirinya?Begitu tiba di rumah, Merissa terkejut melihat kedatanganku. Kebetulan dia masih izin tidak bekerja. “Lho, Mas? Kamu udah pulang?”Aku mengangguk lalu membawanya dalam pelukan.“Aku kangen kamu, Mer,” ucapku dengan memeluknya erat-erat.Merissa yang kupeluk tapi justru ciumanku semalam bersama Jihan menari-nari di dalam benak.Aku memeluknya hanya untuk mengikis dominasi Jihan di dalam hatiku. Juga untuk belajar menerima dia menjadi satu-satunya ratu di dalam hatiku kelak meski … hatiku masih saja enggan.Jihan yang kubutuhkan tapi kedua orang tua kami tidak akan pernah setuju andai kami kembali rujuk. Dan pastinya, Jihan sudah tidak sudi menerimaku lagi.“Aku juga kangen kamu, Mas. Aku takut kamu
POV AKHTARAAku tidak memiliki pilihan selain …“Sayang, maaf. Kita … harus balik,” ucapku dengan penuh rasa bersalah.Merissa dengan wajah sendunya kemudian mengangguk.Kami tidak memiliki pilihan selain kembali ke Bogor. Akhirnya, mau tidak mau aku harus berdamai dengan keadaan untuk kembali bertemu dengan Jihan setelah aku berusaha mati-matian melupakan dan menjauh.“Dan kamu harus ke Yogya, Mas. Itu … kemauan Papamu. Dan … aku nggak boleh melarang.”Merissa nampak sangat sedih hingga setetes air matanya luruh. Dia begitu mencintaiku dan terluka dengan hubungan kami.“Kalau kamu mau, kamu bisa ikut juga.”Hanya itu yang bisa kutawarkan untuk meredam luka di hatinya. Karena sekuat apapun perempuan, nyatanya tidak akan pernah sanggup melihat suaminya pergi menemui madunya.Dan mungkin Jihan pernah seterluka ini karena perbuatanku dulu saat dengan terang-terangan menduakannya dengan Merissa.Betapa ba****an aku ini. Benar kata Papa, kalau Jihan terlalu baik untukku hingga aku dilarang
POV AKHTARA Ketika Mas Bimo mengusahakan agar posisi Papanya Jihan bisa kugantikan di dalam ruang operasi, Papa kemudian mendatangiku. Memandangku dengan sorot lelah bercampur kesal. "Sekali pe****ut, selamanya akan begitu, Tara."Aku tahu apa maksud Papa berkata demikian. Kemudian aku berkata ..."Aku udah datang dari tadi.""Lalu kenapa kamu nggak nemuin Jihan?! Kenapa kamu biarin dia masuk ke ruang operasi ditemani Papanya?! Apa kamu ... "Papa tidak meneruskan ucapannya lalu menghela nafas panjang. "Papa lelah bicara sama kamu, Tara. Setelah bayi itu lahir dan hasil tes DNA-nya keluar, apabila terbukti secara biologis itu adalah anakmu, siap-siaplah berkalang karma!"Kemudian Papa pergi bersama direktur rumah sakit. Sedang Mas Bimo kemudian mendatangiku dengan wajah berseri-seri. "Mari, Pak Akhtara."Tanpa banyak berpikir, aku segera mengikuti Mas Bimo dan ... bertemu Papanya Jihan. Beliau kemudian melepas pakaian khusus untuk masuk ruang operasi lalu memberikannya padaku. "Se
POV AKHTARA Pihak rumah sakit berkata jika hasil tes DNA akan keluar dua hari kemudian. Itu sudah yang paling cepat. Sedang aku menanti hasilnya dengan tidak sabaran dan deg-deg an. Setelah Jihan melahirkan, aku tidak pernah sekalipun menjenguknya di kamar rawat atau menemui bayinya di ruang bayi. Aku hanya terus berada di kamar hotel sambil menunggu kapan hasil tes DNA-nya keluar. Ini terdengar pengecut, tapi jika dipikir kembali kenapa aku harus menemani Jihan jika Papanya saja sudah memberiku peringatan untuk tidak menemuinya lagi?Makan tidak enak. Tidur tidak nyenyak. Yang kuinginkan hanya menyendiri di kamar. Kring ... Aku yang tengah berada di balkon kamar hotel sambil menghisap nikotin kemudian menoleh ke arah ponsel yang berdering. Papa is calling ...Tanpa mematikan nikotin itu, aku kemudian mengangkat panggilan dari Papa. "Dimana kamu?""Hotel.""Kemari. Hasil tes DNA sudah keluar."Seketika itu juga bulu tubuhku meremang. "Jangan lupa, siapkan wajah dan mentalmu, Ak
POV AKHTARAUsai memasangkan dasi, Merissa kemudian mencium dan memelukku.Pagi ini, aku ada rapat dengan direktur rumah sakit. Oleh karena itu aku mengenakan pakaian lengkap formal. Sedang Merissa sudah siap dengan setelan kerjanya.“Mas, boleh aku bilang sesuatu?”Aku mengangguk lalu membalas pelukannya. Bagaimanapun aku harus berdamai dengan keadaan. Termasuk berdamai dengan kenyataan bahwa Merissa lah yang akan menemani hari-hariku ke depannya.Bukan bersama Jihan dan putraku, Akhtira.“Janji jangan marah ya?”“Iya.”“Aku tanya bukan untuk bikin kamu nggak tenang, tapi aku mau kita berinteraksi selayaknya suami istri.”Sikap Merissa yang begitu sabar dan tidak frontal saat meminta penjelasan, patut kuacungi jempol. Karena tidak semua perempuan bisa menahan diri ketika suaminya tiba-tiba berubah diam dan tidak romantis.“Oke.”“Sejak kamu pulang dari Yogya, sejak kamu tahu kalau bayi itu adalah anakmu, sikapmu berubah.”Aku sangat menyadari itu.“Kamu jadi dingin, acuh, sering menye
POV AKHTARA“Siang, Pak Akhtara.”Faris memasuki ruang kerjaku tanpa membawa apapun.“Silahkan duduk, Ris.”Ia kemudian duduk di kursi yang berada di seberangku. “Saya baru dapat kabar dari kantor catatan sipil di Yogya, kalau akte kelahiran Mas Tira sudah jadi, Pak.”Aku senang sekali mendengar kabar itu. Kemudian Faris membuka ponsel dan menunjukkannya padaku.Soft copy akte kelahiran putraku dikirim ke nomer Faris. Lalu aku membacanya dengan seksama barangkali ada yang keliru.Akhtira Badsah Ubaid.Aku tersenyum sendiri membaca namanya yang benar-benar mirip dengan namaku. Jagoan kecilku yang … ah entahlah. Aku tidak bisa menjelaskannya.Karena yang pasti aku selalu mendoakan yang terbaik untuknya dan … Jihan.Aku berdoa agar Tuhan memberi Jihan kekuatan dan kesabaran untuk merawat Akhtira dengan sebaik-baiknya. Agar putraku kelak bisa menjadi lelaki yang bertanggung jawab dan berakhlak mulia.Aku percaya jika Tuhan pasti memampukan Jihan untuk merawat putraku menjadi lelaki yang b
POV AKHTARASampai Jihan terbangun, dia masih dalam dekapanku dengan selimut menutupi tubuhnya.Dokter Stevan nampak bingung karena interaksiku dengan Jihan layaknya orang yang memiliki hubungan dekat. Begitu kami berhenti di sebuah masjid untuk membersihkan diri, Faris menjelaskan segalanya bahwa Jihan sebenarnya adalah istri pertamaku.Kali ini aku tidak perduli andai orang mengerti bahwa aku melakukan poligami.“Sudah?” Tanyaku.Jihan baru saja keluar dari toilet masjid. Sisa air yang digunakan untuk membasuh wajah putihnya yang masih terlihat sedikit pucat itu tertinggal di dagu. Kemudian kuusap dengan tangan.“Ayo kita ke rumah sakit.”Aku langsung menggandeng tangannya yang tidak terlalu hangat itu menuju mobil.“Apa Papa tahu soal ini, Han?”Kepalanya menggeleng, “Kata asistennya, Papa lagi nggak enak badan, Pak. Makanya, saya nggak mau minta tolong beliau. Itulah kenapa saya nekat nemuin Bapak ke Bogor.”Lima belas menit kemudian, kami tiba di rumah sakit. Direktur rumah sakit
POV AKHTARA Satu tahun kemudian ... "Selamat, Pak. Bayinya lahir sehat. Perempuan."Aku yang sedang menemani Jihan melahirkan secara sesar itu pun tidak kuasa menahan haru dan bahagia karena kami dipercaya Tuhan untuk merawat cipataan-Nya yang sangat lucu dan menggemaskan.Adiknya Akhtira. Setelah suster membersihkan putri kami tercinta, aku segera menggendongnya. Lalu melafadzkan suara adzan di telinganya. Dengan mata berkaca-kaca, aku mencium pipinya penuh cinta. Lalu memberikannya pada Jihan yang masih terbaring di atas meja operasi. "Mau Ayah kasih nama siapa?""Aksara Badsah Ubaid."Kemudian Jihan terlihat sedikit memanyunkan bibir."Aku yang hamil susah payah, tapi nama kedua anakku mirip Ayah semua." Protesnya. "Ya udah saya ganti.""Diganti apa?""Aksara Febriana Ubaid."Jihan menganggukkan kepala setuju dengan melakukan skin ship bersama putri kami. "Namanya kelihatan ada ceweknya. Kalau yang pertama kayak laki-laki, Yah.""Apapun yang kamu mau, Sayang."Kemudian aku da
POV AKHTARARumah megahku yang berada di Bogor terasa begitu sepi, dingin, dan mati. Tidak ada suara tawa atau celotehan Akhtira.Dulu aku mendiami rumah ini hanya untuk menaruh lelap, berganti pakaian, dan berpesta dengan rekan-rekan bisnis. Bukan sebagai tempat untuk melepas kepenatan atau mendulang kebahagiaan.“Dulu saya suka pulang ke rumah ini karena ada kamu, Han,” ucapku.Sambil bergelung dengan satu selimut yang sama dengan Jihan. Di kamar yang ia tempati dulu.“Gombal. Nyatanya Bapak juga masih keluar sama Merissa padahal ada saya di rumah.”Kemudian aku membawanya dalam pelukan hingga kulit kami saling bersentuhan.“Saya nemenin Merissa belanja doang. Dan sengaja pulang agak malam biar kamu cemburu.”Tangan Jihan kemudian memukul dadaku.“Jahat!”Aku tersenyum lalu mencium kening dan memeluknya.“Saya jahat sama kamu dan jahat sama diri saya sendiri. Saya pengen cepat pulang, ketemu kamu, lalu mendapatkan hak saya. Tapi saya sengaja ngulur-ngulur waktu biar kamu cemburu. Soa
POV AKHTARA“Pa, aku sama Ayahnya Tira mau ke Bogor,” ucap Jihan ketika kami semua duduk di kursi meja makan.“Ngapain ke Bogor?!” Tanya Papanya Jihan ketus.Jihan yang sedang menyuapi Akhtira kemudian menatapku yang duduk di sebelah putraku itu.Kemudian Papanya Jihan langsung menatapku dengan ekspresi tidak suka.“Mau merencanakan apa lagi kamu, Akhtara?! Nggak usah bawa-bawa Jihan pergi jauh dari kami! Kami nggak percaya sama kamu!”Inilah alasan kuat mengapa Jihan dan Akhtira tidak diperbolehkan untuk tinggal seatap saja denganku. Mereka berpikir jika aku masihlah jahat seperti dulu. Dan sudah pasti aku harus sabar dan kuat menghadapi sikap mereka.“Aku khawatir kamu udah bikin rencana di Bogor lalu Jihan sama Tira nggak pulang-pulang! Kalau kamu mau ke Bogor, pergi aja sendiri sana!”“Meski Jihan udah kembali jadi hakmu, tapi aku sebagai Papanya nggak mau kejadian buruk itu kembali terulang!”Usai menelan makanan, aku menatap Papanya Jihan, mertuaku.Aku menyadari mengapa amarah b
POV AKHTARA Dengan jarak sedekat ini sambil menatap wajah cantik Jihan, aku benar-benar terlena. Wanita yang ada di hadapanku saat ini telah resmi menjadi istriku, pendamping hidupku. Tidak ada kata terlarang untuk menyentuh wajahnya dengan kedua tanganku. Bahkan aku dihalalkan untuk menyentuhnya lebih dari ini. Andai tidak lupa akan janjiku untuk membuatnya nyaman terlebih dahulu, mungkin aku bisa memilikinya saat ini juga.Kemudian aku menurunkan kedua tangan dari wajahnya lalu berdiri dari bersimpu dan mundur dua langkah. Sungguh, berdekatan dengan Jihan membuat naluriku sebagai seorang pria tergugah sepenuhnya.Kini aku benar-benar tahu mengapa saat bersama Merissa, aku tidak pernah sukses menjadi pria sejati. Jawabannya sudah pasti karena aku tidak mencintai dia sama sekali dan hatiku benar-benar menginginkan Jihan seorang. "Kenapa, Pak?" Aku menggeleng sembari tersenyum. "Saya cuma mau kamu nyaman dulu, Han. Saya takut kalau nggak menjaga sikap, justru kamu yang terpaksa."
POV AKHTARA Usiaku hampir menyentuh angka empat puluh lima tahun. Sedang Jihan masih berusia tiga puluh tahun. Perbedaan usia kami membuat ia lebih cocok menjadi keponakanku. Dan sebagai pria yang sudah berumur, siapa yang tidak senang jika memiliki istri yang masih muda, cantik, dan solehah?Inilah yang disebut dengan perhiasan dunia. Apalagi dia telah melahirkan keturunanku yang sehat dan tampan, Akhtira."Khilaf?" Tanya Jihan keheranan.Dengan bersedekap sambil menyandarkan punggung pada pintu kamar hotel yang kami tempati, aku fokus menikmati wajah cantik Jihan yang penuh dengan riasan pengantin dari kejauhan.Sungguh cantik!Lalu aku mengangguk sekilas. "Maksudnya?""Kalau kemarin saya cuma bisa mencintai kamu tanpa bisa memiliki, maka berbeda dengan sekarang. Saya boleh mencintai kamu sedalam apapun karena kamu resmi hanya akan menjadi milik saya aja, Han."Jihan nampak sedikit salah tingkah dengan ucapanku lalu dia membuang muka. Imut dan menggemaskan sekali.Andai aku tidak
POV AKHTARA Aku sudah tidak merasa asing lagi dengan sebutan 'perjanjian pra nikah'. Karena ketika aku akan menikahi Jihan untuk kedua kalinya dan memberinya madu dengan menikahi Merissa, aku menggunakan perjanjian pra nikah dengan alasan untuk melindungi harta bendaku. Saat itu, aku mencampuradukkan hal yang disebut cinta dan sayang dengan racun bernama dendam. Hingga aku menganggap Jihan dan Merissa adalah sama-sama perempuan yang harus kuwaspadai mana kala akan mengeruk hartaku semata.Tapi ternyata, aku keliru besar. Karena saat menikahi Jihan untuk kedua kalinya, dia benar-benar sudah berubah. Hanya aku saja yang tidak menyadari. Hingga tega menduakannya dengan Merissa. "Aku restui niat baikmu kembali menikahi Jihan untuk ketiga kalinya, Akhtara."Aku langsung tersenyum lega dengan perasaan bahagia tiada terkira mendengar ucapan Papanya Jihan. Meski beliau mengatakannya dengan ekspresi yang datar dan acuh. "Agama cuma ngasih kamu batas menikahi Jihan hanya tiga kali. Dan jang
POV AKHTARA Satu unit motor untuk kaum lelaki baru saja kubayar lunas. Dan kini motor itu tengah dinaikkan ke mobil pick up menuju alamat Farhan. "Apa Farhan mau menerimanya, Pak?" Tanya Faris yang duduk di sebelahku."Saya nggak peduli dia mau menerima hadiah dari saya atau nggak, Ris. Karena saya berniat memberikan hadiah itu sebagai ucapan terima kasih ia pernah berjasa dalam kehidupan Jihan dan Akhtira. Saya nggak mau jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Kami duduk bersebelahan dengan menatap proses motor seharga lima puluh juta itu akhirnya berhasil dinaikkan ke atas bak mobil. Segala kelengkapannya kuserahkan pada pihak penjual motor. "Kamu urus sisanya ya, Ris. Saya mau ketemu Tira."Kemudian aku menyetir mobil dan sengaja singgah sebentar ke salah satu mall untuk mengunjungi salah satu gerai yang menjual mainan. Apalagi jika bukan untuk membelikan Tira mainan baru. Putraku itu ternyata tidak mudah untuk didekati. Dan sepertinya aku harus membelikan mainan yang sangat m
POV AKHTARA Sepasang tiket VIP dari biro perjalanan ke tanah suci sudah siap di tangan. "Apa kamu yakin ini adalah cara terbaik bikin kedua orang tua Jihan mau merestui hubungan saya sama Jihan, Ris?" Tanyaku."Kita coba saja dulu, Pak. Kalau Bapak ngasih harta atau rumah baru, belum tentu orang tua Bu Jihan luluh. Justru marah yang iya. Tapi kalau hadiah sepaket perjalanan ke tanah suci, saya rasa itu adalah hadiah terbaik sepanjang masa."Apa yang dikatakan Faris ada benarnya. "Oke. Saya akan hubungi Jihan kalau nanti malam mau bertamu ke rumahnya.""Semoga semuanya lancar, Pak."Hampir satu minggu ini aku dan Faris berpikir tentang hadiah terbaik untuk kedua orang tua Jihan agar sudi menerimaku lagi. Dan pilihan kami jatuh pada tanah suci. Dan selama satu minggu itu pula, aku selalu memikirkan Jihan dan Akhtira. Apakah Jihan mendapat omongan yang tidak mengenakkan dari kedua orang tuanya karena memilihku?Ataukah semuanya baik-baik saja tidak seperti dugaanku?Sebab, satu minggu
POV AKHTARA“Maaf katamu?” Tanya Farhan dengan suara sinis.“Waktu Jihan merawat Akhtira sendirian, dihina orang lain perempuan nggak benar karena melahirkan tanpa suami, lalu Akhtira dihina anak haram, siapa yang jadi tameng untuk mereka heh?!”Aku tidak menjawab dan hanya menatap Farhan. Membiarkan dia menyelesaikan ucapannya. “Aku!” Dia menepuk dadanya dengan wajah benar-benar kesal.“Bukan kamu! Yang tiba-tiba datang ngambil semua yang aku usahakan!” ucapnya dengan menunjuk dadaku.“Kamu memang ayah kandung Akhtira, tapi aku yang lebih banyak berjasa ke mereka! Aku menyayangi mereka itu tulus!”“Dan Jihan nggak mungkin berpaling kalau bukan karena kamu pakai acara pura-pura mau mati! Biar apa, heh?! Dapat simpati Jihan dengan cara pintas? Iya?!”Kepalaku menggeleng dengan menatap Farhan yang begitu kecewa dan sakit hati.“Munafik!”“Saya nggak perlu menjelaskannya ke kamu karena saya tahu kamu nggak butuh itu, Far.”Tanpa berkata lagi, Farhan kemudian menaiki motornya dengan ekspr