:-o maaf kemarin libur. Author full kegiatan.
POV AKHTARA Ketika Mas Bimo mengusahakan agar posisi Papanya Jihan bisa kugantikan di dalam ruang operasi, Papa kemudian mendatangiku. Memandangku dengan sorot lelah bercampur kesal. "Sekali pe****ut, selamanya akan begitu, Tara."Aku tahu apa maksud Papa berkata demikian. Kemudian aku berkata ..."Aku udah datang dari tadi.""Lalu kenapa kamu nggak nemuin Jihan?! Kenapa kamu biarin dia masuk ke ruang operasi ditemani Papanya?! Apa kamu ... "Papa tidak meneruskan ucapannya lalu menghela nafas panjang. "Papa lelah bicara sama kamu, Tara. Setelah bayi itu lahir dan hasil tes DNA-nya keluar, apabila terbukti secara biologis itu adalah anakmu, siap-siaplah berkalang karma!"Kemudian Papa pergi bersama direktur rumah sakit. Sedang Mas Bimo kemudian mendatangiku dengan wajah berseri-seri. "Mari, Pak Akhtara."Tanpa banyak berpikir, aku segera mengikuti Mas Bimo dan ... bertemu Papanya Jihan. Beliau kemudian melepas pakaian khusus untuk masuk ruang operasi lalu memberikannya padaku. "Se
POV AKHTARA Pihak rumah sakit berkata jika hasil tes DNA akan keluar dua hari kemudian. Itu sudah yang paling cepat. Sedang aku menanti hasilnya dengan tidak sabaran dan deg-deg an. Setelah Jihan melahirkan, aku tidak pernah sekalipun menjenguknya di kamar rawat atau menemui bayinya di ruang bayi. Aku hanya terus berada di kamar hotel sambil menunggu kapan hasil tes DNA-nya keluar. Ini terdengar pengecut, tapi jika dipikir kembali kenapa aku harus menemani Jihan jika Papanya saja sudah memberiku peringatan untuk tidak menemuinya lagi?Makan tidak enak. Tidur tidak nyenyak. Yang kuinginkan hanya menyendiri di kamar. Kring ... Aku yang tengah berada di balkon kamar hotel sambil menghisap nikotin kemudian menoleh ke arah ponsel yang berdering. Papa is calling ...Tanpa mematikan nikotin itu, aku kemudian mengangkat panggilan dari Papa. "Dimana kamu?""Hotel.""Kemari. Hasil tes DNA sudah keluar."Seketika itu juga bulu tubuhku meremang. "Jangan lupa, siapkan wajah dan mentalmu, Ak
POV AKHTARAUsai memasangkan dasi, Merissa kemudian mencium dan memelukku.Pagi ini, aku ada rapat dengan direktur rumah sakit. Oleh karena itu aku mengenakan pakaian lengkap formal. Sedang Merissa sudah siap dengan setelan kerjanya.“Mas, boleh aku bilang sesuatu?”Aku mengangguk lalu membalas pelukannya. Bagaimanapun aku harus berdamai dengan keadaan. Termasuk berdamai dengan kenyataan bahwa Merissa lah yang akan menemani hari-hariku ke depannya.Bukan bersama Jihan dan putraku, Akhtira.“Janji jangan marah ya?”“Iya.”“Aku tanya bukan untuk bikin kamu nggak tenang, tapi aku mau kita berinteraksi selayaknya suami istri.”Sikap Merissa yang begitu sabar dan tidak frontal saat meminta penjelasan, patut kuacungi jempol. Karena tidak semua perempuan bisa menahan diri ketika suaminya tiba-tiba berubah diam dan tidak romantis.“Oke.”“Sejak kamu pulang dari Yogya, sejak kamu tahu kalau bayi itu adalah anakmu, sikapmu berubah.”Aku sangat menyadari itu.“Kamu jadi dingin, acuh, sering menye
POV AKHTARA“Siang, Pak Akhtara.”Faris memasuki ruang kerjaku tanpa membawa apapun.“Silahkan duduk, Ris.”Ia kemudian duduk di kursi yang berada di seberangku. “Saya baru dapat kabar dari kantor catatan sipil di Yogya, kalau akte kelahiran Mas Tira sudah jadi, Pak.”Aku senang sekali mendengar kabar itu. Kemudian Faris membuka ponsel dan menunjukkannya padaku.Soft copy akte kelahiran putraku dikirim ke nomer Faris. Lalu aku membacanya dengan seksama barangkali ada yang keliru.Akhtira Badsah Ubaid.Aku tersenyum sendiri membaca namanya yang benar-benar mirip dengan namaku. Jagoan kecilku yang … ah entahlah. Aku tidak bisa menjelaskannya.Karena yang pasti aku selalu mendoakan yang terbaik untuknya dan … Jihan.Aku berdoa agar Tuhan memberi Jihan kekuatan dan kesabaran untuk merawat Akhtira dengan sebaik-baiknya. Agar putraku kelak bisa menjadi lelaki yang bertanggung jawab dan berakhlak mulia.Aku percaya jika Tuhan pasti memampukan Jihan untuk merawat putraku menjadi lelaki yang b
POV AKHTARASampai Jihan terbangun, dia masih dalam dekapanku dengan selimut menutupi tubuhnya.Dokter Stevan nampak bingung karena interaksiku dengan Jihan layaknya orang yang memiliki hubungan dekat. Begitu kami berhenti di sebuah masjid untuk membersihkan diri, Faris menjelaskan segalanya bahwa Jihan sebenarnya adalah istri pertamaku.Kali ini aku tidak perduli andai orang mengerti bahwa aku melakukan poligami.“Sudah?” Tanyaku.Jihan baru saja keluar dari toilet masjid. Sisa air yang digunakan untuk membasuh wajah putihnya yang masih terlihat sedikit pucat itu tertinggal di dagu. Kemudian kuusap dengan tangan.“Ayo kita ke rumah sakit.”Aku langsung menggandeng tangannya yang tidak terlalu hangat itu menuju mobil.“Apa Papa tahu soal ini, Han?”Kepalanya menggeleng, “Kata asistennya, Papa lagi nggak enak badan, Pak. Makanya, saya nggak mau minta tolong beliau. Itulah kenapa saya nekat nemuin Bapak ke Bogor.”Lima belas menit kemudian, kami tiba di rumah sakit. Direktur rumah sakit
POV AKHTARAMerissa langsung melepaskan diri dari pelukan kemudian menatapku.“Apa maksudmu, Mas?”“Aku mau ngasih semua harta pribadi dan warisan yang jadi hakku untuk Akhtira, sayang.”Merissa langsung menatapku dengan wajah penuh keterkejutan yang luar biasa.“Semuanya?”Kepalaku kemudian mengangguk tegas tanpa berpikir dua kali.“Kamu … nggak lagi bercandain aku kan, Mas?”“Aku serius, sayang.”Merissa makin tidak habis pikir menatapku setelah aku menegaskan keputusan itu. “Kalau semua hartamu kamu kasihkan anakmu, lalu kita hidup pakai apa?”Kedua tanganku kemudian memegang pundaknya.“Kita mulai lagi dari nol. Kamu mau kan?”Kedua tangan Merissa kemudian terarah ke pipiku dan menepuknya.“Mas, sadar! Kita juga butuh uang buat hidup!”Aku mengambil kedua tangan Merissa lalu menggenggamnya.“Aku tahu. Sembilan puluh persen harta pribadiku akan kuberikan untuk Akhtira. Aku cuma ambil sepuluh persennya aja untuk bekal kita merintis kehidupan berumah tangga ini dari nol.”Kepala Mer
POV AKHTARA“Aku akan menceraikannya, Den. Merissa berhak dapat laki-laki yang lebih baik dariku.”Terdengar helaan nafas panjang Den Mas dari sambungan telfon.“Astaga … kamu bakal cerai lagi, Mas?”Kepalaku mengangguk dengan ponsel tetap setia di telinga.“Cuma itu yang bisa kupilih, Den. Setelah kupikir-pikir, kalau aku terus ngelanjutin rumah tangga kami, yang ada hanya kami terus berselisih paham tiap hari. Dan Merissa yang jadi korban. Karena aku nggak bisa mencintai dia kayak aku mencintai Jihan.”“Kalau kamu berat untuk melepas Jihan, kenapa kamu nggak coba datangi keluarganya lagi lalu bilang maaf?”“Kami dilarang rujuk, Den. Sampai sini apa kamu paham?”Den Mas kembali menghela nafas panjang dan berkata …“Oke, aku paham. Lalu … kota mana yang akan kamu tuju setelah proses alih kepemilikan harta bendamu jatuh ke tangan putramu, Mas?”****Beberapa hari ini aku memilih tidur di hotel demi menghindari Merissa. Namun beda cerita ketika dia menghampiriku ke ruang kerja rumah saki
POV AKHTARASebelum bertolak menuju Yogya, aku menyempatkan diri menemui Mama dan Papa. Itupun setelah aku resmi meminta maaf pada orang tua Merissa dan memulangkannya dengan baik-baik.Bahkan dengan terang-terangan, aku tetap memberinya bagian harta yang pantas. Meski dalam aturan, jika kami berpisah maka Merissa tidak mendapatkan sepeser pun rupiah dariku.Namun, sebagai lelaki yang memiliki agama, aku lebih memilih apa yang agama tuntunkan tentang kaidah menceraikan istri secara baik-baik.Aku tidak mau hubunganku dengan Merissa di kemudian hari menjadi buruk. Aku mau kami tetap berhubungan baik tanpa dendam apapun.Dan itu lebih mahal harganya dari harta benda di mata Tuhanku.“Tumben kamu kemari?” Papa bertanya dengan membaca koran saat aku baru tiba.Lalu aku mencium tangannya dan bertanya …“Mama mana, Pa?”“Di dapur sama Mbak Ima.”Kemudian aku menghampiri Mama dan mengajaknya ke ruang tengah untuk bergabung bersama Papa. Ketika keduanya sudah duduk bersebelahan, Papa menutup k
POV AKHTARA [Pesan dariku : Han, saya mau ke rumahmu malam ini. Apa boleh?]Aku menunggu jawaban Jihan dengan sangat tidak sabaran. Menit demi menit itu terasa sangat lama sekali. Kemana dia? Mengapa sedang tidak online?Setelah lima menit dan mondar-mandir sendiri di dalam apartemen, aku kembali melihat ponsel yang masih saja belum menunjukkan ada notifikasi dari Jihan.Baru kemarin Jihan bertamu ke apartemenku, dan hari ini aku langsung bergerak cepat. Memangnya mau menunggu apa?Ting …Aku segera meraih ponsel yang ada di meja dengan harap-harap cemas semoga saja itu dari Jihan.Dan ...[Pesan dari Jihan : Maaf, Pak. Mau apa memangnya?]Kemudian aku langsung menekan gambar telfon dan terhubung ke nomer Jihan. Aku merasa berbicara langsung itu lebih jelas dan gamblang dari pada mengatakannya melalui pesan singkat.“Halo?”“Saya mencintai kamu, Han.”Ini mungkin terlihat sangat frontal dan tidak sabaran. Karena aku langsung mengatakan isi hatiku kepada Jihan tanpa ada basa basi sama
POV AKHTARAJihan kemudian menoleh dengan mata berkaca-kaca kemudian dia berdiri tanpa membawa paper bag. Lalu dia berjalan ke arahku hingga terlihat jelas ekspresi wajahnya.Kecewa, sedih, dan marah bercampur menjadi satu.“Ketika Bapak mau pergi meninggalkan saya dan Akhtira, setelah nyuruh Faris datang ke rumah dengan memberikan deretan surat berharga beserta rekening berisi uang yang nggak main-main banyaknya, kenapa Bapak nggak angkat telfon saya?”“Kenapa Bapak main pergi aja waktu itu?”Lalu air matanya kembali jatuh setetes membasahi pipi.“Bapak ngasih saya dan Akhtira harta sebanyak itu lalu pergi gitu aja, saya kayak merasa semuanya bisa Bapak hargai pakai uang!”Kemudian air mata Jihan makin deras membasahi pipinya. Bahkan bibirnya ikut bergetar menahan isak tangis.“Saya tahu Bapak itu kaya, tapi kenapa semuanya selalu Bapak putuskan sendiri tanpa dengerin saya dulu! Kenapa Bapak selalu menilainya pakai uang?! Bapak punya hati dan cinta kan?! Kenapa nggak mencoba menggunak
POV AKHTARATujuh hari aku berada di tanah suci untuk benar-benar menghambakan diri pada Tuhan. Segala urusan duniawi kukesampingkan.Aku benar-benar mengharap ampunan turun bersama dengan kesungguhanku saat bersujud, menengadahkan tangan, dan tetesan air mata penyesalan.Kugunakan waktu itu sebaik mungkin dengan memperbanyak ibadah. Aku hanya pulang ke hotel jika benar-benar mengantuk.Aku tidak tahu apakah pemeriksaan keseluruhan terhadap kesehatanku itu lolos ataukah tidak. Bila lolos dan dinyatakan cocok, setidaknya aku telah membasuh jiwaku di tanah suci sebelum kembali pada sang Khaliq.Tapi bila tidak lolos, aku harap Tuhan memberi jalan kehidupan yang lebih baik. Karena aku sudah tidak lagi muda dan waktunya lebih fokus pada ibadah serta keluarga.Faris melambaikan tangannya begitu aku keluar dari pintu kedatangan penerbangan luar negeri. Dengan menggeret koper, aku menghampirinya yang menatapku dengan pandangan berkaca-kaca.Dia sudah kuanggap seperti adik dan langsung merangk
POV AKHTARA Faris yang berdiri di samping itu kemudian menatapku penuh keterkejutan. Pun dengan dokter yang kuajak berbicara dan masih memegang hasil laboratorium pasien yang menderita sakit keras itu. "Pak, apa ... maksudnya?" Tanya dokter itu. "Maksud saya seperti yang dokter pikirkan."Dokter itu kemudian menatap Faris dengan penuh keterkejutan. Pasalnya mana ada orang yang sudi mendonorkan hatinya dengan terang-terangan seperti aku?Mungkin mereka pikir aku sedang main-main dengan hal ini. Padahal aku benar-benar merasa bahwa ini adalah titik balik untuk memperbaiki diri dan mendapatkan ampunan dari Tuhan atas semua kesalahanku. "Pak Akhtara, maaf. Ini bukan perkara sederhana, Pak. Mendonorkan hati itu tidak sama dengan mendonorkan ginjal. Manusia punya dua ginjal dan masih bisa bertahan hidup dengan satu ginjal. Tapi kalau hati ... manusia hanya punya satu, Pak. Kalau itu diambil, maka --- ""Saya mati. Begitu kan alurnya?" Jawabku tenang. Dokter dan Faris saling bertatapan d
POV AKHTARA“Mas, mau gendong Tira nggak?” Tanya Abid dengan suara sangat lirih.Aku yang tengah duduk di bangku belakang sambil menatap keluar jendela mobil pun beralih atensi pada adikku itu.Dia tengah memangku putraku, Akhtira, yang sudah tertidur dengan lelap. Sedang kedua anaknya masing-masing dipangku istrinya dan Papa. Hanya aku saja yang tidak memangku anak kecil.Kemudian aku melongok ke arah putraku itu. Dia benar-benar damai terlelap di atas pangkuan adikku. Dan selalu enggan untuk berdekatan denganku.“Apa dia nanti nggak kebangun, Bid?” Tanyaku dengan suara sama lirihnya.“Pelan-pelan aja, Mas.”Lalu aku mengusap pipi halusnya itu dengan ibu jari untuk memastikan apakah Akhtira benar-benar sangat terlelap. Ternyata putraku itu tetap tidur dengan sangat pulas.“Kayaknya dia kecapekan habis main air terus perutnya kenyang. Jadi deh ngorok.”Aku menahan tawa karena guyonan Abid lalu mengangguk dengan mengulurkan kedua tangan untuk menerima putraku.Galau di hati yang sedari
POV AKHTARAAku harus tetap professional dengan tidak mencampuradukkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Meski terasa sulit dengan tidak memikirkan penolakan Jihan saat aku sedang bekerja seperti ini.Permintaan Jihan yang tidak bersedia rujuk adalah sebuah keputusan yang tidak boleh kupaksa. Dia memiliki hak yang harus kuhormati sekalipun itu melukai hatiku.Cintaku pada sesama manusia telah habis di Jihan.Meski Humaira begitu baik secara sifat dan iman, tetap saja aku selalu terbayang Jihan. Bukankah akan makin menyakiti Humaira jika dia mengerti jika hatiku masih tertambat pada Jihan?“Mungkin jika Bu Jihan sudah menikah lagi, Bapak akan benar-benar bisa melepas dan melupakannya. Karena pintu untuk mendapatkannya benar-benar telah tertutup,” ucap Faris.Aku menghela nafas panjang dengan menatap gelas minumku yang mengembun. Kami sedang makan malam bersama karena aku tidak mau makan malam sendirian. Kebetulan tempat tinggal Faris tidak jauh dari apartemen tempatku berteduh.“M
POV AKHTARAKarena putraku, Akhtira, sedang duduk di pangkuan seorang lelaki dengan menghadap wajah orang itu. Bahkan senyum putraku terlihat mengembang penuh tawa apalagi saat lelaki itu menyerukkan kepalanya ke arah dada putraku.Tira kembali tertawa terpingkal karena geli dan mencengkeram rambut lelaki itu. Semakin Tira terpingkal, dia semakin menyerukkan kepalanya ke dada putraku hingga tawa keduanya menguar bebas dan membuatku … iri.Lelaki yang masih memakai kemeja putih dan celana kain hitam khas pakaian ASN itu, apakah dia yang bernama Farhan?Seorang aparatur sipil negara yang berstatus duda dan sedang mendekati Jihan.Karena lelaki itu sibuk menyerukkan kepalanya di dada putraku, dia tidak menyadari kehadiranku yang menatap ke arahnya dengan penuh rasa iri dan sedih.Iri karena putraku bisa seakrab itu dengannya. Padahal aku ini ayah biologisnya.Dan sedih karena aku belum pernah sekalipun menggendong putraku sama sekali.Sudah berapa lama mereka bersama? Sudah berapa lama le
POV AKHTARA“Saya panggilin Papa biar Tira dipangku Papa. Jadi Bapak bisa menyentuh Tira.”Aku sedikit mengerutkan kening mendapati jawaban Jihan.“Kenapa harus sama Papamu?”“Kita ini udah bukan suami istri secara agama, Pak. Kalau kita berdekatan, nanti jadi dosa.”Mulutku terkunci ketika Jihan berkata seperti itu. Satu kenyataan yang hampir kulupakan bahwa wanita yang sangat kucintai ini sebenarnya telah terlepas dari genggamanku secara agama.Statusnya hanya istri secara hukum negara.Tapi aku ingat perkataan Papa bahwa masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan Jihan kembali dengan rajin mengunjungi Tira.Ketika Jihan hendak berdiri, aku berkata …“Tolong kamu dudukkan aja Tira di kursi. Nggak usah panggil Papamu.”Karena aku yakin jika Papanya Jihan akan membuat pembatas antara aku dan Tira. Apalagi jika putraku itu menangis karena baru pertama kali bertemu denganku.Jihan mengangguk lalu membujuk Tira untuk duduk di kursi. Putraku itu nampak tidak kooperatif namun Jihan terus m
POV AKHTARASudah lama aku tidak menempati kamarku yang ada di rumah Papa dan Mama. Dan hari ini adalah kali pertama aku kembali menginjakkan kaki di kamar ini.Semua furniturenya tidak banyak berubah. Masih tetap mewah dan berkelas.Kamar kostku yang berada di Bali ukurannya tiga kali lebih kecil dari kamarku yang berada di rumah ini.Setelah lama aku memilih hidup dalam kesederhanaan, tidak bermewah-mewahan, dan selalu menyibukkan diri dengan anak-anak di panti asuhan, siang ini semuanya terasa ada yang kurang dari dalam hatiku.Aku merindukan anak-anak di panti yang tak memiliki orang tua dan menganggapku seperti ayah, kakak, bahkan teman untuk mereka.Lalu aku teringat akan kejadian kemarin saat memutuskan untuk tidak melanjutkan rencana pernikahan dengan Humaira. Dan juga ucapan Papa tadi pagi tentang apa yang harus kulakukan demi kembali menggapai hati Jihan dan kedua orang tuanya.Dengan mendudukkan diri di tepi ranjang empuk ini, kedua tanganku memegang ponsel dan mengulir nama