:-o
POV AKHTARAAku harus terbiasa dengan keadaan baru. Dimana aku harus bisa melenyapkan rasa cinta dan rindu pada Jihan dan Akhtira.Mana mungkin aku bisa menemui Akhtira tanpa merindukan Jihan? Itu tidak mungkin.Tapi kemungkinan kami untuk kembali bersama juga ditentang keluarga. Bahwa Jihan terlalu baik untuk pria pengecut sepertiku.Di sini, di Bali, aku memulai hidup baru sebagai seorang Akhtara tanpa embel-embel dari keluarga besar Ubaid.Dengan bantuan dari sepupuku, Den Mas Lubis dan istrinya, aku memilih Bali sebagai tempat untuk introspeksi diri sekaligus menyenangkan hati dalam artian yang benar sesuai syariat.Berada di Denpasar, jantung kota pula Bali, aku tinggal disini tanpa sanak saudara.“Mas, kamu yakin mau tinggal di sini?” Tanya Den Mas ketika kami baru turun dari taksi.Di hadapan kami berdiri sebuah bangunan bertingkat satu dengan banyak kamar di dalam. Bagian depan bangunan terdapat tulisan besar ‘menerima kost’.Kepalaku mengangguk dengan tangan memegang gagang ko
POV AKHTARAAnak-anak di panti asuhan ini sudah seperti anakku sendiri. Aku memperlakukan mereka dengan baik sesuai dengan usianya.Kebanyakan yang berada di sini adalah anak-anak dari jenjang sekolah dasar. Sebagian lagi menginjak sekolah menengah pertama dan atas.Yang paling dekat denganku adalah Adam. Dia merasa aku ini bisa menjadi seorang ayah, kakak, dan teman untuknya.“Dam, panggil teman-temanmu kemari lalu bantu aku nata masjid.”“Baik, Pak.”Adam kemudian berlalu dari hadapanku. Kebetulan aku baru datang selepas membersihkan diri dulu di kost.Setiap kamis malam jumat di tanggal hijriah tertentu, yayasan ini mengadakan acara mengaji bersama anak-anak yatim dengan tujuan menggalang dana dari donatur baru.Aku yang menggagas acara ini sejak tiga tahun silam untuk memajukan panti dan anak-anak yang bernaung disini.Setelah dibantu Adam dan beberapa lelaki remaja panti untuk membersihkan masjid yayasan dan menata segalanya, tidak berapa lama waktu magrib pun tiba.Kemudian aku k
POV AKHTARA“Ainun, ini calon Abi barumu. Namanya Abi Akhtara. Kamu bisa panggil Abi Tara,” ucap Humaira pada putrinya, Ainun.Gadis cilik berusia sepuluh tahun dengan mengenakan gamis dan hijab itu kemudian diperkenankan Humaira untuk mencium punggung tanganku. Itu karena Ainun masih belum baligh.Saat ini, aku, Humaira, Ainun, dan Ustad Rasyid sedang berkumpul bersama di ruang tamu rumah Humaira.Aku sudah memutuskan untuk menerima taaruf yang Humaira tawarkan. Lalu Ustad Rasyid mengajakku untuk lebih mengenal Humaira lebih jauh, termasuk mengenal putrinya, dengan bertandang kemari.“Nun, kamu suka nggak mau punya Abi baru?” Tanya Ustad Rasyid.Gadis itu kemudian menoleh kepada ibunya yang menatapnya sembari tersenyum. Lalu dia menatapku dan mengangguk pelan.“Aku sama abinya Ainun bercerai, Mas Tara. Kami --- ““Nggak usah dibahas, Maira. Bagiku apapun masa lalumu itu nggak penting.” Selaku cepat.Aku lebih nyaman memanggilnya dengan nama Maira. Kemudian ia tersipu malu dan mengangg
POV AKHTARA Desakan orang tua Maira agar aku segera menikahinya tidak bisa kuulur lagi dengan alasan apapun. Jika aku tidak memenuhi permintaannya, maka aku dianggap tidak serius. Lagi pula, keluarga Maira itu sangat baik. Hanya saja aku yang belum mencintainya karena masih terbayang-bayang Jihan. Mengejar Jihan itu tidak mudah dan ... tidak mungkin.Kekejian yang kulakukan pada Jihan membuat hati orang tua kami, terutama Papa, membuatku tidak diizinkan merujuk dirinya kembali. Meski aku begitu dalam mencintainya. Dan benar apa kata Den Mas Lubis, jika aku tidak segera melepas Jihan dan menggantinya dengan Humaira, mungkin aku akan menua tanpa keluarga. Hal yang terlihat begitu mengerikan bagiku. Melewati masa tua dengan kesendirian.Kemudian aku menatap ponsel yang sedari tadi sudah berada dalam genggaman lalu mengulir layarnya. Nomer ponsel Papa, Mama, dan yang lainnya masih tersimpan dengan baik. Lalu aku menekan nomer ponsel Papa dengan harapan beliau tidak akan semarah dulu.
POV AKHTARA Kenyataan bahwa Jihan akan dilamar lelaki lain membuatku tidak bisa tidur nyenyak malam ini. Dan tanpa memberitahu Den Mas Lubis, aku mengambil keputusan ini tanpa bertanya pada siapapun.Aku tidak sesanggup itu melepas Jihan demi lelaki lain apalagi sampai putraku memanggil lelaki itu dengan sebutan Papa, Ayah, atau yang lainnya. Tidak! Tidak bisa!Akhtira hanya boleh memanggil Papa atau Ayah hanya kepadaku saja! Titik!"Pak Akhtara mau ngajuin cuti emergency?" Tanya bagian personalia hotel tempatku bekerja. Kepalaku mengangguk sembari mengisi form cuti mendadak dengan cepat. Bahkan petugas personalia baru saja mendudukkan diri, langsung kuhampiri karena sudah dari pagi menunggunya. "Ada urusan apa, Pak?"Aku menghentikan tulisan lalu menatap petugas personalia itu."Istri saya mau melahirkan." Kilahku.Kemudian aku mengisinya dengan cepat lalu menyerahkan form itu. Padahal itu hanya alasan palsu agar cuti mendadakku diizinkan."Semoga semua lancar ya, Pak?""Makasih."
POV AKHTARA Aku terdiam dengan sejuta keterkejutan setelah mendengar semua ucapan Mamanya Jihan. Bahwa benar adanya jika Jihan akan dilamar lelaki lain dan yang paling menghancurkan hatiku adalah putraku, Akhtira, disebut orang-orang sebagai anak haram. Padahal putraku itu benar-benar anak yang terlahir dalam ikatan pernikahan sah antara aku dan Jihan. Seketika itu juga bulu tubuhku meremang tanpa bisa berkata apa-apa lagi. Lalu Mamanya Jihan maju ke arahku dan ...Plak!!!Satu tamparan itu mendarat begitu sempurna di pipi kiriku. Tapi rasa sakitnya tidak sesakit ketika Akhtira disebut anak haram. "Kamu benar-benar pembawa musibah, Akhtara! Pembawa sial dalam kehidupan Jihan dan Akhtira! Kalau kamu nggak suka sama Jihan, jangan sakiti dia sampai kamu biarin dia hamil dan membesarkan Akhtira sendirian!!!""Martabatnya sebagai perempuan baik-baik jadi rusak karena kamu!!!" Beliau begitu marah dengan menunjuk-nunjuk wajahku."Berapa banyak omongan dan gosip fitnah kalau Jihan itu per
POV AKHTARA Kemudian aku menatap paper bag berisi surat-surat berharga yang dulu sengaja aku berikan untuk Jihan dan Akhtira. "Lalu kenapa kamu kembalikan semua aset yang saya berikan untuk Akhtira?""Saya nggak mau Akhtira punya sangkut paut ke Bapak. Saya nggak mau suatu saat nanti, Bapak mengungkit-ungkit hal itu.""Saya tulus memberikannya untuk putra saya, Jihan."Jihan menghela nafas panjang kemudian memutus pandangan. Kentara sekali jika dia ingin menjauh dariku. "Saya udah berubah, Han. Tiga tahun pergi dari kehidupanmu dan Akhtira, saya berusaha untuk memperbaiki diri, bukan untuk enak-enak kayak tuduhan Mamamu.""Kalau kamu tanya isi hati saya, yang ada cuma penyesalan tanpa batas. Kehilangan anak pertama saya karena kegilaan saya, itu adalah penyesalan yang luar biasa. Saya minta ampun sama Tuhan untuk kegilaan saya yang satu itu.""Lalu saya menyadari betapa pentingnya Akhtira dalam hidup saya. Menyadari bahwa nggak ada wanita yang lebih saya cintai dari pada kamu."Jiha
POV AKHTARASudah lama aku tidak menempati kamarku yang ada di rumah Papa dan Mama. Dan hari ini adalah kali pertama aku kembali menginjakkan kaki di kamar ini.Semua furniturenya tidak banyak berubah. Masih tetap mewah dan berkelas.Kamar kostku yang berada di Bali ukurannya tiga kali lebih kecil dari kamarku yang berada di rumah ini.Setelah lama aku memilih hidup dalam kesederhanaan, tidak bermewah-mewahan, dan selalu menyibukkan diri dengan anak-anak di panti asuhan, siang ini semuanya terasa ada yang kurang dari dalam hatiku.Aku merindukan anak-anak di panti yang tak memiliki orang tua dan menganggapku seperti ayah, kakak, bahkan teman untuk mereka.Lalu aku teringat akan kejadian kemarin saat memutuskan untuk tidak melanjutkan rencana pernikahan dengan Humaira. Dan juga ucapan Papa tadi pagi tentang apa yang harus kulakukan demi kembali menggapai hati Jihan dan kedua orang tuanya.Dengan mendudukkan diri di tepi ranjang empuk ini, kedua tanganku memegang ponsel dan mengulir nama
POV AKHTARA [Pesan dariku : Han, saya mau ke rumahmu malam ini. Apa boleh?]Aku menunggu jawaban Jihan dengan sangat tidak sabaran. Menit demi menit itu terasa sangat lama sekali. Kemana dia? Mengapa sedang tidak online?Setelah lima menit dan mondar-mandir sendiri di dalam apartemen, aku kembali melihat ponsel yang masih saja belum menunjukkan ada notifikasi dari Jihan.Baru kemarin Jihan bertamu ke apartemenku, dan hari ini aku langsung bergerak cepat. Memangnya mau menunggu apa?Ting …Aku segera meraih ponsel yang ada di meja dengan harap-harap cemas semoga saja itu dari Jihan.Dan ...[Pesan dari Jihan : Maaf, Pak. Mau apa memangnya?]Kemudian aku langsung menekan gambar telfon dan terhubung ke nomer Jihan. Aku merasa berbicara langsung itu lebih jelas dan gamblang dari pada mengatakannya melalui pesan singkat.“Halo?”“Saya mencintai kamu, Han.”Ini mungkin terlihat sangat frontal dan tidak sabaran. Karena aku langsung mengatakan isi hatiku kepada Jihan tanpa ada basa basi sama
POV AKHTARAJihan kemudian menoleh dengan mata berkaca-kaca kemudian dia berdiri tanpa membawa paper bag. Lalu dia berjalan ke arahku hingga terlihat jelas ekspresi wajahnya.Kecewa, sedih, dan marah bercampur menjadi satu.“Ketika Bapak mau pergi meninggalkan saya dan Akhtira, setelah nyuruh Faris datang ke rumah dengan memberikan deretan surat berharga beserta rekening berisi uang yang nggak main-main banyaknya, kenapa Bapak nggak angkat telfon saya?”“Kenapa Bapak main pergi aja waktu itu?”Lalu air matanya kembali jatuh setetes membasahi pipi.“Bapak ngasih saya dan Akhtira harta sebanyak itu lalu pergi gitu aja, saya kayak merasa semuanya bisa Bapak hargai pakai uang!”Kemudian air mata Jihan makin deras membasahi pipinya. Bahkan bibirnya ikut bergetar menahan isak tangis.“Saya tahu Bapak itu kaya, tapi kenapa semuanya selalu Bapak putuskan sendiri tanpa dengerin saya dulu! Kenapa Bapak selalu menilainya pakai uang?! Bapak punya hati dan cinta kan?! Kenapa nggak mencoba menggunak
POV AKHTARATujuh hari aku berada di tanah suci untuk benar-benar menghambakan diri pada Tuhan. Segala urusan duniawi kukesampingkan.Aku benar-benar mengharap ampunan turun bersama dengan kesungguhanku saat bersujud, menengadahkan tangan, dan tetesan air mata penyesalan.Kugunakan waktu itu sebaik mungkin dengan memperbanyak ibadah. Aku hanya pulang ke hotel jika benar-benar mengantuk.Aku tidak tahu apakah pemeriksaan keseluruhan terhadap kesehatanku itu lolos ataukah tidak. Bila lolos dan dinyatakan cocok, setidaknya aku telah membasuh jiwaku di tanah suci sebelum kembali pada sang Khaliq.Tapi bila tidak lolos, aku harap Tuhan memberi jalan kehidupan yang lebih baik. Karena aku sudah tidak lagi muda dan waktunya lebih fokus pada ibadah serta keluarga.Faris melambaikan tangannya begitu aku keluar dari pintu kedatangan penerbangan luar negeri. Dengan menggeret koper, aku menghampirinya yang menatapku dengan pandangan berkaca-kaca.Dia sudah kuanggap seperti adik dan langsung merangk
POV AKHTARA Faris yang berdiri di samping itu kemudian menatapku penuh keterkejutan. Pun dengan dokter yang kuajak berbicara dan masih memegang hasil laboratorium pasien yang menderita sakit keras itu. "Pak, apa ... maksudnya?" Tanya dokter itu. "Maksud saya seperti yang dokter pikirkan."Dokter itu kemudian menatap Faris dengan penuh keterkejutan. Pasalnya mana ada orang yang sudi mendonorkan hatinya dengan terang-terangan seperti aku?Mungkin mereka pikir aku sedang main-main dengan hal ini. Padahal aku benar-benar merasa bahwa ini adalah titik balik untuk memperbaiki diri dan mendapatkan ampunan dari Tuhan atas semua kesalahanku. "Pak Akhtara, maaf. Ini bukan perkara sederhana, Pak. Mendonorkan hati itu tidak sama dengan mendonorkan ginjal. Manusia punya dua ginjal dan masih bisa bertahan hidup dengan satu ginjal. Tapi kalau hati ... manusia hanya punya satu, Pak. Kalau itu diambil, maka --- ""Saya mati. Begitu kan alurnya?" Jawabku tenang. Dokter dan Faris saling bertatapan d
POV AKHTARA“Mas, mau gendong Tira nggak?” Tanya Abid dengan suara sangat lirih.Aku yang tengah duduk di bangku belakang sambil menatap keluar jendela mobil pun beralih atensi pada adikku itu.Dia tengah memangku putraku, Akhtira, yang sudah tertidur dengan lelap. Sedang kedua anaknya masing-masing dipangku istrinya dan Papa. Hanya aku saja yang tidak memangku anak kecil.Kemudian aku melongok ke arah putraku itu. Dia benar-benar damai terlelap di atas pangkuan adikku. Dan selalu enggan untuk berdekatan denganku.“Apa dia nanti nggak kebangun, Bid?” Tanyaku dengan suara sama lirihnya.“Pelan-pelan aja, Mas.”Lalu aku mengusap pipi halusnya itu dengan ibu jari untuk memastikan apakah Akhtira benar-benar sangat terlelap. Ternyata putraku itu tetap tidur dengan sangat pulas.“Kayaknya dia kecapekan habis main air terus perutnya kenyang. Jadi deh ngorok.”Aku menahan tawa karena guyonan Abid lalu mengangguk dengan mengulurkan kedua tangan untuk menerima putraku.Galau di hati yang sedari
POV AKHTARAAku harus tetap professional dengan tidak mencampuradukkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Meski terasa sulit dengan tidak memikirkan penolakan Jihan saat aku sedang bekerja seperti ini.Permintaan Jihan yang tidak bersedia rujuk adalah sebuah keputusan yang tidak boleh kupaksa. Dia memiliki hak yang harus kuhormati sekalipun itu melukai hatiku.Cintaku pada sesama manusia telah habis di Jihan.Meski Humaira begitu baik secara sifat dan iman, tetap saja aku selalu terbayang Jihan. Bukankah akan makin menyakiti Humaira jika dia mengerti jika hatiku masih tertambat pada Jihan?“Mungkin jika Bu Jihan sudah menikah lagi, Bapak akan benar-benar bisa melepas dan melupakannya. Karena pintu untuk mendapatkannya benar-benar telah tertutup,” ucap Faris.Aku menghela nafas panjang dengan menatap gelas minumku yang mengembun. Kami sedang makan malam bersama karena aku tidak mau makan malam sendirian. Kebetulan tempat tinggal Faris tidak jauh dari apartemen tempatku berteduh.“M
POV AKHTARAKarena putraku, Akhtira, sedang duduk di pangkuan seorang lelaki dengan menghadap wajah orang itu. Bahkan senyum putraku terlihat mengembang penuh tawa apalagi saat lelaki itu menyerukkan kepalanya ke arah dada putraku.Tira kembali tertawa terpingkal karena geli dan mencengkeram rambut lelaki itu. Semakin Tira terpingkal, dia semakin menyerukkan kepalanya ke dada putraku hingga tawa keduanya menguar bebas dan membuatku … iri.Lelaki yang masih memakai kemeja putih dan celana kain hitam khas pakaian ASN itu, apakah dia yang bernama Farhan?Seorang aparatur sipil negara yang berstatus duda dan sedang mendekati Jihan.Karena lelaki itu sibuk menyerukkan kepalanya di dada putraku, dia tidak menyadari kehadiranku yang menatap ke arahnya dengan penuh rasa iri dan sedih.Iri karena putraku bisa seakrab itu dengannya. Padahal aku ini ayah biologisnya.Dan sedih karena aku belum pernah sekalipun menggendong putraku sama sekali.Sudah berapa lama mereka bersama? Sudah berapa lama le
POV AKHTARA“Saya panggilin Papa biar Tira dipangku Papa. Jadi Bapak bisa menyentuh Tira.”Aku sedikit mengerutkan kening mendapati jawaban Jihan.“Kenapa harus sama Papamu?”“Kita ini udah bukan suami istri secara agama, Pak. Kalau kita berdekatan, nanti jadi dosa.”Mulutku terkunci ketika Jihan berkata seperti itu. Satu kenyataan yang hampir kulupakan bahwa wanita yang sangat kucintai ini sebenarnya telah terlepas dari genggamanku secara agama.Statusnya hanya istri secara hukum negara.Tapi aku ingat perkataan Papa bahwa masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan Jihan kembali dengan rajin mengunjungi Tira.Ketika Jihan hendak berdiri, aku berkata …“Tolong kamu dudukkan aja Tira di kursi. Nggak usah panggil Papamu.”Karena aku yakin jika Papanya Jihan akan membuat pembatas antara aku dan Tira. Apalagi jika putraku itu menangis karena baru pertama kali bertemu denganku.Jihan mengangguk lalu membujuk Tira untuk duduk di kursi. Putraku itu nampak tidak kooperatif namun Jihan terus m
POV AKHTARASudah lama aku tidak menempati kamarku yang ada di rumah Papa dan Mama. Dan hari ini adalah kali pertama aku kembali menginjakkan kaki di kamar ini.Semua furniturenya tidak banyak berubah. Masih tetap mewah dan berkelas.Kamar kostku yang berada di Bali ukurannya tiga kali lebih kecil dari kamarku yang berada di rumah ini.Setelah lama aku memilih hidup dalam kesederhanaan, tidak bermewah-mewahan, dan selalu menyibukkan diri dengan anak-anak di panti asuhan, siang ini semuanya terasa ada yang kurang dari dalam hatiku.Aku merindukan anak-anak di panti yang tak memiliki orang tua dan menganggapku seperti ayah, kakak, bahkan teman untuk mereka.Lalu aku teringat akan kejadian kemarin saat memutuskan untuk tidak melanjutkan rencana pernikahan dengan Humaira. Dan juga ucapan Papa tadi pagi tentang apa yang harus kulakukan demi kembali menggapai hati Jihan dan kedua orang tuanya.Dengan mendudukkan diri di tepi ranjang empuk ini, kedua tanganku memegang ponsel dan mengulir nama