:-o
POV AKHTARA“Siang, Pak Akhtara.”Faris memasuki ruang kerjaku tanpa membawa apapun.“Silahkan duduk, Ris.”Ia kemudian duduk di kursi yang berada di seberangku. “Saya baru dapat kabar dari kantor catatan sipil di Yogya, kalau akte kelahiran Mas Tira sudah jadi, Pak.”Aku senang sekali mendengar kabar itu. Kemudian Faris membuka ponsel dan menunjukkannya padaku.Soft copy akte kelahiran putraku dikirim ke nomer Faris. Lalu aku membacanya dengan seksama barangkali ada yang keliru.Akhtira Badsah Ubaid.Aku tersenyum sendiri membaca namanya yang benar-benar mirip dengan namaku. Jagoan kecilku yang … ah entahlah. Aku tidak bisa menjelaskannya.Karena yang pasti aku selalu mendoakan yang terbaik untuknya dan … Jihan.Aku berdoa agar Tuhan memberi Jihan kekuatan dan kesabaran untuk merawat Akhtira dengan sebaik-baiknya. Agar putraku kelak bisa menjadi lelaki yang bertanggung jawab dan berakhlak mulia.Aku percaya jika Tuhan pasti memampukan Jihan untuk merawat putraku menjadi lelaki yang b
POV AKHTARASampai Jihan terbangun, dia masih dalam dekapanku dengan selimut menutupi tubuhnya.Dokter Stevan nampak bingung karena interaksiku dengan Jihan layaknya orang yang memiliki hubungan dekat. Begitu kami berhenti di sebuah masjid untuk membersihkan diri, Faris menjelaskan segalanya bahwa Jihan sebenarnya adalah istri pertamaku.Kali ini aku tidak perduli andai orang mengerti bahwa aku melakukan poligami.“Sudah?” Tanyaku.Jihan baru saja keluar dari toilet masjid. Sisa air yang digunakan untuk membasuh wajah putihnya yang masih terlihat sedikit pucat itu tertinggal di dagu. Kemudian kuusap dengan tangan.“Ayo kita ke rumah sakit.”Aku langsung menggandeng tangannya yang tidak terlalu hangat itu menuju mobil.“Apa Papa tahu soal ini, Han?”Kepalanya menggeleng, “Kata asistennya, Papa lagi nggak enak badan, Pak. Makanya, saya nggak mau minta tolong beliau. Itulah kenapa saya nekat nemuin Bapak ke Bogor.”Lima belas menit kemudian, kami tiba di rumah sakit. Direktur rumah sakit
POV AKHTARAMerissa langsung melepaskan diri dari pelukan kemudian menatapku.“Apa maksudmu, Mas?”“Aku mau ngasih semua harta pribadi dan warisan yang jadi hakku untuk Akhtira, sayang.”Merissa langsung menatapku dengan wajah penuh keterkejutan yang luar biasa.“Semuanya?”Kepalaku kemudian mengangguk tegas tanpa berpikir dua kali.“Kamu … nggak lagi bercandain aku kan, Mas?”“Aku serius, sayang.”Merissa makin tidak habis pikir menatapku setelah aku menegaskan keputusan itu. “Kalau semua hartamu kamu kasihkan anakmu, lalu kita hidup pakai apa?”Kedua tanganku kemudian memegang pundaknya.“Kita mulai lagi dari nol. Kamu mau kan?”Kedua tangan Merissa kemudian terarah ke pipiku dan menepuknya.“Mas, sadar! Kita juga butuh uang buat hidup!”Aku mengambil kedua tangan Merissa lalu menggenggamnya.“Aku tahu. Sembilan puluh persen harta pribadiku akan kuberikan untuk Akhtira. Aku cuma ambil sepuluh persennya aja untuk bekal kita merintis kehidupan berumah tangga ini dari nol.”Kepala Mer
POV AKHTARA“Aku akan menceraikannya, Den. Merissa berhak dapat laki-laki yang lebih baik dariku.”Terdengar helaan nafas panjang Den Mas dari sambungan telfon.“Astaga … kamu bakal cerai lagi, Mas?”Kepalaku mengangguk dengan ponsel tetap setia di telinga.“Cuma itu yang bisa kupilih, Den. Setelah kupikir-pikir, kalau aku terus ngelanjutin rumah tangga kami, yang ada hanya kami terus berselisih paham tiap hari. Dan Merissa yang jadi korban. Karena aku nggak bisa mencintai dia kayak aku mencintai Jihan.”“Kalau kamu berat untuk melepas Jihan, kenapa kamu nggak coba datangi keluarganya lagi lalu bilang maaf?”“Kami dilarang rujuk, Den. Sampai sini apa kamu paham?”Den Mas kembali menghela nafas panjang dan berkata …“Oke, aku paham. Lalu … kota mana yang akan kamu tuju setelah proses alih kepemilikan harta bendamu jatuh ke tangan putramu, Mas?”****Beberapa hari ini aku memilih tidur di hotel demi menghindari Merissa. Namun beda cerita ketika dia menghampiriku ke ruang kerja rumah saki
POV AKHTARASebelum bertolak menuju Yogya, aku menyempatkan diri menemui Mama dan Papa. Itupun setelah aku resmi meminta maaf pada orang tua Merissa dan memulangkannya dengan baik-baik.Bahkan dengan terang-terangan, aku tetap memberinya bagian harta yang pantas. Meski dalam aturan, jika kami berpisah maka Merissa tidak mendapatkan sepeser pun rupiah dariku.Namun, sebagai lelaki yang memiliki agama, aku lebih memilih apa yang agama tuntunkan tentang kaidah menceraikan istri secara baik-baik.Aku tidak mau hubunganku dengan Merissa di kemudian hari menjadi buruk. Aku mau kami tetap berhubungan baik tanpa dendam apapun.Dan itu lebih mahal harganya dari harta benda di mata Tuhanku.“Tumben kamu kemari?” Papa bertanya dengan membaca koran saat aku baru tiba.Lalu aku mencium tangannya dan bertanya …“Mama mana, Pa?”“Di dapur sama Mbak Ima.”Kemudian aku menghampiri Mama dan mengajaknya ke ruang tengah untuk bergabung bersama Papa. Ketika keduanya sudah duduk bersebelahan, Papa menutup k
POV AKHTARAAku harus terbiasa dengan keadaan baru. Dimana aku harus bisa melenyapkan rasa cinta dan rindu pada Jihan dan Akhtira.Mana mungkin aku bisa menemui Akhtira tanpa merindukan Jihan? Itu tidak mungkin.Tapi kemungkinan kami untuk kembali bersama juga ditentang keluarga. Bahwa Jihan terlalu baik untuk pria pengecut sepertiku.Di sini, di Bali, aku memulai hidup baru sebagai seorang Akhtara tanpa embel-embel dari keluarga besar Ubaid.Dengan bantuan dari sepupuku, Den Mas Lubis dan istrinya, aku memilih Bali sebagai tempat untuk introspeksi diri sekaligus menyenangkan hati dalam artian yang benar sesuai syariat.Berada di Denpasar, jantung kota pula Bali, aku tinggal disini tanpa sanak saudara.“Mas, kamu yakin mau tinggal di sini?” Tanya Den Mas ketika kami baru turun dari taksi.Di hadapan kami berdiri sebuah bangunan bertingkat satu dengan banyak kamar di dalam. Bagian depan bangunan terdapat tulisan besar ‘menerima kost’.Kepalaku mengangguk dengan tangan memegang gagang ko
POV AKHTARAAnak-anak di panti asuhan ini sudah seperti anakku sendiri. Aku memperlakukan mereka dengan baik sesuai dengan usianya.Kebanyakan yang berada di sini adalah anak-anak dari jenjang sekolah dasar. Sebagian lagi menginjak sekolah menengah pertama dan atas.Yang paling dekat denganku adalah Adam. Dia merasa aku ini bisa menjadi seorang ayah, kakak, dan teman untuknya.“Dam, panggil teman-temanmu kemari lalu bantu aku nata masjid.”“Baik, Pak.”Adam kemudian berlalu dari hadapanku. Kebetulan aku baru datang selepas membersihkan diri dulu di kost.Setiap kamis malam jumat di tanggal hijriah tertentu, yayasan ini mengadakan acara mengaji bersama anak-anak yatim dengan tujuan menggalang dana dari donatur baru.Aku yang menggagas acara ini sejak tiga tahun silam untuk memajukan panti dan anak-anak yang bernaung disini.Setelah dibantu Adam dan beberapa lelaki remaja panti untuk membersihkan masjid yayasan dan menata segalanya, tidak berapa lama waktu magrib pun tiba.Kemudian aku k
POV AKHTARA“Ainun, ini calon Abi barumu. Namanya Abi Akhtara. Kamu bisa panggil Abi Tara,” ucap Humaira pada putrinya, Ainun.Gadis cilik berusia sepuluh tahun dengan mengenakan gamis dan hijab itu kemudian diperkenankan Humaira untuk mencium punggung tanganku. Itu karena Ainun masih belum baligh.Saat ini, aku, Humaira, Ainun, dan Ustad Rasyid sedang berkumpul bersama di ruang tamu rumah Humaira.Aku sudah memutuskan untuk menerima taaruf yang Humaira tawarkan. Lalu Ustad Rasyid mengajakku untuk lebih mengenal Humaira lebih jauh, termasuk mengenal putrinya, dengan bertandang kemari.“Nun, kamu suka nggak mau punya Abi baru?” Tanya Ustad Rasyid.Gadis itu kemudian menoleh kepada ibunya yang menatapnya sembari tersenyum. Lalu dia menatapku dan mengangguk pelan.“Aku sama abinya Ainun bercerai, Mas Tara. Kami --- ““Nggak usah dibahas, Maira. Bagiku apapun masa lalumu itu nggak penting.” Selaku cepat.Aku lebih nyaman memanggilnya dengan nama Maira. Kemudian ia tersipu malu dan mengang