:-o
POV AKHTARAHari demi hari berlalu. Tak terasa usia pernikahanku dengan Merissa telah memasuki bulan keenam.Selama itu pula aku berusaha berdamai dengan keadaan dan perasaanku. Bahwa yang kini menemani hari-hariku adalah Merissa saja. Tanpa ada Jihan.Merissa begitu telaten dan sabar menghadapi keadaanku. Baik itu dari segi psikis dan fisikku.Jarang sekali dia menjelek-jelekkan Jihan dihadapanku meski aku belum menceritakan masa laluku bersama Jihan. Justru, Merissa lah yang membuka pikiranku untuk lebih lapang menerima apa yang terjadi dan menjadikan masa lalu sebagai pelajaran.Dan dia juga tidak memaksaku untuk mengatakan tentang masa laluku dengan Jihan. Dengan alasan agar aku tidak kembali teringat pada Jihan dan lebih fokus menatap rumah tangga kami berdua.Setelah meminum obat yang membuatku berstamina, seperti malam-malam sebelumnya, aku memberikan kepuasan batin untuk menyenangkan Merissa. Meski tidak dengan batinku yang tak terpuaskan.Apakah seperti perasaan Jihan ketika a
POV AKHTARA“Undangan pertunangan gue sama cewek gue. Bukan sama istri orang. Namanya Mytha, bukan Jihan!”Karena aku tidak kunjung menerima undangan itu, Rafqi menarik tanganku dan meletakkannya di telapak.“Semoga lo sadar kalau gue selama ini nggak pernah main gila sama Jihan! Dia bukan tipe gue dan gue nggak ada perasaan apapun ke dia selain pernah berterima kasih karena dia udah nemuin ponsel gue. Titik!”Rafqi kemudian berlalu dari hadapanku sedang aku segera membuka undangan itu dan membacanya dengan seksama. Aku langsung menghela nafas panjang dengan hati dipenuhi rasa bersalah pada Rafqi dan … Jihan.Benarkah jika mereka memang tidak memiliki hubungan spesial apapun?Benarkah jika aku yang selama ini terlalu salah paham padanya?Mengapa sesulit ini untuk percaya dengan segala hal yang berkaitan dengan Jihan?Ketika rasa berasalah itu mendominasi, lalu kata hatiku kembali berbisik.Siapa tahu jika awalnya Jihan dan Rafqi memanglah memiliki hubungan. Lalu setelah aku memergoki k
POV AKHTARAPapa dan Abid memutuskan untuk menginap di rumahku karena esok pagi, kami berdua akan menuju Yogya.Setelah pembicaraan yang membuat rahasiaku dan Jihan terkuak terang-terangan di depan Merissa, kini aku berada di kamar dengan dirinya yang nampak terpukul. Kemudian aku mencoba mendekatinya dengan niatan untuk menjelaskan segalanya.Aku mengambil duduk di sebelahnya yang sedang melamun dengan menatap lantai kamar.“Mer?” Panggilku pelan.Wajahnya benar-benar muram dan hanya melirikku sekilas.“Aku mau ceritain segalanya dari awal sampai akhir. Tentang hubunganku sama Jihan.”Dia terseyum miris kemudian mendadak tidak bisa menahan kesedihannya dan pecahlah tangisnya.Aku langsung merengkuhnya dalam pelukan dan membiarkannya menangis selega-leganya. Karena aku tahu ini pasti menyakitkan untuk Merissa setelah aku membohonginya dengan berkata bahwa tidak pernah sekalipun ‘menyentuh’ Jihan.Dia menganggap aku hanya miliknya dan hanya menginginkannya. Tapi pada kenyataannya, aku m
POV AKHTARASesenti pun mataku tidak berpindah dari wanita yang masih bergelar istriku itu. Wajah putihnya yang terbungkus pashmina terlihat lebih berisi dan kedua matanya menatapku lebar-lebar.Jihan mungkin tidak percaya dengan kedatanganku. Sama! Aku juga tidak percaya akan bertemu dengannya setelah lama tidak bertemu.Kemudian dia mundur beberapa langkah dari pintu ruang tamu yang tetap dia biarkan terbuka dengan wajah terkejut luar biasa. Lalu tidak sengaja mataku menatap perutnya yang …Aku menatap perutnya yang membesar dengan rasa penasaran yang teramat dan terkejut luar biasa.Apakah … Jihan hamil?Belum sempat aku berkata apapun, Jihan dengan keterkejutannya langsung berlalu dengan cepat menuju kamar. Kemudian terdengar suara kunci diputar.Masih dengan keterkejutan yang belum selesai, Papa kemudian menghampiriku.“Masuk, Tara. Papa mau bicara di dalam.”Setelah melepas alas kaki, aku dan Papa masuk ke dalam rumah yang sederhana ini. Ruang tamu hanya ada karpet merah yang ter
POV AKHTARAKata dokter, Jihan mengalami drop karena ketakutannya saat melihat keberadaanku di dekatnya.Aku berani bertaruh jika dia takut aku akan berbuat hal yang sama seperti satu tahun silam. Yaitu mengambil paksa janinnya.Ada perasaan bersalah dan malu karena hal itu tidak hanya diketahui Jihan saja, melainkan kedua orang tua kami berdua telah mengetahui semuanya. Dan Papa telah mengetahui itu semua sejelas-jelasnya dari Dokter Arman.Karena kondisinya tidak darurat, Jihan kemudian dipindahkan ke ruang rawat inap super eksklusif di rumah sakit ini.Dia tidak mau menatapku dan selalu terlihat ketakutan ketika aku berada di sekitarnya.Baru saja aku menyibak tirai kamar rawat inapnya, Papanya Jihan langsung menghadiahi sebuah bogeman ke pipiku.Bugh!Sakit dan sudut bibirku mengeluarkan darah.Namun aku tidak membalas tindakan beliau. Itu adalah ekspresi marah seorang ayah pada suami putrinya yang dianggap begitu kurang ajar.Beliau kemudian keluar dari kamar rawat Jihan karena ti
POV AKHTARATanpa menunggu Jihan pulih, esok harinya aku memutuskan kembali ke Bogor tanpa sepengetahuan Papa. Kalaupun Papa marah, biarlah. Aku akan terima sekaligus dengan konsekuensinya.Mana mungkin aku sanggup menemani Jihan hingga pulih tapi pada akhirnya aku dilarang merujuk dirinya?Begitu tiba di rumah, Merissa terkejut melihat kedatanganku. Kebetulan dia masih izin tidak bekerja. “Lho, Mas? Kamu udah pulang?”Aku mengangguk lalu membawanya dalam pelukan.“Aku kangen kamu, Mer,” ucapku dengan memeluknya erat-erat.Merissa yang kupeluk tapi justru ciumanku semalam bersama Jihan menari-nari di dalam benak.Aku memeluknya hanya untuk mengikis dominasi Jihan di dalam hatiku. Juga untuk belajar menerima dia menjadi satu-satunya ratu di dalam hatiku kelak meski … hatiku masih saja enggan.Jihan yang kubutuhkan tapi kedua orang tua kami tidak akan pernah setuju andai kami kembali rujuk. Dan pastinya, Jihan sudah tidak sudi menerimaku lagi.“Aku juga kangen kamu, Mas. Aku takut kamu
POV AKHTARAAku tidak memiliki pilihan selain …“Sayang, maaf. Kita … harus balik,” ucapku dengan penuh rasa bersalah.Merissa dengan wajah sendunya kemudian mengangguk.Kami tidak memiliki pilihan selain kembali ke Bogor. Akhirnya, mau tidak mau aku harus berdamai dengan keadaan untuk kembali bertemu dengan Jihan setelah aku berusaha mati-matian melupakan dan menjauh.“Dan kamu harus ke Yogya, Mas. Itu … kemauan Papamu. Dan … aku nggak boleh melarang.”Merissa nampak sangat sedih hingga setetes air matanya luruh. Dia begitu mencintaiku dan terluka dengan hubungan kami.“Kalau kamu mau, kamu bisa ikut juga.”Hanya itu yang bisa kutawarkan untuk meredam luka di hatinya. Karena sekuat apapun perempuan, nyatanya tidak akan pernah sanggup melihat suaminya pergi menemui madunya.Dan mungkin Jihan pernah seterluka ini karena perbuatanku dulu saat dengan terang-terangan menduakannya dengan Merissa.Betapa ba****an aku ini. Benar kata Papa, kalau Jihan terlalu baik untukku hingga aku dilarang
POV AKHTARA Ketika Mas Bimo mengusahakan agar posisi Papanya Jihan bisa kugantikan di dalam ruang operasi, Papa kemudian mendatangiku. Memandangku dengan sorot lelah bercampur kesal. "Sekali pe****ut, selamanya akan begitu, Tara."Aku tahu apa maksud Papa berkata demikian. Kemudian aku berkata ..."Aku udah datang dari tadi.""Lalu kenapa kamu nggak nemuin Jihan?! Kenapa kamu biarin dia masuk ke ruang operasi ditemani Papanya?! Apa kamu ... "Papa tidak meneruskan ucapannya lalu menghela nafas panjang. "Papa lelah bicara sama kamu, Tara. Setelah bayi itu lahir dan hasil tes DNA-nya keluar, apabila terbukti secara biologis itu adalah anakmu, siap-siaplah berkalang karma!"Kemudian Papa pergi bersama direktur rumah sakit. Sedang Mas Bimo kemudian mendatangiku dengan wajah berseri-seri. "Mari, Pak Akhtara."Tanpa banyak berpikir, aku segera mengikuti Mas Bimo dan ... bertemu Papanya Jihan. Beliau kemudian melepas pakaian khusus untuk masuk ruang operasi lalu memberikannya padaku. "Se