:-o
POV AKHTARAPapa dan Abid memutuskan untuk menginap di rumahku karena esok pagi, kami berdua akan menuju Yogya.Setelah pembicaraan yang membuat rahasiaku dan Jihan terkuak terang-terangan di depan Merissa, kini aku berada di kamar dengan dirinya yang nampak terpukul. Kemudian aku mencoba mendekatinya dengan niatan untuk menjelaskan segalanya.Aku mengambil duduk di sebelahnya yang sedang melamun dengan menatap lantai kamar.“Mer?” Panggilku pelan.Wajahnya benar-benar muram dan hanya melirikku sekilas.“Aku mau ceritain segalanya dari awal sampai akhir. Tentang hubunganku sama Jihan.”Dia terseyum miris kemudian mendadak tidak bisa menahan kesedihannya dan pecahlah tangisnya.Aku langsung merengkuhnya dalam pelukan dan membiarkannya menangis selega-leganya. Karena aku tahu ini pasti menyakitkan untuk Merissa setelah aku membohonginya dengan berkata bahwa tidak pernah sekalipun ‘menyentuh’ Jihan.Dia menganggap aku hanya miliknya dan hanya menginginkannya. Tapi pada kenyataannya, aku m
POV AKHTARASesenti pun mataku tidak berpindah dari wanita yang masih bergelar istriku itu. Wajah putihnya yang terbungkus pashmina terlihat lebih berisi dan kedua matanya menatapku lebar-lebar.Jihan mungkin tidak percaya dengan kedatanganku. Sama! Aku juga tidak percaya akan bertemu dengannya setelah lama tidak bertemu.Kemudian dia mundur beberapa langkah dari pintu ruang tamu yang tetap dia biarkan terbuka dengan wajah terkejut luar biasa. Lalu tidak sengaja mataku menatap perutnya yang …Aku menatap perutnya yang membesar dengan rasa penasaran yang teramat dan terkejut luar biasa.Apakah … Jihan hamil?Belum sempat aku berkata apapun, Jihan dengan keterkejutannya langsung berlalu dengan cepat menuju kamar. Kemudian terdengar suara kunci diputar.Masih dengan keterkejutan yang belum selesai, Papa kemudian menghampiriku.“Masuk, Tara. Papa mau bicara di dalam.”Setelah melepas alas kaki, aku dan Papa masuk ke dalam rumah yang sederhana ini. Ruang tamu hanya ada karpet merah yang ter
POV AKHTARAKata dokter, Jihan mengalami drop karena ketakutannya saat melihat keberadaanku di dekatnya.Aku berani bertaruh jika dia takut aku akan berbuat hal yang sama seperti satu tahun silam. Yaitu mengambil paksa janinnya.Ada perasaan bersalah dan malu karena hal itu tidak hanya diketahui Jihan saja, melainkan kedua orang tua kami berdua telah mengetahui semuanya. Dan Papa telah mengetahui itu semua sejelas-jelasnya dari Dokter Arman.Karena kondisinya tidak darurat, Jihan kemudian dipindahkan ke ruang rawat inap super eksklusif di rumah sakit ini.Dia tidak mau menatapku dan selalu terlihat ketakutan ketika aku berada di sekitarnya.Baru saja aku menyibak tirai kamar rawat inapnya, Papanya Jihan langsung menghadiahi sebuah bogeman ke pipiku.Bugh!Sakit dan sudut bibirku mengeluarkan darah.Namun aku tidak membalas tindakan beliau. Itu adalah ekspresi marah seorang ayah pada suami putrinya yang dianggap begitu kurang ajar.Beliau kemudian keluar dari kamar rawat Jihan karena ti
POV AKHTARATanpa menunggu Jihan pulih, esok harinya aku memutuskan kembali ke Bogor tanpa sepengetahuan Papa. Kalaupun Papa marah, biarlah. Aku akan terima sekaligus dengan konsekuensinya.Mana mungkin aku sanggup menemani Jihan hingga pulih tapi pada akhirnya aku dilarang merujuk dirinya?Begitu tiba di rumah, Merissa terkejut melihat kedatanganku. Kebetulan dia masih izin tidak bekerja. “Lho, Mas? Kamu udah pulang?”Aku mengangguk lalu membawanya dalam pelukan.“Aku kangen kamu, Mer,” ucapku dengan memeluknya erat-erat.Merissa yang kupeluk tapi justru ciumanku semalam bersama Jihan menari-nari di dalam benak.Aku memeluknya hanya untuk mengikis dominasi Jihan di dalam hatiku. Juga untuk belajar menerima dia menjadi satu-satunya ratu di dalam hatiku kelak meski … hatiku masih saja enggan.Jihan yang kubutuhkan tapi kedua orang tua kami tidak akan pernah setuju andai kami kembali rujuk. Dan pastinya, Jihan sudah tidak sudi menerimaku lagi.“Aku juga kangen kamu, Mas. Aku takut kamu
POV AKHTARAAku tidak memiliki pilihan selain …“Sayang, maaf. Kita … harus balik,” ucapku dengan penuh rasa bersalah.Merissa dengan wajah sendunya kemudian mengangguk.Kami tidak memiliki pilihan selain kembali ke Bogor. Akhirnya, mau tidak mau aku harus berdamai dengan keadaan untuk kembali bertemu dengan Jihan setelah aku berusaha mati-matian melupakan dan menjauh.“Dan kamu harus ke Yogya, Mas. Itu … kemauan Papamu. Dan … aku nggak boleh melarang.”Merissa nampak sangat sedih hingga setetes air matanya luruh. Dia begitu mencintaiku dan terluka dengan hubungan kami.“Kalau kamu mau, kamu bisa ikut juga.”Hanya itu yang bisa kutawarkan untuk meredam luka di hatinya. Karena sekuat apapun perempuan, nyatanya tidak akan pernah sanggup melihat suaminya pergi menemui madunya.Dan mungkin Jihan pernah seterluka ini karena perbuatanku dulu saat dengan terang-terangan menduakannya dengan Merissa.Betapa ba****an aku ini. Benar kata Papa, kalau Jihan terlalu baik untukku hingga aku dilarang
POV AKHTARA Ketika Mas Bimo mengusahakan agar posisi Papanya Jihan bisa kugantikan di dalam ruang operasi, Papa kemudian mendatangiku. Memandangku dengan sorot lelah bercampur kesal. "Sekali pe****ut, selamanya akan begitu, Tara."Aku tahu apa maksud Papa berkata demikian. Kemudian aku berkata ..."Aku udah datang dari tadi.""Lalu kenapa kamu nggak nemuin Jihan?! Kenapa kamu biarin dia masuk ke ruang operasi ditemani Papanya?! Apa kamu ... "Papa tidak meneruskan ucapannya lalu menghela nafas panjang. "Papa lelah bicara sama kamu, Tara. Setelah bayi itu lahir dan hasil tes DNA-nya keluar, apabila terbukti secara biologis itu adalah anakmu, siap-siaplah berkalang karma!"Kemudian Papa pergi bersama direktur rumah sakit. Sedang Mas Bimo kemudian mendatangiku dengan wajah berseri-seri. "Mari, Pak Akhtara."Tanpa banyak berpikir, aku segera mengikuti Mas Bimo dan ... bertemu Papanya Jihan. Beliau kemudian melepas pakaian khusus untuk masuk ruang operasi lalu memberikannya padaku. "Se
POV AKHTARA Pihak rumah sakit berkata jika hasil tes DNA akan keluar dua hari kemudian. Itu sudah yang paling cepat. Sedang aku menanti hasilnya dengan tidak sabaran dan deg-deg an. Setelah Jihan melahirkan, aku tidak pernah sekalipun menjenguknya di kamar rawat atau menemui bayinya di ruang bayi. Aku hanya terus berada di kamar hotel sambil menunggu kapan hasil tes DNA-nya keluar. Ini terdengar pengecut, tapi jika dipikir kembali kenapa aku harus menemani Jihan jika Papanya saja sudah memberiku peringatan untuk tidak menemuinya lagi?Makan tidak enak. Tidur tidak nyenyak. Yang kuinginkan hanya menyendiri di kamar. Kring ... Aku yang tengah berada di balkon kamar hotel sambil menghisap nikotin kemudian menoleh ke arah ponsel yang berdering. Papa is calling ...Tanpa mematikan nikotin itu, aku kemudian mengangkat panggilan dari Papa. "Dimana kamu?""Hotel.""Kemari. Hasil tes DNA sudah keluar."Seketika itu juga bulu tubuhku meremang. "Jangan lupa, siapkan wajah dan mentalmu, Ak
POV AKHTARAUsai memasangkan dasi, Merissa kemudian mencium dan memelukku.Pagi ini, aku ada rapat dengan direktur rumah sakit. Oleh karena itu aku mengenakan pakaian lengkap formal. Sedang Merissa sudah siap dengan setelan kerjanya.“Mas, boleh aku bilang sesuatu?”Aku mengangguk lalu membalas pelukannya. Bagaimanapun aku harus berdamai dengan keadaan. Termasuk berdamai dengan kenyataan bahwa Merissa lah yang akan menemani hari-hariku ke depannya.Bukan bersama Jihan dan putraku, Akhtira.“Janji jangan marah ya?”“Iya.”“Aku tanya bukan untuk bikin kamu nggak tenang, tapi aku mau kita berinteraksi selayaknya suami istri.”Sikap Merissa yang begitu sabar dan tidak frontal saat meminta penjelasan, patut kuacungi jempol. Karena tidak semua perempuan bisa menahan diri ketika suaminya tiba-tiba berubah diam dan tidak romantis.“Oke.”“Sejak kamu pulang dari Yogya, sejak kamu tahu kalau bayi itu adalah anakmu, sikapmu berubah.”Aku sangat menyadari itu.“Kamu jadi dingin, acuh, sering menye
POV AKHTARA Sepasang tiket VIP dari biro perjalanan ke tanah suci sudah siap di tangan. "Apa kamu yakin ini adalah cara terbaik bikin kedua orang tua Jihan mau merestui hubungan saya sama Jihan, Ris?" Tanyaku."Kita coba saja dulu, Pak. Kalau Bapak ngasih harta atau rumah baru, belum tentu orang tua Bu Jihan luluh. Justru marah yang iya. Tapi kalau hadiah sepaket perjalanan ke tanah suci, saya rasa itu adalah hadiah terbaik sepanjang masa."Apa yang dikatakan Faris ada benarnya. "Oke. Saya akan hubungi Jihan kalau nanti malam mau bertamu ke rumahnya.""Semoga semuanya lancar, Pak."Hampir satu minggu ini aku dan Faris berpikir tentang hadiah terbaik untuk kedua orang tua Jihan agar sudi menerimaku lagi. Dan pilihan kami jatuh pada tanah suci. Dan selama satu minggu itu pula, aku selalu memikirkan Jihan dan Akhtira. Apakah Jihan mendapat omongan yang tidak mengenakkan dari kedua orang tuanya karena memilihku?Ataukah semuanya baik-baik saja tidak seperti dugaanku?Sebab, satu minggu
POV AKHTARA“Maaf katamu?” Tanya Farhan dengan suara sinis.“Waktu Jihan merawat Akhtira sendirian, dihina orang lain perempuan nggak benar karena melahirkan tanpa suami, lalu Akhtira dihina anak haram, siapa yang jadi tameng untuk mereka heh?!”Aku tidak menjawab dan hanya menatap Farhan. Membiarkan dia menyelesaikan ucapannya. “Aku!” Dia menepuk dadanya dengan wajah benar-benar kesal.“Bukan kamu! Yang tiba-tiba datang ngambil semua yang aku usahakan!” ucapnya dengan menunjuk dadaku.“Kamu memang ayah kandung Akhtira, tapi aku yang lebih banyak berjasa ke mereka! Aku menyayangi mereka itu tulus!”“Dan Jihan nggak mungkin berpaling kalau bukan karena kamu pakai acara pura-pura mau mati! Biar apa, heh?! Dapat simpati Jihan dengan cara pintas? Iya?!”Kepalaku menggeleng dengan menatap Farhan yang begitu kecewa dan sakit hati.“Munafik!”“Saya nggak perlu menjelaskannya ke kamu karena saya tahu kamu nggak butuh itu, Far.”Tanpa berkata lagi, Farhan kemudian menaiki motornya dengan ekspr
POV AKHTARA [Pesan dariku : Han, saya mau ke rumahmu malam ini. Apa boleh?]Aku menunggu jawaban Jihan dengan sangat tidak sabaran. Menit demi menit itu terasa sangat lama sekali. Kemana dia? Mengapa sedang tidak online?Setelah lima menit dan mondar-mandir sendiri di dalam apartemen, aku kembali melihat ponsel yang masih saja belum menunjukkan ada notifikasi dari Jihan.Baru kemarin Jihan bertamu ke apartemenku, dan hari ini aku langsung bergerak cepat. Memangnya mau menunggu apa?Ting …Aku segera meraih ponsel yang ada di meja dengan harap-harap cemas semoga saja itu dari Jihan.Dan ...[Pesan dari Jihan : Maaf, Pak. Mau apa memangnya?]Kemudian aku langsung menekan gambar telfon dan terhubung ke nomer Jihan. Aku merasa berbicara langsung itu lebih jelas dan gamblang dari pada mengatakannya melalui pesan singkat.“Halo?”“Saya mencintai kamu, Han.”Ini mungkin terlihat sangat frontal dan tidak sabaran. Karena aku langsung mengatakan isi hatiku kepada Jihan tanpa ada basa basi sama
POV AKHTARAJihan kemudian menoleh dengan mata berkaca-kaca kemudian dia berdiri tanpa membawa paper bag. Lalu dia berjalan ke arahku hingga terlihat jelas ekspresi wajahnya.Kecewa, sedih, dan marah bercampur menjadi satu.“Ketika Bapak mau pergi meninggalkan saya dan Akhtira, setelah nyuruh Faris datang ke rumah dengan memberikan deretan surat berharga beserta rekening berisi uang yang nggak main-main banyaknya, kenapa Bapak nggak angkat telfon saya?”“Kenapa Bapak main pergi aja waktu itu?”Lalu air matanya kembali jatuh setetes membasahi pipi.“Bapak ngasih saya dan Akhtira harta sebanyak itu lalu pergi gitu aja, saya kayak merasa semuanya bisa Bapak hargai pakai uang!”Kemudian air mata Jihan makin deras membasahi pipinya. Bahkan bibirnya ikut bergetar menahan isak tangis.“Saya tahu Bapak itu kaya, tapi kenapa semuanya selalu Bapak putuskan sendiri tanpa dengerin saya dulu! Kenapa Bapak selalu menilainya pakai uang?! Bapak punya hati dan cinta kan?! Kenapa nggak mencoba menggunak
POV AKHTARATujuh hari aku berada di tanah suci untuk benar-benar menghambakan diri pada Tuhan. Segala urusan duniawi kukesampingkan.Aku benar-benar mengharap ampunan turun bersama dengan kesungguhanku saat bersujud, menengadahkan tangan, dan tetesan air mata penyesalan.Kugunakan waktu itu sebaik mungkin dengan memperbanyak ibadah. Aku hanya pulang ke hotel jika benar-benar mengantuk.Aku tidak tahu apakah pemeriksaan keseluruhan terhadap kesehatanku itu lolos ataukah tidak. Bila lolos dan dinyatakan cocok, setidaknya aku telah membasuh jiwaku di tanah suci sebelum kembali pada sang Khaliq.Tapi bila tidak lolos, aku harap Tuhan memberi jalan kehidupan yang lebih baik. Karena aku sudah tidak lagi muda dan waktunya lebih fokus pada ibadah serta keluarga.Faris melambaikan tangannya begitu aku keluar dari pintu kedatangan penerbangan luar negeri. Dengan menggeret koper, aku menghampirinya yang menatapku dengan pandangan berkaca-kaca.Dia sudah kuanggap seperti adik dan langsung merangk
POV AKHTARA Faris yang berdiri di samping itu kemudian menatapku penuh keterkejutan. Pun dengan dokter yang kuajak berbicara dan masih memegang hasil laboratorium pasien yang menderita sakit keras itu. "Pak, apa ... maksudnya?" Tanya dokter itu. "Maksud saya seperti yang dokter pikirkan."Dokter itu kemudian menatap Faris dengan penuh keterkejutan. Pasalnya mana ada orang yang sudi mendonorkan hatinya dengan terang-terangan seperti aku?Mungkin mereka pikir aku sedang main-main dengan hal ini. Padahal aku benar-benar merasa bahwa ini adalah titik balik untuk memperbaiki diri dan mendapatkan ampunan dari Tuhan atas semua kesalahanku. "Pak Akhtara, maaf. Ini bukan perkara sederhana, Pak. Mendonorkan hati itu tidak sama dengan mendonorkan ginjal. Manusia punya dua ginjal dan masih bisa bertahan hidup dengan satu ginjal. Tapi kalau hati ... manusia hanya punya satu, Pak. Kalau itu diambil, maka --- ""Saya mati. Begitu kan alurnya?" Jawabku tenang. Dokter dan Faris saling bertatapan d
POV AKHTARA“Mas, mau gendong Tira nggak?” Tanya Abid dengan suara sangat lirih.Aku yang tengah duduk di bangku belakang sambil menatap keluar jendela mobil pun beralih atensi pada adikku itu.Dia tengah memangku putraku, Akhtira, yang sudah tertidur dengan lelap. Sedang kedua anaknya masing-masing dipangku istrinya dan Papa. Hanya aku saja yang tidak memangku anak kecil.Kemudian aku melongok ke arah putraku itu. Dia benar-benar damai terlelap di atas pangkuan adikku. Dan selalu enggan untuk berdekatan denganku.“Apa dia nanti nggak kebangun, Bid?” Tanyaku dengan suara sama lirihnya.“Pelan-pelan aja, Mas.”Lalu aku mengusap pipi halusnya itu dengan ibu jari untuk memastikan apakah Akhtira benar-benar sangat terlelap. Ternyata putraku itu tetap tidur dengan sangat pulas.“Kayaknya dia kecapekan habis main air terus perutnya kenyang. Jadi deh ngorok.”Aku menahan tawa karena guyonan Abid lalu mengangguk dengan mengulurkan kedua tangan untuk menerima putraku.Galau di hati yang sedari
POV AKHTARAAku harus tetap professional dengan tidak mencampuradukkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Meski terasa sulit dengan tidak memikirkan penolakan Jihan saat aku sedang bekerja seperti ini.Permintaan Jihan yang tidak bersedia rujuk adalah sebuah keputusan yang tidak boleh kupaksa. Dia memiliki hak yang harus kuhormati sekalipun itu melukai hatiku.Cintaku pada sesama manusia telah habis di Jihan.Meski Humaira begitu baik secara sifat dan iman, tetap saja aku selalu terbayang Jihan. Bukankah akan makin menyakiti Humaira jika dia mengerti jika hatiku masih tertambat pada Jihan?“Mungkin jika Bu Jihan sudah menikah lagi, Bapak akan benar-benar bisa melepas dan melupakannya. Karena pintu untuk mendapatkannya benar-benar telah tertutup,” ucap Faris.Aku menghela nafas panjang dengan menatap gelas minumku yang mengembun. Kami sedang makan malam bersama karena aku tidak mau makan malam sendirian. Kebetulan tempat tinggal Faris tidak jauh dari apartemen tempatku berteduh.“M
POV AKHTARAKarena putraku, Akhtira, sedang duduk di pangkuan seorang lelaki dengan menghadap wajah orang itu. Bahkan senyum putraku terlihat mengembang penuh tawa apalagi saat lelaki itu menyerukkan kepalanya ke arah dada putraku.Tira kembali tertawa terpingkal karena geli dan mencengkeram rambut lelaki itu. Semakin Tira terpingkal, dia semakin menyerukkan kepalanya ke dada putraku hingga tawa keduanya menguar bebas dan membuatku … iri.Lelaki yang masih memakai kemeja putih dan celana kain hitam khas pakaian ASN itu, apakah dia yang bernama Farhan?Seorang aparatur sipil negara yang berstatus duda dan sedang mendekati Jihan.Karena lelaki itu sibuk menyerukkan kepalanya di dada putraku, dia tidak menyadari kehadiranku yang menatap ke arahnya dengan penuh rasa iri dan sedih.Iri karena putraku bisa seakrab itu dengannya. Padahal aku ini ayah biologisnya.Dan sedih karena aku belum pernah sekalipun menggendong putraku sama sekali.Sudah berapa lama mereka bersama? Sudah berapa lama le