:-0
Di luar ruang rias, kami berdiri berhadapan dengan saling memandang. Sikap angkuhnya begitu kuat ditunjukkan. Berbeda denganku yang menatapnya santai dan cuek.“Akhtara itu cintanya sama Merissa! Kamu tuh cuma dipakai senang-senang doang! Ngerti kamu?!”Aku hanya memandangnya tanpa berbicara.“Aku ingetin ya, Han! Kalau mereka lagi berduaan, kamu jangan ganggu-ganggu! Biar Merissa cepat hamil! Awas kalau kamu ngerecokin Akhtara waktu lagi berduaan sama Merissa!”Masih tetap aku memandangnya tanpa menjawab.“Harusnya kamu tuh sadar diri! Kalau Akhtara mutusin poligami itu artinya dia udah bosan sama kamu! Kamu udah dianggap sampah!”“Keluarin apa yang mau Bude Rani omongin. Mumpung aku masih disini.” Tantangku tenang dengan tangan bersedekap.Aku tidak akan menunjukkan sikap lemah atau hancur hanya karena tekanannya. Akan kulawan dengan berani!“Kalau aku jadi kamu … mending minta cerai! Karena mau kamu binal model apapun, Akhtara nggak mungkin ngelirik kamu lagi! Tapi dasarannya kamu e
Taksi yang kutumpangi bergerak cepat menuju Bandung meninggalkan Bogor.Tidak ada tanda-tanda orang asing mengikuti taksi ini. Aku sangat bersyukur karena kepergianku secara diam-diam akhirnya berjalan lancar.Ingin rasanya aku menghubungi Mbak Mini untuk bertanya …Apakah Pak Akhtara mencariku?Bagaimana dengan acara akad nikah keduanya?Namun aku teringat jika …“Mbak, jangan hubungi nomerku lebih dulu kalau bukan aku yang menghubungi. Biar Pak Akhtara ngertinya Mbak Jihan kabur karena usaha Mbak sendiri,” ucap Mbak Mini kemarin.Mungkin itu bisa berbahaya jika aku menghubungi Mbak Mini lebih dulu. Karena bisa dipastikan ketidakberadaanku di Bogor akan membuat Pak Akhtara menanyakan terus menerus hal ini pada Mbak Mini dan Rosita.Atau yang lebih parah ponsel mereka berdua akan dicek oleh Pak Akhtara.Jadi, aku harus mengurungkan niat untuk bertanya pada Mbak Mini dan Rosita tentang acara pernikahan Pak Akhtara dan Merissa.Bukankah jika aku sudah memutuskan untuk kabur dan membesark
Hari demi hari berlalu. Tidak terasa sudah satu minggu kami berada di Jogja. Tinggal di salah satu rumah Bude Irma yang kosong. Selama satu minggu ini pula, Papa, Mama, dan aku tidak keluar dari rumah jika tidak ada kepentingan yang mendesak. Juga, jika keluar rumah, kami selalu mengenakan masker.Alasannya sudah pasti siapa tahu ada yang mengenali wajah kami lalu mengabarkannya pada Pak Akhtara. Papa tidak mau pelarian dan persembunyian kami diketahui oleh orang yang juga mengenal Pak Akhtara dan keluarganya. "Rus, kalian udah sembunyi selama seminggu. Apa iya kalian bakal sembunyi terus?" Tanya Bude Irma saat bertandang ke rumah dengan membawa gudeg. "Tunggu aman dulu, Mbak Ir," jawab Papa."Sampai kapan amannya?"Kami sedang makan bersama di ruang tengah beralaskan tikar. Maklum, rumah ini tidak begitu besar. Papa nampak berpikir sejenak lalu berucap ... "Seenggaknya dua minggu lagi lah, Mbak Ir."Bude Irma menghela nafas lalu menatapku sekilas dan kembali menatap Papa."Jiha
Sudah tidak ada lagi satu pun barang yang mengingatkanku pada Pak Akhtara.Mahar pernikahan telah dijual Papa lalu digunakan untuk modal awal membuka kembali tempat makan milik Bu Irwan.Papa dan Mama tidak lagi bingung mencari pelanggan karena hari pertama buka saja, menurut kedua karyawan yang membantu memasak berkata jika tempat tetap lah ramai seperti biasa.Maklum, tempat ini berada di sekitar kampus beken di Jogja.Aku yang sudah tidak lagi mengalami morning sickness pun ikut membantu di dapur dengan melakukan tugas yang ringan-ringan saja. Karena kandunganku sudah memasuki usia kehamilan tiga bulan lebih.Tidak terasa jika aku telah lepas dari Pak Akhtara. Juga tidak ada tanda-tanda beliau mencari keberadaanku. Pasti, beliau telah melupakanku dan menjalani rumah tangga bahagianya dengan Merissa.Iri?Sedikit. Nanti juga akan hilang dengan sendirinya.Mana mungkin aku tidak iri jika yang sedang kukandung adalah darah dagingnya juga. Pasti nanti anakku akan mewarisi genetik beliau
“Ya ampun, Mbak Mini!”Aku sangat terkejut mendapati telfon darinya untuk pertama kali. Setelah sekian lama kami tidak berjumpa.Ah … iya, aku melupakan satu hal jika sebelum kabur dari rumah Pak Akhtara, Mbak Mini telah mencatat nomerku yang baru.Dan ini pertama kalinya dia menghubungiku sejak kejadian saat itu. Sekitar setengah tahun yang lalu.“Kok baru menghubungi sekarang, Mbak?”Waktu itu aku tidak berani menghubungi Mbak Mini lebih dulu karena ia berpesan jika semua telah terkendali, maka dia yang akan menghubungi.Tapi, apakah setengah tahun ini semuanya baru terkendali?“Iya, Mbak Jihan. Baru sempat dan baru keinget.”“Aku kangen lho.”Shifa yang berada di kamarku ikut mendengarkan dengan seksama dengan siapa aku menelfon.Mbak Mini terkekeh renyah mendengar ucapan rinduku padanya.“Masak kangen sama aku. Kangen sama aku apa kangen sama Rosita?”Aku seketika teringat pada Rosita.“Eh iya, gimana kabar Rosita, Mbak Min?”“Baik, Mbak Jihan. Kita berdua jauh lebiiiih baik sekara
Bulu kuduk di sekujur tubuhku meremang karena tidak sengaja bertemu dengan …Mama dan Papanya Pak Akhtara.Delapan bulan lamanya aku tidak bertemu mereka lagi. Dan mengapa sekarang kami bertemu kembali di tempat aku melarikan diri?Ya Tuhan, aku benar-benar menyesal datang ke pusat perbelanjaan ini jika pada akhirnya hanya akan membuatku bertemu dengan mereka.Kedua kakiku terasa lemas karena pertemuan yang tak terduga ini. Beruntung Shifa memegangi kedua lenganku dengan sigap.“Mbak? Kenapa? Apa perutnya sakit?” Tanya Shifa cemas.Aku segera menggelengkan kepala.Sedang Mama yang mendengar pertanyaan Shifa langsung menoleh dengan wajah tak kalah cemasnya.Melihat Shifa memegangi kedua lenganku, Mama pun ikut memegangi kedua lenganku juga.“Han? Kenapa? Apa perutmu kontraksi?”Kepalaku kembali menggeleng tanpa mau bersuara. Khawatir jika Papa dan Mamanya Pak Akhtara mengetahui kehamilanku.Aku tidak mau orang terdekat Pak Akhtara mengetahuinya.“Mending kita pulang ya? Mama nggak mau k
"Akhtara nggak mungkin ngelakuin perbuatan gila kayak gitu! Dia bukan pembunuh!" "Aku yakin, kalau kamu emang yang cari gara-gara! Itu pasti bukan anaknya Akhtara lalu Akhtara tahu semua rahasiamu!""Bilang aja kalau kamu itu sebenarnya hamil anak lelaki lain tapi nyuruh Akhtara ngakuin! Akal bulusmu itu bisa dibaca, Jihan!""Lalu kamu sekarang jelek-jelekin Akhtara di depan kami! Jangan suka memfitnah Akhtara! Dia udah bahagia sama Merissa!""Aku yakin bentar lagi Merissa bakal hamil anaknya Akhtara yang sesungguhnya!"Mamanya Pak Akhtara berseru marah dengan menunjuk wajahku berkali-kali. Kemudian Mamaku tidak tinggal diam melihatku diperlakukan seperti ini.Mamaku langsung berdiri dengan wajah garangnya dengan berkacak pinggang. "Anakku Jihan bukan perempuan murahan, Nyonya! Silahkan anda cari kebenarannya di klinik yang pernah dipakai Akhtara untuk membunuh darah dagingnya sendiri!""Beruntung ... anakku Jihan diberi keselamatan oleh Yang Maha Kuasa. Andai anakku Jihan ikut pergi
Aku mundur beberapa langkah dengan mata membola begitu tahu siapa yang bertandang siang ini ke rumah. Hingga aku tidak sadar membiarkan pintu rumah tetap terbuka. Penampilannya tidak berubah seperti terakhir kali aku meninggalkannya beberapa bulan silam. Tepat di hari beliau menikahi perempuan yang masih menjadi sepupu serta rivalku.Matanya menyorotku sedikit tajam dengan kacamata yang membingkai. Tanpa senyum atau ekspresi terkejut. Dan yang ada di dalam otakku hanya ...Bagaimana dia bisa menemukan rumahku?Bagaimana dia tahu aku berada di rumah sendirian tanpa kedua orang tua?Apa yang dia inginkan hingga repot-repot datang kemari?Apakah dia akan kembali menghabisi calon anakku?Tidak!!!Tidak akan kubiarkan!!!Tanpa pikir panjang, aku langsung memasuki kamar dan menguncinya rapat-rapat.Jantungku berdetak sangat cepat! Ketakutan dan kecemasan saat berhadapan dengan beliau langsung memenuhi bayangan!Aku masih ingat dengan sumpahnya yang akan menyeretku kembali ke Bogor jika be
POV AKHTARA Satu tahun kemudian ... "Selamat, Pak. Bayinya lahir sehat. Perempuan."Aku yang sedang menemani Jihan melahirkan secara sesar itu pun tidak kuasa menahan haru dan bahagia karena kami dipercaya Tuhan untuk merawat cipataan-Nya yang sangat lucu dan menggemaskan.Adiknya Akhtira. Setelah suster membersihkan putri kami tercinta, aku segera menggendongnya. Lalu melafadzkan suara adzan di telinganya. Dengan mata berkaca-kaca, aku mencium pipinya penuh cinta. Lalu memberikannya pada Jihan yang masih terbaring di atas meja operasi. "Mau Ayah kasih nama siapa?""Aksara Badsah Ubaid."Kemudian Jihan terlihat sedikit memanyunkan bibir."Aku yang hamil susah payah, tapi nama kedua anakku mirip Ayah semua." Protesnya. "Ya udah saya ganti.""Diganti apa?""Aksara Febriana Ubaid."Jihan menganggukkan kepala setuju dengan melakukan skin ship bersama putri kami. "Namanya kelihatan ada ceweknya. Kalau yang pertama kayak laki-laki, Yah.""Apapun yang kamu mau, Sayang."Kemudian aku da
POV AKHTARARumah megahku yang berada di Bogor terasa begitu sepi, dingin, dan mati. Tidak ada suara tawa atau celotehan Akhtira.Dulu aku mendiami rumah ini hanya untuk menaruh lelap, berganti pakaian, dan berpesta dengan rekan-rekan bisnis. Bukan sebagai tempat untuk melepas kepenatan atau mendulang kebahagiaan.“Dulu saya suka pulang ke rumah ini karena ada kamu, Han,” ucapku.Sambil bergelung dengan satu selimut yang sama dengan Jihan. Di kamar yang ia tempati dulu.“Gombal. Nyatanya Bapak juga masih keluar sama Merissa padahal ada saya di rumah.”Kemudian aku membawanya dalam pelukan hingga kulit kami saling bersentuhan.“Saya nemenin Merissa belanja doang. Dan sengaja pulang agak malam biar kamu cemburu.”Tangan Jihan kemudian memukul dadaku.“Jahat!”Aku tersenyum lalu mencium kening dan memeluknya.“Saya jahat sama kamu dan jahat sama diri saya sendiri. Saya pengen cepat pulang, ketemu kamu, lalu mendapatkan hak saya. Tapi saya sengaja ngulur-ngulur waktu biar kamu cemburu. Soa
POV AKHTARA“Pa, aku sama Ayahnya Tira mau ke Bogor,” ucap Jihan ketika kami semua duduk di kursi meja makan.“Ngapain ke Bogor?!” Tanya Papanya Jihan ketus.Jihan yang sedang menyuapi Akhtira kemudian menatapku yang duduk di sebelah putraku itu.Kemudian Papanya Jihan langsung menatapku dengan ekspresi tidak suka.“Mau merencanakan apa lagi kamu, Akhtara?! Nggak usah bawa-bawa Jihan pergi jauh dari kami! Kami nggak percaya sama kamu!”Inilah alasan kuat mengapa Jihan dan Akhtira tidak diperbolehkan untuk tinggal seatap saja denganku. Mereka berpikir jika aku masihlah jahat seperti dulu. Dan sudah pasti aku harus sabar dan kuat menghadapi sikap mereka.“Aku khawatir kamu udah bikin rencana di Bogor lalu Jihan sama Tira nggak pulang-pulang! Kalau kamu mau ke Bogor, pergi aja sendiri sana!”“Meski Jihan udah kembali jadi hakmu, tapi aku sebagai Papanya nggak mau kejadian buruk itu kembali terulang!”Usai menelan makanan, aku menatap Papanya Jihan, mertuaku.Aku menyadari mengapa amarah b
POV AKHTARA Dengan jarak sedekat ini sambil menatap wajah cantik Jihan, aku benar-benar terlena. Wanita yang ada di hadapanku saat ini telah resmi menjadi istriku, pendamping hidupku. Tidak ada kata terlarang untuk menyentuh wajahnya dengan kedua tanganku. Bahkan aku dihalalkan untuk menyentuhnya lebih dari ini. Andai tidak lupa akan janjiku untuk membuatnya nyaman terlebih dahulu, mungkin aku bisa memilikinya saat ini juga.Kemudian aku menurunkan kedua tangan dari wajahnya lalu berdiri dari bersimpu dan mundur dua langkah. Sungguh, berdekatan dengan Jihan membuat naluriku sebagai seorang pria tergugah sepenuhnya.Kini aku benar-benar tahu mengapa saat bersama Merissa, aku tidak pernah sukses menjadi pria sejati. Jawabannya sudah pasti karena aku tidak mencintai dia sama sekali dan hatiku benar-benar menginginkan Jihan seorang. "Kenapa, Pak?" Aku menggeleng sembari tersenyum. "Saya cuma mau kamu nyaman dulu, Han. Saya takut kalau nggak menjaga sikap, justru kamu yang terpaksa."
POV AKHTARA Usiaku hampir menyentuh angka empat puluh lima tahun. Sedang Jihan masih berusia tiga puluh tahun. Perbedaan usia kami membuat ia lebih cocok menjadi keponakanku. Dan sebagai pria yang sudah berumur, siapa yang tidak senang jika memiliki istri yang masih muda, cantik, dan solehah?Inilah yang disebut dengan perhiasan dunia. Apalagi dia telah melahirkan keturunanku yang sehat dan tampan, Akhtira."Khilaf?" Tanya Jihan keheranan.Dengan bersedekap sambil menyandarkan punggung pada pintu kamar hotel yang kami tempati, aku fokus menikmati wajah cantik Jihan yang penuh dengan riasan pengantin dari kejauhan.Sungguh cantik!Lalu aku mengangguk sekilas. "Maksudnya?""Kalau kemarin saya cuma bisa mencintai kamu tanpa bisa memiliki, maka berbeda dengan sekarang. Saya boleh mencintai kamu sedalam apapun karena kamu resmi hanya akan menjadi milik saya aja, Han."Jihan nampak sedikit salah tingkah dengan ucapanku lalu dia membuang muka. Imut dan menggemaskan sekali.Andai aku tidak
POV AKHTARA Aku sudah tidak merasa asing lagi dengan sebutan 'perjanjian pra nikah'. Karena ketika aku akan menikahi Jihan untuk kedua kalinya dan memberinya madu dengan menikahi Merissa, aku menggunakan perjanjian pra nikah dengan alasan untuk melindungi harta bendaku. Saat itu, aku mencampuradukkan hal yang disebut cinta dan sayang dengan racun bernama dendam. Hingga aku menganggap Jihan dan Merissa adalah sama-sama perempuan yang harus kuwaspadai mana kala akan mengeruk hartaku semata.Tapi ternyata, aku keliru besar. Karena saat menikahi Jihan untuk kedua kalinya, dia benar-benar sudah berubah. Hanya aku saja yang tidak menyadari. Hingga tega menduakannya dengan Merissa. "Aku restui niat baikmu kembali menikahi Jihan untuk ketiga kalinya, Akhtara."Aku langsung tersenyum lega dengan perasaan bahagia tiada terkira mendengar ucapan Papanya Jihan. Meski beliau mengatakannya dengan ekspresi yang datar dan acuh. "Agama cuma ngasih kamu batas menikahi Jihan hanya tiga kali. Dan jang
POV AKHTARA Satu unit motor untuk kaum lelaki baru saja kubayar lunas. Dan kini motor itu tengah dinaikkan ke mobil pick up menuju alamat Farhan. "Apa Farhan mau menerimanya, Pak?" Tanya Faris yang duduk di sebelahku."Saya nggak peduli dia mau menerima hadiah dari saya atau nggak, Ris. Karena saya berniat memberikan hadiah itu sebagai ucapan terima kasih ia pernah berjasa dalam kehidupan Jihan dan Akhtira. Saya nggak mau jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Kami duduk bersebelahan dengan menatap proses motor seharga lima puluh juta itu akhirnya berhasil dinaikkan ke atas bak mobil. Segala kelengkapannya kuserahkan pada pihak penjual motor. "Kamu urus sisanya ya, Ris. Saya mau ketemu Tira."Kemudian aku menyetir mobil dan sengaja singgah sebentar ke salah satu mall untuk mengunjungi salah satu gerai yang menjual mainan. Apalagi jika bukan untuk membelikan Tira mainan baru. Putraku itu ternyata tidak mudah untuk didekati. Dan sepertinya aku harus membelikan mainan yang sangat m
POV AKHTARA Sepasang tiket VIP dari biro perjalanan ke tanah suci sudah siap di tangan. "Apa kamu yakin ini adalah cara terbaik bikin kedua orang tua Jihan mau merestui hubungan saya sama Jihan, Ris?" Tanyaku."Kita coba saja dulu, Pak. Kalau Bapak ngasih harta atau rumah baru, belum tentu orang tua Bu Jihan luluh. Justru marah yang iya. Tapi kalau hadiah sepaket perjalanan ke tanah suci, saya rasa itu adalah hadiah terbaik sepanjang masa."Apa yang dikatakan Faris ada benarnya. "Oke. Saya akan hubungi Jihan kalau nanti malam mau bertamu ke rumahnya.""Semoga semuanya lancar, Pak."Hampir satu minggu ini aku dan Faris berpikir tentang hadiah terbaik untuk kedua orang tua Jihan agar sudi menerimaku lagi. Dan pilihan kami jatuh pada tanah suci. Dan selama satu minggu itu pula, aku selalu memikirkan Jihan dan Akhtira. Apakah Jihan mendapat omongan yang tidak mengenakkan dari kedua orang tuanya karena memilihku?Ataukah semuanya baik-baik saja tidak seperti dugaanku?Sebab, satu minggu
POV AKHTARA“Maaf katamu?” Tanya Farhan dengan suara sinis.“Waktu Jihan merawat Akhtira sendirian, dihina orang lain perempuan nggak benar karena melahirkan tanpa suami, lalu Akhtira dihina anak haram, siapa yang jadi tameng untuk mereka heh?!”Aku tidak menjawab dan hanya menatap Farhan. Membiarkan dia menyelesaikan ucapannya. “Aku!” Dia menepuk dadanya dengan wajah benar-benar kesal.“Bukan kamu! Yang tiba-tiba datang ngambil semua yang aku usahakan!” ucapnya dengan menunjuk dadaku.“Kamu memang ayah kandung Akhtira, tapi aku yang lebih banyak berjasa ke mereka! Aku menyayangi mereka itu tulus!”“Dan Jihan nggak mungkin berpaling kalau bukan karena kamu pakai acara pura-pura mau mati! Biar apa, heh?! Dapat simpati Jihan dengan cara pintas? Iya?!”Kepalaku menggeleng dengan menatap Farhan yang begitu kecewa dan sakit hati.“Munafik!”“Saya nggak perlu menjelaskannya ke kamu karena saya tahu kamu nggak butuh itu, Far.”Tanpa berkata lagi, Farhan kemudian menaiki motornya dengan ekspr