:-0 apa rencananya??? Pelan-pelan akan author buka di chapter berikutnya. Slow but sure.
Setibanya di rumah, aku segera masuk kamar.Apa yang kubicarakan dengan Mbak Mini di tempat praktek dokter kandungan tadi membuatku sadar harus bergerak cepat. Bahwa mempersiapkan segalanya lebih awal itu jauh lebih baik.Aku masih tidak tahu pasti kapan Pak Akhtara akan menikah dengan Merissa. Tapi, jika kemarin beliau baru saja menyodorkan padaku surat izin menikah lagi, bukankah urusan administrasi pernikahan mereka sudah hampir selesai?Dari situ bukankah mereka hanya tinggal mencari tanggal baik untuk menikah?“Halo, Han?”“Halo, Pa. Lagi ngapain sama Mama?”Aku sedang menghubungi Papa, cinta pertama dalam hidupku.“Lagi di tempat usaha. Ini lagi nyuci bahan baku.”Seketika aku teringat akan usaha Papa yang kemarin baru saja diporak-porandakan Pak Akhtara secara diam-diam oleh preman sewaan. Lalu beliau keluar seperti pahlawan kesiangan dengan memberikan kucuran dana segar.Sayangnya, Papa tidak mengetahui hal ini. Karena aku masih menyembunyikannya.“Mama nggak ikutan?”“Nggak. M
“Aku udah ngobrol sama Merissa, kalau … kita sepakat untuk menikah dua minggu lagi. Dia minta yang penting kami sah menikah dulu. Soal resepsi … bisa kita bicarakan nanti enaknya gimana.”Aku tetap diam sembari menatap lantai marmer rumah ini.Ada rasa cemburu dan … tidak terima kala aku akan dimadu. Apalagi dengan sepupuku sendiri yang juga masih menjadi rivalku.Tapi … aku tidak boleh egois dan mengikuti rasa cemburuku yang tak bertepi ini. Juga dengan rasa cinta untuk Pak Akhtara yang harus mulai kutinggalkan perlahan-lahan.Kewarasanku dan nasib janinku jauh lebih berharga dari pada cemburu ini.“Tara, sebelum kamu menikahi Merissa, apa kamu udah periksain Jihan ke dokter terbaik yang ada di rumah sakit kita?” Papa Pak Akhtara bertanya.Aku tidak mendongak dan tetap menatap lantai marmer rumah. Terserah Pak Akhtara mau menjawab apa.“Udah, Pa. Dokter Arman bilang … kecil kemungkinan Jihan bisa ngasih aku keturunan.”Aku tersenyum tipis nan miris mendengar jawaban paling konyol yang
"Apa kamu senang saya akan menikah sama Merissa?"Beliau masih memegang daguku agar tetap menatapnya dengan tangan kirinya tetap mendekapku dari belakang. Mata tajamnya yang terbingkai kacamata itu seperti menyimpan sebuah maksud yang tidak kuketahui pasti. "Karena setahu saya, kalau kamu memang mencintai saya, kamu nggak akan pernah ngizinin saya menikahi Merissa, Han! Bahkan kamu nggak akan pernah nyuruh saya menikahinya!""Kalaupun kita ada masalah, kamu pasti sekuat tenaga bakal yakinin saya kalau kamu benar! Bukan malah menghancurkan rumah tangga kita lalu nyuruh saya poligami!"Apa maksud Pak Akhtara berkata seperti ini?Sungguh aku tidak mengerti dengan jalan pikiran beliau. Kemarin beliau berkata jika sudah mantap untuk memilih Merissa ketimbang aku. Juga, berniat ingin membuatku hancur sehancir-hancurnya.Tapi mengapa sekarang justru bertanya dengan makna seakan-akan menyuruhku untuk menahan pernikahannya dengan Merissa?Aneh kan!?"Kalau kamu mencintai saya, mana mungkin ka
Hari H pernikahan.Aku sudah terjaga sejak pukul dua dini hari untuk melakukan ibadah sepertiga malam seperti sebelum-sebelumnya. Namun ibadah malam kali ini, sedikit spesial karena aku terus bermunajat pada Ilahi agar diberi kelancaran untuk …. kabur!Ya, tepat di hari H pernikahan Pak Akhtara dan Merissa, aku berencana untuk kabur dari rumah ini.Ini seperti yang kurencanakan dengan Mbak Mini tempo hari setelah ia mengantarku ke dokter kandungan.Saat itu ……“Kalau Mbak Jihan punya rencana kayak gitu, aku tahu kapan waktu yang tepat untuk kabur dari kuasa Pak Akhtara.”“Kapan, Mbak Min?”“Tepat di hari pernikahan mereka digelar.”Aku berpikir sejenak mendengar jawaban Mbak Mini yang menurutku terlalu lama.“Kenapa harus nunggu waktu hari H pernikahan itu, Mbak Min?”Mbak Mini kemudian mengubah posisi duduk hingga menghadapku sepenuhnya.“Karena waktu itu, Mbak Jihan bisa keluar dari rumah tanpa ditanya macam-macam sama Imron. Dia nggak bakal ngecek barang apa aja yang kita masukin ke
Kartu nomer baruku sudah siap di dalam dompet. Begitu juga dengan mahar pernikahan yang dulu Pak Akhtara berikan sudah kuletakkan di dalam tas.Sengaja aku hanya membawa mahar pernikahan saja agar tidak mencolok jika ingin kabur dari rumah ini. Hanya itu barang berharga yang kumiliki sekaligus kenang-kenangan dari beliau.Aku juga sudah menyiapkan uang secukupnya di dalam dompet. Itu adalah uang yang berada ATM yang Pak Akhtara berikan padaku.Meski isinya lumayan namun aku tidak mau mengambil kesempatan dalam kesempitan. Nanti, Tuhan pasti akan memampukan aku untuk mencari pundi-pundi rupiah itu sendiri.“Ayo, Mbak. Pak Akhtara pasti udah nungguin.” Mbak Mini berucap.Kemudian aku mengeluarkan kartu ATM berwarna kuning keemasan itu dan meletakkannya di atas nakas.Itu bukan milikku lagi ketika memutuskan untuk pergi dari kehidupannya. Dan itu artinya aku tidak berhak meminta nafkah lagi.Lalu aku menarik laci dan mengeluarkan sebuah kertas berisi tulisan …[Untuk Pak Akhtara. Selamat
Di luar ruang rias, kami berdiri berhadapan dengan saling memandang. Sikap angkuhnya begitu kuat ditunjukkan. Berbeda denganku yang menatapnya santai dan cuek.“Akhtara itu cintanya sama Merissa! Kamu tuh cuma dipakai senang-senang doang! Ngerti kamu?!”Aku hanya memandangnya tanpa berbicara.“Aku ingetin ya, Han! Kalau mereka lagi berduaan, kamu jangan ganggu-ganggu! Biar Merissa cepat hamil! Awas kalau kamu ngerecokin Akhtara waktu lagi berduaan sama Merissa!”Masih tetap aku memandangnya tanpa menjawab.“Harusnya kamu tuh sadar diri! Kalau Akhtara mutusin poligami itu artinya dia udah bosan sama kamu! Kamu udah dianggap sampah!”“Keluarin apa yang mau Bude Rani omongin. Mumpung aku masih disini.” Tantangku tenang dengan tangan bersedekap.Aku tidak akan menunjukkan sikap lemah atau hancur hanya karena tekanannya. Akan kulawan dengan berani!“Kalau aku jadi kamu … mending minta cerai! Karena mau kamu binal model apapun, Akhtara nggak mungkin ngelirik kamu lagi! Tapi dasarannya kamu e
Taksi yang kutumpangi bergerak cepat menuju Bandung meninggalkan Bogor.Tidak ada tanda-tanda orang asing mengikuti taksi ini. Aku sangat bersyukur karena kepergianku secara diam-diam akhirnya berjalan lancar.Ingin rasanya aku menghubungi Mbak Mini untuk bertanya …Apakah Pak Akhtara mencariku?Bagaimana dengan acara akad nikah keduanya?Namun aku teringat jika …“Mbak, jangan hubungi nomerku lebih dulu kalau bukan aku yang menghubungi. Biar Pak Akhtara ngertinya Mbak Jihan kabur karena usaha Mbak sendiri,” ucap Mbak Mini kemarin.Mungkin itu bisa berbahaya jika aku menghubungi Mbak Mini lebih dulu. Karena bisa dipastikan ketidakberadaanku di Bogor akan membuat Pak Akhtara menanyakan terus menerus hal ini pada Mbak Mini dan Rosita.Atau yang lebih parah ponsel mereka berdua akan dicek oleh Pak Akhtara.Jadi, aku harus mengurungkan niat untuk bertanya pada Mbak Mini dan Rosita tentang acara pernikahan Pak Akhtara dan Merissa.Bukankah jika aku sudah memutuskan untuk kabur dan membesark
Hari demi hari berlalu. Tidak terasa sudah satu minggu kami berada di Jogja. Tinggal di salah satu rumah Bude Irma yang kosong. Selama satu minggu ini pula, Papa, Mama, dan aku tidak keluar dari rumah jika tidak ada kepentingan yang mendesak. Juga, jika keluar rumah, kami selalu mengenakan masker.Alasannya sudah pasti siapa tahu ada yang mengenali wajah kami lalu mengabarkannya pada Pak Akhtara. Papa tidak mau pelarian dan persembunyian kami diketahui oleh orang yang juga mengenal Pak Akhtara dan keluarganya. "Rus, kalian udah sembunyi selama seminggu. Apa iya kalian bakal sembunyi terus?" Tanya Bude Irma saat bertandang ke rumah dengan membawa gudeg. "Tunggu aman dulu, Mbak Ir," jawab Papa."Sampai kapan amannya?"Kami sedang makan bersama di ruang tengah beralaskan tikar. Maklum, rumah ini tidak begitu besar. Papa nampak berpikir sejenak lalu berucap ... "Seenggaknya dua minggu lagi lah, Mbak Ir."Bude Irma menghela nafas lalu menatapku sekilas dan kembali menatap Papa."Jiha