:-o
Di sebuah restaurant yang berada di dalam pusat perbelanjaan ini, aku duduk bersama Rafqi. Sedang Mbak Mini dan Rosita duduk di kursi yang lain.Aku tidak mau mereka berdua mendengar apa yang ingin kubicarakan dengan Rafqi. "Ada apa, Mbak?""Aku mau cerita satu hal penting ke Mas Rafqi. Sekaligus ... minta bantuannya juga."Dengan kedua alis berkerut, dia menatapku heran. "Apa itu?"Aku membasahi bibir dan berdehem sebelum mengutarakan hal penting ini. "Mas, aku ini ... bukan pembantu di rumah Pak Akhtara."Kepalanya mengangguk pelan seraya terus memandangku."Oke. Lalu ... Mbak Jihan itu sebenarnya apanya Akhtara?""Aku ... istrinya."Kedua mata Rafqi menatapku dengan membola terkejut. Bahkan kedua alisnya ikut terangkat. "Is ... istrinya?" Tanyanya lagi memastikan. Kepalaku mengangguk pelan dengan menatapnya juga. "Oh God!" ucapnya lirih. Aku membiarkan Rafqi mencerna semua pemikirannya dulu sebelum aku melanjutkan cerita. Aku rasa otaknya sedang memikirkan hal yang tidak jauh
Setelah dibaringkan di ranjang kamarku, Rosita berkata ..."Mbak Min, ini telfon Pak Akhtara dulu atau dokter dulu?""Dokter dulu lah, Ros! Buruan!!" Seru Mbak Mini.Rasa pusing yang seperti ini, juga dengan begah, dan mualnya seperti pernah kurasakan saat ... saat aku kenapa ya?Tubuhku terasa sangat lemas dan kepala ini seperti dipaku berkali-kali. Mbak Mini kemudian kembali ke kamarku dan membantuku meminum segelas teh manis hangat buatannya. Rasanya sedikit meredakan mual yang tidak mengenakkan. Lalu kepalaku dipijat perlahan."Mbak Jihan, jangan terlalu memforsir tenaga.""Nggak kok, Mbak Min," ucapku lemas. "Maaf ya, Mbak. Kemarin waktu Pak Akhtara nyuruh aku mbersihin kamarnya, aku terkejut banget. Kamarnya berantakan. Aku nggak tahu Mbak Jihan dan Pak Akhtara punya masalah apa sampai bertengkar parah kayak gitu. Tapi ... saranku, kalau Mbak Jihan udah nggak kuat sama bahterah rumah tangga ini, lebih baik pisah aja."Sejauh ini Mbak Mini dan Rosita hanya mengerti jika Pak Akh
Setibanya di rumah, aku segera masuk kamar.Apa yang kubicarakan dengan Mbak Mini di tempat praktek dokter kandungan tadi membuatku sadar harus bergerak cepat. Bahwa mempersiapkan segalanya lebih awal itu jauh lebih baik.Aku masih tidak tahu pasti kapan Pak Akhtara akan menikah dengan Merissa. Tapi, jika kemarin beliau baru saja menyodorkan padaku surat izin menikah lagi, bukankah urusan administrasi pernikahan mereka sudah hampir selesai?Dari situ bukankah mereka hanya tinggal mencari tanggal baik untuk menikah?“Halo, Han?”“Halo, Pa. Lagi ngapain sama Mama?”Aku sedang menghubungi Papa, cinta pertama dalam hidupku.“Lagi di tempat usaha. Ini lagi nyuci bahan baku.”Seketika aku teringat akan usaha Papa yang kemarin baru saja diporak-porandakan Pak Akhtara secara diam-diam oleh preman sewaan. Lalu beliau keluar seperti pahlawan kesiangan dengan memberikan kucuran dana segar.Sayangnya, Papa tidak mengetahui hal ini. Karena aku masih menyembunyikannya.“Mama nggak ikutan?”“Nggak. M
“Aku udah ngobrol sama Merissa, kalau … kita sepakat untuk menikah dua minggu lagi. Dia minta yang penting kami sah menikah dulu. Soal resepsi … bisa kita bicarakan nanti enaknya gimana.”Aku tetap diam sembari menatap lantai marmer rumah ini.Ada rasa cemburu dan … tidak terima kala aku akan dimadu. Apalagi dengan sepupuku sendiri yang juga masih menjadi rivalku.Tapi … aku tidak boleh egois dan mengikuti rasa cemburuku yang tak bertepi ini. Juga dengan rasa cinta untuk Pak Akhtara yang harus mulai kutinggalkan perlahan-lahan.Kewarasanku dan nasib janinku jauh lebih berharga dari pada cemburu ini.“Tara, sebelum kamu menikahi Merissa, apa kamu udah periksain Jihan ke dokter terbaik yang ada di rumah sakit kita?” Papa Pak Akhtara bertanya.Aku tidak mendongak dan tetap menatap lantai marmer rumah. Terserah Pak Akhtara mau menjawab apa.“Udah, Pa. Dokter Arman bilang … kecil kemungkinan Jihan bisa ngasih aku keturunan.”Aku tersenyum tipis nan miris mendengar jawaban paling konyol yang
"Apa kamu senang saya akan menikah sama Merissa?"Beliau masih memegang daguku agar tetap menatapnya dengan tangan kirinya tetap mendekapku dari belakang. Mata tajamnya yang terbingkai kacamata itu seperti menyimpan sebuah maksud yang tidak kuketahui pasti. "Karena setahu saya, kalau kamu memang mencintai saya, kamu nggak akan pernah ngizinin saya menikahi Merissa, Han! Bahkan kamu nggak akan pernah nyuruh saya menikahinya!""Kalaupun kita ada masalah, kamu pasti sekuat tenaga bakal yakinin saya kalau kamu benar! Bukan malah menghancurkan rumah tangga kita lalu nyuruh saya poligami!"Apa maksud Pak Akhtara berkata seperti ini?Sungguh aku tidak mengerti dengan jalan pikiran beliau. Kemarin beliau berkata jika sudah mantap untuk memilih Merissa ketimbang aku. Juga, berniat ingin membuatku hancur sehancir-hancurnya.Tapi mengapa sekarang justru bertanya dengan makna seakan-akan menyuruhku untuk menahan pernikahannya dengan Merissa?Aneh kan!?"Kalau kamu mencintai saya, mana mungkin ka
Hari H pernikahan.Aku sudah terjaga sejak pukul dua dini hari untuk melakukan ibadah sepertiga malam seperti sebelum-sebelumnya. Namun ibadah malam kali ini, sedikit spesial karena aku terus bermunajat pada Ilahi agar diberi kelancaran untuk …. kabur!Ya, tepat di hari H pernikahan Pak Akhtara dan Merissa, aku berencana untuk kabur dari rumah ini.Ini seperti yang kurencanakan dengan Mbak Mini tempo hari setelah ia mengantarku ke dokter kandungan.Saat itu ……“Kalau Mbak Jihan punya rencana kayak gitu, aku tahu kapan waktu yang tepat untuk kabur dari kuasa Pak Akhtara.”“Kapan, Mbak Min?”“Tepat di hari pernikahan mereka digelar.”Aku berpikir sejenak mendengar jawaban Mbak Mini yang menurutku terlalu lama.“Kenapa harus nunggu waktu hari H pernikahan itu, Mbak Min?”Mbak Mini kemudian mengubah posisi duduk hingga menghadapku sepenuhnya.“Karena waktu itu, Mbak Jihan bisa keluar dari rumah tanpa ditanya macam-macam sama Imron. Dia nggak bakal ngecek barang apa aja yang kita masukin ke
Kartu nomer baruku sudah siap di dalam dompet. Begitu juga dengan mahar pernikahan yang dulu Pak Akhtara berikan sudah kuletakkan di dalam tas.Sengaja aku hanya membawa mahar pernikahan saja agar tidak mencolok jika ingin kabur dari rumah ini. Hanya itu barang berharga yang kumiliki sekaligus kenang-kenangan dari beliau.Aku juga sudah menyiapkan uang secukupnya di dalam dompet. Itu adalah uang yang berada ATM yang Pak Akhtara berikan padaku.Meski isinya lumayan namun aku tidak mau mengambil kesempatan dalam kesempitan. Nanti, Tuhan pasti akan memampukan aku untuk mencari pundi-pundi rupiah itu sendiri.“Ayo, Mbak. Pak Akhtara pasti udah nungguin.” Mbak Mini berucap.Kemudian aku mengeluarkan kartu ATM berwarna kuning keemasan itu dan meletakkannya di atas nakas.Itu bukan milikku lagi ketika memutuskan untuk pergi dari kehidupannya. Dan itu artinya aku tidak berhak meminta nafkah lagi.Lalu aku menarik laci dan mengeluarkan sebuah kertas berisi tulisan …[Untuk Pak Akhtara. Selamat
Di luar ruang rias, kami berdiri berhadapan dengan saling memandang. Sikap angkuhnya begitu kuat ditunjukkan. Berbeda denganku yang menatapnya santai dan cuek.“Akhtara itu cintanya sama Merissa! Kamu tuh cuma dipakai senang-senang doang! Ngerti kamu?!”Aku hanya memandangnya tanpa berbicara.“Aku ingetin ya, Han! Kalau mereka lagi berduaan, kamu jangan ganggu-ganggu! Biar Merissa cepat hamil! Awas kalau kamu ngerecokin Akhtara waktu lagi berduaan sama Merissa!”Masih tetap aku memandangnya tanpa menjawab.“Harusnya kamu tuh sadar diri! Kalau Akhtara mutusin poligami itu artinya dia udah bosan sama kamu! Kamu udah dianggap sampah!”“Keluarin apa yang mau Bude Rani omongin. Mumpung aku masih disini.” Tantangku tenang dengan tangan bersedekap.Aku tidak akan menunjukkan sikap lemah atau hancur hanya karena tekanannya. Akan kulawan dengan berani!“Kalau aku jadi kamu … mending minta cerai! Karena mau kamu binal model apapun, Akhtara nggak mungkin ngelirik kamu lagi! Tapi dasarannya kamu e