:-0 maaf baru up. Author baru sampe rumah.
Bukannya menjawab pertanyaan Pak Akhtara, aku justru menatap kedua bola matanya lekat dengan penuh keberanian. "Jihan!!!" Bentaknya. Sembari kedua tangannya mencengkeram erat kedua lenganku. Terasa sakit. Namun aku sudah terbiasa dengan luka fisik dan terlebih luka hati yang kerap beliau torehkan. Bahkan, jumlah luka itu jauh lebih banyak dari luka masa lalu yang pernah kuberikan pada beliau. Aku terus menatap kedua bola matanya yang makin lama makin menatapku tajam penuh kobaran emosi. Untuk apa beliau marah hanya karena aku berhubungan dengan Rafqi? Bukankah beliau sendiri juga sudah bahagia dengan adanya Merissa diantara kami? "Dimana tas yang Rafqi kasih?!" Tanyanya lagi dengan nada bicara yang rendah namun menusuk. Aku masih tetap diam tidak menjawab. Alasannya karena aku sudah lelah dan muak dengan sikap beliau yang terlalu diktator menghukumku tanpa melihat kebenarannya. "Kamu bisu, heh?!" Kepalaku menggeleng pelan dengan tetap menatap kedua matanya yang makin di
“Kalian berdua memang br***sek!”Tanpa menunggu mereka selesai berciuman, aku segera melangkah ke kamar. Untuk apa terus melihat tontonan yang hanya membuatku makin hancur tak karuan?Cukup sudah Pak Akhtara menghempaskan perasaanku! Hatiku benar-benar sakit!Dengan sedikit membanting pintu kamar, aku langsung menguncinya rapat-rapat. Dan tubuhku langsung merosot dibalik pintu hingga terduduk di lantai.Dinginnya lantai kamar benar-benar tidak bisa memadamkan api kecemburuan di hatiku. Dan ketika aku menatap ranjang kamar yang begitu berantakan, bekas pergumulan kami yang terjadi karena paksaan Pak Akhtara, makin menambah luka di hati.Lalu aku memeluk kedua lutut tanpa air mata yang mungkin telah mengering. Semua ini karena balas dendam Pak Akhtara yang tidak main-main menyakitkannya.Bayangan indah kami saat di Korea beberapa waktu lalu melintas di otakku. Namun aku segera menggelengkan kepala untuk mengusir kenangan indah yang mungkin hanya akan menjadi kenangan.Hatinya yang kala i
“Ning Shifa?”Kedua mataku membola menatap kehadirannya di convention hall hotel ini. Dengan memakai gamis syar’i seperti yang kukenakan.“Mbak Jihan tadi ikut kajian?” Tanyanya.Kepalaku mengangguk pelan, “Iya. Ning Shifa sendiri?”Shifa tidak langsung menjawab melainkan kepala menoleh ke kanan, tempat pintu keluar jama’ah laki-laki. Lalu matanya mencari keberadaan seseorang.“Tunggu bentar ya, Mbak. Jangan kemana-mana.” Tahannya.Lalu dia berdiri di dekat pita pembatas antara pintu keluar jama’ah laki-laki dan perempuan. Seperti sedang menunggu … seseorang.Siapa?Gus Kahfi kah?Atau … suaminya?Sekitar tiga menit aku menunggu dengan menyandarkan punggung di dinding dekat pintu keluar jama’ah perempuan, tiba-tiba Shifa kembali datang menghampiriku.“Mbak Jihan, bisa … ngobrol bentar?”Aku berpikir sejenak mengenai ajakannya. Sebab, tadi Faris, asisten pribadi Pak Akhtara, mewanti-wanti aku untuk segera pulang tanpa diperbolehkan pergi kemanapun. Juga jemputan yang disiapkan untukku t
“Tapi … itu nggak mungkin, Gus.”Setelah mendengar pengakuan isi hati Gus Kahfi yang mengatakan terang-terangan jika ia masih memiliki rasa cinta untukku, bagaimana hatiku tidak carut marut?Aku mendambakan lelaki sholeh yang bisa membimbingku menjadi wanita yang berakhlak. Bukan memiliki suami yang kerap menyakiti hatiku karena sikapnya dan adanya perempuan lain yang mendiami hatinya.Aku pernah memiliki rasa sayang untuk Gus Kahfi, namun itu terpupuskan oleh sikap Pak Akhtara yang membuat rencana pernikahan kami gagal.“Aku tahu, Han. Itu nggak mungkin. Karena kamu masih jadi istri laki-laki lain.”“Dan aku nggak akan bikin kamu jadi istri yang mendurhakai suami dengan meminta cerai darinya. Sekalipun sikapnya ke kamu menurutku nggak mencerminkan suami yang baik.”“Karena apa yang dirasa kita buruk, tapi itu adalah yang terbaik menurut Allah. Siapa tahu, dibalik sikap suamimu yang kayak gitu, Allah punya kado terbaik buat kamu.”Perempuan mana yang tidak jatuh hati dengan sikap Gus K
“Maaf, kuretase?” Tanyaku memastikan.Kepala perempuan itu mengangguk polos.Seketika itu juga, tubuhku seperti tidak memiliki nyawa, linglung, dan tidak berpijak di bumi.“Bu Jihan, antriannya sudah maju.”Perempuan itu mengingatkan antrian kantin namun aku justru bertanya …“Bisa kita bicara empat mata?”“Empat mata gimana, Bu?”“Aku perlu tahu. Soal … kuretase itu. Tolong.”Wajah perempuan itu lantas berubah keheranan karena aku seperti tidak mengerti apapun tentang tindakan itu.Aku segera menarik lengan perempuan itu ke tempat yang tidak terlalu bising. Lalu dengan hati carut marut dan pikiran melayang kemana-mana, aku langsung bertanya tanpa basa basi.“Tolong jelasin dari awal. Apa maksud kuretase itu.”Perempuan itu nampak kebingungan dengan pertanyaanku.“Lho? Apa Bu Jihan tidak tahu kalau akan menjalani kuretase?”“Kuretase itu untuk apa?”“Kuretase itu semacam aborsi, Bu.”Duar!!!Aborsi?Aku menatap perempuan itu dengan mata membelalak sempurna. Bahkan semua bulu kudukku me
Pak Akhtara tidak langsung menjawab. Melainkan hanya menatapku datar. Begitu juga dengan aku yang menatap berani matanya.Kutepikan apa itu rasa hormat pada suami!Demi menuntut penjelasan tentang kuretase itu jauh lebih penting dari sekedar menghormati beliau yang tidak menghargaiku! Sama sekali!“Aborsi apa yang kamu maksud?” Tanyanya tenang seperti tidak melakukan merasa bersalah sama sekali.Aku tersenyum miring dengan menahan letupan emosi yang membuat jantungku bekerja sangat cepat. Penilaianku pada beliau mendadak turun drastis.“Jangan berubah terlalu jauh, Pak. Bahkan sampai bikin Pak Akhtara berubah jadi pelupa dan br***sek!”Kedua matanya membola terkejut dengan umpatan yang kualamatkan padanya.“Jihan! Berani kamu menghina saya!” Bentaknya.Namun aku tidak takut dan tetap berani menatapnya tanpa keraguan. Emosi ini sudah mendominasi pikiranku.“Berani berbuat tapi nggak berani ngakuin! Apalagi sampai berani mem-bu-nuh darah daging sendiri! Bilang sama saya, itu namanya apa
Di sebuah restaurant yang berada di dalam pusat perbelanjaan ini, aku duduk bersama Rafqi. Sedang Mbak Mini dan Rosita duduk di kursi yang lain.Aku tidak mau mereka berdua mendengar apa yang ingin kubicarakan dengan Rafqi. "Ada apa, Mbak?""Aku mau cerita satu hal penting ke Mas Rafqi. Sekaligus ... minta bantuannya juga."Dengan kedua alis berkerut, dia menatapku heran. "Apa itu?"Aku membasahi bibir dan berdehem sebelum mengutarakan hal penting ini. "Mas, aku ini ... bukan pembantu di rumah Pak Akhtara."Kepalanya mengangguk pelan seraya terus memandangku."Oke. Lalu ... Mbak Jihan itu sebenarnya apanya Akhtara?""Aku ... istrinya."Kedua mata Rafqi menatapku dengan membola terkejut. Bahkan kedua alisnya ikut terangkat. "Is ... istrinya?" Tanyanya lagi memastikan. Kepalaku mengangguk pelan dengan menatapnya juga. "Oh God!" ucapnya lirih. Aku membiarkan Rafqi mencerna semua pemikirannya dulu sebelum aku melanjutkan cerita. Aku rasa otaknya sedang memikirkan hal yang tidak jauh
Setelah dibaringkan di ranjang kamarku, Rosita berkata ..."Mbak Min, ini telfon Pak Akhtara dulu atau dokter dulu?""Dokter dulu lah, Ros! Buruan!!" Seru Mbak Mini.Rasa pusing yang seperti ini, juga dengan begah, dan mualnya seperti pernah kurasakan saat ... saat aku kenapa ya?Tubuhku terasa sangat lemas dan kepala ini seperti dipaku berkali-kali. Mbak Mini kemudian kembali ke kamarku dan membantuku meminum segelas teh manis hangat buatannya. Rasanya sedikit meredakan mual yang tidak mengenakkan. Lalu kepalaku dipijat perlahan."Mbak Jihan, jangan terlalu memforsir tenaga.""Nggak kok, Mbak Min," ucapku lemas. "Maaf ya, Mbak. Kemarin waktu Pak Akhtara nyuruh aku mbersihin kamarnya, aku terkejut banget. Kamarnya berantakan. Aku nggak tahu Mbak Jihan dan Pak Akhtara punya masalah apa sampai bertengkar parah kayak gitu. Tapi ... saranku, kalau Mbak Jihan udah nggak kuat sama bahterah rumah tangga ini, lebih baik pisah aja."Sejauh ini Mbak Mini dan Rosita hanya mengerti jika Pak Akh