"Masa akhir cicilan rumah untuk bulan lalu dan bulan ini akan habis tiga hari lagi, Jihan. Kalau kamu masih nunggak lagi, dengan terpaksa kami akan menyitanya dan kamu rugi sendiri."
Ini masih pagi dan bagian administrasi pihak pengembang sudah memperingatkan melalui sambungan telfon. Dua bulan ini aku menunggak pembayaran karena belum ada biaya.
Niat hati ingin menyicil properti berupa rumah sederhana dan isinya untuk kedua orang tua di kampung halaman. Setelah rumah mewah keluargaku disita bank. Namun, tujuan baikku itu kini mengalami kendala karena pengeluaran bulan ini terlalu banyak."Tolong beri saya waktu sedikit lagi, Pak." Mohonku, mencoba terdengar memelas agar pihak administrasi memberikan kelonggaran.Tapi bagian administrasi justru berdecak kesal lalu kembali berucap.
"Kamu itu termasuk yang paling longgar aturannya, Jihan. Customer yang lain nggak dikasih kelonggaran nunggak kayak gini. Khusus kamu, saya tangguhkan dua bulan karena dulu kenal baik sama Papamu."Sungguh jika aku tidak jatuh miskin seperti ini, mana mungkin sudi menunggak pembayaran cicilan rumah dan isinya."Saya akan usahakan secepatnya, Pak." Akhirnya aku mengalah."Tiga hari lagi! Kalau nggak segera dibayar, rumah dan isinya kami sita!"Mati aku!Belum sempat aku bereaksi, sambungan telfon kami berakhir dan aku hanya bisa mendesah lelah. Mengabaikan tumpukan kertas inputan admin produksi dan purchasing barang di gudang.Empat tahun lalu, kedua orang tuaku bangkrut total karena gagal dalam pemilihan calon legislatif. Juga ditipu tim sukses yang berkata akan memenangkan Papa saat pemilihan.Sejak kejadian itu, akhirnya aku berubah mandiri demi bertahan hidup. Lalu menyicil rumah dan isinya sejak dua tahun lalu. Sayang jika harus diambil kembali oleh pihak pengembang karena dianggap wan prestasi.Kepalaku mendadak pening memikirkan biaya cicilan properti yang tidak murah dan menangguhkan pekerjaan. Tanganku bergera lincah di atas layar ponsel untuk menghubungi seseorang yang selama dua tahun ini banyak berjasa membantu terbebas sedikit demi sedikit dari lilitan masalah finansial.Maklum, gaji sebagai staff inventory and control hanya berkisar empat juta saja.“Han, jangan main hape! Nanti kalau ketahuan Pak Akhtara, bisa dimakan lo!” tegur temanku satu kubikel.“Ini penting! Menyangkut masa depan gue!” ucapku lirih tapi tegas.“Lo nggak tahu apa kalau ruangan kerja kita cuma kehalang sekat kaca doang sama ruangannya Pak Akhtara? Nanti dia bisa ngamuk kalau tahu karyawannya nggak profesional." bisik temanku dengan nada memperingatkan, "Mana tadi pagi orangnya uring-uringan gara-gara bagian gudang ketahuan ngambil barang.”Aku tidak menggubris ucapannya lalu kembali menekuri ponsel. Masalah cicilan properti adalah hal yang tidak bisa dikompromi. Karena jika tidak segera dilunasi maka usaha kerasku selama dua tahun ini akan hilang sia-sia.“Jihan!”Mendengar namaku diteriakkan, kepalaku langsung mendongak dan mendapati Pak Akhtara, manajerku, berdiri dengan wajah tidak bersahabat dengan berkacak pinggang. Tanganku bergegas memasukkan ponsel ke dalam tas lalu berdiri dan membungkuk hormat.“Ada yang bisa dibantu, Pak?”“Mau sampai kapan mainan hape, heh?! Saya butuh krosscheck inputan admin produksi dan purchasing! Tapi kamu saya perhatikan dari tadi justru sibuk sama urusanmu sendiri!" Lalu telunjuknya menunjuk ke lantai kantor, "Ini bukan pabrik nenekmu lalu kamu bisa main hape sampai bosan saat jam kerja!”Suara Pak Akhtara terdengar lantang di ruang kerjaku yang dihuni sekitar sepuluh orang karyawan. Sungguh sangat memalukan ditegur atasan di depan karyawan yang lain.“Maaf, Pak.” Aku berucap lirih.“Hari ini pabrik ada masalah besar tapi kamu malah sibuk sama urusan pribadimu! Kalau nggak bisa kerja mending kamu ajuin surat resign!” ucapnya dengan tangan berkacak pinggang.“Saya minta maaf, Pak,” ucapku penuh penyesalan.“Kerja yang benar! Segera krosscheck inputan admin biar saya bisa lanjut kerja! Bukan nungguin kamu sibuk sama urusan sendiri!”Aku segera mengangguk patuh dengan perasaan malu, bingung, dan kesal. Lalu Pak Akhtara kembali ke ruangan kebesarannya.“Bener apa kata gue ‘kan, Han?!” bisik temanku.Aku hanya menghela nafas pendek lalu berusaha fokus bekerja dengan benar. Meski bayangan cicilan properti rumah terus membayangi karena belum mendapatkan solusi. Bagaimana caraku mendapatkan uang instan sebanyak itu?Apa iya aku harus menjual kehormatan sampai ke tulang-tulangnya?
***Jemari lentikku mengulir layar ponsel sembari menunggu pesan dari seseorang yang selama dua tahun ini sudah menjadi 'manager' abal-abalku. Dia bertugas mencari klien atau lelaki yang ingin berkencan denganku.Hanya sebatas kencan. Tidak lebih!
Selain sebagai staf di sebuah pabrik aku juga memiliki profesi sampingan dengan menjadi 'pacar sewaan'. Pekerjaan yang sudah dua tahun ini kulakoni untuk kembali membahagiakan kedua orang tua dengan jalan sedikit miring.Semoga saja hari ini ada pelanggan pacar sewaan berkantong tebal yang mau memberi bonus besar agar cicilan propertiku segera teratasi."Halo, Ra? Gimana? Sorry tadi siang nggak bisa lanjut. Gue ditegur atasan," ucapku dengan nada bersalah."Gercep banget lo, Han? Lagi butuh duit?" Tebaknya."Banget! Rumah yang ditempati Mama Papa di kampung halaman bisa dicabut kalau besok nggak bayar!"Rara terkekeh sialan di ujung telfon. Andai dia dekat, mungkin wajahnya akan kulempari dengan telur."Ada klien buat lo. Lumayan berduit orangnya.”Aku melebarkan mata saat mendengar ucapannya.“Beneran?”"Ya elah. Beneran lah. Lo pikir gue nggak profesional apa meski cuma jadi manajer ehem-ehem? Dia udah gue jelasin tentang prosedur pacar sewaan beserta harganya. Bentar lagi gue kasih lo nomer ponselnya. Seperti biasa, yang profesional dan jangan norak.""Gue paham! Udah dua tahun ikut lo!""Pinter!"Lalu Rara mengirimkan nomer lelaki itu dan segera kumulai percakapan pertama kami dengan memberinya nama 'Mister A'.[Pesanku : Selamat siang. Aku Dara, pacar sewaan.]Sengaja aku memakai nama samaran, Dara.[Mister A : Oke.][Pesanku : Nanti malam kita ketemu di Bittersweet Café. Meja nomer 15.][Mister A : Boleh.]Ketika malam menjelang, aku segera menuju Bittersweet Cafe, lokasi yang kami sepakati. Mengenakan pakaian selayaknya akan bertemu pacar sungguhan berupa dres malam selutut warna hitam berlengan pendek.Mengikat rambut ikalku yang panjang berwarna sedikit kepirangan dengan make up minimalis namun tetap menawan.Usai turun dari taksi, aku mengeratkan cardigan yang membungkus bagian atas tubuh. Nanti akan kulepas saat bertemu dengan klien untuk memberi kesan atraktif di awal pertemuan. Apalagi kata admin agensi pacar sewaan tadi, ia adalah lelaki yang memiliki uang berlebih.Siapa tahu di lain kesempatan dia tertarik dan memakaiku kembali untuk acara yang lain.Aku melangkah pasti menuju kafe dengan flat shoes warna hitam dengan motif swarovski yang menambah kesan berkilau.Kuedarkan pandangan untuk mencari meja 15.Seorang lelaki masih memakai kemeja kerja tengah duduk memunggungi pintu kafe. Lalu aku mendekat dan berdiri di depannya dengan bahasa tubuh yang sopan. "Selamat malam," sapaku.Lelaki itu mendongak dan kedua mata kami bertatapan.Sontak aku melebarkan mata tidak percaya begitu pula sebaliknya. Bahkan aku menutup mulut dengan satu tangan sedang lelaki itu menatapku dengan mata membola."Jihan?""P ... Pak Akhtara?" ucapku terbata dengan wajah terkejut."Kamu?" tanyanya dengan alis berkerut dan menunjukku.Seakan-akan mencari kebenaran atas dugaan kami."Eh ... maksud saya, kamu … Dara? Dara pacar sewaan?" tanyanya memastikan.Mati aku!hai readers ... Semoga terhibur dengan novel terbaru author. Enjoy reading ...
Ya Tuhan, mengapa harus manajerku sendiri yang menyewaku sebagai pacar sewaan? Lalu ingatanku kembali ke kejadian siang tadi saat Pak Akhtara memarahiku di hadapan staff yang lain. Beliau adalah sosok atasan yang disiplin, tegas, dan tidak banyak tersenyum di depan karyawan."I ... iya, Pak. Saya … memakai nama samaran Dara sebagai pacar sewaan," jawabku gugup dengan posisi berdiri.Lalu Pak Akhtara melihat penampilanku dari atas hingga bawah dengan seksama melalui kacamata bening yang membingkai kedua matanya lalu kepalanya menggeleng pelan. "Well. Saya nggak nyangka kalau ... "Pak Akhtara tidak melanjutkan ucapannya. Entah apa yang beliau pikirkan tentangku sekarang ini. Namun ekspresi wajahnya masih menampilkan keterkejutan."Silahkan duduk dulu, Han." Kepalaku mengangguk pelan lalu mengambil duduk di hadapan beliau. Membiarkan cardigan hijau tua yang kukenakan tetap membungkus tubuh yang telah mengenakan dress malam terbaik.Pikiranku pun akhirnya berkelana, apa Pak Akhtara hob
"Kok ... beda ya, Tar? Kayak bukan Sabrina." Mamanya Pak Akhtara masih meragu jika aku bukanlah Sabrina yang asli. Aduh! Bagaimana ini? Jangan sampai terbongkar!Kemudian Pak Akhtara merubah genggaman di tangan dan berpindah ke pundak kiriku begitu saja. Hingga pundakku menyentuh dadanya yang bidang. "Hanya perasaan Mama aja. Dia ini Sabrina, Ma. Mungkin karena efek diet dan ganti warna rambut aja makanya kayak ... orang lain." Untung saja Pak Akhtara luwes sekali berdrama di hadapan keluarganya. Apakah beliau memiliki bakat berbohong yang terpendam?Keluarga besar Pak Akhtara menunjukkan keraguan itu dengan saling tatap. Lalu tanpa diduga, beliau mengeluarkan jurus selanjutnya yang membuatku merasa geli sendiri. Seperti bukan Pak Akhtara yang dingin, tegas, dan berwibawa. "Sayang, duduk dulu," ucapnya dengan senyum tulus yang dibungkus kepalsuan. Lalu Pak Akhtara menarik sebuah kursi untuk kududuki kemudian beliau ikut mengambil duduk di sebelahku. Sedang kakinya kembali memberi
"Yang penting kalian nyambung menjalani hubungan?" tanya Papanya Pak Akhtara memastikan dengan menatapku lekat. Hingga kedua alisnya berkerut seperti mencari pembenaran atas apa yang beliau dengar."Eh ... iya, Om. Yang penting ... kami bisa memahami kekurangan satu sama lain," jawabku gugup dan seadanya. "Itu artinya kalian menjalani hubungan ini dengan landasan yang nggak tepat, Sabrina. Orang kalau mau menikah itu nggak cuma butuh perasaan saling nyambung aja, tapi saling melengkapi, tahu satu sama lain, dan penuh kasih sayang. Bukan asal memahami kekurangan tapi nggak ada cinta." Aduh! Apa lagi ini? Berbicara cinta itu bukanlah prioritasku! Sungguh yang kubutuhkan saat ini adalah uang! Bukan cinta! Karena itu tidak akan membuatku keyang atau bisa melunasi cicilan rumah! Benar kan?!Juga, aku malas memiliki hubungan serius dengan lelaki manapun sehingga tidak mengerti apa yang papanya Pak Akhtara katakan. "Tara, bisa kamu jelasin apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Sab
Lalu angin malam berhembus di parkiran tempat resepsi pernikahan adiknya. Pak Akhtara hanya menghela nafas kesal sambil menyugar rambut berulang kali. Kentara sekali jika manajerku itu memiliki rahasia yang tidak ingin dibagi. "Sudahlah, nggak usah bahas dia lagi. Bagi saya, hubungan kami udah selesai!" "Menurut Bapak udah selesai, tapi gimana nasib saya? Gimana ini, Pak? Pokoknya saya nggak mau menikah sama Bapak! Kesepakatan kita hanya jadi pacar sewaan aja! Nggak lebih! Karena saya nggak mau nikah sebelum punya ekonomi yang mapan!" "Kamu pikir saya mau nikah sama kamu? Yang nggak pernah saya ketahui seluk belukmu kayak apa? Asal kamu tahu, Han, yang pasti saya ngelakuin ini karena terpaksa!" Dinikahi lelaki mapan dan berkharisma seperti Pak Akhtara itu tidak ada salahnya. Dia menawan dengan kulit eksotisnya yang bersih. Belum lagi bulu-bulu halus yang memenuhi permukaan kulit tangannya. Tubuhnya tinggi dan ideal. Hanya saja di usianya hampir mendekati kepala empat. Sungguh buka
Aku menggigit bibir bawah sambil berpikir keras menanggapi permintaan manajerku ini. Karena aku berani bertaruh, gajinya yang tidak sedikit itu pasti telah menghasilkan pundi-pundi rupiah yang tebal di dalam rekening tabungannya. Bagai menemukan harta karun! Namun, mengapa hatiku berteriak tidak siap jika satu atap dengannya juga peraturan seperti apa yang ditawarkan dalam pernikahan kontrak ini? "Saya ... bingung, Pak," jawabku teramat polos. Pak Akhtara berdecak kesal lalu manatapku kesal, "Katanya kamu butuh uang. Sekarang udah saya tawarkan uang lima puluh juta, kamu bingung. Gimana sih kamu ini, Han?!" "Wajar lah saya bingung, Pak. Tiba-tiba disuruh menikah sama Bapak padahal kita nggak pernah kenal akrab. Cuma satu kantor jadi atasan bawahan." "Namanya juga nikah kontrak, Han. Nggak perlu pakai acara kenalan atau apa lah. Ini tuh nikah palsu istilahnya. Nggak ngapa-ngapain. Nggak ada bulan madu atau malam pertama. Kamu tetap utuh kayak semula saya nyewa kamu. Paham?" Aku
Ada dua pertanyaan. Apakah datang ke rumah orang tuaku lalu meminta restu karena mau menikah dengan Pak Akhtara? Atau aku mencari solusi yang lain demi mendapatkan wali nikah? Tapi solusi seperti apa? "Halo, Han? Ada apa?" tanya Rara, pemilik agensi pacar sewaan yang menaungiku. Suaranya terdengar serak. Sepertinya ia sudah terlelap ketika aku menghubungi. Wajar, karena ini sudah pukul sebelas malam. Baru saja Pak Akhtara mengantarkanku sampai kosan setelah kami berdebat panjang lebar di parkiran hotel tempat resepsi pernikahan adiknya. Membahas rencana pernikahan palsu dadakan kami dan apa saja yang sangat dibutuhkan dalam prosesi ijab kabul itu nantinya. "Hai, Ra. Maaf ganggu malam-malam. Gue mau tanya." "Tanya apaan?" tanyanya lagi dengan suara khas mengantuk. "Ehm ... siapa ya yang kerjaannya jadi wali nikah palsu, Ra? Lo tahu nggak? Maksud gue kenal nggak?" Rara tidak segera menjawab lalu aku memanggilnya kembali. "Ra? Halo?" "Emang ngapain lo pengen nyari wali nikah
Lega rasanya usai membayar cicilan rumah yang ditinggali kedua orang tuaku di kampung halaman. Meski rumah itu tidak megah dan besar karena hanya berdiri di atas lahan perumahan sederhana, namun ada kebanggan tersendiri bisa membuat mereka bahagia. Yang terpenting kedua orang tuaku nyaman menempatinya. Tanpa mobil mewah yang berjajar di garasi seperti dulu. Hanya sebuah motor bebek bekas yang terparkir di teras. "Halo, Ma. Aku barusan kirim untuk jatah makan minggu ini," ucapku dari sambungan telfon sambil duduk di depan gerai minimarket. Dengan sekaleng minuman dingin yang menemani langkah takdirku detik ini. "Iya, Han. Makasih banyak ya, Nak. Meski nggak kamu kirim nggak apa-apa kok. Mama masih ada uang." Aku mengerutkan kedua alis menanggapi ucapan Mama. Sebab ini sudah jadwalnya aku mengirim uang jatah makan karena Mama dan Papa tidak bekerja. Menggantungkan seluruh hidupnya padaku usai kalah pemilihan dan jatuh miskin. "Papamu sekarang bisnis bikin tempe, Han. Lumayan dijua
"Menikah?" tanya Papa dengan raut tidak percaya. Kedua alisnya menyatu dengan tatapan terpusat padaku. Lalu melihat Pak Akhtara yang duduk di sebelahku. "Iya, Pa. Kami ... mau menikah. Makanya aku pulang kemari lalu minta doa restu dari Papa dan Mama." Dengan wajah masih dipenuhi keterkejutan, Papa menoleh ke Mama yang duduk di sampingnya. Keduanya hanya bisa saling bertukar ekspresi terkejut. Sedang Pak Akhtara yang duduk di sebelahku hanya diam seribu bahasa seperti kesepakatan. Bahwa beliau tidak akan berkata apapun jika tidak mendapat kode dariku. "Jihan, Papa masih nggak ngerti, Nak. Kamu tiba-tiba pulang, lalu bawa laki-laki, dan ... minta nikah. Semuanya mendadak banget, Han. Memangnya ada apa?" Aku membasahi bibir sambil mengatur kegugupan dengan menghela nafas. Sungguh meminta restu menikah itu tidak main-main gugupnya hingga kedua telapak tangan terasa dingin. Padahal ini hanya meminta restu menikah kontrak. Tapi mengapa auranya seperti akan menikah sungguhan? "Kit