Share

Meminta Doa Restu

Author: Juniarth
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Lega rasanya usai membayar cicilan rumah yang ditinggali kedua orang tuaku di kampung halaman. Meski rumah itu tidak megah dan besar karena hanya berdiri di atas lahan perumahan sederhana, namun ada kebanggan tersendiri bisa membuat mereka bahagia.

Yang terpenting kedua orang tuaku nyaman menempatinya. Tanpa mobil mewah yang berjajar di garasi seperti dulu. Hanya sebuah motor bebek bekas yang terparkir di teras.

"Halo, Ma. Aku barusan kirim untuk jatah makan minggu ini," ucapku dari sambungan telfon sambil duduk di depan gerai minimarket.

Dengan sekaleng minuman dingin yang menemani langkah takdirku detik ini. 

"Iya, Han. Makasih banyak ya, Nak. Meski nggak kamu kirim nggak apa-apa kok. Mama masih ada uang."

Aku mengerutkan kedua alis menanggapi ucapan Mama. Sebab ini sudah jadwalnya aku mengirim uang jatah makan karena Mama dan Papa tidak bekerja. Menggantungkan seluruh hidupnya padaku usai kalah pemilihan dan jatuh miskin.

"Papamu sekarang bisnis bikin tempe, Han. Lumayan dijual di pasar sama dibeli tetangga sendiri."

"Benarkah?" Aku terkejut dengan seulas senyum bangga.

"Iya, Han. Jadi kayaknya uang dari kamu, lebih baik Mama tabung aja."

"Iya, Ma. Seenaknya Mama aja."

"Han, kemarin Mama mimpi kamu digigit ular. Apa ada lelaki yang dekat sama kamu atau minta kamu jadi pacarnya?"

Kedua alisku terangkat tinggi lalu meraup udara sebanyak mungkin untuk meredam kegugupan ini. Bagaimana mungkin tebakan Mama sejitu ini?

Bagai busur panah tepat sasaran.

Pasalnya, bukan ada lelaki yang dekat denganku atau meminta menjadi kekasihnya. Melainkan mimpi Mama itu berkorelasi dengan takdir hidupku yang sebentar lagi akan dinikahi secara kontrak oleh Pak Akhtara, manajerku. 

Aku tertawa lirih meningkahi ucapan Mama, "Mama bisa aja."

"Kamu boleh berkarir, Han. Tapi jangan lupa cari pasangan. Mama sama Papa minta maaf, belum bisa nyariin kamu jodoh. Tapi doa Mama Papa selalu menyertaimu."

"Astaga, Ma. Santai aja."

"Kalau udah ada calon, kamu bisa ajak kemari, Han. Biar Mama nilai gimana lelaki itu."

Ucapan Mama seakan menegaskan jika aku benar-benar memiliki seorang kekasih atau calon suami sungguhan. Padahal aku dan Pak Akhtara hanya main-main dan terikat kontrak. 

"Ma, akhir pekan ini ... kayaknya aku mau pulang. Udah sebulan nggak pulang," ucapku mengalihkan perhatian. 

"Iya, Han. Mau dimasakin apa?"

"Opor ayam lah, Ma. Sekalian, mau ada yang aku omongin."

"Ngomong apa emangnya, Han?"

***

Mobil Pak Akhtara berbelok di depan minimarket tempat aku menunggunya. Kebetulan minimarket itu bersebelahan dengan kosku.

Hanya berbekal tas ransel zaman kuliah, aku membawa beberapa keperluan untuk pulang kampung selama dua hari saja. Hari ini dan besok kembali bekerja.   

Begitu Pak Akhtara keluar dari mobil dengan pakaian kasual juga rambut yang tersisir klemis, aku segera berdiri dari duduk untuk menyambut manajerku itu. Tapi ia justru berlalu ke dalam minimarket. 

Lalu aku buru-buru meneguk habis minuman kaleng dingin yang masih ada di atas meja stainles. 

"Maaf nunggu lama," ucap Pak Akhtara lalu duduk di sebelahku dengan meja ini sebagai penghalang. 

Kemudian aku kembali duduk. 

"Tidak apa-apa, Pak."

Dari jarak kurang satu meter ini, aku bisa mencium aroma wangi parfumnya yang menempel di baju. Mirip toko parfum berjalan dan sangat pemborosan!

Usai meneguk habis minuman dinginnya, Pak Akhtara mengajakku masuk ke dalam mobil dan aku mematuhinya. 

"Semoga nggak macet, jadi kita bisa sampai rumah orang tuamu tepat waktu."

Berada di kawasan Lembursitu, Sukabumi, itulah tanah kelahiran Papa. Berjarak hampir tiga jam dari Ibu kota jika ditempuh dengan kendaraan roda empat. 

"Jadi, nanti skenarionya kayak yang kita obrolin kemarin ya, Han," ucap Pak Akhtara sambil fokus menyetir. 

"Iya, Pak."

Dan sepanjang perjalanan itu Pak Akhtara hanya fokus mengemudi sedang aku menonton video lucu di salah satu aplikasi bergambar not nada. 

Awalnya beliau nampak percaya diri tapi ketika mendekati lokasi perumahan orang tuaku, wajah Pak Akhtara mulai terlihat gugup. Seperti akan menemui tukang tagih kredit. 

Meski beliau tidak berkata apapun, namun aku bisa melihatnya dengan jelas kecemasan itu begitu mobilnya melewati pasar Cibadak. Ternyata, orang yang biasanya sangat disegani di kantor ini juga bisa dibuat tak berkutik ketika akan bertemu kedua orang tuaku.

"Han, Papamu itu ... orangnya ... tipenya kayak apa?" Mendadak beliau bertanya demikian.

Aku berpikir sejenak lalu menoleh padanya, "Papa saya itu suka ngobrolin tentang pemerintahan, Pak. Jadi Pak Akhtara bisa mengangkat topik pembicaraan tentang pemilu yang akan datang saja."

Kepala Pak Akhtara mengangguk paham, "Pembahasan yang disukai para orang tua."

Iya, saking sukanya dulu Papa nekat mencalonkan diri menjadi anggota legislatif dan berakhir bangkrut. Dan satu hal itu, Pak Akhtara tidak boleh mengetahuinya atau mukaku bisa tercoreng.

Karena usai menjadi seorang putri raja kini aku menjadi buruh rupiah.

"Apa kita perlu mampir ke toko buah? Bawain Mamamu oleh-oleh?"

Yeah, totalitas sekali manajerku ini jika akan bersandiwara. Cocok melamar menjadi sutradara.

Mau bagaimana lagi, Rara tidak memiliki kenalan orang yang bisa menjadi wali nikah palsuku. Juga urusan administrasi di KUA membutuhkan data kependudukan yang valid dan kami tidak memiliki waktu untuk menganulir semua data-data pribadiku di kantor catatan sipil. 

Akhirnya, aku dan Pak Akhtara memutuskan untuk mengatakan pada kedua orang tuaku jika akan menikah. Tapi tanpa ada yang tahu jika kami menikah dengan embel-embel perjanjian di bawah tangan. 

"Yang pagar hijau itu rumah orang tua saya, Pak," ucapku. 

Usai mematikan mesin mobil, Pak Akhtara menghirup nafas sebanyak mungkin lalu dihembuskan pelan. 

"Jadi ini rumah yang kamu cicil pakai uang bonusan nikah kontrak kita?"

Kepalaku mengangguk, "Iya, Pak."

Pak Akhtara melihatnya sekilas dari balik kaca depan mobil.

"Biar saya yang bawa parsel buahnya, Han. Kamu turun duluan."

Aku mengangguk patuh lalu membawa serta tas ranselku. Kemudian membuka pagar hijau setinggi orang dewasa itu. 

"Ma? Assalamualaikum!"

Motor bebek bekas itu ada di teras rumah, ini artinya Papa ada di rumah dan kami hanya perlu berakting seperti kesepakatan. 

Ketika pintu rumah terbuka, bersamaan dengan itu Pak Akhtara menapaki teras rumahku dengan membawa parsel buah.

"Waalaikumsalam. Lho ... Jihan?" ucap Mama terkejut. 

Aku memeluk Mama erat lalu beliau berbisik, "Itu siapa, Han?"

Kemudian aku melepas pelukan dan menoleh. 

"Kenalin, Ma. Ini ... Mas Akhtara," ucapku dengan seulas senyum.

Mendadak lidahku seperti baru saja memakan kaktus hingga getahnya membuat gatal karena memanggil Pak Akhtara dengan sebutan 'Mas Akhtara'. 

Huek!

Pak Akhtara mengangsurkan parsel buah itu dengan sopan sambil tersenyum lalu mencium punggung tangan Mama. 

Uuuuhh ... sopan sekali jika merayu. 

"Ayo, suruh masuk dulu, Han," ucap Mama dengan setengah bingung. 

Usai mempersilahkan Pak Akhtara duduk, Mama kembali membuka suara.

"Han, bantu Mama bikin teh untuk tamumu."

Yeah ... pasti Mama ingin bertanya lebih lanjut tentang siapa itu Pak Akhtara dan ada keperluan apa datang kemari bersamaku.

Biasalah, emak-emak!

Di dapur sempit ini, Mama mulai menginterogasiku yang baru saja mengambil empat gelas untuk membuat teh. 

"Han, siapa itu tadi?"

"Papa mana, Ma?" 

Aku justru bertanya dimana keberadaan Papa.

"Lagi rapat di rumah Pak RT."

"Oh ... " 

Lalu aku melanjutkan membuat teh tapi Mama kembali menghalangi.

"Eh, itu tadi siapa, Han? Kok kamu nggak bilang-bilang mau pulang sama laki-laki? Jangan bilang itu pacarmu?"

***

Sadar jika aku tidak boleh terlalu formal dan kami sedang berakting, aku pun mencoba untuk lebih luwes menghadapi Pak Akhtara yang dingin dan tegas kalau di kantor itu. 

"Minum dulu, Mas," ucapku dengan menyajikan segelas teh hangat. 

Sungguh aku ingin segera membubuhi lidahku dengan gula tiap kali menyebutnya dengan panggilan 'Mas Akhtara'. Aneh sekali rasanya!

Terpaksa aku memanggilnya begitu karena ada Mama di sampingku. 

Lalu terdengar suara pagar terbuka dan begitu aku melihat keluar ternyata itu Papa. Berjalan sambil membawa beberapa kertas di tangan. 

"Lho? Jihan? Itu mobil siapa?"

Aku menunjuk ke arah Pak Akhtara kemudian beliau mencium punggung tangan Papa dengan hormat. 

"Ini ... siapa, Han?" tanya Papa bingung.

Kemudian aku menarik tangan Papa agar duduk dulu di sebelah Mama, sedang aku mengambil duduk di sebelah Pak Akhtara. 

"Ma, Pa, aku sama Mas Akhtara mau minta doa restu. Rencananya, minggu depan ... kami mau nikah."

"Apa?!" 

Juniarth

enjoy reading ...

| 2
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Miyuk Kaslan
belum up,masih kutungguin
goodnovel comment avatar
Fi Da
laa....langsung aja
goodnovel comment avatar
Miyuk Kaslan
ga ada angin ga ada hujan,ibaratnya bikin kaget orang tua,to the poin
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Dari Pacar Sewaan, Berakhir di Pelaminan   Teknik Merayu Jitu Untuk Calon Mertua

    "Menikah?" tanya Papa dengan raut tidak percaya. Kedua alisnya menyatu dengan tatapan terpusat padaku. Lalu melihat Pak Akhtara yang duduk di sebelahku. "Iya, Pa. Kami ... mau menikah. Makanya aku pulang kemari lalu minta doa restu dari Papa dan Mama." Dengan wajah masih dipenuhi keterkejutan, Papa menoleh ke Mama yang duduk di sampingnya. Keduanya hanya bisa saling bertukar ekspresi terkejut. Sedang Pak Akhtara yang duduk di sebelahku hanya diam seribu bahasa seperti kesepakatan. Bahwa beliau tidak akan berkata apapun jika tidak mendapat kode dariku. "Jihan, Papa masih nggak ngerti, Nak. Kamu tiba-tiba pulang, lalu bawa laki-laki, dan ... minta nikah. Semuanya mendadak banget, Han. Memangnya ada apa?" Aku membasahi bibir sambil mengatur kegugupan dengan menghela nafas. Sungguh meminta restu menikah itu tidak main-main gugupnya hingga kedua telapak tangan terasa dingin. Padahal ini hanya meminta restu menikah kontrak. Tapi mengapa auranya seperti akan menikah sungguhan? "Kit

  • Dari Pacar Sewaan, Berakhir di Pelaminan   Mainkan Peran Ini Dengan Baik

    "Jihan, malam ini biar Akhtara tidur di kamarmu ya? Kamu sama Mama dan Papa tidur di kamar satunya."Tanganku yang akan meraih ponsel Pak Akhtara yang berdering dari Sabrina akhirnya batal karena seruan dari Mama. Duh ... Mama! Kenapa datang di saat yang salah?!"Lha? Kok gitu?" Aku menunjukkan sisi keberatan."Lalu Akhtara kamu suruh tidur di mana?"Lalu muncul Pak Akhtara dari belakang Mama dengan senyum setipis tisyu. Entah racun internet apa lagi yang beliau lancarkan untuk membuat Mama mengikuti permainannya."Lho, Ma? Memangnya kamar kita muat untuk bertiga?" tanya Papa. "Papa ini gimana sih? Masak tamu disuruh tidur ruang tamu? Nggak etis banget apalagi Akhtara udah belanja banyak untuk keluarga kita loh."Nah kan?! Hati Mama luluh hanya karena belanjaan yang Pak Akhtara berikan. Di rumah kami yang sederhana dengan dua kamar inilah Pak Akhtara tidur untuk pertama kalinya. Usai dari kamar mandi, tiba-tiba aku mendengar percakapan diam-diam Papa dan Pak Akhtara di dalam kamar

  • Dari Pacar Sewaan, Berakhir di Pelaminan   Pelukan Dari Belakang

    Sesuai kesepakatan, Mama dan Papa datang ke Jakarta menggunakan travel agensi lalu menginap di sebuh hotel. Semua itu dibiayai oleh Pak Akhtara karena beliau lah yang paling membutuhkan pernikahan ini. Aku dan Pak Akhtara sepakat untuk menggelar akad nikah ini ketika malam hari. Karena tidak mungkin jika kami mengambil izin cuti kantor untuk menikah. Selain itu pernikahan ini terikat oleh waktu tertentu sesuai perjanjian dan tidak boleh sampai diketahui siapapun apalagi orang kantor, kecuali keluarga besar. Pernikahan ini hanya formalitas di depan keluarga Pak Akhtara saja. Bukan untuk konsumsi publik. Tidak ada resepsi mewah karena semuanya disediakan mendadak sekali. Usai dirias secantik mungkin di hotel tempat kedua orang tuaku menginap, sebuah gaun putih dengan payet indah itu disodorkan padaku. Ukurannya begitu pas dan penampilanku begitu cantik jelita dengan sanggul paes ageng dan bunga melati yang menjuntai sampai di depan dada. "Han, kamu dan Akhtara itu mau menikah. Ma

  • Dari Pacar Sewaan, Berakhir di Pelaminan   Melihatku Setengah Tanpa Busana

    Benar sekali tebakanku! Pak Akhtara nampak terkejut dan bingung bagaimana menjelaskannya. Tentang orang tuaku yang belum kami sepakati agar merubah nama panggilanku menjadi Sabrina. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Orang tuaku tetap memanggilku dengan nama Jihan, seperti biasanya di hadapan kedua orang tua Pak Akhtara. Wajah lelah Pak Akhtara makin tertekan karena rencana kami kurang matang. Sudah barang pasti aku dan Pak Akhtara sama-sama dilanda kecemasan saat ini. Jika sudah begini, aku harus memainkan peran sebagai Sabrina palsu dan istri kontrak dengan baik. Jangan sampai rahasia kami terkuak. Karena aku juga tidak mau kedua orang tuaku mengetahui skenario pernikahan bohongan kami. Aku segera meraih lengan Pak Akhtara dan merangkulnya mesra di hadapan kedua orang tuanya. Beruntung Pak Akhtara langsung bisa mengerti maksudku. "Saya kalau di kantor dipanggil Sabrina, Ma, Pa. Soalnya nama Jihan itu ada tiga. Seringnya kalau manggil Sabira itu kayak beribet. Jadi lebih terbia

  • Dari Pacar Sewaan, Berakhir di Pelaminan   Malam Pertama

    "Aku bilang keluar, Jihan!" Bentak Pak Akhtara. Sedang otakku segera memproses perintahnya dengan tangan masih mendekap gaun pernikahan putih yang menutupi dadaku. "Keluar? Apa Bapak tidak mikirin nasib kita gimana selanjutnya kalau orang-orang rumah tahu saya keluar dari kamar Bapak dalam keadaan setengah tanpa busana kayak gini? Mereka bisa ngiranya Bapak melecehkan saya di malam pertama." Penjelasanku itu kemudian menyadarkan Pak Akhtara. Beliau langsung berpikir sejenak kemudian menatapku kembali. "Siapa yang nyuruh kamu masuk kamar saya?!" Aku kembali mendekap gaun pernikahan ini meski payetnya cukup membuat permukaan kulit dadaku seperti digelitiki. Lagipula, kenapa perias dan Mamanya Pak Akhtara lama sekali kembalinya? "Saya disuruh Mamanya Pak Akhtara masuk ke kamar ini. Saya pikir ini kamar saya yang disiapkan Bapak untuk saya." "Ini kamar saya, Jihan!" Bentaknya lagi dengan mata membola. "Mana saya tahu, Pak! Bapak jangan bentak-bentak saya! Soalnya saya juga ngga

  • Dari Pacar Sewaan, Berakhir di Pelaminan   Keramas Usai Malam Pertama

    "Akhtara! Halo! Kamu dengar aku?" Kemudian dengan secuil ide cemerlang, aku berusaha menyesuaikan suara perempuan yang kumiliki ini berganti menjadi suara lelaki. Hanya dengan mengeluarkan deheman dengan suara dalam. "Hem!" "Akhtara, aku mohon! Maafin aku! Aku bisa jelasin segalanya! Aku nggak bermaksud bohongin kamu! Aku cuma sedang nyari waktu yang tepat biar kamu nggak salah paham," ucap Sabrina yang asli. Sungguh suaranya terdengar begitu empuk dan merdu seperti penyanyi. Kemudian penilaianku tentang penampilannya yang gendut dan tidak cantik seketika berubah. Jangan-jangan dia itu sebenarnya cantik? Tapi setelah mendengar ucapannya, aku mengernyitkan kedua alis dengan rasa penasaran yag teramat. Memangnya apa yang sedang dirahasiakan Sabrina hingga Pak Akhtara begitu marah? "Akhtara, please, ngomong sesuatu. Jangan diam aja! Aku mohon maafin aku. Aku bersedia nyingkirin segalanya demi kamu. Demi hubungan kita, Tar. Aku cinta kamu, Tara. Please. Please, Tara," ucapnya den

  • Dari Pacar Sewaan, Berakhir di Pelaminan   Butuh Tapi Kerap Melukai

    “Mama Papa sama orang tuanya Jihan setuju kalau resepsi pernikahan kalian diadain bulan depan. Gimana, Tar?” tanya Mamanya Pak Akhtara. 'Apa?!!' 'Resepsi?!!' Jeritku dalam hati. Lalu kedua bola mataku membelalak tidak percaya menatap beliau dengan mulut terkatup erat. “Kira-kira kalian mau undang teman kerja di kantor berapa ratus orang, Tar, Han? Biar Mama sama Papa bisa estimasi mau pesan catering berapa porsi,” ucap Mamanya Pak Akhtara kembali dengan nada teramat bahagia. Sedang aku dan Pak Akhtara seperti kutu usai disengat listrik bertegangan tinggi saja. Bagaimana tidak terkejut jika pernikahan diam-diam kami kini justru akan diproklamirkan oleh kedua orang tua. Padahal mati-matian kami tidak ingin siapapun orang di kantor tahu pernikahan kontrak ini agar tidak menjadi gunjingan. “Tara, Jihan, kok malah bengong aja?” Kemudian aku menoleh ke arah Pak Akhtara yang meraup udara sebanyak mungkin lalu dimasukkan ke dalam paru-paru hingga berulang kali. Sedang aku berulang kali

  • Dari Pacar Sewaan, Berakhir di Pelaminan   Dihargai 50 Juta

    Mati aku! Mulutku ini mengapa tidak bisa diam menyumpahi lelaki itu dari tadi. Nah kan, kalau ketahuan rekan satu kantor seperti ini, justru berbahaya dan berpotensi membuka rahasia kami yang sebenarnya. Aku segera mempercepat memoles wajah lalu tersenyum palsu pada Fita. “Gue duluan, Fit.” *** Sepanjang hari aku bekerja sebaik mungkin sembari melupakan apa yang Pak Akhtara lakukan padaku tadi pagi. Hingga secara tidak sengaja, aku berpapasan dengannya waktu akan pergi makan siang bersama teman-teman satu kubikel. Kebetulan beliau baru saja membuka pintu ruangannya. Kandangnya! “Siang, Pak Akhtara,” ucap beberapa temanku bersamaan. “Siang.” “Kami makan siang dulu, Pak.” “Silahkan.” Tanpa mengangguk hormat seperti karyawan yang lain, aku berlalu begitu saja seperti tidak melihatnya dengan ekspresi bodoh amat. “Han, lo berani banget nggak hormat sama Pak Akhtara,” celetuk Ita, teman satu kubikelku yang lain saat kami berjalan bersisian. “Heh?! Nggak kok. Gue hormat kok. Lo a

Latest chapter

  • Dari Pacar Sewaan, Berakhir di Pelaminan   Sisa Cinta

    POV AKHTARAJihan kemudian menoleh dengan mata berkaca-kaca kemudian dia berdiri tanpa membawa paper bag. Lalu dia berjalan ke arahku hingga terlihat jelas ekspresi wajahnya.Kecewa, sedih, dan marah bercampur menjadi satu.“Ketika Bapak mau pergi meninggalkan saya dan Akhtira, setelah nyuruh Faris datang ke rumah dengan memberikan deretan surat berharga beserta rekening berisi uang yang nggak main-main banyaknya, kenapa Bapak nggak angkat telfon saya?”“Kenapa Bapak main pergi aja waktu itu?”Lalu air matanya kembali jatuh setetes membasahi pipi.“Bapak ngasih saya dan Akhtira harta sebanyak itu lalu pergi gitu aja, saya kayak merasa semuanya bisa Bapak hargai pakai uang!”Kemudian air mata Jihan makin deras membasahi pipinya. Bahkan bibirnya ikut bergetar menahan isak tangis.“Saya tahu Bapak itu kaya, tapi kenapa semuanya selalu Bapak putuskan sendiri tanpa dengerin saya dulu! Kenapa Bapak selalu menilainya pakai uang?! Bapak punya hati dan cinta kan?! Kenapa nggak mencoba menggunak

  • Dari Pacar Sewaan, Berakhir di Pelaminan   Kalian Tetap Bahagia Tanpa Saya

    POV AKHTARATujuh hari aku berada di tanah suci untuk benar-benar menghambakan diri pada Tuhan. Segala urusan duniawi kukesampingkan.Aku benar-benar mengharap ampunan turun bersama dengan kesungguhanku saat bersujud, menengadahkan tangan, dan tetesan air mata penyesalan.Kugunakan waktu itu sebaik mungkin dengan memperbanyak ibadah. Aku hanya pulang ke hotel jika benar-benar mengantuk.Aku tidak tahu apakah pemeriksaan keseluruhan terhadap kesehatanku itu lolos ataukah tidak. Bila lolos dan dinyatakan cocok, setidaknya aku telah membasuh jiwaku di tanah suci sebelum kembali pada sang Khaliq.Tapi bila tidak lolos, aku harap Tuhan memberi jalan kehidupan yang lebih baik. Karena aku sudah tidak lagi muda dan waktunya lebih fokus pada ibadah serta keluarga.Faris melambaikan tangannya begitu aku keluar dari pintu kedatangan penerbangan luar negeri. Dengan menggeret koper, aku menghampirinya yang menatapku dengan pandangan berkaca-kaca.Dia sudah kuanggap seperti adik dan langsung merangk

  • Dari Pacar Sewaan, Berakhir di Pelaminan   Kehilangan Kamu Yang Pernah Sangat Mencintaiku

    POV AKHTARA Faris yang berdiri di samping itu kemudian menatapku penuh keterkejutan. Pun dengan dokter yang kuajak berbicara dan masih memegang hasil laboratorium pasien yang menderita sakit keras itu. "Pak, apa ... maksudnya?" Tanya dokter itu. "Maksud saya seperti yang dokter pikirkan."Dokter itu kemudian menatap Faris dengan penuh keterkejutan. Pasalnya mana ada orang yang sudi mendonorkan hatinya dengan terang-terangan seperti aku?Mungkin mereka pikir aku sedang main-main dengan hal ini. Padahal aku benar-benar merasa bahwa ini adalah titik balik untuk memperbaiki diri dan mendapatkan ampunan dari Tuhan atas semua kesalahanku. "Pak Akhtara, maaf. Ini bukan perkara sederhana, Pak. Mendonorkan hati itu tidak sama dengan mendonorkan ginjal. Manusia punya dua ginjal dan masih bisa bertahan hidup dengan satu ginjal. Tapi kalau hati ... manusia hanya punya satu, Pak. Kalau itu diambil, maka --- ""Saya mati. Begitu kan alurnya?" Jawabku tenang. Dokter dan Faris saling bertatapan d

  • Dari Pacar Sewaan, Berakhir di Pelaminan   Terima Kasih Untuk Segalanya

    POV AKHTARA“Mas, mau gendong Tira nggak?” Tanya Abid dengan suara sangat lirih.Aku yang tengah duduk di bangku belakang sambil menatap keluar jendela mobil pun beralih atensi pada adikku itu.Dia tengah memangku putraku, Akhtira, yang sudah tertidur dengan lelap. Sedang kedua anaknya masing-masing dipangku istrinya dan Papa. Hanya aku saja yang tidak memangku anak kecil.Kemudian aku melongok ke arah putraku itu. Dia benar-benar damai terlelap di atas pangkuan adikku. Dan selalu enggan untuk berdekatan denganku.“Apa dia nanti nggak kebangun, Bid?” Tanyaku dengan suara sama lirihnya.“Pelan-pelan aja, Mas.”Lalu aku mengusap pipi halusnya itu dengan ibu jari untuk memastikan apakah Akhtira benar-benar sangat terlelap. Ternyata putraku itu tetap tidur dengan sangat pulas.“Kayaknya dia kecapekan habis main air terus perutnya kenyang. Jadi deh ngorok.”Aku menahan tawa karena guyonan Abid lalu mengangguk dengan mengulurkan kedua tangan untuk menerima putraku.Galau di hati yang sedari

  • Dari Pacar Sewaan, Berakhir di Pelaminan   Apa Kamu Tidak Ada Waktu?

    POV AKHTARAAku harus tetap professional dengan tidak mencampuradukkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Meski terasa sulit dengan tidak memikirkan penolakan Jihan saat aku sedang bekerja seperti ini.Permintaan Jihan yang tidak bersedia rujuk adalah sebuah keputusan yang tidak boleh kupaksa. Dia memiliki hak yang harus kuhormati sekalipun itu melukai hatiku.Cintaku pada sesama manusia telah habis di Jihan.Meski Humaira begitu baik secara sifat dan iman, tetap saja aku selalu terbayang Jihan. Bukankah akan makin menyakiti Humaira jika dia mengerti jika hatiku masih tertambat pada Jihan?“Mungkin jika Bu Jihan sudah menikah lagi, Bapak akan benar-benar bisa melepas dan melupakannya. Karena pintu untuk mendapatkannya benar-benar telah tertutup,” ucap Faris.Aku menghela nafas panjang dengan menatap gelas minumku yang mengembun. Kami sedang makan malam bersama karena aku tidak mau makan malam sendirian. Kebetulan tempat tinggal Faris tidak jauh dari apartemen tempatku berteduh.“M

  • Dari Pacar Sewaan, Berakhir di Pelaminan   Tetap Memilih Dia

    POV AKHTARAKarena putraku, Akhtira, sedang duduk di pangkuan seorang lelaki dengan menghadap wajah orang itu. Bahkan senyum putraku terlihat mengembang penuh tawa apalagi saat lelaki itu menyerukkan kepalanya ke arah dada putraku.Tira kembali tertawa terpingkal karena geli dan mencengkeram rambut lelaki itu. Semakin Tira terpingkal, dia semakin menyerukkan kepalanya ke dada putraku hingga tawa keduanya menguar bebas dan membuatku … iri.Lelaki yang masih memakai kemeja putih dan celana kain hitam khas pakaian ASN itu, apakah dia yang bernama Farhan?Seorang aparatur sipil negara yang berstatus duda dan sedang mendekati Jihan.Karena lelaki itu sibuk menyerukkan kepalanya di dada putraku, dia tidak menyadari kehadiranku yang menatap ke arahnya dengan penuh rasa iri dan sedih.Iri karena putraku bisa seakrab itu dengannya. Padahal aku ini ayah biologisnya.Dan sedih karena aku belum pernah sekalipun menggendong putraku sama sekali.Sudah berapa lama mereka bersama? Sudah berapa lama le

  • Dari Pacar Sewaan, Berakhir di Pelaminan   Seperti Lupa Cara Bernafas

    POV AKHTARA“Saya panggilin Papa biar Tira dipangku Papa. Jadi Bapak bisa menyentuh Tira.”Aku sedikit mengerutkan kening mendapati jawaban Jihan.“Kenapa harus sama Papamu?”“Kita ini udah bukan suami istri secara agama, Pak. Kalau kita berdekatan, nanti jadi dosa.”Mulutku terkunci ketika Jihan berkata seperti itu. Satu kenyataan yang hampir kulupakan bahwa wanita yang sangat kucintai ini sebenarnya telah terlepas dari genggamanku secara agama.Statusnya hanya istri secara hukum negara.Tapi aku ingat perkataan Papa bahwa masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan Jihan kembali dengan rajin mengunjungi Tira.Ketika Jihan hendak berdiri, aku berkata …“Tolong kamu dudukkan aja Tira di kursi. Nggak usah panggil Papamu.”Karena aku yakin jika Papanya Jihan akan membuat pembatas antara aku dan Tira. Apalagi jika putraku itu menangis karena baru pertama kali bertemu denganku.Jihan mengangguk lalu membujuk Tira untuk duduk di kursi. Putraku itu nampak tidak kooperatif namun Jihan terus m

  • Dari Pacar Sewaan, Berakhir di Pelaminan   Kesempatan Terakhir

    POV AKHTARASudah lama aku tidak menempati kamarku yang ada di rumah Papa dan Mama. Dan hari ini adalah kali pertama aku kembali menginjakkan kaki di kamar ini.Semua furniturenya tidak banyak berubah. Masih tetap mewah dan berkelas.Kamar kostku yang berada di Bali ukurannya tiga kali lebih kecil dari kamarku yang berada di rumah ini.Setelah lama aku memilih hidup dalam kesederhanaan, tidak bermewah-mewahan, dan selalu menyibukkan diri dengan anak-anak di panti asuhan, siang ini semuanya terasa ada yang kurang dari dalam hatiku.Aku merindukan anak-anak di panti yang tak memiliki orang tua dan menganggapku seperti ayah, kakak, bahkan teman untuk mereka.Lalu aku teringat akan kejadian kemarin saat memutuskan untuk tidak melanjutkan rencana pernikahan dengan Humaira. Dan juga ucapan Papa tadi pagi tentang apa yang harus kulakukan demi kembali menggapai hati Jihan dan kedua orang tuanya.Dengan mendudukkan diri di tepi ranjang empuk ini, kedua tanganku memegang ponsel dan mengulir nama

  • Dari Pacar Sewaan, Berakhir di Pelaminan   Menolak Rujuk

    POV AKHTARA Kemudian aku menatap paper bag berisi surat-surat berharga yang dulu sengaja aku berikan untuk Jihan dan Akhtira. "Lalu kenapa kamu kembalikan semua aset yang saya berikan untuk Akhtira?""Saya nggak mau Akhtira punya sangkut paut ke Bapak. Saya nggak mau suatu saat nanti, Bapak mengungkit-ungkit hal itu.""Saya tulus memberikannya untuk putra saya, Jihan."Jihan menghela nafas panjang kemudian memutus pandangan. Kentara sekali jika dia ingin menjauh dariku. "Saya udah berubah, Han. Tiga tahun pergi dari kehidupanmu dan Akhtira, saya berusaha untuk memperbaiki diri, bukan untuk enak-enak kayak tuduhan Mamamu.""Kalau kamu tanya isi hati saya, yang ada cuma penyesalan tanpa batas. Kehilangan anak pertama saya karena kegilaan saya, itu adalah penyesalan yang luar biasa. Saya minta ampun sama Tuhan untuk kegilaan saya yang satu itu.""Lalu saya menyadari betapa pentingnya Akhtira dalam hidup saya. Menyadari bahwa nggak ada wanita yang lebih saya cintai dari pada kamu."Jiha

DMCA.com Protection Status