Sesuai kesepakatan, Mama dan Papa datang ke Jakarta menggunakan travel agensi lalu menginap di sebuh hotel. Semua itu dibiayai oleh Pak Akhtara karena beliau lah yang paling membutuhkan pernikahan ini.
Aku dan Pak Akhtara sepakat untuk menggelar akad nikah ini ketika malam hari. Karena tidak mungkin jika kami mengambil izin cuti kantor untuk menikah. Selain itu pernikahan ini terikat oleh waktu tertentu sesuai perjanjian dan tidak boleh sampai diketahui siapapun apalagi orang kantor, kecuali keluarga besar.
Pernikahan ini hanya formalitas di depan keluarga Pak Akhtara saja. Bukan untuk konsumsi publik.
Tidak ada resepsi mewah karena semuanya disediakan mendadak sekali.
Usai dirias secantik mungkin di hotel tempat kedua orang tuaku menginap, sebuah gaun putih dengan payet indah itu disodorkan padaku. Ukurannya begitu pas dan penampilanku begitu cantik jelita dengan sanggul paes ageng dan bunga melati yang menjuntai sampai di depan dada.
"Han, kamu dan Akhtara itu mau menikah. Masak iya tadi pagi masih kerja?" tanya Mama.
"Nggak dikasih izin, Ma. Soalnya perusahaan lagi sibuk banget," ucapku beralasan.
"Masak nggak ada izin mau menikah dan nggak ada yang gantiin, Han?"
"Nggak ada, Ma. Buktinya, Mas Akhtara juga tetap masuk kerja tadi."
"Kantormu aneh ya?"
Aku hanya menggeleng sambil terus menjaga kesadaran karena mataku ingin sekali terpejam sesaat. Setelah bekerja seharian, membuatku mengantuk sekali saat dirias seperti ini.
Aku melirik ke arah Mama dan Papa yang sudah siap dengan pakaian adat.
Pukul tujuh tepat, mobil jemputan yang membawaku dan kedua orang tua akhirnya tiba di kediaman Pak Akhtara. Sudah banyak mobil berjajar di depan rumahnya dan aku percaya jika itu mobil kerabat dekat.
Sungguh, meski ini pernikahan kontrak, tapi aku sangat gugup akan menjadi istri seorang Akhtara Badsah Ubaid, manajerku sendiri.
Tanganku mengepal dingin sejak mobil jemputan ini berbelok di gapura komplek perumahan Pak Akhtara. Dan jantungku makin menggila ketika pintu mobil terbuka dan Papa mengulurkan tangan untuk berjalan bersama menuju kediaman Pak Akhtara.
"Papa tahu kamu gugup, Han," ucap Papa lirih dengan mengusap tanganku yang melingkar di lengannya.
Sedang Mama tampak berbinar sekali akan memiliki menantu mapan seperti Pak Akhtara.
"Ya ampun, rumahnya bagus banget, Han. Mobil keluarganya juga bagus-bagus. Kamu benar-benar pinter milih jodoh, Han."
Lalu Papa memberi lirikan tajam pada Mama.
"Ma, jaga sikap!"
Suasana di dalam rumah Pak Akhtara sudah dipenuhi anggota keluarga. Terdapat backdrop khusus akad nikah yang dipasang seindah mungkin dan petugas urusan agama yang sudah duduk manis di sana. Lengkap dengan songkok yang melingkar di atas kepalanya.
"Cantik ya, calonnya Akhtara?" Gumam kerabat Pak Akhtara begitu aku baru menapakkan kaki di rumah ini untuk pertama kalinya.
"Nggak pernah dikenalin tahu-tahu dinikahin." Imbuh yang lain.
"Akhtara pinter nyari calon istri. Masih muda dan punya karir."
Lalu calon ibu dan ayah mertuaku menyambut Papa dan Mama dengan senyum bahagia di depan pintu. Kemudian menggiringku pelan melangkah mendekati meja kecil tempat para petugas urusan agama berada.
"Panggil Akhtara. Calon istrinya udah datang."
Hatiku makin riuh tak terkira mendengar itu. Sungguh, meski ini hanya pernikahan pura-pura tapi rasanya seperti akan menikah sungguhan.
Seperti inikah menjadi raja dan ratu sehari?
Sebenarnya ini adalah pernikahan sungguhan karena tidak ada data atau wali yang dianulir. Hanya saja kami meletakkan perjanjian atau kontrak di dalamnya karena suatu keadaan.
Aku dan Pak Akhtara tidak saling mencintai. Hanya bersatu karena saling membutuhkan.
Saat aku fokus dengan kegiatan petugas urusan agama mengecek ulang data-data kami, tiba-tiba saja di sebelahku duduklah Pak Akhtara dengan pakaian pengantin laki-laki berwarna senada denganku. Aroma parfumnya yang kalem itu langsung memenuhi indera penciumanku.
Dari lirikan mataku, beliau begitu menawan dan dewasa malam ini. Seperti bukan manajerku saja.
Kemudian fotografer dan video shooter mulai mengambil angle-angle terbaik sebagai dokumentasi pernikahan palsu kami. Ya ampun, mengapa Pak Akhtara sampai menyewa fotografer segala padahal kami hanya menikah kontrak?
Lalu penghulu menjabat tangan Pak Akhtara usai melakukan uji coba pelafalan akad nikah. Dan dengan sekali ucap lalu terdengar kata ....
"Sah!"
Aku resmi menyandang status sebagai istri kontrak manajerku. Dengan mahar uang sebesar lima puluh juta alias uang bonusanku menjadi istri kontraknya.
Lalu aku diperkenankan oleh penghulu untuk mencium punggung tangan kanan manajerku itu. Jujur, telapak tangan kanan Pak Akhtara terasa begitu dingin. Apa beliau sama gugupnya seperti aku?
Dan untuk pertama kalinya pula, aku mencium punggung tangannya. Ya Tuhan, hanya demi uang untuk melunasi cicilan rumah, aku sampai rela menjadi budak harta hingga mempermainkan arti pernikahan yang sakral. Semoga saja aku tidak mendapatkan karmanya.
Baru saja aku ingin melepas tangan Pak Akhtara usai kucium sekilas, fotografer dan video shooter yang bertugas justru menahanku untuk tetap mempertahankan posisi itu.
"Masnya bisa meletakkan tangan kirinya di kepala istri."
Alamak!
Mengapa sih Pak Akhtara harus memakai jasa seperti ini?!
Aku menjadi kesal sendiri!
Ini benar-benar seperti pernikahan sungguhan yang akan kekal abadi saja. Padahal satu tahun kemudian kami pasti akan bercerai!
Kemudian acara berlanjut dengan aku dan Pak Akhtara foto berdua dengan berbagai gaya yang mesra.
Huek!
Ingin muntah rasanya ketika Pak Akhtara diarahkan fotografer untuk memeluk pinggangku dan sedikit mencium pipiku. Aku memberinya tatapan protes namun wajah lelahnya seakan tidak peduli dengan tatapanku itu.
Beliau menurut dengan apa yang fotografer itu arahkan. Apa beliau sengaja ingin mengambil kesempatan dalam kesempitan ini?!
Dasar! Buaya purba!
Usai foto berdua, para saudara yang hadir mulai menikmati hidangan dan aku dikenalkan dengan para kerabat Pak Akhtara.
"Semoga segera dapat momongan ya, Tar. Keburu tua kasihan anakmu nanti!"
Itulah ucapan terbanyak yang dilontarkan kepada kami.
Momongan?
Momongan dari Hongkong?! Aku dan Pak Akhtara ini sama-sama tidak memiliki rasa cinta. Dan sekali lagi, pernikahan ini hanyalah sandiwara.
Lalu aku dan Pak Akhtara berkali-kali diminta fotografer untuk berfoto bersama keluarga besar dengan tangan melingkar erat di lengannya. Dan memasang senyum palsu sialan ini.
Bibirku yang seksi ini capek melengkung ke atas dengan dorongan kepalsuan.
Akhirnya aku dan Pak Akhtara bisa duduk santai usai akad nikah dan foto kelewat romantis tadi. Ingatkan aku untuk menaruhnya di plafon rumah untuk mengusir laba-laba!
"Bapak sengaja ya pengen meluk-meluk saya waktu difoto tadi?" ucapku pelan dengan meliriknya yang duduk di sebelahku.
Kemudian beliau meneguk minuman dingin yang ada di gelas tanpa mengatakan apapun.
"Ngapain sih, Pak, nyewa fotografer segala? Ini kan cuma nikah kontrak?" ucapku pelan namun jelas.
Pak Akhtara lalu mengeluarkan suara puas setelah meneguk minuman dingin itu.
"Kalau kamu mau protes tentang fotografer itu, silahkan tanya Mama dan Papa saya. Kedua, saya nggak ada niatan ambil kesempatan dalam kesempitan meluk kamu. Karena saya udah sepaneng sama kerjaan hari ini, Han. Yang punya kantor dan pabrik datang lalu minta audit. Paham?!"
"Dan sekarang kamu main tuduh seenaknya. Asal kamu tahu, Han. Bodimu itu tipis kayak triplek. Bukan idaman saya!"
Mendengar penuturan Pak Akhtara hatiku mendadak tidak terima dihina seperti itu.
"Oh ... Bapak sukanya yang gemuk menggelambir kayak Sabrina gitu, ya?" Cibirku.
Lalu wajahnya berubah makin kesal lalu meremas gelas plastik itu.
"Jangan sebut nama dia lagi!"
Belum sempat Pak Akhtara pergi, tiba-tiba saja kedua mertuaku mengambil duduk di depan kami. Keduanya memasang wajah serius dan itu membuat tanda tanya besar di kepalaku.
"Tar, bisa kamu sebutin nama lengkap Sabrina?"
Pak Akhtara tidak langsung menjawab dan aku langsung paham situasi ini. Awal bertemu, aku sudah dikontrak Pak Akhtara untuk mengaku sebagai Sabrina, mantan calon tunangan yang tidak jadi dinikahi itu.
Dan jika beliau bertanya seperti ini, apakah kedua orang tua Pak Akhtara tahu jika namaku tidak ada kata Sabrina sama sekali?
"Akhtara?! Papa tanya, Tar!" ucapnya dengan nada menuntut.
Pak Akhtara menghela nafas lalu menelan salivanya.
"Jihan Febriana Sabira."
Papa mertuaku langsung menghela nafas panjang dan menatap Pak Akhtara lekat-lekat.
"Kenapa nggak ada nama Sabrinanya? Dan kenapa orang tuanya manggilnya Jihan? Bukan Sabrina? Papa rasa ada yang nggak beres di sini, Tar," ucap Papanya tegas dengan nada menuntut.
enjoy reading ... Akankah Akhtara bisa menutup kebohongan dengan kebohongan saat raga dan pikirannya lelah digempur pekerjaan seharian?
Benar sekali tebakanku! Pak Akhtara nampak terkejut dan bingung bagaimana menjelaskannya. Tentang orang tuaku yang belum kami sepakati agar merubah nama panggilanku menjadi Sabrina. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Orang tuaku tetap memanggilku dengan nama Jihan, seperti biasanya di hadapan kedua orang tua Pak Akhtara. Wajah lelah Pak Akhtara makin tertekan karena rencana kami kurang matang. Sudah barang pasti aku dan Pak Akhtara sama-sama dilanda kecemasan saat ini. Jika sudah begini, aku harus memainkan peran sebagai Sabrina palsu dan istri kontrak dengan baik. Jangan sampai rahasia kami terkuak. Karena aku juga tidak mau kedua orang tuaku mengetahui skenario pernikahan bohongan kami. Aku segera meraih lengan Pak Akhtara dan merangkulnya mesra di hadapan kedua orang tuanya. Beruntung Pak Akhtara langsung bisa mengerti maksudku. "Saya kalau di kantor dipanggil Sabrina, Ma, Pa. Soalnya nama Jihan itu ada tiga. Seringnya kalau manggil Sabira itu kayak beribet. Jadi lebih terbia
"Aku bilang keluar, Jihan!" Bentak Pak Akhtara. Sedang otakku segera memproses perintahnya dengan tangan masih mendekap gaun pernikahan putih yang menutupi dadaku. "Keluar? Apa Bapak tidak mikirin nasib kita gimana selanjutnya kalau orang-orang rumah tahu saya keluar dari kamar Bapak dalam keadaan setengah tanpa busana kayak gini? Mereka bisa ngiranya Bapak melecehkan saya di malam pertama." Penjelasanku itu kemudian menyadarkan Pak Akhtara. Beliau langsung berpikir sejenak kemudian menatapku kembali. "Siapa yang nyuruh kamu masuk kamar saya?!" Aku kembali mendekap gaun pernikahan ini meski payetnya cukup membuat permukaan kulit dadaku seperti digelitiki. Lagipula, kenapa perias dan Mamanya Pak Akhtara lama sekali kembalinya? "Saya disuruh Mamanya Pak Akhtara masuk ke kamar ini. Saya pikir ini kamar saya yang disiapkan Bapak untuk saya." "Ini kamar saya, Jihan!" Bentaknya lagi dengan mata membola. "Mana saya tahu, Pak! Bapak jangan bentak-bentak saya! Soalnya saya juga ngga
"Akhtara! Halo! Kamu dengar aku?" Kemudian dengan secuil ide cemerlang, aku berusaha menyesuaikan suara perempuan yang kumiliki ini berganti menjadi suara lelaki. Hanya dengan mengeluarkan deheman dengan suara dalam. "Hem!" "Akhtara, aku mohon! Maafin aku! Aku bisa jelasin segalanya! Aku nggak bermaksud bohongin kamu! Aku cuma sedang nyari waktu yang tepat biar kamu nggak salah paham," ucap Sabrina yang asli. Sungguh suaranya terdengar begitu empuk dan merdu seperti penyanyi. Kemudian penilaianku tentang penampilannya yang gendut dan tidak cantik seketika berubah. Jangan-jangan dia itu sebenarnya cantik? Tapi setelah mendengar ucapannya, aku mengernyitkan kedua alis dengan rasa penasaran yag teramat. Memangnya apa yang sedang dirahasiakan Sabrina hingga Pak Akhtara begitu marah? "Akhtara, please, ngomong sesuatu. Jangan diam aja! Aku mohon maafin aku. Aku bersedia nyingkirin segalanya demi kamu. Demi hubungan kita, Tar. Aku cinta kamu, Tara. Please. Please, Tara," ucapnya den
“Mama Papa sama orang tuanya Jihan setuju kalau resepsi pernikahan kalian diadain bulan depan. Gimana, Tar?” tanya Mamanya Pak Akhtara. 'Apa?!!' 'Resepsi?!!' Jeritku dalam hati. Lalu kedua bola mataku membelalak tidak percaya menatap beliau dengan mulut terkatup erat. “Kira-kira kalian mau undang teman kerja di kantor berapa ratus orang, Tar, Han? Biar Mama sama Papa bisa estimasi mau pesan catering berapa porsi,” ucap Mamanya Pak Akhtara kembali dengan nada teramat bahagia. Sedang aku dan Pak Akhtara seperti kutu usai disengat listrik bertegangan tinggi saja. Bagaimana tidak terkejut jika pernikahan diam-diam kami kini justru akan diproklamirkan oleh kedua orang tua. Padahal mati-matian kami tidak ingin siapapun orang di kantor tahu pernikahan kontrak ini agar tidak menjadi gunjingan. “Tara, Jihan, kok malah bengong aja?” Kemudian aku menoleh ke arah Pak Akhtara yang meraup udara sebanyak mungkin lalu dimasukkan ke dalam paru-paru hingga berulang kali. Sedang aku berulang kali
Mati aku! Mulutku ini mengapa tidak bisa diam menyumpahi lelaki itu dari tadi. Nah kan, kalau ketahuan rekan satu kantor seperti ini, justru berbahaya dan berpotensi membuka rahasia kami yang sebenarnya. Aku segera mempercepat memoles wajah lalu tersenyum palsu pada Fita. “Gue duluan, Fit.” *** Sepanjang hari aku bekerja sebaik mungkin sembari melupakan apa yang Pak Akhtara lakukan padaku tadi pagi. Hingga secara tidak sengaja, aku berpapasan dengannya waktu akan pergi makan siang bersama teman-teman satu kubikel. Kebetulan beliau baru saja membuka pintu ruangannya. Kandangnya! “Siang, Pak Akhtara,” ucap beberapa temanku bersamaan. “Siang.” “Kami makan siang dulu, Pak.” “Silahkan.” Tanpa mengangguk hormat seperti karyawan yang lain, aku berlalu begitu saja seperti tidak melihatnya dengan ekspresi bodoh amat. “Han, lo berani banget nggak hormat sama Pak Akhtara,” celetuk Ita, teman satu kubikelku yang lain saat kami berjalan bersisian. “Heh?! Nggak kok. Gue hormat kok. Lo a
"Ehm ... kamu udah makan malam?" Aku melirik ke kiri lalu kembali menatap Pak Akhtara yang sudah duduk di bangku kemudi. Ada apa gerangan manajer sekaligus suami kontrakku ini bertanya tentang aku sudah makan atau belum? "Belum, Pak." Jawabku jujur. Kepalanya lantas mengangguk pelan dengan menatapku, "Mau makan malam dulu?" Jamur yang seharusnya berisi spora, kini berisi pertanyaan tentang sikap Pak Akhtara yang berubah sedikit baik itu, tumbuh berjejer di dalam otakku. "Boleh, Pak." "Saya udah nyuruh Bik Wati nyiapin makan malam untuk kita di rumah." Oh ... aku pikir beliau akan membawaku makan malam di luar. Ternyata, kami akan makan malam di rumahnya. Mungkin Pak Akhtara tidak mau menuai resiko jika kami keluar berduaan. Tidak lucu andai ada orang kantor yang memergoki kebersamaan kami lalu muncul kesalahpahaman yang membuat kami dikenai sanksi perusahaan. Peraturan perusahaan kami menyebutkan jika sesama karyawan tidak boleh menjalin hubungan asmara atau melakukan perse
Asem! “Aku … aku di kamarnya Pa ---, eeh … Mas Akhtara kok, Ma. Tuh dia lagi mandi,” ucapku gugup. Bergegas aku memasukkan perlengkapan make up ke dalam tas dengan tergesa-gesa padahal belum memakai lipstick. “Aku mau siapain minum untuk Mas, Ma. Nanti disambung lagi!” Tanpa salam, aku langsung mematikan sambungan video call Mama. Sejurus kemudian menghela nafas lega sembari mengusap dada. “Hampir aja. Mampus gue. Bisa-bisanya nyokap teliti banget sama kamar ini padahal cuma ditidurin semalam doang. Lain kali nggak usah lah video call Mama di kamar. Bisa berabe gue.” Usai memoles make up dengan benar, aku segera keluar kamar untuk meletakkan baju kotor di keranjang yang sudah disiapkan Bik Wati. Bersebelahan dengan keranjang pakaian kotor Pak Akhtara. Bila di kos, aku harus mencuci sendiri pakaian kotorku, namun mulai hari ini aku kembali dilayani seperti saat Mama dan Papa kaya raya. Lumayan lah. Setidaknya taraf hidupku naik satu tingkat meski menjadi istri kontrak manajerku.
Siapa sangka jika Sabrina itu adalah wujud perempuan solihah? Memakai gamis panjang, jilbab lebar, dengan riasan masa kini yang membuatnya sedap dipandang mata. Tapi aku tidak bisa melihat bagian perutnya apakah dia sedang hamil ataukah tidak. Sebab tertutup oleh meja dan sebagian tubuh Pak Akhtara. Pikiranku pun berkelana, jika ia adalah wujud perempuan solihah, benarkah ia sedang mengandung anak Pak Akhtara? Setahuku, perempuan dengan pakaian seperti itu sangat menjaga aurat. Tapi jika ia sampai hamil apakah itu artinya mereka sebenarnya telah menikah siri lalu Pak Akhtara menceraikannya secara sepihak? Duh duh duh ... Sekalipun aku tidak mengenal Sabrina, jika memang Pak Akhtara senakal itu, beliau benar-benar akan kusuruh menikahi Sabrina yang asli dan memintanya menghentikan pernikahan kontrak kami. Sesama perempuan bukankah harus saling mendukung?"Mbak, mau pesan apa?" Aku langsung menoleh ke arah pramusaji yang bertanya. Duh ... mengganggu saja!"Ehm ... cappucino dingin
POV AKHTARA Satu tahun kemudian ... "Selamat, Pak. Bayinya lahir sehat. Perempuan."Aku yang sedang menemani Jihan melahirkan secara sesar itu pun tidak kuasa menahan haru dan bahagia karena kami dipercaya Tuhan untuk merawat cipataan-Nya yang sangat lucu dan menggemaskan.Adiknya Akhtira. Setelah suster membersihkan putri kami tercinta, aku segera menggendongnya. Lalu melafadzkan suara adzan di telinganya. Dengan mata berkaca-kaca, aku mencium pipinya penuh cinta. Lalu memberikannya pada Jihan yang masih terbaring di atas meja operasi. "Mau Ayah kasih nama siapa?""Aksara Badsah Ubaid."Kemudian Jihan terlihat sedikit memanyunkan bibir."Aku yang hamil susah payah, tapi nama kedua anakku mirip Ayah semua." Protesnya. "Ya udah saya ganti.""Diganti apa?""Aksara Febriana Ubaid."Jihan menganggukkan kepala setuju dengan melakukan skin ship bersama putri kami. "Namanya kelihatan ada ceweknya. Kalau yang pertama kayak laki-laki, Yah.""Apapun yang kamu mau, Sayang."Kemudian aku da
POV AKHTARARumah megahku yang berada di Bogor terasa begitu sepi, dingin, dan mati. Tidak ada suara tawa atau celotehan Akhtira.Dulu aku mendiami rumah ini hanya untuk menaruh lelap, berganti pakaian, dan berpesta dengan rekan-rekan bisnis. Bukan sebagai tempat untuk melepas kepenatan atau mendulang kebahagiaan.“Dulu saya suka pulang ke rumah ini karena ada kamu, Han,” ucapku.Sambil bergelung dengan satu selimut yang sama dengan Jihan. Di kamar yang ia tempati dulu.“Gombal. Nyatanya Bapak juga masih keluar sama Merissa padahal ada saya di rumah.”Kemudian aku membawanya dalam pelukan hingga kulit kami saling bersentuhan.“Saya nemenin Merissa belanja doang. Dan sengaja pulang agak malam biar kamu cemburu.”Tangan Jihan kemudian memukul dadaku.“Jahat!”Aku tersenyum lalu mencium kening dan memeluknya.“Saya jahat sama kamu dan jahat sama diri saya sendiri. Saya pengen cepat pulang, ketemu kamu, lalu mendapatkan hak saya. Tapi saya sengaja ngulur-ngulur waktu biar kamu cemburu. Soa
POV AKHTARA“Pa, aku sama Ayahnya Tira mau ke Bogor,” ucap Jihan ketika kami semua duduk di kursi meja makan.“Ngapain ke Bogor?!” Tanya Papanya Jihan ketus.Jihan yang sedang menyuapi Akhtira kemudian menatapku yang duduk di sebelah putraku itu.Kemudian Papanya Jihan langsung menatapku dengan ekspresi tidak suka.“Mau merencanakan apa lagi kamu, Akhtara?! Nggak usah bawa-bawa Jihan pergi jauh dari kami! Kami nggak percaya sama kamu!”Inilah alasan kuat mengapa Jihan dan Akhtira tidak diperbolehkan untuk tinggal seatap saja denganku. Mereka berpikir jika aku masihlah jahat seperti dulu. Dan sudah pasti aku harus sabar dan kuat menghadapi sikap mereka.“Aku khawatir kamu udah bikin rencana di Bogor lalu Jihan sama Tira nggak pulang-pulang! Kalau kamu mau ke Bogor, pergi aja sendiri sana!”“Meski Jihan udah kembali jadi hakmu, tapi aku sebagai Papanya nggak mau kejadian buruk itu kembali terulang!”Usai menelan makanan, aku menatap Papanya Jihan, mertuaku.Aku menyadari mengapa amarah b
POV AKHTARA Dengan jarak sedekat ini sambil menatap wajah cantik Jihan, aku benar-benar terlena. Wanita yang ada di hadapanku saat ini telah resmi menjadi istriku, pendamping hidupku. Tidak ada kata terlarang untuk menyentuh wajahnya dengan kedua tanganku. Bahkan aku dihalalkan untuk menyentuhnya lebih dari ini. Andai tidak lupa akan janjiku untuk membuatnya nyaman terlebih dahulu, mungkin aku bisa memilikinya saat ini juga.Kemudian aku menurunkan kedua tangan dari wajahnya lalu berdiri dari bersimpu dan mundur dua langkah. Sungguh, berdekatan dengan Jihan membuat naluriku sebagai seorang pria tergugah sepenuhnya.Kini aku benar-benar tahu mengapa saat bersama Merissa, aku tidak pernah sukses menjadi pria sejati. Jawabannya sudah pasti karena aku tidak mencintai dia sama sekali dan hatiku benar-benar menginginkan Jihan seorang. "Kenapa, Pak?" Aku menggeleng sembari tersenyum. "Saya cuma mau kamu nyaman dulu, Han. Saya takut kalau nggak menjaga sikap, justru kamu yang terpaksa."
POV AKHTARA Usiaku hampir menyentuh angka empat puluh lima tahun. Sedang Jihan masih berusia tiga puluh tahun. Perbedaan usia kami membuat ia lebih cocok menjadi keponakanku. Dan sebagai pria yang sudah berumur, siapa yang tidak senang jika memiliki istri yang masih muda, cantik, dan solehah?Inilah yang disebut dengan perhiasan dunia. Apalagi dia telah melahirkan keturunanku yang sehat dan tampan, Akhtira."Khilaf?" Tanya Jihan keheranan.Dengan bersedekap sambil menyandarkan punggung pada pintu kamar hotel yang kami tempati, aku fokus menikmati wajah cantik Jihan yang penuh dengan riasan pengantin dari kejauhan.Sungguh cantik!Lalu aku mengangguk sekilas. "Maksudnya?""Kalau kemarin saya cuma bisa mencintai kamu tanpa bisa memiliki, maka berbeda dengan sekarang. Saya boleh mencintai kamu sedalam apapun karena kamu resmi hanya akan menjadi milik saya aja, Han."Jihan nampak sedikit salah tingkah dengan ucapanku lalu dia membuang muka. Imut dan menggemaskan sekali.Andai aku tidak
POV AKHTARA Aku sudah tidak merasa asing lagi dengan sebutan 'perjanjian pra nikah'. Karena ketika aku akan menikahi Jihan untuk kedua kalinya dan memberinya madu dengan menikahi Merissa, aku menggunakan perjanjian pra nikah dengan alasan untuk melindungi harta bendaku. Saat itu, aku mencampuradukkan hal yang disebut cinta dan sayang dengan racun bernama dendam. Hingga aku menganggap Jihan dan Merissa adalah sama-sama perempuan yang harus kuwaspadai mana kala akan mengeruk hartaku semata.Tapi ternyata, aku keliru besar. Karena saat menikahi Jihan untuk kedua kalinya, dia benar-benar sudah berubah. Hanya aku saja yang tidak menyadari. Hingga tega menduakannya dengan Merissa. "Aku restui niat baikmu kembali menikahi Jihan untuk ketiga kalinya, Akhtara."Aku langsung tersenyum lega dengan perasaan bahagia tiada terkira mendengar ucapan Papanya Jihan. Meski beliau mengatakannya dengan ekspresi yang datar dan acuh. "Agama cuma ngasih kamu batas menikahi Jihan hanya tiga kali. Dan jang
POV AKHTARA Satu unit motor untuk kaum lelaki baru saja kubayar lunas. Dan kini motor itu tengah dinaikkan ke mobil pick up menuju alamat Farhan. "Apa Farhan mau menerimanya, Pak?" Tanya Faris yang duduk di sebelahku."Saya nggak peduli dia mau menerima hadiah dari saya atau nggak, Ris. Karena saya berniat memberikan hadiah itu sebagai ucapan terima kasih ia pernah berjasa dalam kehidupan Jihan dan Akhtira. Saya nggak mau jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Kami duduk bersebelahan dengan menatap proses motor seharga lima puluh juta itu akhirnya berhasil dinaikkan ke atas bak mobil. Segala kelengkapannya kuserahkan pada pihak penjual motor. "Kamu urus sisanya ya, Ris. Saya mau ketemu Tira."Kemudian aku menyetir mobil dan sengaja singgah sebentar ke salah satu mall untuk mengunjungi salah satu gerai yang menjual mainan. Apalagi jika bukan untuk membelikan Tira mainan baru. Putraku itu ternyata tidak mudah untuk didekati. Dan sepertinya aku harus membelikan mainan yang sangat m
POV AKHTARA Sepasang tiket VIP dari biro perjalanan ke tanah suci sudah siap di tangan. "Apa kamu yakin ini adalah cara terbaik bikin kedua orang tua Jihan mau merestui hubungan saya sama Jihan, Ris?" Tanyaku."Kita coba saja dulu, Pak. Kalau Bapak ngasih harta atau rumah baru, belum tentu orang tua Bu Jihan luluh. Justru marah yang iya. Tapi kalau hadiah sepaket perjalanan ke tanah suci, saya rasa itu adalah hadiah terbaik sepanjang masa."Apa yang dikatakan Faris ada benarnya. "Oke. Saya akan hubungi Jihan kalau nanti malam mau bertamu ke rumahnya.""Semoga semuanya lancar, Pak."Hampir satu minggu ini aku dan Faris berpikir tentang hadiah terbaik untuk kedua orang tua Jihan agar sudi menerimaku lagi. Dan pilihan kami jatuh pada tanah suci. Dan selama satu minggu itu pula, aku selalu memikirkan Jihan dan Akhtira. Apakah Jihan mendapat omongan yang tidak mengenakkan dari kedua orang tuanya karena memilihku?Ataukah semuanya baik-baik saja tidak seperti dugaanku?Sebab, satu minggu
POV AKHTARA“Maaf katamu?” Tanya Farhan dengan suara sinis.“Waktu Jihan merawat Akhtira sendirian, dihina orang lain perempuan nggak benar karena melahirkan tanpa suami, lalu Akhtira dihina anak haram, siapa yang jadi tameng untuk mereka heh?!”Aku tidak menjawab dan hanya menatap Farhan. Membiarkan dia menyelesaikan ucapannya. “Aku!” Dia menepuk dadanya dengan wajah benar-benar kesal.“Bukan kamu! Yang tiba-tiba datang ngambil semua yang aku usahakan!” ucapnya dengan menunjuk dadaku.“Kamu memang ayah kandung Akhtira, tapi aku yang lebih banyak berjasa ke mereka! Aku menyayangi mereka itu tulus!”“Dan Jihan nggak mungkin berpaling kalau bukan karena kamu pakai acara pura-pura mau mati! Biar apa, heh?! Dapat simpati Jihan dengan cara pintas? Iya?!”Kepalaku menggeleng dengan menatap Farhan yang begitu kecewa dan sakit hati.“Munafik!”“Saya nggak perlu menjelaskannya ke kamu karena saya tahu kamu nggak butuh itu, Far.”Tanpa berkata lagi, Farhan kemudian menaiki motornya dengan ekspr