Ada dua pertanyaan.
Apakah datang ke rumah orang tuaku lalu meminta restu karena mau menikah dengan Pak Akhtara?
Atau aku mencari solusi yang lain demi mendapatkan wali nikah?
Tapi solusi seperti apa?
"Halo, Han? Ada apa?" tanya Rara, pemilik agensi pacar sewaan yang menaungiku.
Suaranya terdengar serak. Sepertinya ia sudah terlelap ketika aku menghubungi. Wajar, karena ini sudah pukul sebelas malam.
Baru saja Pak Akhtara mengantarkanku sampai kosan setelah kami berdebat panjang lebar di parkiran hotel tempat resepsi pernikahan adiknya. Membahas rencana pernikahan palsu dadakan kami dan apa saja yang sangat dibutuhkan dalam prosesi ijab kabul itu nantinya.
"Hai, Ra. Maaf ganggu malam-malam. Gue mau tanya."
"Tanya apaan?" tanyanya lagi dengan suara khas mengantuk.
"Ehm ... siapa ya yang kerjaannya jadi wali nikah palsu, Ra? Lo tahu nggak? Maksud gue kenal nggak?"
Rara tidak segera menjawab lalu aku memanggilnya kembali.
"Ra? Halo?"
"Emang ngapain lo pengen nyari wali nikah palsu, Han?"
"Laki-laki yang booking gue malam ini tuh ternyata manajer gue sendiri, Ra. Waktu gue nemenin dia ke kondangan nikahan adiknya tadi, malah keluarganya nekan beliau buat segera nikah sama gue atau bakal dijodohin."
"Oh my God! Gue pikir dia cuma mau booking lo jadi tunangan pura-pura doang. Ternyata ... mau nikahin lo juga?" ucapnya terkejut.
"Nikah kontrak, Ra. Nikah palsu. Beliau nggak mau dijodohin lalu ngajak gue nikah kontrak buat ngelabuhin keluarganya. Tapi ... beliau mau pernikahan kami tuh berasa nyata, Ra. Biar keluarganya nggak curiga. Maka dari itu, gue butuh seseorang yang bisa jadi wali palsu gue."
"Oh my God!" seru Rara.
Kini suara serak dan mengantuknya berubah seperti biasanya. Sepertinya dia terbangun sempurna setelah mendengar penjelasanku.
"Jadi, lo ada kenalan nggak yang bisa gue sewa untuk jadi wali nikah palsu gue?"
***
Jika biasanya aku berangkat kerja dengan perasaan penuh semangat, tapi berbeda dengan pagi ini.
Apa penyebabnya?
Tentu saja karena hubunganku dengan Pak Akhtara.
Awalnya kami yang berhubungan sebatas atasan dan bawahan di kantor, sekarang seolah-olah mendadak jauh lebih akrab setelah pertemuan semalam. Aku seperti memegang rahasia besar Pak Akhtara, dan sebaliknya.
Tidak terbayangkan bagaimana nantinya kalau kami bertemu di kantor. Sepertinya menunduk dan segera berlalu dari hadapan beliau adalah cara terbaik.
Usai turun dari ojek online, aku celingukan kesana kemari untuk mencari keberadaan manajerku itu. Dirasa tidak ada, aku segera berjalan cepat menuju ruang kerjaku.
Sembari berdoa agar hari ini dan selanjutnya aku bisa melewati hari-hari dengan tenang meski berhadapan dengan beliau.
Semua terpantau aman hingga jam makan siang, ada sebuah notifikasi yang membuat tanganku mendadak dipenuhi keringat dingin.
[Pesan dari Cicilan Properti : Jihan, saya ingatkan sekali lagi. Hari ini kamu harus bayar cicilan. Kalau nggak dibayar, kamu sendiri yang rugi.]
Aku langsung menepuk jidat lalu memandang ruangan kerja Pak Akhtara dari kubikelku. Sepertinya masih ada tamu di ruangannya. Padahal aku ingin meminta hakku untuk membayar cicilan properti.
Sungguh hatiku tidak tenang jika belum membayar cicilan rumah atau orang tuaku akan berakhir menjadi gelandangan. Oh tidak!!!
Sepuluh menit.
Dua puluh menit.
Kini, justru terdengar gelak tawa dari dalam ruangan Pak Akhtara. Astaga! Entah siapa yang tengah tertawa itu. Yang jelas itu bukan suara beliau. Aku hafal betul jika Pak Akhtara tidak pernah tertawa sekeras itu.
Apakah tamunya seorang kuda nil yang suka membuka mulut lebar-lebar?
Lalu siapa yang bertamu di ruangan beliau dan apa tidak tahu jika ini jam istirahat makan siang?
Demi kura-kurang yang berjalan lambat, andai aku bisa berbubah menjadi lebah, pantat tamu itu ingin segera kusengat!!!
Akhirnya kuberanikan diri menghubungi nomer Pak Akhtara yang kemarin diberikan Rara saat kami berjanjian kencan untuk pertama kali. Terpaksa aku melakukannya atau tidak tenang hati ini bagai dikejar kuntilanak yang kehilangan rambut panjangnya.
Hingga dering kelima belum juga diangkat, hatiku makin cemas dan ...
"Halo?"
Akhirnya ... Pak Akhtara mengangkat ponselnya.
Melegakan sekali. Seperti usai mendapatkan toilet saat ingin menunaikan hajat.
"Pak, ini saya ... Jihan."
"Hem. Kenapa?" tanyanya teramat datar dan dingin.
Maklum, jika sudah mode di kantor, beliau pasti akan sangat berwibawa sekali. Sampai irit berbicara jika tidak penting atau menyangkut pekerjaan.
"Pak, maaf mengganggu, apa bisa bertemu sebentar?"
"Ada masalah apa?"
"Saya ... butuh uang yang dijanjikan Pak Akhtara semalam."
Usai mengatakan itu, aku menggigit bibir bawah. Khawatir beliau berpikiran macam-macam atau menilaiku buruk.
"Kamu belum bekerja untuk saya, apa etis minta bayaran sekarang?"
Nah, kan?! Baru juga dibicarakan dalam hati saja sudah terjadi. Mau bagaimana lagi, aku sudah bekerja bersama beliau dua tahun lamanya dan mulai hafal dengan tingkah lakunya.
"Saya ... cuma minta lima juta saja, Pak. Maaf, Pak. Jika bukan karena tanggal bayar cicilan rumah hari ini sudah jatuh tempo, saya tidak akan meminta uang itu dimuka," ucapku dengan nada memelas dan memohon.
Biasalah, atasan kan sukanya selalu disanjung dan dihormati bawahan. Karena dengan begitu ...
"Kita bicarakan sambil makan siang. Saya kirim lokasinya."
Yes! Berhasil!
Semakin menunduk pada atasan, maka semakin besar kesempatan yang kudapatkan. Dan pelajaran penting ini tidak boleh kulupakan.
"Baik, Pak. Terima kasih."
Lalu tanpa menjawab ucapan terima kasih dariku, beliau menutup sambungan telfon kami. Tidak masalah, yang penting hari ini aku bisa mendapatkan uang untuk membayar cicilan rumah.
***
Berjarak sekitar dua kilometer dari kantor, Pak Akhtara membagikan lokasi bertemu siang ini sekaligus makan siang.
Usai turun dari ojek online, aku segera mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan untuk mencari penampakan Pak Akhtara.
"Itu dia!" gumamku.
Dengan posisi membelakangiku seperti semalam, dengan kemeja kerja warna krem bergaris, aku melangkah mendekat lalu berdiri di hadapannya dengan sopan.
"Siang, Pak."
Pak Akhtara yang tengah melahap gado-gado langsung mendongak dan mempersilahkanku duduk.
Namun ada sesuatu di sudut bibirnya.
"Maaf, Pak. Ada sisa saus yang tertinggal di sudut bibir."
Lalu aku mengambilkan tisyu dan mengulurkannya dengan sopan menggunakan kedua tangan pada Pak Akhtara.
Kemudian beliau menerimanya dan mengusap saus di ujung bibirnya.
"Kamu butuh lima juta, tapi surat perjanjian pra nikah kita belum jadi. Kalau kamu kabur dan wan prestasi, saya bisa rugi, Jihan."
Sangat perhitungan dan selektif sekali manajerku ini. Apa beliau sering ditipu para wanita?
Ah ... cemen! Hanya garang saja di kantor.
"Saya butuh uang untuk melunasi cicilan rumah, Pak. Dan saat ini yang bisa saya andalkan untuk membayar pelunasannya hanya bonus menjadi istri palsu Bapak. Jadi, mana mungkin saya wan prestasi. Lagi pula, tidak mudah bagi saya untuk mencari pelanggan lain yang seloyal Bapak."
Pak Akhtara tersenyum kecil namun terkesan sinis. Entahlah apa maksudnya. Mau menghina pekerjaan sampinganku atau bagaimana, nyatanya hatiku sudah kebal dengan itu semua demi harta.
"Lima juta hari ini tapi harus ada hitam di atas putih. Deal?"
Kepalaku mengangguk tegas, "Saya siap."
"Kamu kayak butuh uang banget, ya?"
"Sangat, Pak."
Lalu Pak Akhtara mengeluarkan amplop coklat yang tidak terlalu tebal itu dari tas hitam kecil yang ada di sampingnya. Dan kertas kecil dua rangkap yang harus kutanda tangani.
"Saya anggap ini adalah uang muka menyewa jasamu untuk saya jadikan istri palsu. Dan jangan coba-coba lari dari kesepakatan, Jihan."
Kepalaku menggeleng tegas di hadapannya, "Saya akan tepat janji, Pak."
"Gimana sama wali nikahmu? Apa kamu sudah putuskan?"
"Sudah, Pak."
"Kapan saya bisa ketemu orang yang bakal jadi wali nikahmu itu? Saya perlu bicara dengannya."
"Maaf, Pak. Mau bicara apa memangnya?"
enjoy reading ...
Lega rasanya usai membayar cicilan rumah yang ditinggali kedua orang tuaku di kampung halaman. Meski rumah itu tidak megah dan besar karena hanya berdiri di atas lahan perumahan sederhana, namun ada kebanggan tersendiri bisa membuat mereka bahagia. Yang terpenting kedua orang tuaku nyaman menempatinya. Tanpa mobil mewah yang berjajar di garasi seperti dulu. Hanya sebuah motor bebek bekas yang terparkir di teras. "Halo, Ma. Aku barusan kirim untuk jatah makan minggu ini," ucapku dari sambungan telfon sambil duduk di depan gerai minimarket. Dengan sekaleng minuman dingin yang menemani langkah takdirku detik ini. "Iya, Han. Makasih banyak ya, Nak. Meski nggak kamu kirim nggak apa-apa kok. Mama masih ada uang." Aku mengerutkan kedua alis menanggapi ucapan Mama. Sebab ini sudah jadwalnya aku mengirim uang jatah makan karena Mama dan Papa tidak bekerja. Menggantungkan seluruh hidupnya padaku usai kalah pemilihan dan jatuh miskin. "Papamu sekarang bisnis bikin tempe, Han. Lumayan dijua
"Menikah?" tanya Papa dengan raut tidak percaya. Kedua alisnya menyatu dengan tatapan terpusat padaku. Lalu melihat Pak Akhtara yang duduk di sebelahku. "Iya, Pa. Kami ... mau menikah. Makanya aku pulang kemari lalu minta doa restu dari Papa dan Mama." Dengan wajah masih dipenuhi keterkejutan, Papa menoleh ke Mama yang duduk di sampingnya. Keduanya hanya bisa saling bertukar ekspresi terkejut. Sedang Pak Akhtara yang duduk di sebelahku hanya diam seribu bahasa seperti kesepakatan. Bahwa beliau tidak akan berkata apapun jika tidak mendapat kode dariku. "Jihan, Papa masih nggak ngerti, Nak. Kamu tiba-tiba pulang, lalu bawa laki-laki, dan ... minta nikah. Semuanya mendadak banget, Han. Memangnya ada apa?" Aku membasahi bibir sambil mengatur kegugupan dengan menghela nafas. Sungguh meminta restu menikah itu tidak main-main gugupnya hingga kedua telapak tangan terasa dingin. Padahal ini hanya meminta restu menikah kontrak. Tapi mengapa auranya seperti akan menikah sungguhan? "Kit
"Jihan, malam ini biar Akhtara tidur di kamarmu ya? Kamu sama Mama dan Papa tidur di kamar satunya."Tanganku yang akan meraih ponsel Pak Akhtara yang berdering dari Sabrina akhirnya batal karena seruan dari Mama. Duh ... Mama! Kenapa datang di saat yang salah?!"Lha? Kok gitu?" Aku menunjukkan sisi keberatan."Lalu Akhtara kamu suruh tidur di mana?"Lalu muncul Pak Akhtara dari belakang Mama dengan senyum setipis tisyu. Entah racun internet apa lagi yang beliau lancarkan untuk membuat Mama mengikuti permainannya."Lho, Ma? Memangnya kamar kita muat untuk bertiga?" tanya Papa. "Papa ini gimana sih? Masak tamu disuruh tidur ruang tamu? Nggak etis banget apalagi Akhtara udah belanja banyak untuk keluarga kita loh."Nah kan?! Hati Mama luluh hanya karena belanjaan yang Pak Akhtara berikan. Di rumah kami yang sederhana dengan dua kamar inilah Pak Akhtara tidur untuk pertama kalinya. Usai dari kamar mandi, tiba-tiba aku mendengar percakapan diam-diam Papa dan Pak Akhtara di dalam kamar
Sesuai kesepakatan, Mama dan Papa datang ke Jakarta menggunakan travel agensi lalu menginap di sebuh hotel. Semua itu dibiayai oleh Pak Akhtara karena beliau lah yang paling membutuhkan pernikahan ini. Aku dan Pak Akhtara sepakat untuk menggelar akad nikah ini ketika malam hari. Karena tidak mungkin jika kami mengambil izin cuti kantor untuk menikah. Selain itu pernikahan ini terikat oleh waktu tertentu sesuai perjanjian dan tidak boleh sampai diketahui siapapun apalagi orang kantor, kecuali keluarga besar. Pernikahan ini hanya formalitas di depan keluarga Pak Akhtara saja. Bukan untuk konsumsi publik. Tidak ada resepsi mewah karena semuanya disediakan mendadak sekali. Usai dirias secantik mungkin di hotel tempat kedua orang tuaku menginap, sebuah gaun putih dengan payet indah itu disodorkan padaku. Ukurannya begitu pas dan penampilanku begitu cantik jelita dengan sanggul paes ageng dan bunga melati yang menjuntai sampai di depan dada. "Han, kamu dan Akhtara itu mau menikah. Ma
Benar sekali tebakanku! Pak Akhtara nampak terkejut dan bingung bagaimana menjelaskannya. Tentang orang tuaku yang belum kami sepakati agar merubah nama panggilanku menjadi Sabrina. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Orang tuaku tetap memanggilku dengan nama Jihan, seperti biasanya di hadapan kedua orang tua Pak Akhtara. Wajah lelah Pak Akhtara makin tertekan karena rencana kami kurang matang. Sudah barang pasti aku dan Pak Akhtara sama-sama dilanda kecemasan saat ini. Jika sudah begini, aku harus memainkan peran sebagai Sabrina palsu dan istri kontrak dengan baik. Jangan sampai rahasia kami terkuak. Karena aku juga tidak mau kedua orang tuaku mengetahui skenario pernikahan bohongan kami. Aku segera meraih lengan Pak Akhtara dan merangkulnya mesra di hadapan kedua orang tuanya. Beruntung Pak Akhtara langsung bisa mengerti maksudku. "Saya kalau di kantor dipanggil Sabrina, Ma, Pa. Soalnya nama Jihan itu ada tiga. Seringnya kalau manggil Sabira itu kayak beribet. Jadi lebih terbia
"Aku bilang keluar, Jihan!" Bentak Pak Akhtara. Sedang otakku segera memproses perintahnya dengan tangan masih mendekap gaun pernikahan putih yang menutupi dadaku. "Keluar? Apa Bapak tidak mikirin nasib kita gimana selanjutnya kalau orang-orang rumah tahu saya keluar dari kamar Bapak dalam keadaan setengah tanpa busana kayak gini? Mereka bisa ngiranya Bapak melecehkan saya di malam pertama." Penjelasanku itu kemudian menyadarkan Pak Akhtara. Beliau langsung berpikir sejenak kemudian menatapku kembali. "Siapa yang nyuruh kamu masuk kamar saya?!" Aku kembali mendekap gaun pernikahan ini meski payetnya cukup membuat permukaan kulit dadaku seperti digelitiki. Lagipula, kenapa perias dan Mamanya Pak Akhtara lama sekali kembalinya? "Saya disuruh Mamanya Pak Akhtara masuk ke kamar ini. Saya pikir ini kamar saya yang disiapkan Bapak untuk saya." "Ini kamar saya, Jihan!" Bentaknya lagi dengan mata membola. "Mana saya tahu, Pak! Bapak jangan bentak-bentak saya! Soalnya saya juga ngga
"Akhtara! Halo! Kamu dengar aku?" Kemudian dengan secuil ide cemerlang, aku berusaha menyesuaikan suara perempuan yang kumiliki ini berganti menjadi suara lelaki. Hanya dengan mengeluarkan deheman dengan suara dalam. "Hem!" "Akhtara, aku mohon! Maafin aku! Aku bisa jelasin segalanya! Aku nggak bermaksud bohongin kamu! Aku cuma sedang nyari waktu yang tepat biar kamu nggak salah paham," ucap Sabrina yang asli. Sungguh suaranya terdengar begitu empuk dan merdu seperti penyanyi. Kemudian penilaianku tentang penampilannya yang gendut dan tidak cantik seketika berubah. Jangan-jangan dia itu sebenarnya cantik? Tapi setelah mendengar ucapannya, aku mengernyitkan kedua alis dengan rasa penasaran yag teramat. Memangnya apa yang sedang dirahasiakan Sabrina hingga Pak Akhtara begitu marah? "Akhtara, please, ngomong sesuatu. Jangan diam aja! Aku mohon maafin aku. Aku bersedia nyingkirin segalanya demi kamu. Demi hubungan kita, Tar. Aku cinta kamu, Tara. Please. Please, Tara," ucapnya den
“Mama Papa sama orang tuanya Jihan setuju kalau resepsi pernikahan kalian diadain bulan depan. Gimana, Tar?” tanya Mamanya Pak Akhtara. 'Apa?!!' 'Resepsi?!!' Jeritku dalam hati. Lalu kedua bola mataku membelalak tidak percaya menatap beliau dengan mulut terkatup erat. “Kira-kira kalian mau undang teman kerja di kantor berapa ratus orang, Tar, Han? Biar Mama sama Papa bisa estimasi mau pesan catering berapa porsi,” ucap Mamanya Pak Akhtara kembali dengan nada teramat bahagia. Sedang aku dan Pak Akhtara seperti kutu usai disengat listrik bertegangan tinggi saja. Bagaimana tidak terkejut jika pernikahan diam-diam kami kini justru akan diproklamirkan oleh kedua orang tua. Padahal mati-matian kami tidak ingin siapapun orang di kantor tahu pernikahan kontrak ini agar tidak menjadi gunjingan. “Tara, Jihan, kok malah bengong aja?” Kemudian aku menoleh ke arah Pak Akhtara yang meraup udara sebanyak mungkin lalu dimasukkan ke dalam paru-paru hingga berulang kali. Sedang aku berulang kali