"Menikah?" tanya Papa dengan raut tidak percaya.
Kedua alisnya menyatu dengan tatapan terpusat padaku. Lalu melihat Pak Akhtara yang duduk di sebelahku.
"Iya, Pa. Kami ... mau menikah. Makanya aku pulang kemari lalu minta doa restu dari Papa dan Mama."
Dengan wajah masih dipenuhi keterkejutan, Papa menoleh ke Mama yang duduk di sampingnya. Keduanya hanya bisa saling bertukar ekspresi terkejut.
Sedang Pak Akhtara yang duduk di sebelahku hanya diam seribu bahasa seperti kesepakatan. Bahwa beliau tidak akan berkata apapun jika tidak mendapat kode dariku.
"Jihan, Papa masih nggak ngerti, Nak. Kamu tiba-tiba pulang, lalu bawa laki-laki, dan ... minta nikah. Semuanya mendadak banget, Han. Memangnya ada apa?"
Aku membasahi bibir sambil mengatur kegugupan dengan menghela nafas. Sungguh meminta restu menikah itu tidak main-main gugupnya hingga kedua telapak tangan terasa dingin.
Padahal ini hanya meminta restu menikah kontrak. Tapi mengapa auranya seperti akan menikah sungguhan?
"Kita ini ... udah kenal lama, Pa."
Lama dari Hongkong?!
Kenal lama hanya sebatas atasan bawahan di kantor itu yang benar.
"Lalu ... kami sepakat menjalani hubungan ini kayak air mengalir gitu, Pa. Karena kami udah merasa cocok, akhirnya mutusin nikah aja dari pada dosa."
Tuhan, tolong ampuni aku.
Berani menyatut dosa padahal aku dan Pak Akhtara sedang bergelung di dalam dosa hanya demi mendapatkan harta dan menyelamatkan harga diri.
"Han, Papa masih kaget, bingung, dan ... entahlah. Ini terlalu cepat, Han."
"Papa nggak usah kaget. Lagipula aku sama Mas Akhtara udah lama kenalnya, Pa."
Lalu Papa beralih menatap Pak Akhtara dengan sorot serius.
"Udah berapa lama kamu pacaran sama Jihan?"
Pak Akhtara mengeluarkan deheman sembari membenarkan posisi duduk.
"Saya ... kenal Jihan sudah dua tahun, Pak."
Kemudian Papa menelisik penampilan Pak Akhtara dari atas dari hingga bawah.
"Berapa umurmu? Dan apa pekerjaanmu?"
"Umur saya ... tiga puluh delapan tahun, Pak. Dan saya bekerja sebagai manajernya Jihan."
What?! Mengapa Pak Akhtara merubah haluan?
Bukankah semalam beliau sepakat agar merubah umurnya saat mengaku pada Papa? Mengapa sekarang justru berkata jujur?
Yakin sekali bapak manajer ini dengan usia tuanya itu apakah akan diterima Papaku?
Atau otaknya baru saja mengalami penurunan tegangan?
Mama langsung menaikkan kedua alisnya lalu menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sedang Papa hanya bisa melongo dan menaikkan kedua alis karena saking terkejutnya.
"Tiga puluh delapan tahun!?" Papa bertanya kembali dengan nada memastikan.
"Iya, Pak," ucap Pak Akhtara lalu mengangguk tegas.
Papa dan Mama kemudian saling tatap dengan pandangan tidak habis pikir lalu menatapku.
"Pa, Ma, usia itu bukan alasan sepasang anak manusia nggak berjodoh. Aku harap Papa dan Mama nggak mempermasalahin umurnya Mas Akhtara. Bukankah laki-laki itu yang dicari adalah tanggung jawab dan kesungguhannya? Buat apa nyari yang seumuran tapi nggak bisa menghidupi? Lalu ujung-ujungnya cerai karena masalah ekonomi. Ya kan?!"
Penjelasanku yang cukup panjang nan lebar itu berisi harapan agar kedua orang tuaku tidak membuat drama penolakan hanya karena usia Pak Akhtara.
Ayolah Papa! Mama!
Restuin aja kami biar kalian bisa menempati rumah ini dengan tenang dan aman karena setelah uang dari nikah kontrakku diberikan semua oleh Pak Akhtara, sertifikatnya akan kuberikan pada kalian sebagai hadiah terindah dariku.
"Han, kamu nggak lagi hamil duluan kan, Nak?!" tanya Mama.
Kali ini aku yang menaikkan kedua alis lalu buru-buru menggoyangkan kedua tangan di depan Mama dan Papa.
"Aku nggak hamil duluan, Ma! Sumpah!" ucapku sungguh-sungguh dan mengangkat dua jari.
"Kalau nggak hamil duluan kenapa kamu terburu-buru pengen nikah sama Akhtara? Kami sebagai orang tuamu juga pengen mengenal calonmu. Gimana keluarganya juga. Nggak bisa langsung ujung-ujungnya nikah, Han."
"Tapi --- "
"Keluarga saya sudah mengenal Jihan, Bu. Saya ... sudah mengenalkan Jihan pada keluarga saya dan mereka menyetujui hubungan kami. Malah Papa saya yang mengusulkan kami agar segera menikah. Maka dari itu, saya bertandang kemari ingin meminang Jihan," ucap Pak Akhtara menyela.
Papa dan Mama makin terkejut dengan pengakuan palsu Pak Akhtara lalu kembali saling tatap.
"Tapi, gimana sama resepsi pernikahan kalian? Jujur saja, Akhtara, kami belum memiliki persiapan uang sebanyak itu untuk menggelar pesta pernikahan impian anak semata wayang kami ini," Papa berkata penuh kesungguhan.
Lalu aku mendadak terharu dan cepat-cepat menunduk agar tidak terjadi pertumpahan air mata. Senakal-nakalnya aku, tidak mungkin tidak terharu jika orang tua mengungkapkan keinginan besarnya untukku.
"Masalah resepsi itu bisa dibahas nanti, Pak. Yang penting, kami menikah dulu. Karena orang tua saya sudah menetapkan tanggal baiknya."
Kini Papa dan Mama makin bingung karena terdesak oleh ucapan Pak Akhtara.
"Pa, Ma, nggak usah bingung tentang waktu untuk mengenal Mas Akhtara dan keluarganya. Papa dan Mama bisa mengenalnya seiring berjalannya waktu."
"Kenapa kamu nggak bilang sama Papa dan Mama dari dulu sih, Han? Kenapa semendadak ini?"
"Ibu dan Bapak jangan khawatir. Saya bukan lelaki kurang ajar," ucap Pak Akhtara.
Tetapi lelaki manipulatif. Begitu kah bapak manajer yang terhormat?
"Jihan adalah satu-satunya anakku, Akhtara. Sebagai sesama lelaki, aku pegang janjimu untuk membahagiakan dia. Suatu saat nanti, kalau kamu sampai ingkar, musuhmu adalah aku."
***
Ekspresi berat hati kedua orang tuaku menghantui pikiran Pak Akhtara. Beliau tidak memiliki banyak waktu untuk meyakinkan orang tuaku agar mau menikahkan kami. Atau kedok kami terbongkar di hadapan keluarga Pak Akhtara.
Dan sore itu, Pak Akhtara mengajakku berbelanja banyak hal di supermarket.
"Pak, ngapain belanja bahan makanan sebanyak ini?" tanyaku ketika beliau terus memasukkan bahan makanan ke dalam troli.
"Saya mau merayu orang tuamu biar minggu depan mau datang ke Jakarta lalu menikahkan kita."
Aku melongo seraya menaikkan kedua alis tidak percaya.
"Bapak dapat ide kayak gini dari mana?"
"Internet."
Lalu beliau memasukkan mie dua bal ke dalam troli berikut dengan minyak gorengnya.
"Pak, udah! Stop! Nanti dapur Mama saya nggak cukup! Ini hampir satu troli penuh!" ucapku sambil mendorong pelan troli yang berubah berat ini.
Dari kacamata bening yang bertengger di pangkal hidungnya, Pak Akhtara menatap troli itu dengan seksama.
"Apa ini udah cukup untuk merayu ibumu? Kata internet kalau istri bahagia, suaminya pasti ngikut."
Kali ini aku menepuk jidat sendiri sambil menggeleng pelan.
"Ya sudah. Ayo ke kasir!"
Bukannya membantu mendorong troli berisi bahan dapur ini, Pak Akhtara justru berjalan lebih dulu hingga membuatku kesal sendiri.
"Pak! Trolinya berat!"
Dan sialnya beliau tidak menggubris sama sekali.
Astaga, Tuhan! Ingin sekali kujitak kepala manajer sialanku itu! Andai tidak ingat sopan santun mungkin sudah kulakukan dari tadi.
Sesampainya di rumah, Pak Akhtara langsung membawa sendiri empat kantong plastik hitam barang-barang yang tadi kami beli. Karena ...
"Kamu jangan bantu saya bawa barang-barang ini, Han. Bisa jelek reputasi saya di depan orang tuamu."
"Suka-suka Pak Akhtara aja! Saya capek dorong troli sendirian di supermarket tadi!" ucapku ketus lalu berlalu dari mobil.
Betapa terkejut Mama dan Papa begitu melihat banyaknya barang yang dibelikan Pak Akhtara untuk mereka. Benar saja, Mama begitu berbinar melihat dapurnya terisi penuh bahkan cukup sampai akhir bulan depan.
Tidak sampai disitu, Pak Akhtara juga rela membantu Mama menata semua barang belanjaan itu.
Ciiiihh ... pintar sekali teknik merayunya!
Apa beliau juga sepintar itu merayu atasannya hingga bisa terpilih menjadi salah satu manajer kantor?
Lalu ponselnya yang diletakkan di atas meja ruang tamu kemudian berdering lemah. Penasaran dengan siapa yang menghubungi beliau, aku melongok untuk melihat layar ponselnya.
"Sabrina?" gumamku lirih.
Apakah ini Sabrina calon tunangan asli Pak Akhtara? Atau Sabrina yang lain?
Haruskah aku mengangkatnya untuk memenuhi rasa ingin tahu tentang perpisahan mereka yang sebenarnya?
enjoy reading ....
"Jihan, malam ini biar Akhtara tidur di kamarmu ya? Kamu sama Mama dan Papa tidur di kamar satunya."Tanganku yang akan meraih ponsel Pak Akhtara yang berdering dari Sabrina akhirnya batal karena seruan dari Mama. Duh ... Mama! Kenapa datang di saat yang salah?!"Lha? Kok gitu?" Aku menunjukkan sisi keberatan."Lalu Akhtara kamu suruh tidur di mana?"Lalu muncul Pak Akhtara dari belakang Mama dengan senyum setipis tisyu. Entah racun internet apa lagi yang beliau lancarkan untuk membuat Mama mengikuti permainannya."Lho, Ma? Memangnya kamar kita muat untuk bertiga?" tanya Papa. "Papa ini gimana sih? Masak tamu disuruh tidur ruang tamu? Nggak etis banget apalagi Akhtara udah belanja banyak untuk keluarga kita loh."Nah kan?! Hati Mama luluh hanya karena belanjaan yang Pak Akhtara berikan. Di rumah kami yang sederhana dengan dua kamar inilah Pak Akhtara tidur untuk pertama kalinya. Usai dari kamar mandi, tiba-tiba aku mendengar percakapan diam-diam Papa dan Pak Akhtara di dalam kamar
Sesuai kesepakatan, Mama dan Papa datang ke Jakarta menggunakan travel agensi lalu menginap di sebuh hotel. Semua itu dibiayai oleh Pak Akhtara karena beliau lah yang paling membutuhkan pernikahan ini. Aku dan Pak Akhtara sepakat untuk menggelar akad nikah ini ketika malam hari. Karena tidak mungkin jika kami mengambil izin cuti kantor untuk menikah. Selain itu pernikahan ini terikat oleh waktu tertentu sesuai perjanjian dan tidak boleh sampai diketahui siapapun apalagi orang kantor, kecuali keluarga besar. Pernikahan ini hanya formalitas di depan keluarga Pak Akhtara saja. Bukan untuk konsumsi publik. Tidak ada resepsi mewah karena semuanya disediakan mendadak sekali. Usai dirias secantik mungkin di hotel tempat kedua orang tuaku menginap, sebuah gaun putih dengan payet indah itu disodorkan padaku. Ukurannya begitu pas dan penampilanku begitu cantik jelita dengan sanggul paes ageng dan bunga melati yang menjuntai sampai di depan dada. "Han, kamu dan Akhtara itu mau menikah. Ma
Benar sekali tebakanku! Pak Akhtara nampak terkejut dan bingung bagaimana menjelaskannya. Tentang orang tuaku yang belum kami sepakati agar merubah nama panggilanku menjadi Sabrina. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Orang tuaku tetap memanggilku dengan nama Jihan, seperti biasanya di hadapan kedua orang tua Pak Akhtara. Wajah lelah Pak Akhtara makin tertekan karena rencana kami kurang matang. Sudah barang pasti aku dan Pak Akhtara sama-sama dilanda kecemasan saat ini. Jika sudah begini, aku harus memainkan peran sebagai Sabrina palsu dan istri kontrak dengan baik. Jangan sampai rahasia kami terkuak. Karena aku juga tidak mau kedua orang tuaku mengetahui skenario pernikahan bohongan kami. Aku segera meraih lengan Pak Akhtara dan merangkulnya mesra di hadapan kedua orang tuanya. Beruntung Pak Akhtara langsung bisa mengerti maksudku. "Saya kalau di kantor dipanggil Sabrina, Ma, Pa. Soalnya nama Jihan itu ada tiga. Seringnya kalau manggil Sabira itu kayak beribet. Jadi lebih terbia
"Aku bilang keluar, Jihan!" Bentak Pak Akhtara. Sedang otakku segera memproses perintahnya dengan tangan masih mendekap gaun pernikahan putih yang menutupi dadaku. "Keluar? Apa Bapak tidak mikirin nasib kita gimana selanjutnya kalau orang-orang rumah tahu saya keluar dari kamar Bapak dalam keadaan setengah tanpa busana kayak gini? Mereka bisa ngiranya Bapak melecehkan saya di malam pertama." Penjelasanku itu kemudian menyadarkan Pak Akhtara. Beliau langsung berpikir sejenak kemudian menatapku kembali. "Siapa yang nyuruh kamu masuk kamar saya?!" Aku kembali mendekap gaun pernikahan ini meski payetnya cukup membuat permukaan kulit dadaku seperti digelitiki. Lagipula, kenapa perias dan Mamanya Pak Akhtara lama sekali kembalinya? "Saya disuruh Mamanya Pak Akhtara masuk ke kamar ini. Saya pikir ini kamar saya yang disiapkan Bapak untuk saya." "Ini kamar saya, Jihan!" Bentaknya lagi dengan mata membola. "Mana saya tahu, Pak! Bapak jangan bentak-bentak saya! Soalnya saya juga ngga
"Akhtara! Halo! Kamu dengar aku?" Kemudian dengan secuil ide cemerlang, aku berusaha menyesuaikan suara perempuan yang kumiliki ini berganti menjadi suara lelaki. Hanya dengan mengeluarkan deheman dengan suara dalam. "Hem!" "Akhtara, aku mohon! Maafin aku! Aku bisa jelasin segalanya! Aku nggak bermaksud bohongin kamu! Aku cuma sedang nyari waktu yang tepat biar kamu nggak salah paham," ucap Sabrina yang asli. Sungguh suaranya terdengar begitu empuk dan merdu seperti penyanyi. Kemudian penilaianku tentang penampilannya yang gendut dan tidak cantik seketika berubah. Jangan-jangan dia itu sebenarnya cantik? Tapi setelah mendengar ucapannya, aku mengernyitkan kedua alis dengan rasa penasaran yag teramat. Memangnya apa yang sedang dirahasiakan Sabrina hingga Pak Akhtara begitu marah? "Akhtara, please, ngomong sesuatu. Jangan diam aja! Aku mohon maafin aku. Aku bersedia nyingkirin segalanya demi kamu. Demi hubungan kita, Tar. Aku cinta kamu, Tara. Please. Please, Tara," ucapnya den
“Mama Papa sama orang tuanya Jihan setuju kalau resepsi pernikahan kalian diadain bulan depan. Gimana, Tar?” tanya Mamanya Pak Akhtara. 'Apa?!!' 'Resepsi?!!' Jeritku dalam hati. Lalu kedua bola mataku membelalak tidak percaya menatap beliau dengan mulut terkatup erat. “Kira-kira kalian mau undang teman kerja di kantor berapa ratus orang, Tar, Han? Biar Mama sama Papa bisa estimasi mau pesan catering berapa porsi,” ucap Mamanya Pak Akhtara kembali dengan nada teramat bahagia. Sedang aku dan Pak Akhtara seperti kutu usai disengat listrik bertegangan tinggi saja. Bagaimana tidak terkejut jika pernikahan diam-diam kami kini justru akan diproklamirkan oleh kedua orang tua. Padahal mati-matian kami tidak ingin siapapun orang di kantor tahu pernikahan kontrak ini agar tidak menjadi gunjingan. “Tara, Jihan, kok malah bengong aja?” Kemudian aku menoleh ke arah Pak Akhtara yang meraup udara sebanyak mungkin lalu dimasukkan ke dalam paru-paru hingga berulang kali. Sedang aku berulang kali
Mati aku! Mulutku ini mengapa tidak bisa diam menyumpahi lelaki itu dari tadi. Nah kan, kalau ketahuan rekan satu kantor seperti ini, justru berbahaya dan berpotensi membuka rahasia kami yang sebenarnya. Aku segera mempercepat memoles wajah lalu tersenyum palsu pada Fita. “Gue duluan, Fit.” *** Sepanjang hari aku bekerja sebaik mungkin sembari melupakan apa yang Pak Akhtara lakukan padaku tadi pagi. Hingga secara tidak sengaja, aku berpapasan dengannya waktu akan pergi makan siang bersama teman-teman satu kubikel. Kebetulan beliau baru saja membuka pintu ruangannya. Kandangnya! “Siang, Pak Akhtara,” ucap beberapa temanku bersamaan. “Siang.” “Kami makan siang dulu, Pak.” “Silahkan.” Tanpa mengangguk hormat seperti karyawan yang lain, aku berlalu begitu saja seperti tidak melihatnya dengan ekspresi bodoh amat. “Han, lo berani banget nggak hormat sama Pak Akhtara,” celetuk Ita, teman satu kubikelku yang lain saat kami berjalan bersisian. “Heh?! Nggak kok. Gue hormat kok. Lo a
"Ehm ... kamu udah makan malam?" Aku melirik ke kiri lalu kembali menatap Pak Akhtara yang sudah duduk di bangku kemudi. Ada apa gerangan manajer sekaligus suami kontrakku ini bertanya tentang aku sudah makan atau belum? "Belum, Pak." Jawabku jujur. Kepalanya lantas mengangguk pelan dengan menatapku, "Mau makan malam dulu?" Jamur yang seharusnya berisi spora, kini berisi pertanyaan tentang sikap Pak Akhtara yang berubah sedikit baik itu, tumbuh berjejer di dalam otakku. "Boleh, Pak." "Saya udah nyuruh Bik Wati nyiapin makan malam untuk kita di rumah." Oh ... aku pikir beliau akan membawaku makan malam di luar. Ternyata, kami akan makan malam di rumahnya. Mungkin Pak Akhtara tidak mau menuai resiko jika kami keluar berduaan. Tidak lucu andai ada orang kantor yang memergoki kebersamaan kami lalu muncul kesalahpahaman yang membuat kami dikenai sanksi perusahaan. Peraturan perusahaan kami menyebutkan jika sesama karyawan tidak boleh menjalin hubungan asmara atau melakukan perse
POV AKHTARAJihan kemudian menoleh dengan mata berkaca-kaca kemudian dia berdiri tanpa membawa paper bag. Lalu dia berjalan ke arahku hingga terlihat jelas ekspresi wajahnya.Kecewa, sedih, dan marah bercampur menjadi satu.“Ketika Bapak mau pergi meninggalkan saya dan Akhtira, setelah nyuruh Faris datang ke rumah dengan memberikan deretan surat berharga beserta rekening berisi uang yang nggak main-main banyaknya, kenapa Bapak nggak angkat telfon saya?”“Kenapa Bapak main pergi aja waktu itu?”Lalu air matanya kembali jatuh setetes membasahi pipi.“Bapak ngasih saya dan Akhtira harta sebanyak itu lalu pergi gitu aja, saya kayak merasa semuanya bisa Bapak hargai pakai uang!”Kemudian air mata Jihan makin deras membasahi pipinya. Bahkan bibirnya ikut bergetar menahan isak tangis.“Saya tahu Bapak itu kaya, tapi kenapa semuanya selalu Bapak putuskan sendiri tanpa dengerin saya dulu! Kenapa Bapak selalu menilainya pakai uang?! Bapak punya hati dan cinta kan?! Kenapa nggak mencoba menggunak
POV AKHTARATujuh hari aku berada di tanah suci untuk benar-benar menghambakan diri pada Tuhan. Segala urusan duniawi kukesampingkan.Aku benar-benar mengharap ampunan turun bersama dengan kesungguhanku saat bersujud, menengadahkan tangan, dan tetesan air mata penyesalan.Kugunakan waktu itu sebaik mungkin dengan memperbanyak ibadah. Aku hanya pulang ke hotel jika benar-benar mengantuk.Aku tidak tahu apakah pemeriksaan keseluruhan terhadap kesehatanku itu lolos ataukah tidak. Bila lolos dan dinyatakan cocok, setidaknya aku telah membasuh jiwaku di tanah suci sebelum kembali pada sang Khaliq.Tapi bila tidak lolos, aku harap Tuhan memberi jalan kehidupan yang lebih baik. Karena aku sudah tidak lagi muda dan waktunya lebih fokus pada ibadah serta keluarga.Faris melambaikan tangannya begitu aku keluar dari pintu kedatangan penerbangan luar negeri. Dengan menggeret koper, aku menghampirinya yang menatapku dengan pandangan berkaca-kaca.Dia sudah kuanggap seperti adik dan langsung merangk
POV AKHTARA Faris yang berdiri di samping itu kemudian menatapku penuh keterkejutan. Pun dengan dokter yang kuajak berbicara dan masih memegang hasil laboratorium pasien yang menderita sakit keras itu. "Pak, apa ... maksudnya?" Tanya dokter itu. "Maksud saya seperti yang dokter pikirkan."Dokter itu kemudian menatap Faris dengan penuh keterkejutan. Pasalnya mana ada orang yang sudi mendonorkan hatinya dengan terang-terangan seperti aku?Mungkin mereka pikir aku sedang main-main dengan hal ini. Padahal aku benar-benar merasa bahwa ini adalah titik balik untuk memperbaiki diri dan mendapatkan ampunan dari Tuhan atas semua kesalahanku. "Pak Akhtara, maaf. Ini bukan perkara sederhana, Pak. Mendonorkan hati itu tidak sama dengan mendonorkan ginjal. Manusia punya dua ginjal dan masih bisa bertahan hidup dengan satu ginjal. Tapi kalau hati ... manusia hanya punya satu, Pak. Kalau itu diambil, maka --- ""Saya mati. Begitu kan alurnya?" Jawabku tenang. Dokter dan Faris saling bertatapan d
POV AKHTARA“Mas, mau gendong Tira nggak?” Tanya Abid dengan suara sangat lirih.Aku yang tengah duduk di bangku belakang sambil menatap keluar jendela mobil pun beralih atensi pada adikku itu.Dia tengah memangku putraku, Akhtira, yang sudah tertidur dengan lelap. Sedang kedua anaknya masing-masing dipangku istrinya dan Papa. Hanya aku saja yang tidak memangku anak kecil.Kemudian aku melongok ke arah putraku itu. Dia benar-benar damai terlelap di atas pangkuan adikku. Dan selalu enggan untuk berdekatan denganku.“Apa dia nanti nggak kebangun, Bid?” Tanyaku dengan suara sama lirihnya.“Pelan-pelan aja, Mas.”Lalu aku mengusap pipi halusnya itu dengan ibu jari untuk memastikan apakah Akhtira benar-benar sangat terlelap. Ternyata putraku itu tetap tidur dengan sangat pulas.“Kayaknya dia kecapekan habis main air terus perutnya kenyang. Jadi deh ngorok.”Aku menahan tawa karena guyonan Abid lalu mengangguk dengan mengulurkan kedua tangan untuk menerima putraku.Galau di hati yang sedari
POV AKHTARAAku harus tetap professional dengan tidak mencampuradukkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Meski terasa sulit dengan tidak memikirkan penolakan Jihan saat aku sedang bekerja seperti ini.Permintaan Jihan yang tidak bersedia rujuk adalah sebuah keputusan yang tidak boleh kupaksa. Dia memiliki hak yang harus kuhormati sekalipun itu melukai hatiku.Cintaku pada sesama manusia telah habis di Jihan.Meski Humaira begitu baik secara sifat dan iman, tetap saja aku selalu terbayang Jihan. Bukankah akan makin menyakiti Humaira jika dia mengerti jika hatiku masih tertambat pada Jihan?“Mungkin jika Bu Jihan sudah menikah lagi, Bapak akan benar-benar bisa melepas dan melupakannya. Karena pintu untuk mendapatkannya benar-benar telah tertutup,” ucap Faris.Aku menghela nafas panjang dengan menatap gelas minumku yang mengembun. Kami sedang makan malam bersama karena aku tidak mau makan malam sendirian. Kebetulan tempat tinggal Faris tidak jauh dari apartemen tempatku berteduh.“M
POV AKHTARAKarena putraku, Akhtira, sedang duduk di pangkuan seorang lelaki dengan menghadap wajah orang itu. Bahkan senyum putraku terlihat mengembang penuh tawa apalagi saat lelaki itu menyerukkan kepalanya ke arah dada putraku.Tira kembali tertawa terpingkal karena geli dan mencengkeram rambut lelaki itu. Semakin Tira terpingkal, dia semakin menyerukkan kepalanya ke dada putraku hingga tawa keduanya menguar bebas dan membuatku … iri.Lelaki yang masih memakai kemeja putih dan celana kain hitam khas pakaian ASN itu, apakah dia yang bernama Farhan?Seorang aparatur sipil negara yang berstatus duda dan sedang mendekati Jihan.Karena lelaki itu sibuk menyerukkan kepalanya di dada putraku, dia tidak menyadari kehadiranku yang menatap ke arahnya dengan penuh rasa iri dan sedih.Iri karena putraku bisa seakrab itu dengannya. Padahal aku ini ayah biologisnya.Dan sedih karena aku belum pernah sekalipun menggendong putraku sama sekali.Sudah berapa lama mereka bersama? Sudah berapa lama le
POV AKHTARA“Saya panggilin Papa biar Tira dipangku Papa. Jadi Bapak bisa menyentuh Tira.”Aku sedikit mengerutkan kening mendapati jawaban Jihan.“Kenapa harus sama Papamu?”“Kita ini udah bukan suami istri secara agama, Pak. Kalau kita berdekatan, nanti jadi dosa.”Mulutku terkunci ketika Jihan berkata seperti itu. Satu kenyataan yang hampir kulupakan bahwa wanita yang sangat kucintai ini sebenarnya telah terlepas dari genggamanku secara agama.Statusnya hanya istri secara hukum negara.Tapi aku ingat perkataan Papa bahwa masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan Jihan kembali dengan rajin mengunjungi Tira.Ketika Jihan hendak berdiri, aku berkata …“Tolong kamu dudukkan aja Tira di kursi. Nggak usah panggil Papamu.”Karena aku yakin jika Papanya Jihan akan membuat pembatas antara aku dan Tira. Apalagi jika putraku itu menangis karena baru pertama kali bertemu denganku.Jihan mengangguk lalu membujuk Tira untuk duduk di kursi. Putraku itu nampak tidak kooperatif namun Jihan terus m
POV AKHTARASudah lama aku tidak menempati kamarku yang ada di rumah Papa dan Mama. Dan hari ini adalah kali pertama aku kembali menginjakkan kaki di kamar ini.Semua furniturenya tidak banyak berubah. Masih tetap mewah dan berkelas.Kamar kostku yang berada di Bali ukurannya tiga kali lebih kecil dari kamarku yang berada di rumah ini.Setelah lama aku memilih hidup dalam kesederhanaan, tidak bermewah-mewahan, dan selalu menyibukkan diri dengan anak-anak di panti asuhan, siang ini semuanya terasa ada yang kurang dari dalam hatiku.Aku merindukan anak-anak di panti yang tak memiliki orang tua dan menganggapku seperti ayah, kakak, bahkan teman untuk mereka.Lalu aku teringat akan kejadian kemarin saat memutuskan untuk tidak melanjutkan rencana pernikahan dengan Humaira. Dan juga ucapan Papa tadi pagi tentang apa yang harus kulakukan demi kembali menggapai hati Jihan dan kedua orang tuanya.Dengan mendudukkan diri di tepi ranjang empuk ini, kedua tanganku memegang ponsel dan mengulir nama
POV AKHTARA Kemudian aku menatap paper bag berisi surat-surat berharga yang dulu sengaja aku berikan untuk Jihan dan Akhtira. "Lalu kenapa kamu kembalikan semua aset yang saya berikan untuk Akhtira?""Saya nggak mau Akhtira punya sangkut paut ke Bapak. Saya nggak mau suatu saat nanti, Bapak mengungkit-ungkit hal itu.""Saya tulus memberikannya untuk putra saya, Jihan."Jihan menghela nafas panjang kemudian memutus pandangan. Kentara sekali jika dia ingin menjauh dariku. "Saya udah berubah, Han. Tiga tahun pergi dari kehidupanmu dan Akhtira, saya berusaha untuk memperbaiki diri, bukan untuk enak-enak kayak tuduhan Mamamu.""Kalau kamu tanya isi hati saya, yang ada cuma penyesalan tanpa batas. Kehilangan anak pertama saya karena kegilaan saya, itu adalah penyesalan yang luar biasa. Saya minta ampun sama Tuhan untuk kegilaan saya yang satu itu.""Lalu saya menyadari betapa pentingnya Akhtira dalam hidup saya. Menyadari bahwa nggak ada wanita yang lebih saya cintai dari pada kamu."Jiha