Ya Tuhan, mengapa harus manajerku sendiri yang menyewaku sebagai pacar sewaan?
Lalu ingatanku kembali ke kejadian siang tadi saat Pak Akhtara memarahiku di hadapan staff yang lain. Beliau adalah sosok atasan yang disiplin, tegas, dan tidak banyak tersenyum di depan karyawan."I ... iya, Pak. Saya … memakai nama samaran Dara sebagai pacar sewaan," jawabku gugup dengan posisi berdiri.Lalu Pak Akhtara melihat penampilanku dari atas hingga bawah dengan seksama melalui kacamata bening yang membingkai kedua matanya lalu kepalanya menggeleng pelan. "Well. Saya nggak nyangka kalau ... "Pak Akhtara tidak melanjutkan ucapannya. Entah apa yang beliau pikirkan tentangku sekarang ini. Namun ekspresi wajahnya masih menampilkan keterkejutan."Silahkan duduk dulu, Han."Kepalaku mengangguk pelan lalu mengambil duduk di hadapan beliau. Membiarkan cardigan hijau tua yang kukenakan tetap membungkus tubuh yang telah mengenakan dress malam terbaik.
Pikiranku pun akhirnya berkelana, apa Pak Akhtara hobi berkencan dengan pacar sewaan?Bukankah dia manajer yang terkenal disiplin, tegas, bersahaja, dan berwibawa?Tapi mengapa sampai menyewa jasa murahan seperti ini?Dan setahuku, bukankah dia sudah memiliki calon tunangan?"Entah kamu lagi mikir apa, Han. Yang jelas, saya ada maksud tertentu kenapa makai jasa pacar sewaan. Jadi, apa kamu sudah siap saya sewa malam ini?”Ya Tuhan, pertanyaan Pa Akhtara itu mengandung arti yang ambigu sekali. Memangnya malam ini beliau mau menyewaku seperti apa?
"Maaf, Pak. Kalau boleh tahu, apa alasan Bapak menyewa jasa ini?"
"Apakah menjelaskan tujuan saya menyewa jasa pacar sewaan termasuk dalam tarifmu, Jihan?"Kepalaku menggeleng pelan tanpa berani menatapnya. Sungguh beliau adalah manajer yang terkenal bersahaja dan disegani. Namun mengetahui beliau menggunakan jasa ini membuatku sangat penasaran dengan sosok asli seorang manajer Akhtara Badsah Ubaid.Jika ada satu saja penghuni kantor yang tahu jika Pak Akhtara duduk di sini bersamaku untuk membahas jasa pacar sewaan, kredibilitasnya pasti akan terjun bebas. Begitu juga denganku, pastiakan menjadi bulan-bulanan cibiran."Kalau begitu kamu cukup jelasin apa saja yang jadi kesepakatan 'kencan pura-pura' kita malam ini, Jihan."Kepalaku mengangguk pelan lalu membasahi bibir dan menelan saliva untuk membasahi kerongkongan. Sembari mengumpulkan keberanian mengatakan aturan main pacar sewaan yang sudah kutekuni selama tiga tahun ini."Jadi begini, Pak. Tarif saya lima ratus ribu sekali jalan. Tanpa perbuatan mesum. Kalau mau pelukan, gandengan tangan, ada ongkos tambahan, Pak," ucapku."Kamu kelihatan profesional sekali."Aku hanya berdehem tanpa memandang Pak Akhtara."Kalau dibawa ke kondangan buat pamer ke keluarga, apa ada biaya tambahannya, Han?" tanya Pak Akhtara tenang."S ... saya tanyakan adminnya dulu, Pak."Aku langsung merogoh ponsel kemudian mengulir layar untuk mencari kontak Admin Rara. Bagaimanapun aku harus jujur bekerja dengannya atau tidak akan dipercaya mendapat klien lagi."Sekalian tanyakan, apa bisa kamu dibooking untuk beberapa bulan ke depan dengan modus pura-pura jadi tunangan saya?"Reflek aku menatap Pak Akhtara dengan kedua alis terangkat."Maaf, Pak?" tanyaku dengan nada terheran."Anggap aja saya pelanggan setiamu. Nanti ada bonus dari saya kalau kamu mau dan nurut sama perjanjian kita. Gimana?"Perempuan bodoh mana yang menolak bonus dan disewa menjadi tunangan pura-pura selama beberapa bulan ke depan oleh manajer yang memiliki gaji sebanyak Pak Akhtara?Bukankah itu artinya jika aku menerima tawarannya akan menerima gaji dengan nominal yang sama selama beberapa bulan berturut-turut?Dan bukankah itu artinya aku bisa menabung lebih banyak untuk membeli properti yang lain?Dengan begitu aku tidak akan kelimpungan mencari uang lagi nantinya. Benar 'kan?!"Gimana, Han? Setuju?"Aku terkesiap dari lamunan dengan tangan masih memegang ponsel lalu kepalaku mengangguk pelan dengan memasang ekspresi masih terkejut."Saya ... bersedia, Pak."***Pak Akhtara itu berusia tiga puluh delapan tahun tapi memiliki posisi bergengsi di kantor sebagai manajer.Usai membahas tarif dan kesepakatan antara aku, Admin Rara, dan Pak Akhtara, kami berdua menuju kediaman Pak Akhtara dengan alasan ..."Saya ganti baju dulu, Han. Karena kita mau ke resepsi pernikahan adik saya. Dan tugasmu seperti yang aku jelaskan tadi. Pura-pura jadi calon tunanganku. Paham?"Kepalaku mengangguk paham dengan duduk di kursi penumpang. Sedang Pak Akhtara mulai melepas seatbelt kursi kemudi mobilnya yang nyaman ini."Kamu tunggu di sini aja. Saya cepat kok.""Ya, Pak."Aku mematuhi setiap ucapannya yang mengandung perintah karena sudah sepakat jika akan menjadi tunangan palsunya selama beberapa bulan ke depan.Entah mengapa beliau menyewa jasaku selama itu.Aku tidak bertanya dan untuk apa mengulik masalah pribadi manajerku itu. Toh beliau pasti menolak menjelaskan."Yang penting besok gue bisa bayar cicilan rumah. Beres!" gumamku sambil menatap rumah Pak Akhtara.Rumah satu lantai yang begitu terawat dengan taman indah berhiaskan pohon cemara yang dibonsai. Dihiasi lampu warna warni kecil yang melingkari pohon. Membuatnya sangat cantik di malam hari. Sekitar sepuluh menit kemudian, Pak Akhtara keluar dari rumah dengan pakaian jauh lebih formal untuk menghadiri resepsi pernikahan adiknya.Kemeja batik dipadu dengan celana jeans biru gelap dan sepatu boots rendah warna coklat. Rambutnya disisir sedikit mowhak untuk menambah kesan lebih muda."Asem! Ganteng!" pujiku sebelum beliau memasuki mobil.Begitu Pak Akhtara memasuki mobil dan mulai melajukannya di jalanan, beliau kembali memulai pembicaraan."Jangan sampai lupa kalau nama kamu sekarang ganti jadi Sabrina. Bukan Jihan atau Dara.""Ya, Pak. Saya ingat," ucapku patuh selayaknya kami berada di kantor.Memangnya ada apa dengan nama Sabrina?Ah ... entahlah.Aku hanya berani bertanya dalam hati dengan menatap jalanan dari balik kaca mobil beliau. Hingga kami tiba di sebuah gedung pernikahan yang berada di salah satu hotel berbintang.Usai keluar dari mobil, aku berjalan mendekati Pak Akhtara yang sedang memasang jam tangan di pergelangan tangan kirinya. "Kalau Bapak butuh pegangan tangan atau sejenisnya, Bapak cukup kasih saya kode.""Ya. Ayo masuk dulu."Aku berjalan biasa di samping Pak Akhtara dengan dress malam hitam sambil membawa clutch bag berwarna krem dengan motif mutiara. Sedang cardiganku sudah kutanggalkan di mobil.Usai melewati anak tangga dan penyambut tamu, tiba-tiba Pak Akhtara menggenggam tangan kiriku begitu saja. Tanpa kode.Untung saja aku sudah terbiasa dalam keadaan seperti ini dan cepat beradaptasi dengan menggenggam tangannya kembali."Di depan sana keluarga saya semua. Kamu tahu harus apa kan, Han?"Pak Akhtara mengucapkannya dengan jarak sedekat ini dengan telingaku sambil telunjuknya mengarah ke dapan. Hingga hembusan nafasnya seperti menggelitik telingaku."Ya, Pak. Saya ... paham."Sedikit gugup itu wajar karena menjadi tunangan palsu manajerku sendiri. Ayolah Jihan! Jangan gugup! Atau aku gagal menerima gaji dan bonus besar.Masih dengan jemari kami saling bertaut, Pak Akhtara membawaku menuju keluarga besarnya yang duduk di kursi paling ujung. Mereka menatap sepasang pengantin yang tengah berbahagia menerima ucapan selamat dari para tamu di pelaminan yang dihias sangat indah sekali. "Malam, Ma, Pa, Om, Tante."Kemudian Pak Akhtara mencium tangan mereka satu demi satu. Dan aku mengikutinya dengan sopan."Ini ... siapa, Tar?" tanya Mamanya Pak Akhtara."Ini Sabrina, Ma. Masak Mama lupa?""Sabrina?" tanya beliau memastikan dengan mengerutkan kedua alis.Kepalaku pun mengangguk usai mendapat kode melalu remasan di jari. "Saya Sabrina, Tante," ucapku sopan dengan seulas senyum meyakinkan.Wanita yang tidak lagi muda itu masih terlihat menawan dengan dress malam panjang warna salem dan rambut disanggul modern.
"Kok sekarang langsing banget, Tar?"Pak Akhtara tersenyum lalu kembali memberi kode melalui remasan jemari."Diet, Ma. Biar nggak gemuk."Kemudian Tantenya Pak Akhtara membuka suara."Rambutnya juga lebih keren dari terakhir ketemu, Tar. Seingat Tante rambut Sabrina kemarin hitam polos."Lagi, Pak Akhtara memberi kode dengan meremas jemariku."Ehm ... saya hanya coba-coba ganti warna rambut, Tante. Maaf kalau membuat semuanya tidak mengenali saya," ucapku setenang mungkin.Akhirnya aku paham jika perempuan yang bernama Sabrina adalah calon tunangan Pak Akhtara yang asli. Gemuk dan berambut hitam.Astaga ... manajerku ini wajahnya tidak jelek bahkan berat tubuhnya juga sangat ideal, tapi mengapa kekasihnya memiliki perawakan yang tidak seimbang dengan bayanganku?Apa dunia sedang bercanda?
Lalu, kemana perginya perempuan bernama Sabrina itu hingga meninggalkan Pak Akhtara dan beliau berakhir menyewa jasa pacar sewaan seperti ini?enjoy reading ...
"Kok ... beda ya, Tar? Kayak bukan Sabrina." Mamanya Pak Akhtara masih meragu jika aku bukanlah Sabrina yang asli. Aduh! Bagaimana ini? Jangan sampai terbongkar!Kemudian Pak Akhtara merubah genggaman di tangan dan berpindah ke pundak kiriku begitu saja. Hingga pundakku menyentuh dadanya yang bidang. "Hanya perasaan Mama aja. Dia ini Sabrina, Ma. Mungkin karena efek diet dan ganti warna rambut aja makanya kayak ... orang lain." Untung saja Pak Akhtara luwes sekali berdrama di hadapan keluarganya. Apakah beliau memiliki bakat berbohong yang terpendam?Keluarga besar Pak Akhtara menunjukkan keraguan itu dengan saling tatap. Lalu tanpa diduga, beliau mengeluarkan jurus selanjutnya yang membuatku merasa geli sendiri. Seperti bukan Pak Akhtara yang dingin, tegas, dan berwibawa. "Sayang, duduk dulu," ucapnya dengan senyum tulus yang dibungkus kepalsuan. Lalu Pak Akhtara menarik sebuah kursi untuk kududuki kemudian beliau ikut mengambil duduk di sebelahku. Sedang kakinya kembali memberi
"Yang penting kalian nyambung menjalani hubungan?" tanya Papanya Pak Akhtara memastikan dengan menatapku lekat. Hingga kedua alisnya berkerut seperti mencari pembenaran atas apa yang beliau dengar."Eh ... iya, Om. Yang penting ... kami bisa memahami kekurangan satu sama lain," jawabku gugup dan seadanya. "Itu artinya kalian menjalani hubungan ini dengan landasan yang nggak tepat, Sabrina. Orang kalau mau menikah itu nggak cuma butuh perasaan saling nyambung aja, tapi saling melengkapi, tahu satu sama lain, dan penuh kasih sayang. Bukan asal memahami kekurangan tapi nggak ada cinta." Aduh! Apa lagi ini? Berbicara cinta itu bukanlah prioritasku! Sungguh yang kubutuhkan saat ini adalah uang! Bukan cinta! Karena itu tidak akan membuatku keyang atau bisa melunasi cicilan rumah! Benar kan?!Juga, aku malas memiliki hubungan serius dengan lelaki manapun sehingga tidak mengerti apa yang papanya Pak Akhtara katakan. "Tara, bisa kamu jelasin apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Sab
Lalu angin malam berhembus di parkiran tempat resepsi pernikahan adiknya. Pak Akhtara hanya menghela nafas kesal sambil menyugar rambut berulang kali. Kentara sekali jika manajerku itu memiliki rahasia yang tidak ingin dibagi. "Sudahlah, nggak usah bahas dia lagi. Bagi saya, hubungan kami udah selesai!" "Menurut Bapak udah selesai, tapi gimana nasib saya? Gimana ini, Pak? Pokoknya saya nggak mau menikah sama Bapak! Kesepakatan kita hanya jadi pacar sewaan aja! Nggak lebih! Karena saya nggak mau nikah sebelum punya ekonomi yang mapan!" "Kamu pikir saya mau nikah sama kamu? Yang nggak pernah saya ketahui seluk belukmu kayak apa? Asal kamu tahu, Han, yang pasti saya ngelakuin ini karena terpaksa!" Dinikahi lelaki mapan dan berkharisma seperti Pak Akhtara itu tidak ada salahnya. Dia menawan dengan kulit eksotisnya yang bersih. Belum lagi bulu-bulu halus yang memenuhi permukaan kulit tangannya. Tubuhnya tinggi dan ideal. Hanya saja di usianya hampir mendekati kepala empat. Sungguh buka
Aku menggigit bibir bawah sambil berpikir keras menanggapi permintaan manajerku ini. Karena aku berani bertaruh, gajinya yang tidak sedikit itu pasti telah menghasilkan pundi-pundi rupiah yang tebal di dalam rekening tabungannya. Bagai menemukan harta karun! Namun, mengapa hatiku berteriak tidak siap jika satu atap dengannya juga peraturan seperti apa yang ditawarkan dalam pernikahan kontrak ini? "Saya ... bingung, Pak," jawabku teramat polos. Pak Akhtara berdecak kesal lalu manatapku kesal, "Katanya kamu butuh uang. Sekarang udah saya tawarkan uang lima puluh juta, kamu bingung. Gimana sih kamu ini, Han?!" "Wajar lah saya bingung, Pak. Tiba-tiba disuruh menikah sama Bapak padahal kita nggak pernah kenal akrab. Cuma satu kantor jadi atasan bawahan." "Namanya juga nikah kontrak, Han. Nggak perlu pakai acara kenalan atau apa lah. Ini tuh nikah palsu istilahnya. Nggak ngapa-ngapain. Nggak ada bulan madu atau malam pertama. Kamu tetap utuh kayak semula saya nyewa kamu. Paham?" Aku
Ada dua pertanyaan. Apakah datang ke rumah orang tuaku lalu meminta restu karena mau menikah dengan Pak Akhtara? Atau aku mencari solusi yang lain demi mendapatkan wali nikah? Tapi solusi seperti apa? "Halo, Han? Ada apa?" tanya Rara, pemilik agensi pacar sewaan yang menaungiku. Suaranya terdengar serak. Sepertinya ia sudah terlelap ketika aku menghubungi. Wajar, karena ini sudah pukul sebelas malam. Baru saja Pak Akhtara mengantarkanku sampai kosan setelah kami berdebat panjang lebar di parkiran hotel tempat resepsi pernikahan adiknya. Membahas rencana pernikahan palsu dadakan kami dan apa saja yang sangat dibutuhkan dalam prosesi ijab kabul itu nantinya. "Hai, Ra. Maaf ganggu malam-malam. Gue mau tanya." "Tanya apaan?" tanyanya lagi dengan suara khas mengantuk. "Ehm ... siapa ya yang kerjaannya jadi wali nikah palsu, Ra? Lo tahu nggak? Maksud gue kenal nggak?" Rara tidak segera menjawab lalu aku memanggilnya kembali. "Ra? Halo?" "Emang ngapain lo pengen nyari wali nikah
Lega rasanya usai membayar cicilan rumah yang ditinggali kedua orang tuaku di kampung halaman. Meski rumah itu tidak megah dan besar karena hanya berdiri di atas lahan perumahan sederhana, namun ada kebanggan tersendiri bisa membuat mereka bahagia. Yang terpenting kedua orang tuaku nyaman menempatinya. Tanpa mobil mewah yang berjajar di garasi seperti dulu. Hanya sebuah motor bebek bekas yang terparkir di teras. "Halo, Ma. Aku barusan kirim untuk jatah makan minggu ini," ucapku dari sambungan telfon sambil duduk di depan gerai minimarket. Dengan sekaleng minuman dingin yang menemani langkah takdirku detik ini. "Iya, Han. Makasih banyak ya, Nak. Meski nggak kamu kirim nggak apa-apa kok. Mama masih ada uang." Aku mengerutkan kedua alis menanggapi ucapan Mama. Sebab ini sudah jadwalnya aku mengirim uang jatah makan karena Mama dan Papa tidak bekerja. Menggantungkan seluruh hidupnya padaku usai kalah pemilihan dan jatuh miskin. "Papamu sekarang bisnis bikin tempe, Han. Lumayan dijua
"Menikah?" tanya Papa dengan raut tidak percaya. Kedua alisnya menyatu dengan tatapan terpusat padaku. Lalu melihat Pak Akhtara yang duduk di sebelahku. "Iya, Pa. Kami ... mau menikah. Makanya aku pulang kemari lalu minta doa restu dari Papa dan Mama." Dengan wajah masih dipenuhi keterkejutan, Papa menoleh ke Mama yang duduk di sampingnya. Keduanya hanya bisa saling bertukar ekspresi terkejut. Sedang Pak Akhtara yang duduk di sebelahku hanya diam seribu bahasa seperti kesepakatan. Bahwa beliau tidak akan berkata apapun jika tidak mendapat kode dariku. "Jihan, Papa masih nggak ngerti, Nak. Kamu tiba-tiba pulang, lalu bawa laki-laki, dan ... minta nikah. Semuanya mendadak banget, Han. Memangnya ada apa?" Aku membasahi bibir sambil mengatur kegugupan dengan menghela nafas. Sungguh meminta restu menikah itu tidak main-main gugupnya hingga kedua telapak tangan terasa dingin. Padahal ini hanya meminta restu menikah kontrak. Tapi mengapa auranya seperti akan menikah sungguhan? "Kit
"Jihan, malam ini biar Akhtara tidur di kamarmu ya? Kamu sama Mama dan Papa tidur di kamar satunya."Tanganku yang akan meraih ponsel Pak Akhtara yang berdering dari Sabrina akhirnya batal karena seruan dari Mama. Duh ... Mama! Kenapa datang di saat yang salah?!"Lha? Kok gitu?" Aku menunjukkan sisi keberatan."Lalu Akhtara kamu suruh tidur di mana?"Lalu muncul Pak Akhtara dari belakang Mama dengan senyum setipis tisyu. Entah racun internet apa lagi yang beliau lancarkan untuk membuat Mama mengikuti permainannya."Lho, Ma? Memangnya kamar kita muat untuk bertiga?" tanya Papa. "Papa ini gimana sih? Masak tamu disuruh tidur ruang tamu? Nggak etis banget apalagi Akhtara udah belanja banyak untuk keluarga kita loh."Nah kan?! Hati Mama luluh hanya karena belanjaan yang Pak Akhtara berikan. Di rumah kami yang sederhana dengan dua kamar inilah Pak Akhtara tidur untuk pertama kalinya. Usai dari kamar mandi, tiba-tiba aku mendengar percakapan diam-diam Papa dan Pak Akhtara di dalam kamar
POV AKHTARA Satu tahun kemudian ... "Selamat, Pak. Bayinya lahir sehat. Perempuan."Aku yang sedang menemani Jihan melahirkan secara sesar itu pun tidak kuasa menahan haru dan bahagia karena kami dipercaya Tuhan untuk merawat cipataan-Nya yang sangat lucu dan menggemaskan.Adiknya Akhtira. Setelah suster membersihkan putri kami tercinta, aku segera menggendongnya. Lalu melafadzkan suara adzan di telinganya. Dengan mata berkaca-kaca, aku mencium pipinya penuh cinta. Lalu memberikannya pada Jihan yang masih terbaring di atas meja operasi. "Mau Ayah kasih nama siapa?""Aksara Badsah Ubaid."Kemudian Jihan terlihat sedikit memanyunkan bibir."Aku yang hamil susah payah, tapi nama kedua anakku mirip Ayah semua." Protesnya. "Ya udah saya ganti.""Diganti apa?""Aksara Febriana Ubaid."Jihan menganggukkan kepala setuju dengan melakukan skin ship bersama putri kami. "Namanya kelihatan ada ceweknya. Kalau yang pertama kayak laki-laki, Yah.""Apapun yang kamu mau, Sayang."Kemudian aku da
POV AKHTARARumah megahku yang berada di Bogor terasa begitu sepi, dingin, dan mati. Tidak ada suara tawa atau celotehan Akhtira.Dulu aku mendiami rumah ini hanya untuk menaruh lelap, berganti pakaian, dan berpesta dengan rekan-rekan bisnis. Bukan sebagai tempat untuk melepas kepenatan atau mendulang kebahagiaan.“Dulu saya suka pulang ke rumah ini karena ada kamu, Han,” ucapku.Sambil bergelung dengan satu selimut yang sama dengan Jihan. Di kamar yang ia tempati dulu.“Gombal. Nyatanya Bapak juga masih keluar sama Merissa padahal ada saya di rumah.”Kemudian aku membawanya dalam pelukan hingga kulit kami saling bersentuhan.“Saya nemenin Merissa belanja doang. Dan sengaja pulang agak malam biar kamu cemburu.”Tangan Jihan kemudian memukul dadaku.“Jahat!”Aku tersenyum lalu mencium kening dan memeluknya.“Saya jahat sama kamu dan jahat sama diri saya sendiri. Saya pengen cepat pulang, ketemu kamu, lalu mendapatkan hak saya. Tapi saya sengaja ngulur-ngulur waktu biar kamu cemburu. Soa
POV AKHTARA“Pa, aku sama Ayahnya Tira mau ke Bogor,” ucap Jihan ketika kami semua duduk di kursi meja makan.“Ngapain ke Bogor?!” Tanya Papanya Jihan ketus.Jihan yang sedang menyuapi Akhtira kemudian menatapku yang duduk di sebelah putraku itu.Kemudian Papanya Jihan langsung menatapku dengan ekspresi tidak suka.“Mau merencanakan apa lagi kamu, Akhtara?! Nggak usah bawa-bawa Jihan pergi jauh dari kami! Kami nggak percaya sama kamu!”Inilah alasan kuat mengapa Jihan dan Akhtira tidak diperbolehkan untuk tinggal seatap saja denganku. Mereka berpikir jika aku masihlah jahat seperti dulu. Dan sudah pasti aku harus sabar dan kuat menghadapi sikap mereka.“Aku khawatir kamu udah bikin rencana di Bogor lalu Jihan sama Tira nggak pulang-pulang! Kalau kamu mau ke Bogor, pergi aja sendiri sana!”“Meski Jihan udah kembali jadi hakmu, tapi aku sebagai Papanya nggak mau kejadian buruk itu kembali terulang!”Usai menelan makanan, aku menatap Papanya Jihan, mertuaku.Aku menyadari mengapa amarah b
POV AKHTARA Dengan jarak sedekat ini sambil menatap wajah cantik Jihan, aku benar-benar terlena. Wanita yang ada di hadapanku saat ini telah resmi menjadi istriku, pendamping hidupku. Tidak ada kata terlarang untuk menyentuh wajahnya dengan kedua tanganku. Bahkan aku dihalalkan untuk menyentuhnya lebih dari ini. Andai tidak lupa akan janjiku untuk membuatnya nyaman terlebih dahulu, mungkin aku bisa memilikinya saat ini juga.Kemudian aku menurunkan kedua tangan dari wajahnya lalu berdiri dari bersimpu dan mundur dua langkah. Sungguh, berdekatan dengan Jihan membuat naluriku sebagai seorang pria tergugah sepenuhnya.Kini aku benar-benar tahu mengapa saat bersama Merissa, aku tidak pernah sukses menjadi pria sejati. Jawabannya sudah pasti karena aku tidak mencintai dia sama sekali dan hatiku benar-benar menginginkan Jihan seorang. "Kenapa, Pak?" Aku menggeleng sembari tersenyum. "Saya cuma mau kamu nyaman dulu, Han. Saya takut kalau nggak menjaga sikap, justru kamu yang terpaksa."
POV AKHTARA Usiaku hampir menyentuh angka empat puluh lima tahun. Sedang Jihan masih berusia tiga puluh tahun. Perbedaan usia kami membuat ia lebih cocok menjadi keponakanku. Dan sebagai pria yang sudah berumur, siapa yang tidak senang jika memiliki istri yang masih muda, cantik, dan solehah?Inilah yang disebut dengan perhiasan dunia. Apalagi dia telah melahirkan keturunanku yang sehat dan tampan, Akhtira."Khilaf?" Tanya Jihan keheranan.Dengan bersedekap sambil menyandarkan punggung pada pintu kamar hotel yang kami tempati, aku fokus menikmati wajah cantik Jihan yang penuh dengan riasan pengantin dari kejauhan.Sungguh cantik!Lalu aku mengangguk sekilas. "Maksudnya?""Kalau kemarin saya cuma bisa mencintai kamu tanpa bisa memiliki, maka berbeda dengan sekarang. Saya boleh mencintai kamu sedalam apapun karena kamu resmi hanya akan menjadi milik saya aja, Han."Jihan nampak sedikit salah tingkah dengan ucapanku lalu dia membuang muka. Imut dan menggemaskan sekali.Andai aku tidak
POV AKHTARA Aku sudah tidak merasa asing lagi dengan sebutan 'perjanjian pra nikah'. Karena ketika aku akan menikahi Jihan untuk kedua kalinya dan memberinya madu dengan menikahi Merissa, aku menggunakan perjanjian pra nikah dengan alasan untuk melindungi harta bendaku. Saat itu, aku mencampuradukkan hal yang disebut cinta dan sayang dengan racun bernama dendam. Hingga aku menganggap Jihan dan Merissa adalah sama-sama perempuan yang harus kuwaspadai mana kala akan mengeruk hartaku semata.Tapi ternyata, aku keliru besar. Karena saat menikahi Jihan untuk kedua kalinya, dia benar-benar sudah berubah. Hanya aku saja yang tidak menyadari. Hingga tega menduakannya dengan Merissa. "Aku restui niat baikmu kembali menikahi Jihan untuk ketiga kalinya, Akhtara."Aku langsung tersenyum lega dengan perasaan bahagia tiada terkira mendengar ucapan Papanya Jihan. Meski beliau mengatakannya dengan ekspresi yang datar dan acuh. "Agama cuma ngasih kamu batas menikahi Jihan hanya tiga kali. Dan jang
POV AKHTARA Satu unit motor untuk kaum lelaki baru saja kubayar lunas. Dan kini motor itu tengah dinaikkan ke mobil pick up menuju alamat Farhan. "Apa Farhan mau menerimanya, Pak?" Tanya Faris yang duduk di sebelahku."Saya nggak peduli dia mau menerima hadiah dari saya atau nggak, Ris. Karena saya berniat memberikan hadiah itu sebagai ucapan terima kasih ia pernah berjasa dalam kehidupan Jihan dan Akhtira. Saya nggak mau jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Kami duduk bersebelahan dengan menatap proses motor seharga lima puluh juta itu akhirnya berhasil dinaikkan ke atas bak mobil. Segala kelengkapannya kuserahkan pada pihak penjual motor. "Kamu urus sisanya ya, Ris. Saya mau ketemu Tira."Kemudian aku menyetir mobil dan sengaja singgah sebentar ke salah satu mall untuk mengunjungi salah satu gerai yang menjual mainan. Apalagi jika bukan untuk membelikan Tira mainan baru. Putraku itu ternyata tidak mudah untuk didekati. Dan sepertinya aku harus membelikan mainan yang sangat m
POV AKHTARA Sepasang tiket VIP dari biro perjalanan ke tanah suci sudah siap di tangan. "Apa kamu yakin ini adalah cara terbaik bikin kedua orang tua Jihan mau merestui hubungan saya sama Jihan, Ris?" Tanyaku."Kita coba saja dulu, Pak. Kalau Bapak ngasih harta atau rumah baru, belum tentu orang tua Bu Jihan luluh. Justru marah yang iya. Tapi kalau hadiah sepaket perjalanan ke tanah suci, saya rasa itu adalah hadiah terbaik sepanjang masa."Apa yang dikatakan Faris ada benarnya. "Oke. Saya akan hubungi Jihan kalau nanti malam mau bertamu ke rumahnya.""Semoga semuanya lancar, Pak."Hampir satu minggu ini aku dan Faris berpikir tentang hadiah terbaik untuk kedua orang tua Jihan agar sudi menerimaku lagi. Dan pilihan kami jatuh pada tanah suci. Dan selama satu minggu itu pula, aku selalu memikirkan Jihan dan Akhtira. Apakah Jihan mendapat omongan yang tidak mengenakkan dari kedua orang tuanya karena memilihku?Ataukah semuanya baik-baik saja tidak seperti dugaanku?Sebab, satu minggu
POV AKHTARA“Maaf katamu?” Tanya Farhan dengan suara sinis.“Waktu Jihan merawat Akhtira sendirian, dihina orang lain perempuan nggak benar karena melahirkan tanpa suami, lalu Akhtira dihina anak haram, siapa yang jadi tameng untuk mereka heh?!”Aku tidak menjawab dan hanya menatap Farhan. Membiarkan dia menyelesaikan ucapannya. “Aku!” Dia menepuk dadanya dengan wajah benar-benar kesal.“Bukan kamu! Yang tiba-tiba datang ngambil semua yang aku usahakan!” ucapnya dengan menunjuk dadaku.“Kamu memang ayah kandung Akhtira, tapi aku yang lebih banyak berjasa ke mereka! Aku menyayangi mereka itu tulus!”“Dan Jihan nggak mungkin berpaling kalau bukan karena kamu pakai acara pura-pura mau mati! Biar apa, heh?! Dapat simpati Jihan dengan cara pintas? Iya?!”Kepalaku menggeleng dengan menatap Farhan yang begitu kecewa dan sakit hati.“Munafik!”“Saya nggak perlu menjelaskannya ke kamu karena saya tahu kamu nggak butuh itu, Far.”Tanpa berkata lagi, Farhan kemudian menaiki motornya dengan ekspr