Ya Tuhan, mengapa harus manajerku sendiri yang menyewaku sebagai pacar sewaan?
Lalu ingatanku kembali ke kejadian siang tadi saat Pak Akhtara memarahiku di hadapan staff yang lain. Beliau adalah sosok atasan yang disiplin, tegas, dan tidak banyak tersenyum di depan karyawan."I ... iya, Pak. Saya … memakai nama samaran Dara sebagai pacar sewaan," jawabku gugup dengan posisi berdiri.Lalu Pak Akhtara melihat penampilanku dari atas hingga bawah dengan seksama melalui kacamata bening yang membingkai kedua matanya lalu kepalanya menggeleng pelan. "Well. Saya nggak nyangka kalau ... "Pak Akhtara tidak melanjutkan ucapannya. Entah apa yang beliau pikirkan tentangku sekarang ini. Namun ekspresi wajahnya masih menampilkan keterkejutan."Silahkan duduk dulu, Han."Kepalaku mengangguk pelan lalu mengambil duduk di hadapan beliau. Membiarkan cardigan hijau tua yang kukenakan tetap membungkus tubuh yang telah mengenakan dress malam terbaik.
Pikiranku pun akhirnya berkelana, apa Pak Akhtara hobi berkencan dengan pacar sewaan?Bukankah dia manajer yang terkenal disiplin, tegas, bersahaja, dan berwibawa?Tapi mengapa sampai menyewa jasa murahan seperti ini?Dan setahuku, bukankah dia sudah memiliki calon tunangan?"Entah kamu lagi mikir apa, Han. Yang jelas, saya ada maksud tertentu kenapa makai jasa pacar sewaan. Jadi, apa kamu sudah siap saya sewa malam ini?”Ya Tuhan, pertanyaan Pa Akhtara itu mengandung arti yang ambigu sekali. Memangnya malam ini beliau mau menyewaku seperti apa?
"Maaf, Pak. Kalau boleh tahu, apa alasan Bapak menyewa jasa ini?"
"Apakah menjelaskan tujuan saya menyewa jasa pacar sewaan termasuk dalam tarifmu, Jihan?"Kepalaku menggeleng pelan tanpa berani menatapnya. Sungguh beliau adalah manajer yang terkenal bersahaja dan disegani. Namun mengetahui beliau menggunakan jasa ini membuatku sangat penasaran dengan sosok asli seorang manajer Akhtara Badsah Ubaid.Jika ada satu saja penghuni kantor yang tahu jika Pak Akhtara duduk di sini bersamaku untuk membahas jasa pacar sewaan, kredibilitasnya pasti akan terjun bebas. Begitu juga denganku, pastiakan menjadi bulan-bulanan cibiran."Kalau begitu kamu cukup jelasin apa saja yang jadi kesepakatan 'kencan pura-pura' kita malam ini, Jihan."Kepalaku mengangguk pelan lalu membasahi bibir dan menelan saliva untuk membasahi kerongkongan. Sembari mengumpulkan keberanian mengatakan aturan main pacar sewaan yang sudah kutekuni selama tiga tahun ini."Jadi begini, Pak. Tarif saya lima ratus ribu sekali jalan. Tanpa perbuatan mesum. Kalau mau pelukan, gandengan tangan, ada ongkos tambahan, Pak," ucapku."Kamu kelihatan profesional sekali."Aku hanya berdehem tanpa memandang Pak Akhtara."Kalau dibawa ke kondangan buat pamer ke keluarga, apa ada biaya tambahannya, Han?" tanya Pak Akhtara tenang."S ... saya tanyakan adminnya dulu, Pak."Aku langsung merogoh ponsel kemudian mengulir layar untuk mencari kontak Admin Rara. Bagaimanapun aku harus jujur bekerja dengannya atau tidak akan dipercaya mendapat klien lagi."Sekalian tanyakan, apa bisa kamu dibooking untuk beberapa bulan ke depan dengan modus pura-pura jadi tunangan saya?"Reflek aku menatap Pak Akhtara dengan kedua alis terangkat."Maaf, Pak?" tanyaku dengan nada terheran."Anggap aja saya pelanggan setiamu. Nanti ada bonus dari saya kalau kamu mau dan nurut sama perjanjian kita. Gimana?"Perempuan bodoh mana yang menolak bonus dan disewa menjadi tunangan pura-pura selama beberapa bulan ke depan oleh manajer yang memiliki gaji sebanyak Pak Akhtara?Bukankah itu artinya jika aku menerima tawarannya akan menerima gaji dengan nominal yang sama selama beberapa bulan berturut-turut?Dan bukankah itu artinya aku bisa menabung lebih banyak untuk membeli properti yang lain?Dengan begitu aku tidak akan kelimpungan mencari uang lagi nantinya. Benar 'kan?!"Gimana, Han? Setuju?"Aku terkesiap dari lamunan dengan tangan masih memegang ponsel lalu kepalaku mengangguk pelan dengan memasang ekspresi masih terkejut."Saya ... bersedia, Pak."***Pak Akhtara itu berusia tiga puluh delapan tahun tapi memiliki posisi bergengsi di kantor sebagai manajer.Usai membahas tarif dan kesepakatan antara aku, Admin Rara, dan Pak Akhtara, kami berdua menuju kediaman Pak Akhtara dengan alasan ..."Saya ganti baju dulu, Han. Karena kita mau ke resepsi pernikahan adik saya. Dan tugasmu seperti yang aku jelaskan tadi. Pura-pura jadi calon tunanganku. Paham?"Kepalaku mengangguk paham dengan duduk di kursi penumpang. Sedang Pak Akhtara mulai melepas seatbelt kursi kemudi mobilnya yang nyaman ini."Kamu tunggu di sini aja. Saya cepat kok.""Ya, Pak."Aku mematuhi setiap ucapannya yang mengandung perintah karena sudah sepakat jika akan menjadi tunangan palsunya selama beberapa bulan ke depan.Entah mengapa beliau menyewa jasaku selama itu.Aku tidak bertanya dan untuk apa mengulik masalah pribadi manajerku itu. Toh beliau pasti menolak menjelaskan."Yang penting besok gue bisa bayar cicilan rumah. Beres!" gumamku sambil menatap rumah Pak Akhtara.Rumah satu lantai yang begitu terawat dengan taman indah berhiaskan pohon cemara yang dibonsai. Dihiasi lampu warna warni kecil yang melingkari pohon. Membuatnya sangat cantik di malam hari. Sekitar sepuluh menit kemudian, Pak Akhtara keluar dari rumah dengan pakaian jauh lebih formal untuk menghadiri resepsi pernikahan adiknya.Kemeja batik dipadu dengan celana jeans biru gelap dan sepatu boots rendah warna coklat. Rambutnya disisir sedikit mowhak untuk menambah kesan lebih muda."Asem! Ganteng!" pujiku sebelum beliau memasuki mobil.Begitu Pak Akhtara memasuki mobil dan mulai melajukannya di jalanan, beliau kembali memulai pembicaraan."Jangan sampai lupa kalau nama kamu sekarang ganti jadi Sabrina. Bukan Jihan atau Dara.""Ya, Pak. Saya ingat," ucapku patuh selayaknya kami berada di kantor.Memangnya ada apa dengan nama Sabrina?Ah ... entahlah.Aku hanya berani bertanya dalam hati dengan menatap jalanan dari balik kaca mobil beliau. Hingga kami tiba di sebuah gedung pernikahan yang berada di salah satu hotel berbintang.Usai keluar dari mobil, aku berjalan mendekati Pak Akhtara yang sedang memasang jam tangan di pergelangan tangan kirinya. "Kalau Bapak butuh pegangan tangan atau sejenisnya, Bapak cukup kasih saya kode.""Ya. Ayo masuk dulu."Aku berjalan biasa di samping Pak Akhtara dengan dress malam hitam sambil membawa clutch bag berwarna krem dengan motif mutiara. Sedang cardiganku sudah kutanggalkan di mobil.Usai melewati anak tangga dan penyambut tamu, tiba-tiba Pak Akhtara menggenggam tangan kiriku begitu saja. Tanpa kode.Untung saja aku sudah terbiasa dalam keadaan seperti ini dan cepat beradaptasi dengan menggenggam tangannya kembali."Di depan sana keluarga saya semua. Kamu tahu harus apa kan, Han?"Pak Akhtara mengucapkannya dengan jarak sedekat ini dengan telingaku sambil telunjuknya mengarah ke dapan. Hingga hembusan nafasnya seperti menggelitik telingaku."Ya, Pak. Saya ... paham."Sedikit gugup itu wajar karena menjadi tunangan palsu manajerku sendiri. Ayolah Jihan! Jangan gugup! Atau aku gagal menerima gaji dan bonus besar.Masih dengan jemari kami saling bertaut, Pak Akhtara membawaku menuju keluarga besarnya yang duduk di kursi paling ujung. Mereka menatap sepasang pengantin yang tengah berbahagia menerima ucapan selamat dari para tamu di pelaminan yang dihias sangat indah sekali. "Malam, Ma, Pa, Om, Tante."Kemudian Pak Akhtara mencium tangan mereka satu demi satu. Dan aku mengikutinya dengan sopan."Ini ... siapa, Tar?" tanya Mamanya Pak Akhtara."Ini Sabrina, Ma. Masak Mama lupa?""Sabrina?" tanya beliau memastikan dengan mengerutkan kedua alis.Kepalaku pun mengangguk usai mendapat kode melalu remasan di jari. "Saya Sabrina, Tante," ucapku sopan dengan seulas senyum meyakinkan.Wanita yang tidak lagi muda itu masih terlihat menawan dengan dress malam panjang warna salem dan rambut disanggul modern.
"Kok sekarang langsing banget, Tar?"Pak Akhtara tersenyum lalu kembali memberi kode melalui remasan jemari."Diet, Ma. Biar nggak gemuk."Kemudian Tantenya Pak Akhtara membuka suara."Rambutnya juga lebih keren dari terakhir ketemu, Tar. Seingat Tante rambut Sabrina kemarin hitam polos."Lagi, Pak Akhtara memberi kode dengan meremas jemariku."Ehm ... saya hanya coba-coba ganti warna rambut, Tante. Maaf kalau membuat semuanya tidak mengenali saya," ucapku setenang mungkin.Akhirnya aku paham jika perempuan yang bernama Sabrina adalah calon tunangan Pak Akhtara yang asli. Gemuk dan berambut hitam.Astaga ... manajerku ini wajahnya tidak jelek bahkan berat tubuhnya juga sangat ideal, tapi mengapa kekasihnya memiliki perawakan yang tidak seimbang dengan bayanganku?Apa dunia sedang bercanda?
Lalu, kemana perginya perempuan bernama Sabrina itu hingga meninggalkan Pak Akhtara dan beliau berakhir menyewa jasa pacar sewaan seperti ini?enjoy reading ...
"Kok ... beda ya, Tar? Kayak bukan Sabrina." Mamanya Pak Akhtara masih meragu jika aku bukanlah Sabrina yang asli. Aduh! Bagaimana ini? Jangan sampai terbongkar!Kemudian Pak Akhtara merubah genggaman di tangan dan berpindah ke pundak kiriku begitu saja. Hingga pundakku menyentuh dadanya yang bidang. "Hanya perasaan Mama aja. Dia ini Sabrina, Ma. Mungkin karena efek diet dan ganti warna rambut aja makanya kayak ... orang lain." Untung saja Pak Akhtara luwes sekali berdrama di hadapan keluarganya. Apakah beliau memiliki bakat berbohong yang terpendam?Keluarga besar Pak Akhtara menunjukkan keraguan itu dengan saling tatap. Lalu tanpa diduga, beliau mengeluarkan jurus selanjutnya yang membuatku merasa geli sendiri. Seperti bukan Pak Akhtara yang dingin, tegas, dan berwibawa. "Sayang, duduk dulu," ucapnya dengan senyum tulus yang dibungkus kepalsuan. Lalu Pak Akhtara menarik sebuah kursi untuk kududuki kemudian beliau ikut mengambil duduk di sebelahku. Sedang kakinya kembali memberi
"Yang penting kalian nyambung menjalani hubungan?" tanya Papanya Pak Akhtara memastikan dengan menatapku lekat. Hingga kedua alisnya berkerut seperti mencari pembenaran atas apa yang beliau dengar."Eh ... iya, Om. Yang penting ... kami bisa memahami kekurangan satu sama lain," jawabku gugup dan seadanya. "Itu artinya kalian menjalani hubungan ini dengan landasan yang nggak tepat, Sabrina. Orang kalau mau menikah itu nggak cuma butuh perasaan saling nyambung aja, tapi saling melengkapi, tahu satu sama lain, dan penuh kasih sayang. Bukan asal memahami kekurangan tapi nggak ada cinta." Aduh! Apa lagi ini? Berbicara cinta itu bukanlah prioritasku! Sungguh yang kubutuhkan saat ini adalah uang! Bukan cinta! Karena itu tidak akan membuatku keyang atau bisa melunasi cicilan rumah! Benar kan?!Juga, aku malas memiliki hubungan serius dengan lelaki manapun sehingga tidak mengerti apa yang papanya Pak Akhtara katakan. "Tara, bisa kamu jelasin apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Sab
Lalu angin malam berhembus di parkiran tempat resepsi pernikahan adiknya. Pak Akhtara hanya menghela nafas kesal sambil menyugar rambut berulang kali. Kentara sekali jika manajerku itu memiliki rahasia yang tidak ingin dibagi. "Sudahlah, nggak usah bahas dia lagi. Bagi saya, hubungan kami udah selesai!" "Menurut Bapak udah selesai, tapi gimana nasib saya? Gimana ini, Pak? Pokoknya saya nggak mau menikah sama Bapak! Kesepakatan kita hanya jadi pacar sewaan aja! Nggak lebih! Karena saya nggak mau nikah sebelum punya ekonomi yang mapan!" "Kamu pikir saya mau nikah sama kamu? Yang nggak pernah saya ketahui seluk belukmu kayak apa? Asal kamu tahu, Han, yang pasti saya ngelakuin ini karena terpaksa!" Dinikahi lelaki mapan dan berkharisma seperti Pak Akhtara itu tidak ada salahnya. Dia menawan dengan kulit eksotisnya yang bersih. Belum lagi bulu-bulu halus yang memenuhi permukaan kulit tangannya. Tubuhnya tinggi dan ideal. Hanya saja di usianya hampir mendekati kepala empat. Sungguh buka
Aku menggigit bibir bawah sambil berpikir keras menanggapi permintaan manajerku ini. Karena aku berani bertaruh, gajinya yang tidak sedikit itu pasti telah menghasilkan pundi-pundi rupiah yang tebal di dalam rekening tabungannya. Bagai menemukan harta karun! Namun, mengapa hatiku berteriak tidak siap jika satu atap dengannya juga peraturan seperti apa yang ditawarkan dalam pernikahan kontrak ini? "Saya ... bingung, Pak," jawabku teramat polos. Pak Akhtara berdecak kesal lalu manatapku kesal, "Katanya kamu butuh uang. Sekarang udah saya tawarkan uang lima puluh juta, kamu bingung. Gimana sih kamu ini, Han?!" "Wajar lah saya bingung, Pak. Tiba-tiba disuruh menikah sama Bapak padahal kita nggak pernah kenal akrab. Cuma satu kantor jadi atasan bawahan." "Namanya juga nikah kontrak, Han. Nggak perlu pakai acara kenalan atau apa lah. Ini tuh nikah palsu istilahnya. Nggak ngapa-ngapain. Nggak ada bulan madu atau malam pertama. Kamu tetap utuh kayak semula saya nyewa kamu. Paham?" Aku
Ada dua pertanyaan. Apakah datang ke rumah orang tuaku lalu meminta restu karena mau menikah dengan Pak Akhtara? Atau aku mencari solusi yang lain demi mendapatkan wali nikah? Tapi solusi seperti apa? "Halo, Han? Ada apa?" tanya Rara, pemilik agensi pacar sewaan yang menaungiku. Suaranya terdengar serak. Sepertinya ia sudah terlelap ketika aku menghubungi. Wajar, karena ini sudah pukul sebelas malam. Baru saja Pak Akhtara mengantarkanku sampai kosan setelah kami berdebat panjang lebar di parkiran hotel tempat resepsi pernikahan adiknya. Membahas rencana pernikahan palsu dadakan kami dan apa saja yang sangat dibutuhkan dalam prosesi ijab kabul itu nantinya. "Hai, Ra. Maaf ganggu malam-malam. Gue mau tanya." "Tanya apaan?" tanyanya lagi dengan suara khas mengantuk. "Ehm ... siapa ya yang kerjaannya jadi wali nikah palsu, Ra? Lo tahu nggak? Maksud gue kenal nggak?" Rara tidak segera menjawab lalu aku memanggilnya kembali. "Ra? Halo?" "Emang ngapain lo pengen nyari wali nikah
Lega rasanya usai membayar cicilan rumah yang ditinggali kedua orang tuaku di kampung halaman. Meski rumah itu tidak megah dan besar karena hanya berdiri di atas lahan perumahan sederhana, namun ada kebanggan tersendiri bisa membuat mereka bahagia. Yang terpenting kedua orang tuaku nyaman menempatinya. Tanpa mobil mewah yang berjajar di garasi seperti dulu. Hanya sebuah motor bebek bekas yang terparkir di teras. "Halo, Ma. Aku barusan kirim untuk jatah makan minggu ini," ucapku dari sambungan telfon sambil duduk di depan gerai minimarket. Dengan sekaleng minuman dingin yang menemani langkah takdirku detik ini. "Iya, Han. Makasih banyak ya, Nak. Meski nggak kamu kirim nggak apa-apa kok. Mama masih ada uang." Aku mengerutkan kedua alis menanggapi ucapan Mama. Sebab ini sudah jadwalnya aku mengirim uang jatah makan karena Mama dan Papa tidak bekerja. Menggantungkan seluruh hidupnya padaku usai kalah pemilihan dan jatuh miskin. "Papamu sekarang bisnis bikin tempe, Han. Lumayan dijua
"Menikah?" tanya Papa dengan raut tidak percaya. Kedua alisnya menyatu dengan tatapan terpusat padaku. Lalu melihat Pak Akhtara yang duduk di sebelahku. "Iya, Pa. Kami ... mau menikah. Makanya aku pulang kemari lalu minta doa restu dari Papa dan Mama." Dengan wajah masih dipenuhi keterkejutan, Papa menoleh ke Mama yang duduk di sampingnya. Keduanya hanya bisa saling bertukar ekspresi terkejut. Sedang Pak Akhtara yang duduk di sebelahku hanya diam seribu bahasa seperti kesepakatan. Bahwa beliau tidak akan berkata apapun jika tidak mendapat kode dariku. "Jihan, Papa masih nggak ngerti, Nak. Kamu tiba-tiba pulang, lalu bawa laki-laki, dan ... minta nikah. Semuanya mendadak banget, Han. Memangnya ada apa?" Aku membasahi bibir sambil mengatur kegugupan dengan menghela nafas. Sungguh meminta restu menikah itu tidak main-main gugupnya hingga kedua telapak tangan terasa dingin. Padahal ini hanya meminta restu menikah kontrak. Tapi mengapa auranya seperti akan menikah sungguhan? "Kit
"Jihan, malam ini biar Akhtara tidur di kamarmu ya? Kamu sama Mama dan Papa tidur di kamar satunya."Tanganku yang akan meraih ponsel Pak Akhtara yang berdering dari Sabrina akhirnya batal karena seruan dari Mama. Duh ... Mama! Kenapa datang di saat yang salah?!"Lha? Kok gitu?" Aku menunjukkan sisi keberatan."Lalu Akhtara kamu suruh tidur di mana?"Lalu muncul Pak Akhtara dari belakang Mama dengan senyum setipis tisyu. Entah racun internet apa lagi yang beliau lancarkan untuk membuat Mama mengikuti permainannya."Lho, Ma? Memangnya kamar kita muat untuk bertiga?" tanya Papa. "Papa ini gimana sih? Masak tamu disuruh tidur ruang tamu? Nggak etis banget apalagi Akhtara udah belanja banyak untuk keluarga kita loh."Nah kan?! Hati Mama luluh hanya karena belanjaan yang Pak Akhtara berikan. Di rumah kami yang sederhana dengan dua kamar inilah Pak Akhtara tidur untuk pertama kalinya. Usai dari kamar mandi, tiba-tiba aku mendengar percakapan diam-diam Papa dan Pak Akhtara di dalam kamar
POV AKHTARAJihan kemudian menoleh dengan mata berkaca-kaca kemudian dia berdiri tanpa membawa paper bag. Lalu dia berjalan ke arahku hingga terlihat jelas ekspresi wajahnya.Kecewa, sedih, dan marah bercampur menjadi satu.“Ketika Bapak mau pergi meninggalkan saya dan Akhtira, setelah nyuruh Faris datang ke rumah dengan memberikan deretan surat berharga beserta rekening berisi uang yang nggak main-main banyaknya, kenapa Bapak nggak angkat telfon saya?”“Kenapa Bapak main pergi aja waktu itu?”Lalu air matanya kembali jatuh setetes membasahi pipi.“Bapak ngasih saya dan Akhtira harta sebanyak itu lalu pergi gitu aja, saya kayak merasa semuanya bisa Bapak hargai pakai uang!”Kemudian air mata Jihan makin deras membasahi pipinya. Bahkan bibirnya ikut bergetar menahan isak tangis.“Saya tahu Bapak itu kaya, tapi kenapa semuanya selalu Bapak putuskan sendiri tanpa dengerin saya dulu! Kenapa Bapak selalu menilainya pakai uang?! Bapak punya hati dan cinta kan?! Kenapa nggak mencoba menggunak
POV AKHTARATujuh hari aku berada di tanah suci untuk benar-benar menghambakan diri pada Tuhan. Segala urusan duniawi kukesampingkan.Aku benar-benar mengharap ampunan turun bersama dengan kesungguhanku saat bersujud, menengadahkan tangan, dan tetesan air mata penyesalan.Kugunakan waktu itu sebaik mungkin dengan memperbanyak ibadah. Aku hanya pulang ke hotel jika benar-benar mengantuk.Aku tidak tahu apakah pemeriksaan keseluruhan terhadap kesehatanku itu lolos ataukah tidak. Bila lolos dan dinyatakan cocok, setidaknya aku telah membasuh jiwaku di tanah suci sebelum kembali pada sang Khaliq.Tapi bila tidak lolos, aku harap Tuhan memberi jalan kehidupan yang lebih baik. Karena aku sudah tidak lagi muda dan waktunya lebih fokus pada ibadah serta keluarga.Faris melambaikan tangannya begitu aku keluar dari pintu kedatangan penerbangan luar negeri. Dengan menggeret koper, aku menghampirinya yang menatapku dengan pandangan berkaca-kaca.Dia sudah kuanggap seperti adik dan langsung merangk
POV AKHTARA Faris yang berdiri di samping itu kemudian menatapku penuh keterkejutan. Pun dengan dokter yang kuajak berbicara dan masih memegang hasil laboratorium pasien yang menderita sakit keras itu. "Pak, apa ... maksudnya?" Tanya dokter itu. "Maksud saya seperti yang dokter pikirkan."Dokter itu kemudian menatap Faris dengan penuh keterkejutan. Pasalnya mana ada orang yang sudi mendonorkan hatinya dengan terang-terangan seperti aku?Mungkin mereka pikir aku sedang main-main dengan hal ini. Padahal aku benar-benar merasa bahwa ini adalah titik balik untuk memperbaiki diri dan mendapatkan ampunan dari Tuhan atas semua kesalahanku. "Pak Akhtara, maaf. Ini bukan perkara sederhana, Pak. Mendonorkan hati itu tidak sama dengan mendonorkan ginjal. Manusia punya dua ginjal dan masih bisa bertahan hidup dengan satu ginjal. Tapi kalau hati ... manusia hanya punya satu, Pak. Kalau itu diambil, maka --- ""Saya mati. Begitu kan alurnya?" Jawabku tenang. Dokter dan Faris saling bertatapan d
POV AKHTARA“Mas, mau gendong Tira nggak?” Tanya Abid dengan suara sangat lirih.Aku yang tengah duduk di bangku belakang sambil menatap keluar jendela mobil pun beralih atensi pada adikku itu.Dia tengah memangku putraku, Akhtira, yang sudah tertidur dengan lelap. Sedang kedua anaknya masing-masing dipangku istrinya dan Papa. Hanya aku saja yang tidak memangku anak kecil.Kemudian aku melongok ke arah putraku itu. Dia benar-benar damai terlelap di atas pangkuan adikku. Dan selalu enggan untuk berdekatan denganku.“Apa dia nanti nggak kebangun, Bid?” Tanyaku dengan suara sama lirihnya.“Pelan-pelan aja, Mas.”Lalu aku mengusap pipi halusnya itu dengan ibu jari untuk memastikan apakah Akhtira benar-benar sangat terlelap. Ternyata putraku itu tetap tidur dengan sangat pulas.“Kayaknya dia kecapekan habis main air terus perutnya kenyang. Jadi deh ngorok.”Aku menahan tawa karena guyonan Abid lalu mengangguk dengan mengulurkan kedua tangan untuk menerima putraku.Galau di hati yang sedari
POV AKHTARAAku harus tetap professional dengan tidak mencampuradukkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Meski terasa sulit dengan tidak memikirkan penolakan Jihan saat aku sedang bekerja seperti ini.Permintaan Jihan yang tidak bersedia rujuk adalah sebuah keputusan yang tidak boleh kupaksa. Dia memiliki hak yang harus kuhormati sekalipun itu melukai hatiku.Cintaku pada sesama manusia telah habis di Jihan.Meski Humaira begitu baik secara sifat dan iman, tetap saja aku selalu terbayang Jihan. Bukankah akan makin menyakiti Humaira jika dia mengerti jika hatiku masih tertambat pada Jihan?“Mungkin jika Bu Jihan sudah menikah lagi, Bapak akan benar-benar bisa melepas dan melupakannya. Karena pintu untuk mendapatkannya benar-benar telah tertutup,” ucap Faris.Aku menghela nafas panjang dengan menatap gelas minumku yang mengembun. Kami sedang makan malam bersama karena aku tidak mau makan malam sendirian. Kebetulan tempat tinggal Faris tidak jauh dari apartemen tempatku berteduh.“M
POV AKHTARAKarena putraku, Akhtira, sedang duduk di pangkuan seorang lelaki dengan menghadap wajah orang itu. Bahkan senyum putraku terlihat mengembang penuh tawa apalagi saat lelaki itu menyerukkan kepalanya ke arah dada putraku.Tira kembali tertawa terpingkal karena geli dan mencengkeram rambut lelaki itu. Semakin Tira terpingkal, dia semakin menyerukkan kepalanya ke dada putraku hingga tawa keduanya menguar bebas dan membuatku … iri.Lelaki yang masih memakai kemeja putih dan celana kain hitam khas pakaian ASN itu, apakah dia yang bernama Farhan?Seorang aparatur sipil negara yang berstatus duda dan sedang mendekati Jihan.Karena lelaki itu sibuk menyerukkan kepalanya di dada putraku, dia tidak menyadari kehadiranku yang menatap ke arahnya dengan penuh rasa iri dan sedih.Iri karena putraku bisa seakrab itu dengannya. Padahal aku ini ayah biologisnya.Dan sedih karena aku belum pernah sekalipun menggendong putraku sama sekali.Sudah berapa lama mereka bersama? Sudah berapa lama le
POV AKHTARA“Saya panggilin Papa biar Tira dipangku Papa. Jadi Bapak bisa menyentuh Tira.”Aku sedikit mengerutkan kening mendapati jawaban Jihan.“Kenapa harus sama Papamu?”“Kita ini udah bukan suami istri secara agama, Pak. Kalau kita berdekatan, nanti jadi dosa.”Mulutku terkunci ketika Jihan berkata seperti itu. Satu kenyataan yang hampir kulupakan bahwa wanita yang sangat kucintai ini sebenarnya telah terlepas dari genggamanku secara agama.Statusnya hanya istri secara hukum negara.Tapi aku ingat perkataan Papa bahwa masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan Jihan kembali dengan rajin mengunjungi Tira.Ketika Jihan hendak berdiri, aku berkata …“Tolong kamu dudukkan aja Tira di kursi. Nggak usah panggil Papamu.”Karena aku yakin jika Papanya Jihan akan membuat pembatas antara aku dan Tira. Apalagi jika putraku itu menangis karena baru pertama kali bertemu denganku.Jihan mengangguk lalu membujuk Tira untuk duduk di kursi. Putraku itu nampak tidak kooperatif namun Jihan terus m
POV AKHTARASudah lama aku tidak menempati kamarku yang ada di rumah Papa dan Mama. Dan hari ini adalah kali pertama aku kembali menginjakkan kaki di kamar ini.Semua furniturenya tidak banyak berubah. Masih tetap mewah dan berkelas.Kamar kostku yang berada di Bali ukurannya tiga kali lebih kecil dari kamarku yang berada di rumah ini.Setelah lama aku memilih hidup dalam kesederhanaan, tidak bermewah-mewahan, dan selalu menyibukkan diri dengan anak-anak di panti asuhan, siang ini semuanya terasa ada yang kurang dari dalam hatiku.Aku merindukan anak-anak di panti yang tak memiliki orang tua dan menganggapku seperti ayah, kakak, bahkan teman untuk mereka.Lalu aku teringat akan kejadian kemarin saat memutuskan untuk tidak melanjutkan rencana pernikahan dengan Humaira. Dan juga ucapan Papa tadi pagi tentang apa yang harus kulakukan demi kembali menggapai hati Jihan dan kedua orang tuanya.Dengan mendudukkan diri di tepi ranjang empuk ini, kedua tanganku memegang ponsel dan mengulir nama
POV AKHTARA Kemudian aku menatap paper bag berisi surat-surat berharga yang dulu sengaja aku berikan untuk Jihan dan Akhtira. "Lalu kenapa kamu kembalikan semua aset yang saya berikan untuk Akhtira?""Saya nggak mau Akhtira punya sangkut paut ke Bapak. Saya nggak mau suatu saat nanti, Bapak mengungkit-ungkit hal itu.""Saya tulus memberikannya untuk putra saya, Jihan."Jihan menghela nafas panjang kemudian memutus pandangan. Kentara sekali jika dia ingin menjauh dariku. "Saya udah berubah, Han. Tiga tahun pergi dari kehidupanmu dan Akhtira, saya berusaha untuk memperbaiki diri, bukan untuk enak-enak kayak tuduhan Mamamu.""Kalau kamu tanya isi hati saya, yang ada cuma penyesalan tanpa batas. Kehilangan anak pertama saya karena kegilaan saya, itu adalah penyesalan yang luar biasa. Saya minta ampun sama Tuhan untuk kegilaan saya yang satu itu.""Lalu saya menyadari betapa pentingnya Akhtira dalam hidup saya. Menyadari bahwa nggak ada wanita yang lebih saya cintai dari pada kamu."Jiha